JANGAN PERGI 30
(Tien Kumalasari)
Bu Sumini tertegun. Ia sangat mengenali kotak kayu
itu. Ia tahu didalam kotak itu adalah sesuatu yang sangat berarti bagi Listi.
Ia ingin mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba Listi menghardiknya.
“Tunggu apa lagi Bik? Buang saja. Itu kan pakaian
bayi. Pakaian aku waktu masih bayi kan? Mengapa tidak dibuang saja?
Menuh-menuhi almari aku saja.”
“Non, jangan Non, ini jangan dibuang,” katanya sambil
mengulurkan kembali kotak itu ke hadapan Listi.
“Apa maksudmu Bik? Aku tidak mau menyimpannya. Untuk
apa? Satu, itu barang yang sudah usang, dua … untuk apa? Aku bukan bayi lagi.
Apa-apaan sih Bik. Sudah, jangan membuat aku kesal, aku sedang membersihkan
lemari aku nih, barang-barang yang tidak terpakai harus dibuang.
“Non, tapi di dalam kotak ini ada_”
“Ada baju bayi sepasang. Hanya sepasang. Apa sih
maksudnya di simpan di almari?”
“Kecuali sepasang baju, juga ada suratnya Non.”
“Surat apa?”
“Sepertinya surat dari almarhumah ibu Non,.”
“Surat dari ibuku? Ibu sama aku kan tinggal serumah,
untuk apa surat-suratan? Kalau ingin sesuatu kan bisa bilang, lebih jelas,”
Listi mengeluarkan lagi baju-baju yang sudah tidak dipakai.
“Bik, bukankah tadi bibik aku suruh masak nasi goreng?
Kok malah duduk ngelesot di situ? Cepat selesaikan masaknya, sekalian buang
kotak itu ke tempat sampah,” katanya dengan marah.
“Nasi gorengnya sudah matang Non, baru mau saya tata
di meja makan, Non memanggil saya.”
“Oh, baiklah kalau begitu, ini aku tinggal saja dulu,
aku lapar dan pengin nasi gorengnya. Setelah itu bibik bantu aku bersih-bersih
ya,” kata Listi sambil melangkahi bu Sumini yang masih duduk, bergegas keluar
kamar. Bu Sumini mengikutinya, sambil membawa kotak kayu itu. Terlebih dulu dia
meletakkan nasi goreng yang sudah selesai dimasaknya, di meja makan, karena
Listi sudah mencuci tangannya di wastafel dan siap duduk di kursi makan.
Listi duduk, hidungnya mengendus-endus diatas sepiring nasi goreng yang sudah siap
di depannya.
“Hm, baunya enak,” katanya langsung menyendok nasi
gorengnya.
“Kamu tahu Bik, satu-satunya masakan kamu yang aku
suka hanyalah nasi goreng ini. Selebihnya, aku lebih baik makan di restoran.”
Bu Sumini diam. Tiba-tiba Listi berteriak.
“Bik, mengapa kotak itu Bibik taruh di meja? Disuruh buang, malah seperti menyimpan barang berharga saja,” omelnya.
Bu Sumini mengambil kotaknya, lalu di letakkannya di
atas pangkuannya. Ia merasa, sekarang lah saatnya Listi harus tahu, apa artinya
pakaian bayi itu bagi dirinya.
“Bibik mau punya bayi? Dan pakaian itu mau dipakai
Bibik untuk dipakai bayi Bibik?” ejeknya.
“Non makan saja dulu, nanti tersedak kalau sambil
bicara,” tukas bu Sumini kesal.
Bu Sumini bisa menunggui Listi di rumahnya dari
semalam, karena anaknya sedang liburan dan ikut simbahnya di desa. Sedangkan bu
Sumini sendiri terbebani oleh pesan Dian yang harus menjaga Listi dengan baik,
mengingat keadaannya waktu itu. Padahal sekarang Listi sudah benar-benar
normal, menurut dokter di rumah sakit yang merawatnya.
Listi sudah menghabiskan sepiring nasi goreng yang
disiapkan bu Sumini, lalu menyendok lagi yang ada di dalam basi yang masih
tersisa.
“Aku takut gemuk sebenarnya, tapi aku masih lapar,”
gumamnya.
Bu Sumini mendiamkannya.
“Bukankah perempuan gemuk itu buruk dipandang mata?
Aku langsing dan cantik saja, suamiku menceraikan aku, coba kalau aku gendut,
jelek, pasti aku sudah dicerai sejak awal menikah,” omelnya, yang membuat bu
Sumini khawatir, majikan yang sebenarnya keponakannya ini kumat lagi.
“Kalau hanya karena dua piring nasi goreng saja, tidak
bakalan menjadi gemuk, Non. Non tetap cantik kok.”
Listi tersenyum senang. Perempuan mana yang tidak suka
dibilang cantik?”
“Sudah Bik, ternyata aku tidak habis. Kirain masih
sanggup menghabiskan,” kata Listi sambil meraih jus jeruk yang disiapkan bu
Sumini.
Lalu Listi berdiri, dan beranjak kembali ke kamarnya.
Bu Sumini mengikutinya sambil membawa kotak kayu itu.
Listi duduk di ruang tengah, menyalakan televisi.
“Mengapa mengikuti aku Bik? Urusan dapur sudah
selesai? Hei, kamu masih membawa-bawa kotak itu lagi? Ya sudah, bawa saja
pulang kalau Bibik mau mengambilnya.
“Non, kotak ini bukan hanya berisi pakaian bayi. Ini
ada suratnya,” kata bu Sumini sambil mengeluarkan amplop yang sudah kusam, dan
di ulurkannya kepada Listi.
“Apa sih Bik? Berisi uang bukan? Tipis begitu,
kalaupun uang pasti sedikit. Paling selembar.”
“Surat Non, ini surat untuk Non.”
“Dari siapa? Mengapa di taruh didalam kotak?”
“Itu dari almarhumah ibu, untuk Non. Kan tadi saya sudah
bilang.”
“Ibu memang aneh ya, mengapa hidup serumah pakai
surat-suratan?” katanya sambil menerima amplopnya dengan jari-jari tangannya,
seakan jijik memegang amplop kumal yang sudah berumur puluhan tahun itu.
“Surat itu dibuat saat Non belum lama lahir.”
“Apa? Bagaimana Bibik bisa tahu?”
“Karena saat membuat kotak dan memasukkan baju bayi
itu, bibik diberi tahu oleh almarhum ibu.”
“Aneh. Apa sih isinya?” lama-lama Listi penasaran
juga. Perlahan dia membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Memang sebuah surat.
Listi membukanya.
“Bayi mungilku, ibumu memberi nama kamu Listiani.
Kelak, pada suatu hari, kalau kamu sudah dewasa, kamu pasti akan menerima surat
ini, dan membacanya. Aku menyayangi kamu,
begitu pertama kali menatap wajahmu. Kamu cantik dan berkulit putih
bersih. Jadilah anak kesayangan di keluarga ibu.
Tapi ada sebuah rahasia yang perlu kamu tahu. Oh ya,
kamu lahir pada tanggal 20 Maret tahun 1990, dari rahim seorang wanita yang
pantas dikasihani, berwajah cantik, tapi memelas, nasibnya buruk dan teraniaya,
bernama Sutijah.”
Listi berhenti membaca dan berteriak kaget.
“Apa? Aku dijual oleh dia?” tapi Listi meneruskan
membaca, dengan tangan gemetar.
“Wanita itu bukannya menjual kamu, ia hanya ingin kamu
mendapatkan kehidupan yang layak, sementara ibumu tak mampu merawatmu karena
hidupnya yang menderita. Ibu hanya membayar biaya persalinan yang tak mampu
dibayarnya, kemudian dia mengijinkan membawamu pulang.
Kelak, kalau kamu bertemu dia, kamu harus
menghormatinya, menyayanginya, karena dia mengorbankan penderitaannya sendiri dengan
kehilangan anak, demi memberi kamu hidup layak dan berkecukupan.
Ingat pesan ibu ini Listi, jadilah gadis baik yang
penuh kasih sayang, terlebih kepada ibu yang telah melahirkanmu. Kasihilah dia,
karena dia telah berkorban begitu besar untuk kamu.
Dari ibu yang mencintaimu,
Sartini Suroto.
Listi mendekap surat itu di dadanya. Berbagai perasaan
berkecamuk di dalam hatinya. Seperti mimpi ia membaca surat itu, dan menyadari
bahwa dia bukan anak kandung keluarga Suroto yang sangat menyayangi dan
memanjakannya.
Ia teringat wanita kumuh bernama Sutijah yang tampak
kurang waras, mendatanginya dan mengatakan bahwa dirinya adalah anaknya, lalu dia memakinya sebagai orang gila. Dia
benar-benar ibunya? Dia yang berharap hidupnya bergelimang kasih sayang, harta
dan kemanjaan di keluarga kaya raya bernama Suroto?
Tangis Listi pecah. Ia merasa dirinya begitu kecil,
hanya seorang wanita miskin yang hidupnya teraniaya, tapi dia begitu sombong
dan merasa diri paling hebat dan paling berkuasa. Semua harus tunduk padanya,
karena dia memiliki segalanya.
Bu Sumini merasa iba, sekaligus bersyukur, karena
sepucuk surat kumal itu berhasil membuka pintu hati Listi agar mau menyadari
keadaannya yang sebenarnya. Menyadari dari siapa dia terlahir didunia ini. Bu
Sumini beringsut mendekati Listi yang menangis sambil menutupi wajahnya dengan
kedua belah tangannya.
Dengan lembut bu Sumini mengelus punggungnya, lalu Listi
menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Bu Sumini.
“Katakan di mana wanita itu Bik, katakan di mana dia,
aku akan membawanya kemari, mengajaknya hidup berbahagia di samping aku Bik.
Katakan di mana dia,” tangisnya di dada bu Sumini.
***
Bu Sumini kebingungan. Listi menyuruhnya pergi untuk
mencari Dia tahu Sutijah pergi bersama
Ratri ke rumahnya, tapi dia tidak bertanya di mana rumah Ratri. Sejak kemarin
dia belum pulang ke rumahnya, dan dia mengira pasti Sutijah menginap di sana.
“Di mana ya rumah Ratri? Bodohnya aku, kenapa tadi
tidak menanyakannya. Kalau pak Radit pasti tahu, tapi di mana rumah pak Radit?”
gumam bu Sumini.
Bu Sumini belum mengatakan apa-apa tentang keberadaan
bu Sutijah yang kemungkinannya masih ada di rumah Ratri. Ia juga belum
mengatakan bahwa Ratri juga anaknya Sutijah. Ia tak ingin Listi lebih terbebani
dengan kenyataan yang baru saja di ketahuinya tentang wanita yang
melahirkannya. Tapi rupanya Listi tak sabar menunggu. Bu Sumini masih berpangku
tangan memikirkannya, ketika ponselnya berdering.
“Ya Non.”
“Bibik sudah berhasil menemukan ibuku?”
“Belum Non, biasanya dia pulang ke rumah saya, tapi
sampai sekarang dia belum pulang juga.”
“Biasanya pulang ke rumah Bibik? Memangnya dia itu
siapanya Bibik?”
“Sebenarnya, yu Tijah itu sepupu saya Non.”
“Apa? Kamu sepupu ibuku? Jadi … harusnya aku memanggil
bibi?”
“Non kan sudah memanggil saya bibik.”
“Itu kan maksudnya bibik pembantu, bukan bibik karena
saudara orang tuaku.”
Bu Sumini senang. Selangkah Listi sudah bisa menerima
satu kenyataan baru.”
“Bagaimana sekarang?”
“Saya akan ke rumah Non sekarang,” kata Bu Sumini yang bermaksud menceritakan semuanya, setelah
menyadari bahwa Listi tidak banyak menolak semua kenyataan yang dia hadapi.
***
“Kemarin itu, yu Tijah diajak oleh Ratri untuk ke
rumahnya.”
Listi terkejut.
“Ratri siapa? Oh, yang wajahnya mirip aku itu? Mengapa
ibuku mau ikut dia? Karena wajahnya mirip aku?”
“Karena sesungguhnya, Ratri itu juga anaknya yu Tijah,
Non.”
“Apa?”
“Yu Tijah memang mengalami kehidupan yang sangat
buruk. Bayi pertamanya diberikan kepada keluarga Suroto, lalu dia hamil lagi,
yang setelah lahir diambil oleh wanita yang merebut suami yu Tijah, dan yu
Tijah menganggap anaknya mati.”
“Aduh, aku bingung Bik, tolong ceritakan semuanya, dan
tolong juga jangan memanggil saya non Listi, panggil saja Listi, karena Bibi
adalah adik ibuku.”
Bu Sumini tersenyum. Lalu dengan jelas bu Sumini
menceritakan semua yang dialami orang tua Listi, sampai kemarin bisa bertemu
dengan Ratri juga.
Listi kembali menangis. Begitu buruk perjalanan hidup
orang tuanya, terutama ibunya.
“Ayo Bu, sekarang kita pergi ke rumah Ratri, aku ingin
bertemu mereka,” isak Listi.
“Tapi saya tidak tahu dimana rumahnya Non.”
“Listi,” Listi membenarkan panggilannya.
“Ya, Listi, aku tidak tahu dimana rumah Ratri, kemarin
lupa bertanya.
“Kalau begitu bertanya pada Radit, bukankah dia
pacarnya Radit sekarang?”
Listi mencari nomor kontak Radit, tapi tidak ketemu.
Dia sudah membuangnya. Listi menghela napas kesal.
“Bagaimana ini? Kerumahnya Radit saja, ayo Bik, kalau
rumah Radit aku tahu. Tapi Radit kan bekerja? Dia mungkin di rumah sakit, atau
juga di kantornya.”
“Kalau begitu, Non harus bersabar sampai sore. Kalau
sore kan pak Radit sudah ada di rumahnya.”
“Benar juga ya Bik, nanti sore sama Bibik ke rumah
Radit ya.”
“Ya, sekarang bibik mau melanjutkan bersih-bersih
rumah dulu, Listi beristirahat. Atau mau bibik masakkan sesuatu?”
“Tidak usah Bik, ayo aku bantu bersih-bersih, aku akan
memesan makanan untuk makan siang kita nanti.”
Bu Sumini tersenyum. Ada dua orang yang baru lahir
dari dunianya yang sempit dan gelap. Sutijah, dan Listi. Bu Sumini mensyukurinya.
***
Bu Cipto senang sekali, melihat bu Sutijah menikmati
jalan-jalan dipasar, belanja sayur dan segala makanan, dalam suasana yang
berbeda. Sutijah memang merasa bahwa hari ini sangat berbeda. Keramaian pasar
yang bising, banyak sayuran dan buah yang beraneka macam, hiruk-pikuk yang
biasanya membuatnya kesal dan ingin marah seperti setiap kali bu Sumini
mengajaknya belanja, kali ini tidak dirasakannya. Semua tampak menyenangkan,
semua tampak membuatnya bersemangat. Ia bahkan ikut-ikutan menawar setiap kali
bu Cipto memilih barang yang diinginkannya.
Sementara itu, ditempat yang agak jauh dari mereka,
seorang ibu berpakaian perlente juga sedang belanja ditemani pembantunya. Dia
adalah bu Listyo dan sang pembantu.
“Sudahkah Bu, sayurnya sudah cukup kan? Di sana agak
ribet, cari tempat yang longgar ya Bu,” kata sang pembantu.
“Baiklah, tapi aku mau kamu beli jagung manis itu dulu
Bik, aku mau jagung rebus, dan sebagian nanti kamu buat bakwan ya.”
“Oh ya, baiklah. Ibu tunggu disini saja ya.”
“Sebentar Bik, kamu lihat wanita di depan itu, itu
bukan Ratri kan?”
“Bukan Bu, itu ibu-ibu yang sudah setengah tua,”
senyum sang pembantu.
“Bukan ya, aku ingat baju yang dipakai itu lho Bik,
seperti baju yang aku belikan untuk Ratri beberapa minggu yang lalu.”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang
ReplyDeleteSelamat pak Latie juara 1
DeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulillah JP 30 udah tayang nih
DeleteMksh bunda Tien
Lg lanjutin SPB
DeleteHe he he...TRIms mas kakek.
DeleteInsyaAllah amanah saya laksabakan. Jeng Nani libur ya sd 12 hari kedepan mohon doanya semoga perjalanan ibadah UMROH ke tanah suci memenuhi undangan Illahi, dimudahkan segala urusannya, selamat pergi dan pulangnya.
DeleteLancar ibadahnya, Aamiin ya Robbal'alamiin
Selamat ya Pa Latif.. Juara 1
DeleteMtrnwn mba Tien
ReplyDeleteTerimakasih
ReplyDeleteTks bundaTien..
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteMaturnuwun bunda
ReplyDeleteTrima kasih Bu Tien yg kutunggu sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Salam sehat dan aduhai selalu
Alhamdulillah
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~30 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulillah.... maturnuwun bunda
ReplyDeleteTerima kasih mbu tien.... seht² sllu
ReplyDeleteAlhamdulillah...Non Listi sudah faham asal usulnya. Tinggal satu, bu Listyo yang mungkin sulit ditaklukkan.
ReplyDeleteWah... terharu juga saat saat bagaimana Listy 'mudheng' asal usulnya.
Salam sukses mbak Tien yang selalu ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
🦋🌹🌿 Alhamdulillah JP 30 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah...🙏
ReplyDeleteMksh Bu Tien JP sdh hadir smg Bu Tien sll diberi kesehatan
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien....
ReplyDeleteSehat selalu...🙏
Matur suwun bunda Tien
ReplyDeleteSehat selalu
Yes tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah JP 30 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Rupanya Listiani sudah stabil betulan, beruntun tahapan bangun dari tidur panjang kesombongan dalam kesempatan berfikir dia sangat mencintai Bu Sartini Sartono èh keliru
ReplyDeleteyang bener Sartini Suroto.
Iya yang tadi keliru jadi gabener.
Yang bener nama ibu yang dianggap bener bener ibu yang disayangi Listiani ibunya.
Surat wasiat itu yang menyadarkan Listiani, dia harus menghormati dan menyayangi ibu kandung nya yang tertulis di surat; Sutijah, yang menderita terpaksa harus menyerahkan pada Sartini.
Nah jadi nunggu siapa tahu di kerumitan yang ingin diselesaikan segera Dian nelpon ke Sumini, jadi tahu alamat rumah Ratri.
Sisan laporan Listiani sudah normal kembali dan nyatanya ingin berkunjung ketempat Ratri untuk menjemput Bu Sutijah.
Perhatian Bu Listyo dalam memata matai Sutijah nyatanya nggak ada alasan, kalau memvonisnya gemblung.
Wis waras kabèh, gênah kabèh, gênah Radit ora sidå nanggap jathilan.
Hebohnya Listiani yang minta maaf ke ibu Sutijah masih ditunggu, juga Radityo menanggapi perubahan ini?
Keterkejutan perubahan sikap biyungnya setelah pulang dari pasar tradisional apa karena kebanyakan bakwan jagung sambil minum teh hangat dikala gerimis sangat mengesankan, lali madang mênèh.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke tiga puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Berkat adanya surat wasiat dari ibu Suroto, Listi menjadi percaya keberadaan diri dan asal usulnya.
ReplyDeleteSudah terasa aura positip pada Listi yg mulai merindukan ibu kandungnya.
Ibu Listyo agak adem melihat wanita setengah baya mirip Ratih...
Semoga semuanya akan menjadi baik..
Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem...
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi,
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah,,, matur nuwun bu Tien 🤗🥰,salam sehat wal'afiat
ReplyDeleteAduhaaai mantab deh bu Tien,,,listi sdh sadar dg kondisinya,, skrg bu Listyo mau dibawa kemana nih,,,🤣🤣🤭,,sabar menanti lg 👍👍👍
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteTrims Bu tien
ReplyDeleteMalam mbak Tien salam hangat buat mas Dayat,sehat2 selalu dan tetap semangat
ReplyDelete