Wednesday, February 22, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 26

 

SETANGKAI BUNGAKU  26

(Tien Kumalasari)

 

Pratiwi menatap Susana tak berkedip. Ada rasa bakal kehilangan apa bila Susana meninggalkannya. Ia juga merasa sendirian. Susana menatapnya, dan menyentuh bahunya.

“Mengapa kamu menatap aku seperti itu?”

“Mengapa bu Susana pergi?”

“Ada tugas di kantor pusat, hanya aku yang bisa melakukannya.”

“Apa Ibu akan pergi lama?”

“Tidak, paling hanya seminggu, atau sepuluh hari.”

“Ya ampun, itu lama sekali.”

Susana tertawa. Ia melihat, Pratiwi seperti anak kecil yang akan ditinggalkan ibunya. Barangkali dia akan merengek-rengek, kalau saja hal itu pantas dilakukan.

“Pratiwi, ada banyak teman di sini. Kalau ada yang kamu tidak mengerti, kamu bisa bertanya kepada pimpinan kamu, langsung. Mereka akan membantumu dengan suka cita. Aku akan berpesan kepada mereka.”

Pratiwi mengangguk, hanya itu yang bisa dilakukannya. Ia hanyalah pegawai baru, yang harus tunduk kepada aturan yang ada, dan juga dalam keadaan apapun. Jadi dia akan menerima kepergian Susana yang katanya hanya untuk seminggu atau sepuluh hari, tapi menurutnya terlalu lama.

“Baiklah Pratiwi, aku akan bersiap-siap dan segera berangkat. Atau, kamu bisa menelpon aku kalau memang perlu.”

“Baiklah.”

Pratiwi menatap punggung Susana yang meninggalkan ruangannya, dengan perasaan tak menentu. Entah kenapa, ia merasa ada yang membuatnya sedih.

“Kenapa aku ini? Bu Susana kan punya tugas di kantor pusat, mengapa aku seperti merasa ditinggalkannya sendirian? Ruangan ini, yang seharusnya ditempati oleh dua orang lagi, yaitu kepala administrasi dan seorang pembantunya, setelah dua hari aku di sini, juga tiba-tiba dipindahkan ke ruang lain. Sehingga aku benar-benar sendirian sekarang. Ketika ada bu Susana, dia sering menengok aku kemari, sekedar melihat pekerjaanku, lalu membetulkan mana yang salah, sehingga ketika aku melaporkannya kepada pimpinan aku, sudah benar-benar sempurna,” gumam Pratiwi sambil merenung.

***

Sepulang dari bekerja, Pratiwi memerlukan belanja. Sebenarnya ia akan belanja sedikit saja, hanya membeli keperluan yang mendesak, tapi karena tiba-tiba dia mendapat gaji yang sebelumnya tidak diduganya, maka ia membeli keperluan rumah untuk sebulan sekalian. Misalnya gula, teh, kopi, karena ibunya sering juga meminta kopi, lalu bumbu-bumbu, dan sayuran yang akan dimasaknya sore ini sepulang kerja. Ah ya, ia tersenyum teringat Nano, yang ingin makan buah-buahan seperti diberikan oleh teman kakaknya. Yah, Pratiwi lupa bertanya pada Susana, apa yang mengaku temannya itu dia, gara-gara tadi tiba-tiba mengatakan harus berangkat ke Jakarta.

Pratiwi membeli beberapa buah jeruk dan apel. Tak apa agak mahal sedikit, asal adiknya senang. Pratiwi melupakan keterangan dari Ratih, bahwa perusahaan itu milik Sony. Toh selama ini dia tidak pernah bertemu, dan Sony tidak pernah muncul di kantornya.

Pratiwi pulang dengan banyak belanjaan, yang diletakkan pada keranjang yang memang dipasang di depan sepedanya, karena ia menempatkan barang-barang di situ dulu, setiap kali dia belanja ke pasar. Ia tersenyum sendiri, membayangkan adiknya akan kegirangan dibelikan buah-buah yang diinginkannya.

Dan itu benar, begitu melihat kakaknya datang, Nano segera memburunya, berjalan tertatih dengan tongkatnya, karena melihat buah-buahan yang ada dikeranjang sepeda kakaknya.

“Mbak Tiwi sudah gajian? Kok belanja banyak sekali?” pekik Nano sambil mengambil bungkusan buah yang kebetulan terletak di tempat yang paling atas.

“Nano, kamu itu hati-hati dong, kalau berjalan tidak usah tergesa-gesa.”

“Ini biasa saja kok Mbak, Nano sudah cukup kuat. Minggu depan Nano harus sudah masuk sekolah.”

“Iya, tapi tetap harus hati-hati. Sudah, itu saja yang kamu bawa masuk, ingat, dicuci dulu sebelum dimakan. Bisa nggak?”

“Bisa Mbak,” kata Nano sambil kembali masuk ke dalam rumah. Bungkusan buah ditentengnya dengan gembira.

Pratiwi mengambil belanjaan dari keranjang sepedanya, dibawanya masuk ke rumah.

“Ini jam berapa Wi, kenapa kamu baru pulang?”

“Sepulang dari bekerja, Pratiwi belanja Bu. Untuk kebutuhan rumah. Ini ada makanan buat Ibu. Nanti Ibu akan Tiwi buatkan kopi kesukaan Ibu.”

“Kamu sudah punya uang?”

“Kebetulan, sudah menerima gaji Bu.”

“Syukurlah. Jangan lupa menyisihkan untuk biaya sekolah adik kamu.”

“Iya Bu, Tiwi sudah tahu. Tiwi akan ganti baju dulu, lalu membuatkan kopi untuk Ibu. Kemudian Tiwi ingin memasak untuk makan malam kita.”

“Wah, sudah lama tidak mendengar suara kamu senyaring ini. Pasti kamu senang bisa belanja macam-macam.”

“Iya Bu,” jawab Pratiwi sambil menata belanjaan di meja dapur.

“Jeruknya manis sekali,” teriak Nano yang tak sabar sudah mengupas jeruk dan melahapnya.

“Nano, kalau makan sambil duduk dong. Masa makan sambil jalan begitu.”

“Iya Mbak, maaf.”

***

Ardian dan Roy terkejut, mendengar Pratiwi memilih bekerja dan meninggalkan pekerjaannya menjual sayur. Mereka teringat tawaran Ratih waktu itu tentang pekerjaan di kantor temannya, yang ternyata adalah milik Sony.

“Apakah Pratiwi bekerja di sana?” tanya Roy.

“Entahlah, aku belum sempat menemuinya dalam waktu hampir sebulan ini, karena pekerjaan di kantor cukup menyita waktu, dan kita selalu pulang malam.”

“Aku pernah menanyakannya pada Ratih, tapi Ratih juga tidak tahu. Hanya saja Pratiwi pernah menanyakan tentang pekerjaan itu, lalu Ratih berterus terang bahwa perusahaan itu milik Sony. Harusnya Pratiwi mundur kan, Ratih juga sudah mengingatkannya, agar Pratiwi tak usah menerima tawaran itu.”

“Berarti dia bekerja di tempat lain. Syukurlah kalau itu membuatnya nyaman,” kata Ardian.

“Hari Minggu ini coba temui dia, karena aku ada janji dengan Ratih.”

“Iya, aku sudah tahu. Baik, aku akan menemuinya. Semoga saja pekerjaan itu benar-benar pekerjaan yang akan membuatnya senang dan dia akan baik-baik saja.

“Kalau dia mau menjalaninya, dan sudah sebulan ini, berarti pekerjaan itu membuatnya nyaman.”

“Entahlah, bukankah setiap pekerja harus melalui masa percobaan selama tiga bulan? Belum tentu juga dia kerasan.”

“Iya sih.”

“Tapi bagaimanapun, yang terbaik adalah menanyai dia.”

***

Malam itu bu Juwono menemani Ratih yang sedang menonton televisi sambil mengunyah cemilan yang disediakan simbok.

“Tih, boleh ibu bertanya?” tanya ibunya tiba-tiba.

“Ya, ada apa?”

“Apa kamu serius, dekat dengan Roy?”

“Serius bagaimana sih Bu, kami hanya berteman.”

“Tidak. Menurut ibu, itu lebih dari pada teman. Dulu Roy juga berteman sama almarhumah kakak kamu, tapi tidak pernah bepergian berdua, apalagi sesering yang kamu lakukan.”

“Menurut Ibu bagaimana? Apakah Ibu keberatan seandainya Ratih pacaran sama mas Roy?”

“Kamu itu sudah dewasa, jangan lagi sekedar pacaran. Pacaran itu sering hanya main-main, dan belum tentu serius. Ibu ingin kamu memilih teman yang serius memacari kamu, artinya serius untuk nanti akan menikahi kamu. Ibu tidak suka pacar-pacaran begitu.”

“Iya Bu, Ratih mengerti. Apakah menurut Ibu mas Roy itu baik?”

“Kok tanya sama Ibu, kamu dong yang menilai. Kan kamu yang sering ketemu, jalan-jalan.”

“Menurut Ratih, dia baik. Tadinya Ratih kurang suka, karena dia sepertinya galak, begitu. Tapi dia penuh pengertian. Jadi kalau dia cinta sama Ratih, Ratih akan menerimanya. Bagaimana menurut Ibu?”

Ratih dan ibunya memang begitu dekat. Sebagai anak bungsu, sang ibu selalu mengajaknya berbincang tentang banyak hal, sehingga Ratih tak pernah menyembunyikan apa yang ada di dalam hatinya. Itu sebabnya dia berterus terang tentang perasaannya kepada Roy.

“Sejauh ini ibu melihatnya baik.”

“Terima kasih Bu. Senang Ratih mendengarnya. Besok Minggu kami juga akan jalan bersama, Ibu boleh tanya sama dia, bagaimana perasaannya sama Ratih.

“Baiklah, nanti akan ibu tanyakan.”

Ratih memeluk ibunya, dan merasa senang.

***

 Susana sampai di Jakarta menjelang sore. Ia masih bertemu Sony dan berbincang tentang pekerjaan yang harus ditanganinya. Rupanya Sony sudah mempersiapkan semuanya, sehingga Susana merasa seperti sangat dibutuhkan untuk menanganinya, sehingga dia mengatakan siap untuk menanganinya.

Malam harinya Susana menginap di hotel yang sudah disediakan, dan merasa senang karena Sony menemaninya. Sony sengaja tidak menanyakan tentang Pratiwi, agar tidak merusak suasana hati Susana, yang dianggapnya cemburu.

Tapi justru Susana yang bertanya, mengapa tidak menanyakan Pratiwi.

“Kamu ini aneh, mengapa kamu bertanya begitu? Bukankah kamu tidak suka kalau aku bertanya tentang dia?”

“Tidak, bukan aku tidak suka. Aku hanya menduga-duga, apa yang sebenarnya ada di dalam hati kamu.”

“Kamu selalu menuduh aku jatuh cinta sama dia kan? Susan … masa selera aku begitu rendah? Dia hanya penjual sayur, udik, dan pastinya kampungan.”

“Dengan seragam kerja, dia punya penampilan berbeda.”

“Berbeda?”

“Dia tampak cantik, anggun, menarik. Kamu pasti suka.”

Sony tertawa. Sebenarnya dia sudah tahu dari salah seorang staf yang diperintahkan untuk memata-matainya, lalu diminta mengirimkan foto Pratiwi saat bekerja. Sony kagum dan benar terpesona, karena Pratiwi tampak berpenampilan berbeda. Bukan tukang sayur yang lusuh dan bau. Bukan anak tukang pijit yang mengantarkan ibunya ke mana-mana. Tapi di depan Susana dia pura-pura tidak tahu.

“Benarkah?” tanyanya sambil tertawa.

“Itu benar. Tapi aku tidak suka kalau kamu_”

“Tidak, jangan khawatir, aku tak akan suka sama dia.”

“Aku tidak ingin kamu mempermainkannya. Dia gadis yang pantas dikasihani.”

“Ya, tentu saja. Pantas dikasihani, itu sebabnya aku membantunya. Bukankah kamu juga mengerti?”

“Hanya membantunya dalam financial, bukan menginginkan yang lain kan?”

“Susan, hanya kamu kesayangan aku.”

Dan Susana tak pernah bisa terus menerus melawannya, karena Sony adalah lelaki yang dipujanya.

Tapi saat sedang berduaan itu, tiba-tiba ponsel Sony berdering. Dari Ratih.

“Ada apa? Kangen ya sama aku?” sapa Sony.

“Kenapa suaramu seperti orang sedang lomba lari begitu? Napas kamu hampir putus kah?”

“Kamu itu jahat atau apa, mendoakan napas aku putus, mati dong aku.”

“Habis, sore-sore begini napasnya ngos-ngosan.”

“Aku tuh orang sibuk, tapi tidak pernah melupakan olah raga, agar aku selalu sehat dan perkasa. Ada apa menelpon?”

“Mau nanya saja, apa mbak Pratiwi jadi bekerja sama kamu?”

“Apa? Kamu baru menanyakannya sama aku? Apa dia tidak cerita sama kamu? Iya lah, itu kan berkat kamu.”

“Ya Tuhan, akan aku suruh dia berhenti.”

“Kenapa kamu itu Tih? Mana bisa berhenti tiba-tiba?”

“Aku akan mencarikan dia pekerjaan lain. Biar gajinya tidak sebanyak yang kamu berikan, tapi itu lebih aman.”

“Memangnya di tempat aku tidak aman?”

“Aku tidak percaya sama kamu, Mas. Biarkan dia pergi.”

“Mana bisa Tih. Dia terikat kontrak.”

“Apa?”

“Ya sudah, tanyakan saja sama dia, aku akan melanjutkan oleh raga aku.”

Dan Sony dengan segera penutup pembicaraan itu.

***

Saat itu Roy sedang berada di rumah Ratih. Sepulang kerja dia langsung ke sana,  hanya untuk menanyakan tentang pekerjaan Pratiwi. Siapa tahu Ratih mengetahuinya. Tapi kemudian Roy terkejut, mendengar penuturan Ratih, setelah Ratih menelpon Sony.

“Jadi benar, dia bekerja di sana? Kenapa kamu tidak melarangnya?”

“Mbak Tiwi tidak bilang apa-apa sampai sekarang, bahkan ketika sudah sebulan dia menjalaninya. Aku jadi menyesal dulu menawarkan pekerjaan itu. Habis mas Sony mendesak terus.”

“Harusnya kamu curiga, mengapa dia mendesak untuk memperkerjakan seseorang. Biasanya yang mengejar tuh yang cari kerja, itu malah sebaliknya. Pasti ada niat dibalik semua itu.”

“Tampaknya mbak Pratiwi juga tidak tahu waktu melamar, soalnya ketika dia menelpon, dia sepertinya sudah terlanjur bekerja. Ia baru menanyakan perusahaan yang aku tawarkan itu milik siapa. Entah bagaimana perasaannya ketika aku beri tahu dia, bahwa itu milik mas Sony. Waktu itu aku juga melarangnya, lebih baik jangan bekerja di situ. Tak tahunya sudah terlanjur.”

“Kalau sudah terikat kontrak, susah untuk berhenti. Harus dengan membayar kerugian yang pastinya berlipat-lipat.”

“Nanti malam aku mau menelpon mbak Tiwi.”

“Tanyakan kemungkinan berhenti, berapa yang harus dibayar.”

“Baiklah.”

***

Hari itu tanpa sepengetahuan Susana, Sony terbang ke kantor cabang. Tentu untuk menemui Pratiwi yang sudah lama diincarnya. Ia turun dari pesawat, dan melenggang dengan wajah riang.

Tapi dia terkejut, ketika mendengar seseorang menyapanya.

“Sony !!”

Sony menoleh dan terkejut melihatnya.

“Kamu pulang? Ini bukan hari libur kan?” tanya Sony.

“Aku mengambil cuti, supaya bisa agak lama di rumah. Heran. Kita satu pesawat, kok aku tidak melihatmu tadi?”

“Iya, tidak mengira kita bisa satu pesawat, tapi baru sadar ketika sudah turun.”

“Mereka berjalan berdampingan dan berbincang akrab. Laki-laki penyapa itu adalah Bondan.

***

Besok lagi ya.

 

39 comments:

  1. 🌸🍃🌸🍃🦋🍃🌸🍃🌸
    Alhamdulillah SB 26 telah
    hadir. Matur nuwun Bunda
    Tien. Semoga sehat selalu
    dan tetap smangaaats...
    Salam Aduhai...
    🌸🍃🌸🍃🦋🍃🌸🍃🌸

    ReplyDelete
  2. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah tayang.

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Matur nuwun mbak Tien

    ReplyDelete

  5. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~26 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 26 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu.  Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah SB-26 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah mksh Bu Tien salam sehat selalu

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah ... terima kasih Bu Tien.
    Semoga Pratiwi ada yg melindungi entah itu Ardian atau Bondan.....
    Salam sehat selalu Bu Tien

    ReplyDelete
  11. Terimakasih bunda Tien cantik, salam sehat selalu ❤🌹❤

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah ... trimakasih bu Tien ... semoga selalu sehat

    ReplyDelete
  13. Kehebohan Ratih dan Roy membicarakan dimana Pratiwi bekerja; bener bener bikin curiga Roy bahkan lebih, mana gaji yang diterima nggak selayaknya, biasanya yang butuh itu pekerja, ini kelihatan sekali kalau ada sesuatu yang mengikat pakai perjanjian kerja lagi, waduh biasanya kalau itu putus kontrak pakai berlipat-lipat kembaliannya.
    Nah ini kesempatan; Ratih yang sewot sama Sony dan sama sekali tidak percaya dipastikan ada maksud dibalik itu, Bondan yang datang bisa di pasti kan ingin ketemu Pratiwi, bisa malah sekalian lihat kantor cabang milik Sony nggak tahu kalau Pratiwi kerja di kantor nya Sony, semakin panas hati Sony, gara gara kalau Pratiwi ngomong sama Bondan beda, lebih enjoy dibandingkan kalau bicara sama dia, sama bos gitu lho.
    Ya beda tå yå wong kok seneng banding bandingké.
    Trus Ardian gimana nich, apa mau dijadikan pelengkap penderita.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke dua puluh enam sudah tayang
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga yang tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, matur nuwun buTien.
    Semoga bu Tien tetap sehat dan selalu dlm lindungan Allah SWT. Aamiin

    Seru n aduhaiii nih

    ReplyDelete
  15. Trims Bu Tien...sudah menghibur...salam sehat selalu

    ReplyDelete
  16. Duh..akhirnya Pratiwi sama Ardian , Bondan apa Soni ya?
    Yg penting Pratiwi selamat dan bahagia.
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu. Aduhai

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah telat buka tayangan, semoga MB Tien Kumalasari sehat2, Tiwi terhindar dari godaan Sony

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matursuwun buTien.
    Salam sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 47

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  47 (Tien Kumalasari)   Tumenggung Ranu tercengang. Tongkat penyangga tubuhnya masih mengambang di udara, s...