JANGAN PERGI 06
(Tien Kumalasari)
Pekik kesakitan terdengar, bersamaan dengan suara
orang terjatuh, mengejutkan beberapa guru dan juga satpam di sekolah itu.
Mereka berlarian mendekati, sementara Dewi yang sudah sampai di pinggir jalan hanya menoleh sejenak, kemudian
langsung naik ke atas taksi yang tadi dipanggilnya.
Ratri berusaha bangkit. Bukan hanya lututnya yang
sakit, tapi juga lengannya, dan juga sebagian wajahnya, terutama dibagian
kening, tampak mengeluarkan darah.
Beberapa teman guru membantunya bangun.
“Kenapa sampai terjatuh? Ayo bu, bisa jalan? Ke UKS
dulu biar diobati,” kata salah seorang guru, sedangkan guru yang lain
memapahnya.
Satpam yang berusaha menolong, kemudian hanya berdiri
mematung, karena Ratri sudah di papah masuk ke dalam UKS.
“Bagaimana bisa terjatuh Bu?”
“Ibu mau kemana sebenarnya?”
“Sepertinya tadi keluar dari ruang Kepala Sekolah.”
“Iya, mengejar Bu Dewi ya, saya melihat bu Ratri
mengejar bu Dewi.”
“Kok bu Dewi seperti tidak peduli? Menoleh sebentar
kemudian terus saja berlalu. Mestinya beliau melihat bu Ratri terjatuh.”
Celoteh beberapa temannya terdengar bersahutan di
telinga Ratri. Ia meringis kesakitan ketika salah seorang temannya membersihkan
luka dan mengobatinya.
“Aduh, lukanya banyak benar.”
“Sakit ya Bu? Tapi bisa berjalan kan?”
Salah seorang guru meminta anak-anak yang berkerumun
di depan pintu segera bubar.
“Anak-anak, ayo kembali ke kelas masing-masing ya.”
“Bu Ratri jatuh ya?”
“Iya Nak, tapi tidak apa-apa, sedang diobati. Ayo
bubar … bubar, dan kembali ke kelas ya.”
Anak-anak pun berhamburan masuk ke kelas masing-masing
sambil bersahutan mengomentari ibu gurunya yang sedang dirawat.
Ratri merasa sakit, bukan hanya pada lukanya, tapi
juga pada hatinya. Sikap bu Dewi tidak dimengertinya, karena Ratri merasa tidak
melakukan kesalahan apapun. Ia sudah menanyakan apa kesalahannya, dan Dewi juga
menjawab bahwa tidak ada. Kenapa sikapnya begitu menusuk perasaan?
“Sebenarnya bu Ratri sedang bicara apa sama bu Dewi?”
Ratri enggan menjawab permasalahan tentang sikap Dewi. Ia
hanya diam sambil meringis kesakitan.
“Terkadang bu Dewi itu susah diajak bicara.”
“Benar. Tadi dia melihat bu Ratri jatuh, kok malah
langsung pergi, tidak berusaha berhenti dulu untuk melihat keadaannya.”
“Terkadang aneh.”
“Tidak apa-apa Bu, tadi bu Dewi seperti terburu-buru,
tampaknya ada yang sangat penting,” kata Ratri untuk mencairkan suasana kesal
teman-teman gurunya.
“Biarpun tergesa, tapi melihat anak buahnya jatuh,
masa sih diam saja.”
“Iya benar, keterlaluan.”
“Tidak apa-apa kok Bu, luka saya juga tidak seberapa.”
Ratri sungguh tak ingin, permasalahan yang
membingungkan hatinya itu sampai menjadi pembicaraan diantara teman-temannya.
“Sekarang ibu tahan ya, di kening ini agak dalam
lukanya,” kata salah seorang guru yang sedang mengobati lukanya.
Ratri sedikit meringis saat luka itu dibersihkan. Tapi
tidak lama, perih itu sudah berkurang ketika plester sudah ditempelkan untuk
menutupi luka itu. Yang masih tersisa adalah luka di hatinya.
Biarpun dengan tambalan di wajahnya, dan berjalan
sambil terpincang-pincang, tapi Ratri tetap mengajar dengan penuh semangat. Ia
tak ingin kelihatan lemah diantara murid-muridnya.
“Ibu tidak sakit?”
“Tidak sayang, hanya perih sedikit, tapi sekarang
sudah berkurang, ayo … sekarang keluarkan pekerjaan rumah yang kemarin ibu
berikan. Semua mengerjakan Bukan?”
“Ya bu,” jawab serempak murid-muridnya sambil
mengeluarkan buku matematika, dimana kemarin ada PR yang harus mereka kerjakan.
Sekarang, salah satu murid maju ke depan untuk
menuliskan jawabannya. Kalian lihat ya, apa jawaban kalian sesuai dengan yang
nanti ditulis oleh teman kalian. Riana, maju ke depan, tuliskan jawaban kamu di
papan tulis, agar kita bisa saling mencocokkan.
Yang dipanggil Riana maju ke depan sambil membawa
bukunya, dan melakukan apa yang menjadi perintah gurunya.
***
Tertatih langkah Ratri ketika pulang dari sekolah. Ia
menolak diantar temannya, karena rumahnya tidak jauh, dan dia masih sanggup
berjalan.
Ia mengusap peluh di dahinya, karena sengatan matahari
meluruhkan peluh- yang membasahi tubuhnya.
Saat dia hendak menyeberang, sebuah mobil berhenti.
“Ratri.”
Ratri terkejut, Ia urung menyeberang dan melihat
seseorang turun dari mobil itu.
“Kamu Ratri kan?”
Ratri mengamati laki-laki ganteng bercambang itu
lekat-lekat. Serasa pernah mengenalnya, tapi siapa dia dan kenal dimana.
“Lupa ya sama aku?”
Ratri mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat.
Laki-laki itu tertawa.
“Aku Dian, teman waktu SD, ingat?” laki-laki itu coba
mengingatkan.
“Yaaah, Dian? Dian Aryo Seno, Anak nakal yang suka
menyembunyikan buku aku?”
Dian terbahak lucu.
“Aduh, panas sekali, ayo pergi ke rumah makan atau
apa, sekedar menghilangkan haus, sambil bicara.”
Tanpa sengaja, Ratri mengangguk, kemudian ikut saja
ketika Dian memintanya masuk ke dalam mobil.
***
“Kenapa wajahmu itu? Luka? Jerawatan?” tanya Dian
ketika mereka sudah duduk berdua di sebuah rumah makan.
“Ini, aku terjatuh, masa sih jerawatan sampai sekian
besarnya?”
“Terjatuh di mana?”
“Tadi, di sekolah tempat aku bekerja.”
“Kok bisa jatuh sih,” tanya Dian sambil terus mengamati
wajah Ratri.
“Namanya juga kecelakaan. Pas turun tangga, kurang
hati-hati. Nggak apa-apa, hanya luka kecil kok.”
“Ya ampuun.”
“Ngomong yang lainnya saja ya. Kok kamu tahu bahwa itu
aku, padahal sudah puluhan tahun kita tak pernah bertemu?” tanya Ratri mengalihkan
pembicaraan.
“Aku melihat kamu dari seberang. Susah melupakan wajah
kamu, jadi begitu melihat, aku sudah ingat bahwa itu kamu.”
“Hebat bener, padahal aku tidak bisa mengingat kamu
sampai kamu mengingatkan aku.”
“Sebenarnya aku ragu sih, jangan-jangan bukan, lalu
aku memutar lagi mobilku, dan memanggil nama kamu. Ternyata benar kamu. Seneng
aku. Kamu masih tinggal di gang itu, yang dulu ada warung bakmi di pojokan?”
“Masih. Tapi warung bakmi itu sudah pindah, menjadi
restoran yang lumayan besar di dekat pasar.”
“Wah, berkembang rupanya.”
“Iya. Kemana saja kamu selama ini?”
“Aku bekerja di Jakarta, setelah lulus kuliah.”
“Senengnya. Aku hanya sampai lulus sekolah guru,
kemudian mengajar di sebuah Sekolah Dasar dekat rumah.”
“Guru itu pekerjaan yang mulia.”
“InshaaAllah.”
“Kamu sudah menikah?”
Ratri menggelengkan wajahnya.
“Waduh, gadis secantik kamu, belum menikah? Bohong
kalau tidak ada yang mau menjadi pacar kamu.”
“Kata siapa setiap gadis cantik harus segera laku? Aku
juga bukan yang cantik-cantik amat. Biasa saja. Kalau kamu bilang cantik, ya
iya lah cantik, mana ada perempuan ganteng?”
Dian terbahak.
“Iya sih, tapi itu benar.”
“Kamu sudah menikah?”
“Sudah, tiga tahun yang lalu.”
“Wah, berarti sudah punya anak donk? Berapa? Dua kan
paling sedikit.”
Dian menggelengkan kepalanya.
“Belum? Ya nggak apa-apa, kok kamu tampak sedih begitu?
Anak itu kan rejeki, kalau sekarang belum diberi, ya namanya belum rejeki
kamu, jadi bersabarlah.”
Dian mengaduk jus nya.
“Tapi maaf Dian, aku tidak bisa lama menemani kamu.
Soalnya ibuku sendirian di rumah. Dia pasti gelisah kalau aku tidak sampai di
rumah tepat waktu.”
“Oh, bapak sudah meninggal?”
“Sudah, empat tahunan yang lalu.”
“Ikut prihatin ya Tri.”
Ratri mengangguk sedih.
“Baiklah, jangan sedih begitu dong, ayo aku antar
pulang, kasihan ibu. Tapi aku masih akan lama disini, lain kali aku samperin
kamu untuk bercerita lebih banyak ya.”
“Baiklah, aku setuju.”
“Berikan nomor kontak kamu, supaya gampang menghubungi
kamu.”
Mereka bertukar nomor kontak, kemudian Dian
mengantarkan Ratri pulang.
***
“Ibuuu, maaf Ratri terlambat lagi,” teriak Ratri saat
melihat ibunya duduk di teras. Tapi ternyata ibunya tidak sendiri. Ada Radit
duduk menghadap ke pintu, sehingga Ratri tidak melihatnya.
“Lihat, ada tamu nih,” kata ibunya sambil menunjuk ke
arah Radit.
“Hei, kenapa wajahmu?” tanya Radit sambil meraba
balutan plester di keningnya.
“Hanya jatuh.”
“Jatuh di mana? Kamu itu seperti anak kecil saja sih
Tri,” tegur ibunya.
“Turun tangga, kurang hati-hati, lalu terjatuh. Tidak
apa-apa, hanya lecet.”
“Apa itu sebabnya maka kamu pulang terlambat?” tanya
bu Cipto.
“Tidak, terjatuhnya sudah tadi. Saya terlambat karena
bertemu teman, yang lama tidak bertemu.”
“Teman guru?”
“Bukan, teman SD, setelah lulus lalu menghilang entah
kemana. Ibu pasti ingat deh, anaknya nakal, suka gangguin Ratri, kalau main ke
sini paling cerewet.”
“O, itu … sebentar, ibu lupa-lupa ingat nih,” kata bu
Cipto mengingat-ingat.
“Dian Bu, namanya. Ingat?”
“O, iya, anak bengal itu, tapi lucu,” kata bu Cipto sambil
tertawa.
“Iya, tadi tiba-tiba ketemu, heran, dia nggak pangling
sama Ratri, padahal Ratri lupa. Sekarang dia tuh berewokan, gitu.”
“Kenapa nggak mampir?”
“Ratri bilang kalau ibu menunggu, dia takut
mengganggu, tapi dia janji suatu hari nanti akan datang kemari."
"Syukurlah."
“Eh, mas Radit sudah lama?”
“Aku lewat di depan sekolah, kok sudah sepi, aku pikir
kamu sudah pulang, ternyata belum.”
“Oh, lha ya itu, nemenin teman minum, sebentar, sambil
omong-omong, sekarang dia sudah di Jakarta. Dan sudah menikah tiga tahun lalu.”
Entah mengapa, Radit tiba-tiba merasa lega mendengar
teman Ratri sudah menikah. Kenapa sih ada perasaan nggak enak ketika Ratri
menceritakan temannya dengan heboh?
“Dia sudah menikah? Ya ampun, tiga tahun, pasti sudah
punya anak.”
“Belum, katanya.”
“O walaah, belum. Ya belum saatnya diberi momongan. Ya
sudah, temani nak Radit dulu, itu tadi sudah ibu buatkan minum, tapi ibu
tawarin makan nggak mau, katanya sudah makan di kantin rumah sakit,” kata bu
Cipto sambil berdiri dan beranjak ke belakang.
“Rupanya asyik ya, tadi ketemu yang brewok itu,” kata
Radit ketika ibunya sudah masuk ke dalam rumah.
Ratri tertawa.
“Dia itu lucu, kalau mas ketemu pasti seneng. Dia
baik, dan ramah.”
“Aku kan nggak kenal.”
“Iya sih, besok Ratri kenalin. Tapi mungkin dia nggak
lama di sini, karena harus kembali ke Jakarta. Dia kan bekerja di sana.”
“Sebentar, tuh, plesternya mau lepas. Gimana tadi
masangnya,” kata Radit sambil meraih wajah Ratri.
“Maaf, aku hanya akan membetulkan letak plesternya
ini. Waduh, ada yang baru nggak. Ya ampuun, ini lukanya agak dalam. Lihat,
darahnya mengalir lagi.”
“Agak dalam bagaimana?”
“Ayo ikut, harus dijahit. Nggak bisa begini ini, nanti
wajahmu jelek jadinya, lagipula lukanya akan lama keringnya.”
“Haa, dijahit? Sakit dong.”
“Tidak apa-apa. Temani ibu makan dulu, lalu ikut aku
ke rumah sakit. Ini tadi kena apa kok bisa luka agak dalam?”
“Nggak tahu, tertusuk benda runcing. Pantesan nyeri sekali
rasanya.”
“Tadi kamu bilang nggak apa-apa?”
“Aku melayani ibu makan dulu saja ya,” kata Ratri yang
segera masuk ke dalam rumah.
Bu Cipto agak khawatir, mendengar luka Ratri akan
dijahit, tapi Radit bisa menenangkannya. Setelah mengganti perban dan plesternya, Radit segera membawa Ratri ke rumah sakit.
***
“Radit, duduklah di sini, ibu mau bicara,” kata Bu Listyo ketika melihat Radit keluar dari kamar.
Radit menghampiri ibunya, lalu duduk didekatnya.
Meraih secangkir kopi yang disediakan bibik.
“Kenapa ibu tidak melihat lagi foto Listi di kamar
kamu?”
“Oh, masih ada kok.”
“Ibu tidak melihatnya di meja seperti biasanya.”
“Ada, di dalam laci.”
“Rupanya kamu sudah bisa melupakannya.”
“Berusaha melupakannya.”
“Senang ibu mendengarnya. Saatnya kamu memikirkan
gadis lain.”
“Ah, Ibu.”
“Kamu kan tidak bisa selamanya begini Dit? Ibu sudah
tua.”
Radit tertawa.
“Ibu sudah sering mengatakan itu.”
“Bagaimana kalau Miranda?”
“Apa? Tidak … tidak … Radit tidak suka.”
“Dia kan cantik, pintar, sebentar lagi sudah lulus
sarjana. Sepantasnyalah bersanding sama kamu.”
“Tidak Bu, Radit tidak suka.”
“Lalu gadis yang seperti apa yang kamu suka?”
“Seperti Listi.”
“Ya ampun, Listi lagi. Berarti kamu belum bisa
melupakannya.”
“Radit kan bilang, sedang berusaha.”
“Ibu masih berharap Mira menjadi istri kamu.”
“Tidak, ibu. Jangan dia. Carikan yang lebih cantik.”
“Apa kurangnya Mira sih Dit?”
“Mengapa ibu yang jatuh cinta sama Mira?” Radit
berdiri, beranjak pergi.
“Apa kamu sudah punya yang lain?”
“Ada Bu.”
“Bawa kemari, ibu ingin melihatnya.”
***
Berhari-hari kemudian Dewi tetap tak peduli melihat
dahi Ratri tertutup perban. Hanya sekali, sehari sesudah kecelakaan itu, dia menyapa, itupun
karena rekan-rekan guru mengomentarinya.
“Bu Ratri kok bisa jatuh sih?" tanyanya waktu itu.”
Ratri ingin mengatakan, bahwa dirinya terjatuh waktu
memburunya, tapi diurungkannya. Padahal Ratri yakin bahwa ketika dia mengejar,
sekilas bu Dewi menoleh ke arahnya.
“Karena kurang hati-hati saja bu.”
Setelah itu Dewi tak bertanya lagi. Hubungan diantara
keduanya tetap saja dingin, dan tak pernah bertutur kata kalau tidak ada hal
yang perlu dibicarakan.
***
Hari itu Ratri tidak langsung pulang. Seperti
keinginannya, dia ingin membelikan ibunya sebuah ponsel, agar kalau dia harus
pulang terlambat, sang ibu tidak menghawatirkannya. Ia sedang memillih-milih di
sebuah toko, ketika seorang ibu tiba-tiba mendekatinya.
“Kamu Listi?”
Ratri terkejut. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan Bu, saya Ratri.”
***
Besok lagi ya.
Yes...
ReplyDeleteSelamat Uti Nani Juara 1 di episode JP_06
DeleteAlhamdulillah .....
DeleteMatur nuwun bu Tien cerbung SP_06-nya sdh di tayagkan.
Sugeng dalu sugeng aso salira.
💪🏼💪🏼❤️❤️🌹🌹🤝🤝
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi tayang
ReplyDeleteMatur suwun
ReplyDeleteAlhamdulullah
ReplyDeleteAlhamdulillah...matur nuwun bunda tayang gasik
ReplyDeleteAsyik sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien. Sehat dan bahagia selalu..
ReplyDeleteMatur suwun bunda Tien yg ditunggu SDH tayang
ReplyDeleteSalam Tahes Ulales dari bumi Arema Malang dan tak lupa selalu Aduhaiiii
Alhamdullilah...sdh tayang cepat JP 06 nya..terima ksih bunda Tien..slmt mlm dan selamat istrht..salam Seroja dri sukabumi🙏🥰🌹
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sugeng malming
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga sehat selalu
Alkhamdulillah, mtrnwn mb Tien
ReplyDeletealhamdulillah🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu nggih...🙏🌹🦋
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Slhamdulillaah tayang juga makasih bu da sepertinya bu Dewi bogoheun sama dr radit prekitiw !!!
ReplyDeleteDewi ya terlalu sempit pemikirannya, belum apa -apa sudah cemburu buta.
ReplyDeleteRatri apa ketemu ibunya Radit ya...kebetulan banget kalo begitu.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ... 🌹🌹🌹🌹🌹
Matur nuwun bunda ...
ReplyDeleteTernyata saingan berat Ratri , bu Dewi kayanya.
ReplyDeletelha ketemu ibu nya radit ni...
Matur nuwun Bunda Tien..🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~06 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Puji Tuhan, ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip shg JP 06 hadir bagi kami penggandrungnya.
ReplyDeleteSemoga pertemuan ibunya Radit dgn Ratri membuka jalan lancar bagi hubungan Radit dan Ratri...
Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem...
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillilah, matur nwn bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan Aduhai dari mBantul
Alhamdulillah..... trimakasih Bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih dengan japer nya bu tien
Semoga bu tien sehat2
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteTerimakasih...Bu Tien .Kayaknya pernah ada tokoh Dian di cerbung mbak Tien di Sang Putri benarkah ?
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 06 sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Ketemu Bu Listyo rupanya; ditoko, mau beli hapé cethuk biar bisa ngasih tahu Bu Cipto kalau Ratri pulang terlambat
ReplyDeleteJadi berkembang nich, mencari pasangan yang kaya Listi, ih Radityo maunya cari foto copy an, mbok yang asli kan lebih.
Kan Ratri ada lebih, lebih keibuan, lebih tulus; kalau senyum kata Radityo yang lagi menebar rasa, semoga masuk kategori di penilaian Bu Listyo, setelah Mira kandidatnya nggak masuk nominasi.
Ya Ratri ektabilitasnya tinggi dimata Radityo, lha dideketin Mira aja menyingkir, ini malah hampir tiap ada kesempatan larinya ke rumah Bu Cipto sambil menunggu pulangnya Ratri.
Masih banyak melalui jalan yang tidak mulus mengingat ditemuinya berbagai gangguan ketidak nyamanan kalau Ratri diajak kerumah ortunya untuk sertifikasi peningkatan status jadi calon mantu gitu. Repotnya kalau anak mama ada maunya
Terimakasih Bu Tien,
Jangan pergi yang ke enam sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah yg ditunggu sdh hadir mksh Bu Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteWoh Ratri ketemu calon mertua....semoga ya
ReplyDeleteTrims Bu tien
Setujuuu...klo dg ibunya Radit hihiii..
DeleteAlhamdulilah.. Ratri sdh tayang..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga sehat selalu..
Alhamdulillah,,, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSmg bunya Adit suka dg Ratri ya ,,,🤭
Salam sehat wal'afiat bu Tien 🤗🤣
Alhamdulillah ..Ratri ma B Dewi saingan u Radit eee ala Radit lo suka nya ma.Ratri wayo...ketemu ibunya Radit...trima.kasih bu Tien
ReplyDeleteRatri ketemu bu Listyo...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Makasih mba Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu.
Aduhai
Alhamdulillah Matur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteRatri dan listi jangan² kembaran. He5x.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien cerbungnya.
Semoga mbak Tien sehat selalu. Salam sejahtera.