SEBUAH JANJI 45
(Tien Kumalasari)
Pagi itu Samadi datang ke kantor, dengan luka-luka
yang masih tampak di wajahnya. Beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan,
menatapnya dengan aneh. Tapi masih ada juga yang mengangguk, mengingat Samadi pernah menjadi pimpinan di perusahaan itu.
Samadi langsung ke bagian keuangan. Ia ingin menukar
kwitansi rumah sakit yang sudah dibayarnya. Biasanya biaya pengobatan karyawan
diganti oleh perusahaan. Tapi sesampainya di bagian keuangan, permintaannya ditolak.
Samadi sangat geram.
“Mengapa tidak bisa? Aku juga pimpinan di sini, dan
aku berhak mendapatkan ganti atas biaya yang sudah aku keluarkan untuk
pengobatan. Bukankah itu aturannya?” kesalnya.
“Maaf Pak, kali ini Bapak harus meminta tanda tangan pak Seno terlebih dulu.”
“Apa kamu tidak percaya dan mengira kwitansi ini
palsu?” Ini kwitansi yang ada kop rumah sakit, dimana aku berobat.”
“Baiklah, saya tahu Pak, tapi silakan Bapak menemui
pak Seno dulu. Ini juga perintah dari atasan, saya tidak berani melanggarnya.
Maaf.”
Samadi begitu geram mendapat perlakuan itu.
“Apa pak Seno ada di kantornya?”
“Sepertinya sudah ada Pak, silakan menemuinya.”
Samadi membalikkan tubuhnya dengan kesal. Ia melangkah
ke ruang direktur utama, dan lupa mengetuk pintu karena rasa marahnya. Begitu
dia masuk, Seno menegurnya sambil mengerutkan kening.
“Apa Bapak lupa tata krama? Tidak bisa mengetuk pintu
sebelum masuk ke sebuah ruangan yang bukan ruangan Bapak?”
Samadi tersipu. Ia merangkapkan tangannya tanda
permohonan maaf, diiringi dengan ucapannya.
“Maaf Pak. Saya sedang emosi karena mendapat perlakuan
tidak semestinya,” keluhnya sambil duduk di hadapan Seno.
“Perlakuan dari siapa?”
“Saya ingin menukarkan kwitansi dari rumah sakit, tapi
ditolak oleh bagian keuangan. Bukankah setiap karyawan berhak mendapat ganti
dari setiap uang yang dikeluarkan untuk pengobatan?”
“Betul.”
“Jadi mengapa saya di tolak? Itu yang membuat saya
kesal sehingga lupa sopan santun. Saya mohon maaf.”
“Saya yang memerintahkan untuk menolaknya. “
“Mengapa Pak? Apakah ada peraturan baru?”
“Tidak. Karena sejak terjadinya peristiwa dimana Pak
Samadi dihajar oleh seseorang, Bapak sudah dipecat.”
Samadi terkejut bukan alang kepalang.
“Apa? Mengapa Bapak melakukannya? Saya ini korban
penganiayaan, kenapa saya malah di pecat? Saya justru ingin melaporkan kejadian
itu pada polisi.”
“Setiap kejadian pasti karena ada sebabnya. Mengapa
sampai terjadi, Bapak dihajar oleh seseorang?”
“Saya tidak tahu. Saya sedang menyapa salah seorang
karyawan yang saya tidak tahu kapan masuknya, yang ternyata saya mengenalnya.
Tiba-tiba saja orang itu masuk, dan menghajar saya sampai babak belur. Jadi
bukan saya yang bersalah. Saya ini korban,” Samadi membela diri.
“Ou, hanya menyapa kemudian dihajar? Kurangajar sekali
orang itu,” ejek Seno.
“Nah, jadi saya ini korban. Mohon saya tidak dipecat,
Bapak telah salah sangka,” kata Samadi senang karena merasa di atas angin.
“Baiklah, mari kita lihat rekaman CCTV yang ada di
ruangan itu.”
Lalu Seno membuka laptopnya, dan menunjukkan semua
kejadian yang terjadi di dalam ruangan Sekar waktu itu.
Dari waktu
Samadi mendekati Sekar, mengucapkan kata-kata tak pantas, lalu menghalangi dia
keluar, dan mengungkungnya di tembok. Sekar berteriak dan Barno masuk, lalu
terjadilah semuanya.
Samadi berkedip-kedip menyaksikan rekaman CCTV itu. Ia
lupa ada CCTV di setiap ruangan.
“Apa lagi yang akan Bapak katakan?”
Samadi menelan salivanya sendiri. Ia menjadi gelisah,
karena perbuatannya diketahui oleh atasannya.
“Bagaimana? Jangan diam Pak,” kata Seno sambil menatap
tajam
Samadi masih terdiam. Rasanya ia seperti
melayang-layang diatas awan, tubuhnya terasa ringan, dan tak ada sesuatupun
yang bisa dipegangnya. Lalu ia
terjerembab diatas tanah berbatu, terasa sakit bukan alang kepalang.
“Saya mohon maaf. Saya berjanji tak akan
mengulanginya. Saya akan selalu bersikap baik, bukan hanya kepada Sekar, tapi
juga kepada yang lain. Saya sudah melakukan banyak hal untuk perusahaan ini
bukan? Apakah semua itu tidak bisa dijadikan pertimbangan agar Bapak tidak
memecat saya?”
“Bapak sudah pernah melakukannya kepada Sekar, sebelum
ini. Dan Bapak dihajar oleh laki-laki yang sama, bukan?”
Samadi terkejut. Rupanya Sekar sudah mengatakan
semuanya kepada Seno, membuatnya mati kutu.
“Saya minta maaf.”
“Kelakuan Bapak sangat tidak pantas, tidak bisa
dijadikan suri tauladan bagi anak buah Bapak, sementara sebagai seorang
pimpinan Bapak harus memiliki perilaku baik.”
“Saya minta maaf. Mohon, jangan pecat saya.”
“Saya juga minta maaf. Bapak tetap saya pecat.”
***
Begitu sampai di rumah, Samadi langsung menjatuhkan
tubuhnya di sofa, dengan wajah pucat tak bersemangat. Yanti yang sudah selesai
berdandan karena mau belanja, terkejut melihatnya.
“Mas, kok sudah pulang? Masih merasa sakit ya? Belum
kuat untuk bekerja?”
Samadi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Diamlah!” hardik Samadi tanpa menatap kearah Yanti.
“Kamu kenapa? Aku sudah memaafkan kamu. Dosamu sama
aku sangat besar, menipu aku, menghabiskan uang aku, tapi aku melupakannya.
Baiklah, asalkan kamu masih punya penghasilan besar, dan bisa untuk hidup kita
berdua. Semuanya sudah terjadi, harus bagaimana lagi. Aku sudah pasrah
menerimanya. Tapi kamu masih bisa membentak aku, tidak menyadari betapa
pengertiannya aku.”
“Kepalaku sedang pusing, jangan menambahnya lagi.”
“Selalu, kalau diajak bicara, bilang pusing … pusing.”
“Jangan berharap apa-apa lagi. Aku sudah dipecat!”
Yanti terkejut.
“Dipecat? Apa salah Mas? Kenapa dipecat?”
“Nggak tahu, adanya perkelahian malam itu, aku yang
disalahkan. Aku langsung dipecat. Sungguh tidak adil,” Samadi masih berusaha
membela diri.
“Kalau begitu laporkan saja pada polisi. Mas jadi
korban, sudah babak belur, masih dipecat pula.”
“Ya sudah, diamlah dulu, jangan menambah berat
kepalaku.”
“Hm, hal ini tidak bisa dibiarkan.”
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Pokoknya Mas diam saja.”
“Jangan melakukan hal yang tidak pantas kamu lakukan.”
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Mas istirahat
saja, minum obat yang masih tersisa, karena luka-luka itu belum sembuh benar.”
“Kamu mau ke mana?”
“Belanja, apa kamu tidak mau makan?”
Yanti langsung saja keluar rumah, lalu pergi dengan
mengendarai mobilnya. Samadi sedang kacau. Kepalanya terasa berat, bukan karena
luka-luka yang belum pulih, tapi atas keputusan Seno yang langsung memecatnya.
Ia memijit-mijit keningnya sambil berbaring di sofa, tak tahu apa yang harus
diperbuatnya.
***
Yanti tidak langsung belanja. Terlebih dulu dia pergi
ke kantor suaminya, tapi di depan, dia dihadang oleh satpam.
“Maaf, Ibu mau ke mana?”
“Ya ke kantor sini, wong sudah masuk ke sini kok
ditanya mau ke mana?” kesal Yanti.
“Maksud saya, mau ketemu siapa? Tidak bisa orang keluar
masuk begitu saja.”
“Kamu lupa siapa aku?”
“Siapapun Ibu, harap menulis di sini, mau ketemu
siapa.”
“Aku mau ketemu pak Seno,” jawab Yanti ketus.
“Tapi pak Seno sudah pergi dua jam lalu.”
“Apa? Jadi pak Seno tidak ada? Kemana?”
“Mana saya tahu Bu.”
“Kalau begitu aku minta nomor tilponnya.”
“Kan saya sudah bilang bahwa saya tidak bisa
memberikan nomor tilpun tanpa ijin pemiliknya.”
Yanti sangat gemas, dia membalikkan tubuhnya dan bergegas
pergi menuju ke mobilnya.
“Nanti atau besok, aku pasti kembali. Yang namanya
Seno itu tidak bisa bersikap sewenang-wenang seperti itu. Kalau dia tidak bisa
memberikan alasan jelas atas pemecatan suami aku, pasti akan aku laporkan dia
ke polisi,” omelnya sambil terus naik ke atas mobil, dan memacunya keluar.
Yanti memasuki sebuah rumah makan, dan memesan makanan
untuk dibawa pulang. Ada bermacam-macam yang dipesannya, sekalian untuk makan
malam nanti.
Ia duduk menunggu di sebuah kursi, ketika tiba-tiba
seseorang menyapanya.
“Yanti.”
Yanti menoleh, dan melihat Ari sedang duduk makan
bersama Minar. Kalau Ari menyapanya, tidak demikian dengan Minar. Ia mengalihkan
pandangan ke arah lain dengan wajah gelap bagai tertutup mendung.
Yanti mengulaskan senyum tipis, tapi kemudian tidak
lagi menatap ke arah mereka. Begitu pesanan diserahkan, Yanti berdiri untuk
membayarnya.
“Berapa?”
“Duaratus sembilan puluh lima Bu,” kata sang kasir.
“Apa? Mengapa begitu mahal? Itu hampir tigaratus ribu,
tahu?”
“Memang harganya segitu Bu, ibu memesan enam macam
makanan yang harganya tidak murah, silakan dibaca di buku menu,” kata kasir
sedikit kesal.
“Tapi uangku kurang, hanya duaratus ribu,” katanya
agak pelan, takut di dengar orang.
“Masih kurang dong Bu, apa yang tiga ini dibatalkan?”
“Itu udang goreng mentega kesukaan aku dan suami aku.”
“Lalu bagaimana Bu, Ibu ambil dulu uang, baru kembali
kemari.”
“Ada apa Yanti?”
Yanti terkejut ketika tiba-tiba Ari sudah ada di
sampingnya.
“Oh, tidak apa-apa,” kata Yanti menyembunyikannya.
“Ada apa Mbak?” tanya Ari kepada kasir.
“Uang ibu itu kurang, saya sarankan untuk pulang dulu
mengambil uang.”
“Berapa kurangnya?”
“Sembilanpuluh lima ribu rupiah.”
“Ini, saya tambahin Mbak,” kata Ari sambil menyerahkan
dua lembar uang seratusan ribu.
“Tidak Ari, aku mau mengambil dulu di ATM kok,” elak
Yanti malu, padahal dia mana punya kartu ATM, sedangkan Samadi tidak pernah
memberikannya.
“Tidak apa-apa, biarkan aku yang nambahin,” kata Ari
sambil berlalu.
Yanti menatapnya malu, sampai lupa mengucapkan terima
kasih, walau sisa uang seratus lima ribu rupiah dikembalikan oleh kasir padanya. Ia bergegas pergi keluar.
Ari kembali ke mejanya.
“Kamu masih bisa peduli, tapi aku tidak. Hatiku masih
sakit,” kata Minar ketika Ari sudah kembali duduk.
“Bagaimanapun dia bekas teman kita. Dan tampaknya
penampilannya saja bagus, tapi tidak membawa uang.”
“Samadi tidak punya apa-apa. Biar dia rasakan kalau
sekarang hidup kekurangan.”
“Iya sih, tapi kasihan juga tadi dia agak ribut dengan
kasir.”
“Kamu memang sahabat yang baik Ari.”
“Akan aku lakukan, selagi aku bisa.”
“Aku harus belajar banyak dari kamu.”
“Ah, biasa saja. Kamu pasti juga bisa melakukannya
kalau mau.”
***
“Untuk apa kamu beli makanan sebanyak ini?” tegur
Samadi
“Sekalian untuk makan malam nanti.”
“Terlalu banyak, dan ini makanan mahal. Kakap asam
manis, udang goreng mentega yang segini banyak. Lalu apa lagi itu.”
“Iya, sekalian untuk makan malam, dan kalau masih
sisa, bisa untuk sarapan,” kata Yanti enteng sambil menikmati makanan, tanpa
beban. Bahkan lupa kalau tadi tidak mampu membayarnya kalau tidak ditolong
oleh Ari.
“Nanti berilah aku uang lagi. Aku sudah tidak punya,”
lanjutnya.
“Tidak ada lagi. Kamu lupa bahwa aku sudah tidak punya
uang lagi?”
“Apa maksudmu?”
“Kamu tidak mendengar bahwa aku sudah dipecat? Kamu
harus mulai hidup hemat mulai sekarang. Sisa uangku tidak banyak.”
“Mengapa kamu habiskan uang aku? Untuk apa saja uang
sebanyak itu?”
“Untuk semua kebutuhan kita. Kamu kan boros.”
“Bohong.”
“Bohong apa, itu kenyataannya kok.”
“Pasti Mas mempergunakannya untuk bersenang-senang.
Dengan perempuan. Iya kan? Jawab, itu benar kan?”
“Jangan ngawur. Kamu suka ngawur!”
Dan pertengkaran menjadi sengit karena dua-duanya tak
mau mengalah.
Samadi sedang hancur dan Yanti seakan tak mengerti
akan apa yang terjadi.
***
Hari itu Barno berdandan sangat rapi. Ia juga memakai
setelah jas yang kemarin dibelikan oleh Seno. Sekar menatap tak berkedip,
alangkah ganteng dan gagahnya laki-laki yang dicintainya ini.
Bibik senang karena Barno tidak kembali ke Batam, dan
bekerja dikota itu juga, jadi setiap hari bisa menatap anak semata wayangnya
dengan bangga.
Demikian juga Pak Winarno, yang merasa bahwa pilihan
untuk putrinya tidaklah salah. Barno bukan saja baik pekertinya, santun
tabiatnya, tapi juga berprestasi dalam karya, dan sekarang mendapat kedudukan
yang bukan sembarang orang bisa mendapatkannya.
“Kita berangkat sekarang?” tanya Barno setelah mereka
selesai sarapan.
“Sebaiknya sekarang saja, takut jalanan macet,” sahut
Sekar dengan wajah berseri.
Tapi saat mereka keluar, sebuah mobil memasuki
halaman.
“Itu mobil kantor,” seru Sekar.
Pengemudi mobil itu turun dari mobil, dan menunduk
hormat ketika berhadapan dengan Barno.
“Saya mendapat tugas dari pak Seno, untuk menjemput
pak Barno dan non Sekar.”
“Oh, menjemput kami?” tanya Barno terkejut.
“Silakan, Pak,” sopir itu kembali ke mobil, dan Barno
serta Sekar tak bisa berbuat lain kecuali mengikutinya, setelah menyalami
simboknya dan juga pak Winarno.
***
Namun ketika mereka turun dari mobil, mereka melihat
Yanti sedang menunggu di kantor satpam.
Sekar dan Barno berhenti, karena bagaimanapun Yanti
pernah menjadi bagian dari keluarga Winarno.
“Ibu kok ada di sini?”
“Mau apa kalian kemari, dan ini …. Siapa?” katanya
sambil menunjuk ke arah Barno yang membuatnya pangling karena penampilannya
yang berbeda.
“Saya Barno, Bu,” katanya menjawab pertanyaan Yanti.
“Barno? Barno anaknya bibik? Mau apa datang kemari?”
tanya Yanti tanpa dosa.
“Bu, Pak Barno ini pimpinan kami yang baru,” kata
satpam menerangkan.
Yanti terpana.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Alhamdulillah juara 1
DeleteMatur nuwun bunda Tien
Yessss
ReplyDeletealhamdulillah... maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang ..😍😍🥰
ReplyDeleteAlhamdulillah mruput. Nuwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun, sehat & bahagia selalu Bunda Tien
ReplyDeleteYes...iyees...🥰
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..🙏
Alhamdulillah SEBUAH JANJI 45 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah... Matur nuwun Bu Tien... 🙏🙏🙏
ReplyDeleteSehat sll mbak tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun Ibu Tien
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah sj sdh tayang, terima kasih bu tien...salam.sehat dari pondok gede
ReplyDeleteAlhamdulillah ..... trimakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAduhh.... ternyata ditendang pinalti si Samad. Mana uangnya sudah habis lagi.
ReplyDeleteDirektur baru bersama sekretarisnya dijemput dengan mobil. Aduhh senangnya...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Yantii.. tertipu itu sakiit..
Deletetp dasarnya sombong dan tak tahu diri..
Kasian nasibnya gatot berpindah ke samadi..
tambah penasaran bgmn cerita Seno selanjutnya..
Ayo pak Latief komen lg biar rame dan terhibur..
Salam sehat selalu... Tks
Mungkin Seno akan dilanjutkan dengan cerita lain. Seperti model Wahyudi kali.
DeleteAlhamdulillah, matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu...🙏🌹🦋
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien Kumalasari, salam Aduhai dari Pasuruan
ReplyDeleteTrima kasih bu tien. yanti ambyar .... 😊
ReplyDeleteHadeeh Yanti bnr2 gak punya malu tuh
ReplyDeleteDgn tanpa dosa tanya seenaknya aj gak tau yah Barno adalah yg menggantikan Samad yg tak tau diri
Kita tunggu bsk yah bgmn Seno akan perlihatkan tabiat Samad yg kampungan
Yanti...tunggu yah mw lapor polisi apa cukup nonton Cctv di laptop
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Alhamdulillah SJ 45 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Semangat sehat bund🥰
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI~45 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah membaca cerita non cantik Sekar....
ReplyDeleteMakin cantik aja non Sekar.....
Terimakasih Bu Tien Kumala....
Moga sehat selalu sekeluarga..
Dan dimudahkan rejekinya....
Aamiin....
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu
Alhamdulillaah dah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien eSJe 45 nya
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sehat selalu. Aamiin
Alhamdulilah matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang smoga sehat² sll doa kami ya, wassalam dari Cibubur
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah...matur nuwun Bu Tien SJ 45 sampun tayang..salam SEROJA
ReplyDeleteOh betapa malunya yanti. Terima kasih bu tien
ReplyDeleteIkut senang Barno - Sekar akhirnya mendapat tempat kerja mantab, seatap, sbg manager dan sekretarisnya.
ReplyDeleteSuasana bahagia sdh berpihak pada keluarga yg baik sejak mulanya.
Semakin penasaran. Matur nuwun ibu Tien, berkah Dalem.
Matur nuwun bu Tien..
ReplyDeleteSalam sehat dan aduhai
Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien atas cerbung Sebuah Janji Eps 45 yang sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga mbak Tien tetap sehat Dan selalu dalam lindungam Allah SWT. Aamiin YRA.
Alhamdulillah Barno da Sekar sdh sekantor, terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai.
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteBaru tahu dia; terus mau minta ganti biaya rumah sakit, sakitnya tuh disini diganti tapi sumbangan saweran sedapatnya aduh, mau minta tambah karena kurang, terus uang Sekar sepuluh juta tempo hari; mana katanya usaha bersama hasilnya mana paling enggak; usaha pasti ada hasilnya kan, tuh kan bingung kan. Untung nggak ditagih, nih bbm harganya tinggi, habis bensin mau ndorong tuh, kan sudah habis uang peganganmu buat makan siang itu aja ditombokin Ari, nggak terimakasih lagi.
ReplyDeleteYang tersisa tinggal kesombonganmu, nggak ada yang laen.
Miskin sombong lagi, membanggakan udah jual lagi tuh rumah.
mBarang waé; kan tampang sudah kaya artis, nyangklong kotak dikareti kan suaranya bikin dada berdegup kencang. nDangdut aja nanti anak-anak yang nge-fans sama kalian suruh joget, kan heboh.
Dapat banyak daripada saweran satu kantor.
Datang kekantor apa mau minta penjelasan sebab Samadi dipecat, malah disuruh lihat sinetron di tv monitor cctv, kan sutradaranya kamu tå Yan.
Kaya adegan pengulangan ya, tuh hasilnya scenario mu.
Pupus sudah harapan mu, laku dan kelakuanmu kalau nggak kamu rubah, makan tu gengsi.
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang ke empat puluh lima sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, Terimakasih bunda Tien cerbungnya
ReplyDeleteYanti Yanti hidupmu rekoso rasain sekarang...masih sombong lagi....trims Bu tien sehat selalu
ReplyDeleteOoo hidup kok peecaya ma lakian Samadi gelo..Terima kasih u bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga sehat dan bahagia selalu..
Salam.. Aduhaii..
Tks bunda Tien..
ReplyDeleteSelalu memberikan inspirasi kebaikan..
Alhamdulillahi Rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerimaksasih buTien..
Semoga bu tien sehat dan bahagia selalu..
Salam Aduhaii......
Yg jelas nasibnya Barno sama Sekar....
ReplyDeleteKonflik antara Mirna, Samadi dan Yanti kayaknya tetap seperti itu...
Yg belum jelas nasib Seno.... Smg saja dipertemukan dengan Ari.
Sip kan....
Salam sehat penuh semangat...🌿
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Soga sehat selalu