JANGAN PERGI 07
(Tien Kumalasari)
Wanita itu terus menatap Ratri, membuat Ratri jadi
rikuh sendiri. Ia meneruskan transaksi dengan pelayan toko. Ia membeli ponsel
yang agak murah untuk ibunya. Ketika ia selesai bertransaksi dan sedang
menunggu pelayan membungkus barang yang dibeli, Ratri masih melihat wanita setengah
tua itu di depan toko, berdiri di samping pembantunya.
Ratri melintasi wanita itu, dan mengangguk santun, kemudian
berlalu.
“Bik, persis ya?” tanya wanita yang ternyata bu Listyo,
kepada pembantunya.
“Wajahnya memang persis bu, tapi cara berpakaiannya
berbeda. Neng Listi kan berpakaian lebih seperti gadis-gadis sekarang,
sedangkan gadis itu memakai pakaian muslim.”
“Dia juga terlihat lebih santun. Bibik lihat kan, dia
mengangguk hormat ketika melewati kita, bahkan dengan tersenyum sangat manis.”
“Iya Bu, Ibu benar. Bagaimana ada wajah persis seperti
itu?”
“Saya keliru memanggilnya, untunglah dia tidak marah.”
“Namanya juga salah orang Bu, masa dia harus marah.”
“Siapa ya tadi namanya, dia menyebutkan namanya kan?”
“Benar, tapi bibik kok ya kurang jelas, entah siapa
tadi namanya.”
“Ya sudah, orang tidak kenal juga sih. Tapi aku kok
penasaran banget, benar-benar seperti Listi,
aku kira dia sudah ganti penampilan.”
“Allah itu Maha besar, bisa menciptakan apa saja.
Orang mirip juga banyak. Ya kan Bu.”
“Iya Bik. Ya sudah, ayo kita lanjutkan belanja kita,
nanti kesiangan, jangan sampai kita pulang kedahuluan Radit.
“Iya Bu, tinggal membeli panci email kan Bu, katanya
ibu ingin merebus jamu.”
“Iya Bik, coba-coba minum jamu, tapi baru mau mencoba saja
kok. Kata temanku enak rasanya dan seger setelah meminumnya.”
“Nanti bibik juga mau nyobain minum ya Bu.”
“Iya, kalau Radit mau biar dia ikut minum juga.”
“Mas Radit kan dokter, mana mau minum jamu.”
“Ya belum tentu sih Bik, jamu itu kan obat tradisional
peninggalan leluhur. Yang penting jamunya benar-benar jamu.”
“Memangnya ada jamu yang tidak benar-benar jamu?”
“Ya ada Bik. Katanya jamu, tapi dicampur obat kimia,
biar kelihatan manjur. Kalau kita kan murni rempah-rempah, nggak mungkin ada
campurannya.”
“Itu Bu, tokonya didepan kita.”
***
Ratri sampai di rumah, disambut ibunya di teras. Tidak
begitu gelisah karena Ratri sudah mengatakan kalau akan pulang terlambat karena
sepulang kerja mau langsung belanja.
“Belanja apa saja Tri?”
“Ini, beberapa bumbu dapur, beberapa sayuran dan ayam,
lalu … ini…” kata Ratri sambil menunjukkan sebuah kotak berisi ponsel.
“Ini apa?”
“Ini untuk Ibu.”
“Ini apa?” tanya bu Cipto sambil membuka kotak
oleh-oleh itu.
“Hayo … apa bu?”
“Ponsel? Ini untuk ibu?”
“Iya, untuk Ibu. Supaya, kalau ada apa-apa, gampang
menghubungi ibu. Misalnya kalau Ratri terlambat pulang, Ratri bisa mengabari
ibu, sehingga ibu tidak usah khawatir.”
“Ya ampun Tri, ini mahal bukan?”
“Kalau di bandingkan harga sayur, ya lebih mahal ini.
Tapi kalau dibandingkan dengan ponsel-ponsel yang lain, ini sangat murah. Yang
penting kita bisa saling berhubungan.”
“Bagaimana ini pakainya?”
“Nanti Ratri akan beri tahu Ibu, sekarang Ratri mau
masukin belanjaan, lalu ganti baju. Kemudian kita makan ya Bu. Ibu masak apa
hari ini?”
“Masak sayur bening sama pecel.”
“Hm, enaknya. Sebentar ya Bu.”
“Ya sudah sana, ibu saja yang menyiapkan makan
siangnya.
***
“Ibu tahu nggak, tadi ketika Ratri membeli ponsel, ada
seorang ibu yang salah memanggil nama Ratri,” kata Ratri ketika sedang makan
bersama ibunya.
“Kamu kenal sebelumnya?”
“Tidak Bu. Katanya saya persis dengan, eh … siapa ya
tadi dia memanggil Ratri … mm … Risti atau siapa … gitu.”
“Berarti wajah kamu mirip dengan yang namanya Risti
itu.”
“Iya pastinya Bu. Yang Ratri heran, ibu itu terus
mengawasi Ratri, bahkan rela menunggu di depan toko. Barangkali tidak yakin kalau
dia salah memanggil.”
“Lalu kamu bilang apa?”
“Ya Ratri bilang kalau bukan orang yang dimaksud.”
“Lalu bagaimana?”
“Ya sudah, Ratri terus pergi melanjutkan belanja, dia
pergi entah kemana.”
"Terkadang memang ada orang mirip di dunia ini. Tidak
aneh.”
“Iya Bu.”
“Temanmu Dian kok belum datang ke sini lagi? Ibu ingin
ketemu dia, seperti apa setelah dewasa.”
“Nggak tahu Bu, barangkali masih banyak urusan. Dia
bilang memang agak lama berada di kota ini.”
“Seperti apa ya dia sekarang.”
“Tinggi besar, dan berewokan, Bu. Pasti Ibu tidak akan
mengenalinya.”
“Anak itu dulu sangat lucu, dan sedikit bengal. Banyak
teman-teman sering ngomel karena digangguin.”
“Iya, benar Bu. Itu kan masa kecil, sekarang pastilah
dia sudah bisa lebih dewasa, karena sudah punya istri.”
“Iya, pastinya.”
“Nanti setelah makan, Ibu cobain pergunakan ponselnya
ya, sudah Ratri masukkan nomor Ratri di situ.”
“Iya, tadi juga belum jelas benar, keburu lapar sih,”
kata bu Cipto sambil tertawa.
***
Siang itu Radit tidak datang ke rumah Ratri, karena di
rumah sakit banyak pasien, dan dia juga masih harus ke kantor mengurusi pabrik
batiknya.
Ketika sampai di rumah, ia sudah tampak letih dan
lesu. Setelah membersihkan diri dia duduk di ruang tengah, menemani ibunya
minum secangkir kopi.
“Dit, ibu mau cerita nih,” kata bu Listyo sambil
meraih sepotong pisang goreng buatan bibik.
“Cerita apa ?”
“Tadi tuh ibu ketemu seorang gadis, yang wajahnya
sangat mirip Listi.”
Radit menatap ibunya, tampak memperhatikannya dengan
sungguh-sungguh.
“Listi? “
“Ibu panggil dia Listi, tapi dia bilang, ibu salah
orang.”
“Oh….”
“Agak lama ibu memperhatikan dia. Memang beda di
penampilan sih, Listi itu berpakaian biasa saja, tidak pakai kerudung, tapi
gadis itu memakai pakaian muslim. Ibu kira memang Listi, hanya berbeda
penampilan saja. Ibu pikir dia sekarang memang memakai pakaian muslim, begitu.”
“Namanya siapa?”
“Lupa ibu. Sepertinya dia juga mengatakan namanya,
tapi ibu lupa, atau ya memang tidak ibu perhatikan, karena dia memang bukan Listi.
Persis lho wajahnya tuh, bedanya hanya di penampilan, dan dia bicara lebih
lembut.”
Radit hampir yakin. Pasti yang ketemu ibunya itu Ratri.
“Di mana ibu ketemu gadis itu?”
“Di sebuah toko ponsel. Tampaknya dia sedang membeli
ponsel.”
“Ibu sih, belum yakin sudah menyapa.”
“Ibu yakin sebenarnya. Ibu pikir Listi berganti
penampilan saja kok.”
Radit menghela napas, ia sudah merasa yakin bahwa Listi
sudah pergi dan dihilangkannya dari ingatan. Ia bahkan menghapus potret Listi
yang ada di ponselnya.
Berbicara tentang gadis berwajah mirip Listi,
tiba-tiba Radit merasa sangat merindukan Ratri. Dua hari tidak ketemu karena
kesibukannya.
“Mudah-mudahan besok aku bisa ketemu,” gumamnya pelan.
“Ketemu siapa? Gadis itu tadi?”
Radit tertawa.
“Bukan Bu, hanya seorang pasien,” jawab Radit
sekenanya.
“Pacar kamu?”
“Bukan, Ibu ada-ada saja,” kata Radit sambil berdiri.
“Radit istirahat sebentar ya Bu, capek.”
“Ya sudah. Kamu itu jangan terlalu capek. Pilih orang
yang bisa mengurus usaha kamu, supaya kamu tidak terlalu lelah.”
“Iya, nanti Radit pikirkan.”
***
Di sekolah, Ratri sedang mencetak laporan yang akan
diberikannya kepada kepala sekolah. Ia sudah terbiasa dengan sikap dingin Dewi
yang dihadapinya setiap hari. Setelah selesai dan sekali lagi menelitinya, ia
memasukkannya ke dalam map, lalu dibawanya memasuki ruang kepala sekolah.
Dewi masih menulis entah apa, sambil menundukkan
wajahnya, walau dia tahu Ratri sudah sampai di hadapannya.
“Bu, mau menyerahkan laporan saya.”
Dewi mengangkat wajahnya sebentar, kemudian mengangguk,
lalu melanjutkan pekerjaannya. Ratri membalikkan tubuhnya, kemudian kembali ke
ruang guru.
Belum lama dia duduk dan berbincang dengan temannya,
tiba-tiba dari interkom, seorang temannya mengatakan bahwa Dewi memanggilnya.
Ratri segera berdiri dan bergegas ke ruang kepala sekolah.
“Ya Bu Dewi.”
“Bu Ratri ini bagaimana? Ini laporan macam apa, coba?”
katanya sambil menyodorkan map yang tadi diserahkannya.
“Kenapa ya Bu?” tanya Ratri bingung.
“Coba saja bu Ratri lihat. Bu Ratri mencetak laporan di
kertas yang begitu kotor. Apa tidak ada kertas bersih yang bisa dipergunakan?”
Ratri terkejut. Kertas kotor? Dia membuka map, dan
terkejut melihat kertas laporannya tampak coreng-coreng hitam di sana sini.
Bukan hanya selembar, tapi beberapa lembar. Ratri heran karena tadi dia
mencetaknya di kertas yang bersih. Ratri sangat yakin karena tadi dia
membacanya ulang. Apa mapnya yang kotor tekena tinta? Tapi map nya sendiri
bersih kok.
“Bagaimana? Apa jawab Bu Ratri? Apa Bu Ratri sengaja
melakukannya?”
“Ti … tidak Bu, masa saya sengaja? Tad … di … bersih …
kok sekarang _”
“Apa bu Ratri menuduh saya yang mengotorinya?” tanya
Dewi sambil menatap Ratri tak senang.
“Bukan begitu Bu, tap … pi …”
“Ya sudah Bu, tolong perbarui laporannya, saya tidak
mau tahu apapun alasan bu Ratri, yang jelas saya menerima kertas yang kotor
seperti itu,” katanya sambil kembali asyik dengan pekerjaannya.
Ratri berdiri.
“Baiklah, akan saya perbaiki,” katanya sambil
membalikkan tubuhnya dan keluar dari ruangan.
Dengan wajah penuh keheranan Ratri kembali mencetak
laporannya, membuat teman teman guru lainnya juga merasa heran.
“Masa ya ada, menyerahkan laporan di kertas kotor?”
“Tampaknya bu Dewi sedang mencari-cari kesalahan anak
buahnya,” celetuk yang lain.
“Bukan sekedar anak buah, tapi saya,” kata batin Ratri
setelah kembali menumpuk laporannya di dalam map.
Ia kembali menyerahkannya kepada kepala sekolah.
“Ya sudah, tinggalkan saja di meja,
mengapa bu Ratri masih berdiri si situ?” tegur Dewi dengan wajah tak senang.
“Supaya bu Dewi melihat lagi, apakah laporan saya
sudah benar.”
Dewi mengangkat wajahnya, menatap Ratri dengan
mengerutkan kening.
“Ya sudah. Kalau tadi sudah disempurnakan, pastinya
sudah benar. Jadi tolong ditinggal saja.’
Ratri mengangguk, lalu melangkah meninggalkan ruangan Dewi
dengan perasaan tak menentu.
“Ada apa sih bu Dewi, biasanya wajah selalu ditekuk, aku
mengacuhkanny, tapi hari ini membuat dirinya melakukan kesalahan, padahal Ratri
merasa sudah mengerjakan dengan sebaik-baiknya.
Ratri kembali ke ruang guru, dan bersiap mengajar katika
ponselnya berdering. Dari Dian. Ratri mengangkat ponselnya sambil tersenyum
cerah.
“Ya Dian?”
“Pulang jam berapa?”
“Hari ini hanya sampai jam satu.”
“Aku jemput di sekolah ya, aku mau ngomong banyak sama
kamu.”
“Sama istri kamu?”
“Tidak, aku sendirian. Pokoknya ditunggu ya,” katanya
sambil langsung menutup pembicaraan itu.
Ratri menutup ponselnya, kemudian beranjak ke kelas,
saatnya mengajar sampai sebelum jam terakhir.
***
Jam satu tepat, Ratri sudah membawa tas kerjanya
keluar dari ruangan, langsung ke depan karena sudah melihat mobil Dian menunggu
di sana.
Ketika melewati ruang kepala sekolah, kebetulan Dewi
sedang keluar ruangannya. Ratri mengangguk hormat.
“Sudah mau pulang?”
“Ya Bu.”
“Oo, sebenarnya saya mau minta tolong.”
“Apa itu Bu?”
“Mengetik sebuah surat untuk Yayasan.”
“Tapi saya minta maaf Bu, bisa kah besok saja? Soalnya
saya sudah ditunggu.”
Dewi melongok ke arah jalan.
“Ya Bu, itu, teman saya yang sudah menunggu, karena
saya bilang pulang jam satu.”
Dewi mengangguk, lalu kembali melongok ke depan. Dia
bahkan mengawasi Ratri melangkah sampai di luar, dan melihat seorang laki-laki
membukakan pintu untuk Ratri.
Dewi tampak mencibirkan bibirnya, tapi merasa sedikit
lega karena bukan Radit yang menjemputnya.
Ia masuk ke dalam ruangannya kembali, lalu mengambil
ponselnya.
***
“Siapa tadi yang mengikuti kamu?” tanya Dian ketika
mereka sudah dalam perjalanan.
“Mengikuti aku? Siapa sih?”
“Tadi ada yang mengikuti kamu, dan mengawasi sampai
mobil kita berjalan.”
“Nggak tahu aku. Mungkin bu Dewi.”
“Teman guru?”
“Dia kepala sekolah, tadi ketika aku lewat didepan
ruangannya, dia menyapa aku.”
“O, cantik ya dia.”
“Sangat cantik.”
“Kita makan ya,” kata Dian.
“Aku menelpon ibu dulu, nanti kelamaan menunggu aku.”
Ratri menelpon ibunya, yang mengatakan bahwa dia
sedang menemani Dian, jadi ibunya dipersilakan makan lebih dulu.
“Baiklah, nanti ajak Dian ke rumah ya, ibu ingin
ketemu,” kata bu Cipto sebelum Ratri menutup ponselnya.
“Iya Bu, nanti Ratri ajak dia ke rumah.”
***
Siang itu Radit menghentikan mobilnya di depan
sekolah. Ia masuk tanpa membawa mobilnya ke halaman, karena ingin buru-buru.
Ia sedang bertanya kepada satpam, ketika Dewi
tiba-tiba mendekatinya.
“Pak Radit membaca pesan saya?”
“Oh, maaf, belum membuka ponsel saya Bu, ada apa?”
“Hanya mau bicara tentang bangunan yang hampir
selesai.”
“Bisakah besok saja? Saya sedang buru-buru. Apa Ratri
masih mengajar?”
“Bu Ratri? Dia sudah pulang sejam yang lalu.”
“Oh, sudah pulang?”
“Iya, dijemput seorang laki-laki ganteng, wajahnya bercambang,”
kata Dewi yang sengaja memanas-manasi.
Dan memang Dewi kemudian melihat wajah Radit agak
berubah.
“Apa dia pacar bu Ratri ya? Mereka tampak mesra
sekali. Saya yakin itu pacar Bu Ratri.”
Mendung segera menyapu wajah Radit.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien cantiiik....
DeleteSlogan Kota Bandung:
ReplyDelete*BANDUNG JUARA*
Siapa ya yang juara 1 di hari Senin 24 Oktober 2022 malam.ini ???
💪🏼💪🏼🏃♀️🏃♂️🏃♀️🏃♂️💪🏼💪🏼
Ternyata juaranya jeng Iin Yogja di gesit kecil mungilllll
DeleteMatur nuwun bunda Tien .... salam ADUHAI dari mBandung.....
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTks bunda Tien...
ReplyDeleteSalam sehat selalu..
Yo'i Bunda Tien... 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah, Terima kasih mbak Tien 🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah ... trimakasih bu Tien . Salam sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah,..
ReplyDeleteMaturnuwun Ibu Tien...
Alhamdulillah....
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien Kumala.....
Semoga sehat selalu nggih....
Aamiin....
Matur nuwun bu Tien, salam sehat nggih
ReplyDeleteAssalamualaikum warahmatullah.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien.
Mugi2 tansah ginanjar kasarasan karaharjan kabegjan widada nir ing sambekala.
Aamiin yaa robbal alamiin 🤲
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ..
Alhamdulillah terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteWah kayake makin seru ini....trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Salam sehat bund...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~07 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah JP 07 telah terbit. Matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu 🙏🦋🌸
ReplyDeleteAlhamdulilah sdh tayang yg ditunggu , met malam bu tien salam sehat
ReplyDeleteIbu Tien selalu tepat waktu, sudah dinanti penggemar karyanya. Matur nuwun. Semangat & sehat selalu, bu...🙏🙏🙏
ReplyDeleteTerima kasih ... Bu Tien....
ReplyDeletealhamdulilah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Matur nuwun Bunda Tien cantik 😘😘😘
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteSalam Sehat
Alhamdulillah JP 07 sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, Salam sehat selalu
Semakin seru dan semakin penasaran. Terima kasih Mbak Tien sayang. Semoga selalu sehat dan terus berkarya. Salam Aduhai dari Semarang.
ReplyDeleteDewi kok begitu orangnya?...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien..
Dewi mulai lah ngompori Radit...dengan harapan Radit berpaling kepada Dewi.. Salam sehat selalu utk Bu Tien.. 🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
ReplyDeleteHangat
ReplyDeleteAlhamdullilah bunda jp sdh tayang..makin penasaran aja..slmsehat sll dri skbmi🙏🥰🌹
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah JePe 7 sudahtayang, matursuwun bu Tien, sehat selalu
ReplyDeleteDewi ganjen.... Pengen merebut radit
ReplyDeleteJangan mau radit sama ratri aja
Wah..nggak bener nih Dewi.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu, aduhai
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks bundaTien ku..
Salam Aduhaaii...
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah ..Bu Tien, ancen Angel ya B Dewi hahaha cembuker
ReplyDelete