JANGAN PERGI 33
(Tien Kumalasari)
Bu Cipto heran, Radit tak mengerti tentang kiriman
rendang yang tadi dibawa Ratri.
“Nak Radit, tadi kan Ratri ke rumah nak Radit,
mengirimkan rendang yang tadi saya masak bersama bu Tijah. Katanya itu kesukaan
nak Radit. Kok nak Radit malah belum tahu?”
Radit kemudian mengerti, pasti Ratri ke rumah, tapi
ibunya tidak mengatakannya sama dia, trus barangkali juga rendang itu belum
sempat dia makan karena dia kan begitu datang, setelah mandi lalu mengantarkan
ibunya, lalu langsung ke rumah bu Cipto.
“Oh, iya Bu, saya belum tahu, soalnya ketika saya
pulang lalu mengantarkan ibu ke dokter, lalu sesampai di rumah, saya langsung
datang kemari.”
“Oh, berarti nak Radit belum sempat makan di rumah ya,
pantesan seperti tidak mengerti, dan ibu juga belum sempat memberi tahu karena
sakit. Oh ya, ibu sakit apa Nak? Mengapa ke dokter?”
“Tidak sakit Bu, hanya kontrol. Tapi sampai malam baru
pulang, soalnya belum daftar sejak awal, jadi dapatnya nomor belakangan. Itu
sebabnya saya kemari malam-malam. Maaf ya bu, karena keburu ingin tahu keadaan
bu Tijah, sementara menelpon Ratri kok ponselnya mati, saya jadi khawatir.
“O, mungkin sedang kangen-kangenan sama saudaranya dan
ibu kandungnya, jadi ponselnya dimatikan, takut terganggu.”
“Iya Bu, syukurlah semua baik-baik saja. Dan bu Tijah
sudah mau memasak bareng Ibu.”
“Tadi belanja ke pasar, terus pulangnya masak
rame-rame berdua. Ya itu tadi masak rendang yang kemudian Ratri mengirimkannya
ke rumah. Sayang Nak Radit belum mencicipinya.”
“Nanti sesampai di rumah akan saya habiskan Bu,
soalnya saya juga belum makan sejak
siang.”
“Kasihan Nak, lha sekarang makan di sini ya,
rendangnya masih ada kok. Ibu siapkan ya?”
“Tidak Bu, nanti rendang yang di rumah, siapa yang
makan? Saya pamit saja sekarang, jadi kepengin segera makan rendangnya,” kata
Radit sambil berdiri.
“Bener nih, nggak mau makan di sini?”
“Terima kasih Bu, seperti tadi saya katakan, kalau
saya makan di sini, kasihan rendang yang di rumah,” katanya sambil meraih
tangan bu Cipto.
“Ya sudah, hati-hati ya Nak.”
“Ibu segera tidur ya, sudah malam nih.”
***
Sesampai di rumah, Radit melihat kamar ibunya sudah
tertutup, dan lampu ruang tengah sudah dimatikan. Ia yakin ibunya sudah tidur,
dan ia tak tega membangunkannya.
Radit melangkah ke belakang, melihat pembantunya masih
duduk sambil menikmati kopi, di meja dapur.
“Bibik belum tidur?”
“Pak Radit belum datang, juga belum makan, jadi bibik
belum bisa tidur.”
“Baiklah Bik, aku mau makan sekarang, siapkan ya, aku
ganti baju dulu,” kata Radit sambil naik ke atas, langsung membersihkan diri
dan ganti baju rumahan.
Ketika turun, dilihatnya bibik sudah menunggu, duduk
di kursi kecil di sudut ruang makan. Kursi yang selalu digunakannya untuk duduk
setiap menunggui ibunya dan juga dirinya saat makan.
Radit duduk, menatap semua lauk yang ditata si bibik.
“Mana rendangnya bik?”
Bibik berdiri.
“Apa pak? Rendang? Memangnya ibu tadi menyuruh bibik
memasak rendang? Tidak tuh, hanya sambel goreng ati dan ca udang.”
“Lhoh, kan tadi Ratri ke sini membawa rendang?”
Si bibik heran.
“Kok bibik nggak lihat non Ratri ke sini ya? Mungkin
hanya ketemu ibu di depan.”
“Tadi Ratri ke sini membawakan rendang untuk aku, Bik.”
Bibik berjalan ke arah kulkas, barangkali bu Listyo
meletakkannya di dalam kulkas agar tidak basi. Tapi dia mengubres seisi kulkas,
tidak ada sayur apapun yang tampak di sana.
“Ada Bik?”
“Kok tidak ada ya, di mana ibu meletakkannya?”
Bibik berjalan ke arah depan, barangkali majikannya
meletakkan di meja depan, lupa membawanya masuk karena terburu-buru pergi ke
dokter, tadi. Tapi tak ada makanan di seluruh meja, baik di teras, di ruang
tamu maupun di ruang tengah.
Kok tidak ada ya Pak?”
“Tidak ada?”
“Bibik sudah mencari di seluruh tempat, tidak ada
rendang yang bibik temukan. Kalau pak
Radit ingin, besok bibik akan memasaknya.”
“Tidak. Tidak usah Bik, ya sudah, aku mau makan
seadanya ini saja.”
Radit membalikkan piring, mengisinya nasi dan
mengambil lauknya. Radit merasa sangat lapar. Dia melahap makan malamnya, tapi
dengan pikiran ke arah rendang yang dibawa Ratri ke rumah.
“Ibu meletakkannya di mana ya, apa mungkin di kamar
Ibu? Kalau tidak dipanasi, basi nggak ya. Tapi masa sih, rendang di simpan di
kamar?”
“Radit menghabiskan makan malamnya, kemudian beranjak
ke ruang tengah. Ia melewati kamar ibunya yang tertutup. Radit mendekati kamar,
mencoba membukanya, tapi kamar itu terkunci.
Radit menghela napas berat, lalu melangkah naik ke
atas, untuk beristirahat di kamarnya.
“Besok saja aku tanyakan rendang itu. Masa sih, dihabiskan sendiri oleh ibu. Dan kalau ibu memakannya, mengapa bibik sampai tidak
tahu?” gumam Radit sambil mengunci pintu kamarnya.
***
Bu Tijah turun dari pembaringan, membiarkan dua anak
perempuannya masih terlelap. Semalam mereka berbincang dan bercanda, sampai larut.
Tak heran biarpun terdengar ayam berkokok,
keduanya masih terlelap.
Tapi Tijah sudah biasa bangun pagi. Ia menuju dapur
dan menyalakan kompor untuk menjerang air.
Ketika di rumah bu Cipto, bu Cipto selalu mengingatkannya
tentang saat beribadah, jadi kemudian dia mengambil air wudhu dan menjalankan shalat subuh.
Ketika kemudian Ratri bangun, ia terkejut ketika
membuka jendela, melihat alam telah tampak benderang. Ia melihat ke arah jam
dinding, sudah jam setengah enam. Ia bergegas ke kamar mandi dan melaksanakan
shalat.
Listi mencium bau kopi memenuhi kamarnya, dari pintu yang
sedikit terbuka. Ia menggeliat dan mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi.
Tampaknya pagi ini ada yang berbeda. Bu Sumini tidak tidur di rumahnya, tapi
seperti ada kesibukan di dapur. Listi melemparkan selimut, lalu bergegas ke
belakang.
“Selamat pagi Non Listi,” canda Ratri sambil membawa
baki berisi tiga cangkir kopi ke ruang tengah.
“Kenapa kamu tidak membangunkan aku? Jelek!” kata
Listi pura-pura marah.
“Aku juga baru bangun, tahu.”
“Kopi ini siapa yang bikin?”
“Ibu. Ibu yang bangun lebih dulu.”
Listi tersenyum lebar, dilihatnya ibunya datang dari
arah belakang, tampak sudah rapi dan cantik.
Listi menatap kagum. Ia baru sadar, sesungguhnya
ibunya memang cantik. Ia teringat ketika memaki-makinya, saat ibunya datang
mengunjunginya di rumah sakit, dengan pakaian kumuh dan sedikit bau.
“Ibu duduk di samping Listi, ya,”
Katanya sambil menarik ibunya agar duduk di sampingnya.
Ratri sudah mendahului menghirup kopinya.
“Hm, kopi buatan ibu enak sekali.”
“Aku tadi mau masak untuk sarapan, tapi tak ada apapun
yang bisa dimasak. Hanya ada sedikit beras di dalam panci,” kata Tijah.
Listi tertawa.
“Ada juga telur tiga biji,” lanjutnya.
“Maaf Bu, Listi tidak pernah memasak. Hanya
kadang-kadang kalau bibi Sumini ada, maka Listi biasa dibuatkan nasi goreng.
Itupun bibi seperti sudah tahu, kalau di kulkas harus selalu ada bumbu nasi
goreng dan udang, serta telur.”
“Pantesan,”
“Kita jalan-jalan saja yuk, beli nasi
liwet,” ajak Listi.
“Aku tidak usah ikut, aku harus
segera mandi dan berangkat kerja,” kata Ratri.
“Begini saja, kamu segera mandi, aku antar masuk kerja, sekalian makan di jalan. Nggak lama kok.”
“Baiklah, aku mengajar jam ke dua.
Sekarang aku mau mandi dulu. Kamu nggak mandi? Apa kamu biasa bangun tidur
langsung menghirup kopi?” tegur Ratri.
“Iya, lalu aku harus ngapain. Sebelum
aku bangun bibi Sumini sudah datang membersihkan rumah dan membuat kopi untuk
aku.”
“Besok bangunlah lebih pagi, dan
lakukan shalat. Bukankah semalam aku sudah bilang begitu?”
“Oh iya, aku lupa.”
“Lain kali tidak boleh lupa ya Mbak,
juga di saat-saat harus shalat lainnya.”
“Nanti bareng ibu. Ibu juga baru saja
melakukannya,” sambung Tijah.
“Baiklah Bu, sekarang Ratri biar mandi
dulu, aku mandinya nanti kalau sudah pulang dari mengantarkan kamu ke sekolah.”
“Apa? Mandi nanti?” pekik Ratri.
“Aku tuh kalau mandi lama, berendam
satu jam belum tentu selesai, nanti kamu terlambat.”
Ratri merengut.
Mulai sekarang mbak Listi harus
membiasakan diri untuk bangun lebih pagi, mandi secukupnya, dan ibadah jangan
lupa.”
Listi merengut. Pasti susah bangun
pagi, karena tidak biasa. Tapi dia berjanji akan belajar mengikuti kata-kata
adiknya.
***
Radit sudah bangun dan mandi, siap
berangkat ke kantor, sebelum ke rumah sakit. Dilihatnya ibunya sudah duduk di
ruang tengah, menghirup kopi dan menikmati acara televisi.
“Bu, kemarin Ratri kesini bukan?”
tanya Radit membuat bu Listyo terkejut.
“Kenapa?”
“Ratri membawa rendang kesukaan saya.”
“Oh, dia sudah mengadu sama kamu?”
Radit mengerutkan alisnya. Ucapan
ibunya tanpa menatapnya, terdengar seperti nyinyir dan tidak suka.
“Apa maksud ibu dengan ungkapan ‘mengadu’
?”
“Semalam kamu sudah ketemu dia, dan
mengadu tentang rendang itu?”
“Radit bahkan belum ketemu dia.
Ibunya memasak rendang dan teringat bahwa itu kesukaan Radit. Ibu letakkan di
mana rendang itu? Semalam Radit ingin memakannya, tapi bibik tidak menemukannya,” kesal Radit.
“Ibu suruh bawa pulang rendang itu.”
“Apa?” pekik Radit.
“Ibu tidak suka rendang, biasanya
pedas, sedangkan ibu tidak boleh makan yang pedas-pedas, apalagi tidak suka
juga.”
“Tapi itu maksudnya untuk Radit Bu,
lagian sangat menyakitkan mengembalikan pemberian yang susah-susah dibawakan.
Apa tidak bisa diterima saja, walaupun tidak suka memakannya? Ibu hanya ingin
menyakitinya kan?”
“Radit, karena gadis itu kamu jadi
berani mengomeli ibu,” kata bu Listyo marah.
“Mengapa tiba-tiba ibu membenci
Ratri? Apa salah dia Bu?”
“Salah dia adalah, bahwa dia terlahir
dari seorang wanita yang kurang waras.”
“Dia tidak gila Bu, dia wanita baik
yang menjadi korban ketidak adilan.”
Bu Listyo diam, dia berdiri untuk
meninggalkan anaknya yang sedang marah, tapi Radit mendahuluinya melangkah
keluar, setelah mengambil tas kerjanya di atas meja.
“Radit. Sarapan dulu!” teriak bu Listyo.
Radit tak menjawab. Ia sangat kesal,
ibunya telah menyakiti Ratri. Ia masuk ke dalam mobilnya kemudian memacunya keluar
dari halaman.
Bu Listyo mengusap air matanya.
“Aku hanya ingin yang terbaik untuk
kamu Dit, kamu satu-satunya anakku.”
Bu Listyo seperti tidak tahu, bahwa
Ratri adalah gadis terbaik yang dipilih Radit, yang akan dicintainya sampai
kapanpun.
***
Radit uring-uringan di kantornya.
Semua pekerjaan stafnya dianggapnya tak beres semua. Kesalahannya dicari-cari,
hanya karena ingin melampiaskan kekesalan yang tak bisa sepenuhnya ditumpahkan
kepada ibunya.
Lalu karena letih, dia bersandar di
sofa. Kemudian meraih ponselnya, dan mencoba menelpon Ratri. Untuk kesekian
kalinya dia tak berhasil. Ratri belum menyalakan ponselnya sejak semalam. Radit
kemudian menyesal telah menghapus nomor kontak Listi. Kalau tidak, dia pasti
bisa bertanya padanya.
“Pasti Ratri sedang mengajar. Tapi
nanti aku akan menemuinya di rumah Listi. Barangkali dia masih ingin bersama Ibu
dan kakaknya yang belum lama ditemukannya,” gumam Radit.
Radit berusaha menenangkan
pikirannya, agar bisa fokus dengan pekerjaannya.Tiba-tiba dia teringat Dewi,
kepala sekolah dimana Ratri mengajar. Senyumnya mengembang.
“Bu Dewi pasti bisa menghubungkannya.”
“Hallo, ini pak Radit?”
“Iya bu Dewi, ini saya.”
“Tumben menelpon kemari, ada apa nih?”
“Bisa bicara sama Ratri nggak Bu,
hanya sebentar.”
“Oh, maaf pak Radit, bu Ratri sedang
mengajar. Bagaimana kalau pak Radit menelpon satu jam lagi?”
“Satu jam lagi ya?”
“Iya Pak, maaf,”
Radit menutup pembicaraan itu dengan
kecewa. Memang salah dia sih, mengapa menelpon disaat jam mengajar?
Radit tak ingin kembali kecewa. Satu
jam lagi belum tentu Ratri sudah selesai, lalu dia memutuskan untuk pergi saja
ke rumah Listi.
***
Radit memasuki halaman rumah Listi. Ada mobil diparkir di halaman. Tampaknya milik Listi, karena tidak ada tanda-tanda
bahwa ada tamu di rumah itu.
Radit terus melangkah mendekati
rumah, lalu memencet bel tamu. Ini sudah jam dua lebih, ia yakin Ratri sudah
pulang dari mengajar.
Pintu rumah itu terbuka, Listi menyembul
dari dalam.
“Kamu?” pekik Listi tak senang.
“Listi, apakah aku bisa menemui
Ratri? Bukankah dia ada di sini?”
“Benar, dia ada. Tapi aku melarang
kamu menemuinya.”
“Mengapa Listi, aku ingin ketemu
sebentar saja.”
“Tidak bisa! Sekali tidak bisa ya
tidak bisa.”
“Listi, ingatlah bahwa hubungan kita
sudah berakhir, aku mencintai Ratri.”
“Apa maksudmu? Kamu kira aku melarang
kamu, karena aku cemburu? Tidak. Aku menyayangi Ratri, dan aku tak akan
membiarkan dia disakiti.”
Lalu Listi menutup pintunya keras,
membiarkan Radit terkejut.
***
Besok lagi ya.
Horé JP 33 udah tayang
ReplyDeleteMksh bunda Tien
Selamat jeng Iin.
DeleteWaktu aku sampai depan pintu blm ada yang datang, makanya saya tulis MANA KOK GAK ADA???
Matur nuwun bu Tien
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang
ReplyDeleteMana kok gak ada???
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeletealhamdulillah🙏
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~33 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
🦋🌻🍀 Alhamdulillah JP 33 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah matur suwun Bu Tien salam sehat selalu....🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah,jP 33 sudah hadir ,terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteMatur .Nuwun
ReplyDeleteTrimakasih ... alhamdulillah
ReplyDeleteWaaah... kerreen... terima kasih mbu Tien...
ReplyDeleteAlhamdulilah ...terima kasih bu tien.. salam sehat
ReplyDeleteTrima kasih Bu Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Salam sehat dan aduhai selalu
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat dan Aduhai dari mBantul
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam seroja, nan kejora nggih..
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat dan Aduhai dari Cilacap
ReplyDeleteWaaww jadi listi memenangkan ratri
ReplyDeleteKompak ya kakak beradik
Radit mestinya mempertemukan ibunya dengan ibunya Ratri. Tapi Bu Tijah harus berpenampilan yang baik, Rapi.
ReplyDeleteJangan lupa, bu Cipto juga sering dijenguk, orang yang telah berjasa besar.
Hallo bu Dewi, gimana kabar masnya...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah...
ReplyDeleteSekarang Radit benar2 pusing...
ReplyDeleteSemoga ada jalan untuk dekat kembali Radit-Ratri...
Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem...
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu
Cinta memang butuh perjuangan...
ReplyDeleteSemangat terus Radit, jangan kendor berdo'a, meminta kepada pemilik cerita supaya hati ibumu Lumeerrr lagi..
🤗🤗🤗🤗
Radit bingung cari rendhang nya Ratri.
ReplyDeleteSampai ingin tahu kerumah Listi.
Keren kakak pertama Listi bener-bener mau melindungi adek Ratri keren. Galak tau.
Kakak tua nggak mau adeknya disakiti hatinya.
Hé hé hé hé, episode pemblokiran serantang rendhang membikin berang sampai semua karyawan kebagian efek samping.
Kan lagi acara rekonstruksi pamili, krandah Sukur, jadi pemasangan barikade diperketat, Ratri ganti nomêr ponsel apa nggak ya, sayang donk entar diganti malah dibocorin Dewi lagi, Bu Cipto juga bingung mau menghubungi Ratri nanti.
Enggaklah Bu Cipto masih asyik belanja di pasar tradisional sambil jalan-jalan pagi menikmati kesendirian, merasa puas bisa mempertemukan Ratri dengan ibu kandung nya.
Listi jadi sopir antar jemput Ratri, full waskat.
Radit mumet, nggak tahu sampai kapan konfrontasi ini berakhir.
nglenthung.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke tiga puluh tiga sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah JP 33 sdh tayang
ReplyDeleteSemakin seru ceritanya
Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Kisahnya selalu menarik...
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss,
Trims Bu Tien dan sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMakasih mba Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Ratri sdh tayang..
Semoga bunda sehat" selalu..
Telp Ratri aja skrg .. ayo Radit perjuangkan cintamu..
ReplyDeleteTks bunda Tien ceritanya tambah penasaran...
Telp Ratri di matikan Listy hanya marah dgn perlakuan bu Listyo
ReplyDelete