ADUHAI AH 45
(Tien Kumalasari)
Sriani terkejut. Ia berdiri di teras dan menunggu.
Pasti ada kesalahan, sampai ada polisi datang kemari, pikirnya.
“Selamat siang,” sapa salah seorang dari dua polisi
yang datang.
“Selamat siang,” jawab Sriani ragu.
“Benarkah ini rumah Ibu Sriani?”
“Ya, saya sendiri. Ada apa ya?”
“Saya membawa perintah penangkapan untuk Ibu," kata
salah seorang polisi itu sambil menyerahkan sepucuk surat bersampul coklat.
Sriani terbelalak. Penangkapan untuk dirinya? Gemetar
tangannya ketika membuka surat itu.
“Ini pasti salah, saya tidak merasa membuat kesalahan,”
katanya dengan suara bergetar.
“Ibu Sriani, sebaiknya Ibu mengikuti kami, dan
menerangkannya nanti di kantor. Saya hanya bertugas membawa Ibu.”
“Tidak, aku tidak mau,” teriaknya.
Salah seorang polisi maju dan memegangi lengan Sriani
yang mau beranjak masuk ke dalam.
“Lepaskaaaan, aku bukan penjahat. Lepaskaaaan,” ia
terus berteriak, membuat beberapa karyawannya yang ada di dalam berhamburan
keluar.
Polisi itu terus membawa Sriani. Sriani meronta.
Polisi segera memborgol tangan Sriani karena dia terus
meronta.
“Kalian ini gila atau apa? Aku bukan penjahat.” Sriani
terus berteriak, bahkan di dalam mobil, ketika polisi memaksanya masuk dan
menguncinya, kemudian membawanya pergi.
“Aduh, apa yang terjadi?” tanya salah seorang karyawan
gugup.
“Iya, nggak tahu aku, mengapa tiba-tiba ibu ditangkap
polisi?”
“Dia melakukan kejahatan apa?”
“Tadi dia bilang mau mengurus sertifikat atau apa,
gitu lho. Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba polisi menangkap bu Sriani.
“Lalu bagaimana kita?”
“Kita tunggu saja dulu, siapa tahu nanti ibu akan
segera bisa pulang.”
“Tapi aku takut, bagaimana kalau kita terlibat?”
“Terlibat apa? Kita tidak pernah tahu urusannya bu
Sri, kecuali hanya bekerja.”
“Iya benar.”
“Tapi polisi pasti menemui kita dan bertanya
macam-macam.”
“Kita bilang saja tidak tahu apa-apa. Tidak usah takut
kalau kita tidak punya kesalahan.”
“Hiih, tapi berurusan dengan polisi, menakutkan.”
“Hadeeeh, kamu itu, kalau kita tidak melakukan hal
yang salah, ya tidak usah takut.”
“Iya benar, tapi sebaiknya kita kemasi dulu
barang-barang itu, aku berpikir lebih baik kita pulang saja.”
“Ya sudah, ayuk.”
***
“Desy keluar dari ruang prakteknya di rumah, dan
melihat seorang pasien masih menunggu.
“Sudah habis Hes?” tanyanya kepada Hesti.
“Masih ada satu, pasien dokter Danarto,” jawab Hesti.
“Oh, baiklah.”
Hesti termenung ketika Desy sudah masuk ke dalam
rumah. Ia merasa gelisah sejak kemarin, karena Sarman sudah memasukkan laporan
perihal surat tanah yang akan digagahi ibu tirinya. Sungguh dia sebenarnya tak
ingin ribut-ribut, tapi semua orang minta agar dia menuntut haknya. Memang sih,
dia merasa dibohongi oleh ibu tirinya. Tapi Hesti tak ingin memikirkannya. Dia
berpikir secara sederhana, yaitu harus bekerja agar mendapatkan penghasilan,
lalu bisa meneruskan kuliah. Tak sedikitpun ada bayangan bahwa sesungguhnya dia
memiliki harta yang tidak sedikit. Dia tak mempedulikannya. Tapi kata Sarman,
kebenaran harus ditegakkan. Apa boleh buat.
Ia masih melamun, ketika pasien terakhir sudah selesai
diperiksa, dan Danarto sudah bersiap masuk ke dalam rumah.
“Hesti,” panggilan itu mengejutkannya, karena dia
memang sedang melamun.
“Eh, ya …?”
“Kamu melamun?”
“Hehe … iya," jawabnya sambil tersenyum.
“Memikirkan ibu tiri kamu?”
“Iya sih."
“Saat ini dia sudah ditangkap polisi.”
“Duh … “
“Kamu takut?”
“Aku tidak suka ada masalah. Aku merasa sudah cukup bekerja,
mendapat makan minum gratis, dan bisa kuliah. Hanya itu yang aku pikirkan.”
“Tidak apa-apa. Pemikiran seperti itu tidak ada
salahnya. Tapi jangan biarkan seseorang menginjak-injak apa yang menjadi hak
kamu. Itu tidak benar, dan kebenaran harus ditegakkan.”
“Iya Mas.”
“Ya sudah, sekarang aku sudah selesai, ayo masuk dan
beristirahat,”
“Aku bersih-bersih dulu,” kata Hesti sambil beranjak
memasuki ruang praktek dokter Danarto. Setiap hari itulah pekerjaannya.
Melayani praktek dokter Danarto dan Desy, menyiapkan segala sesuatunya sebelum
praktek, dan merapikan kembali ruangan setelah praktek, barulah dia
beristirahat. Ia senang melakukan semua itu. Ia senang mengecap hasil jerih
payahnya, menikmati semua karunia karena berada di lingkungan orang-orang baik
yang mengasihi dan memperhatikannya.
Ketika Hesti selesai dengan tugasnya, dan sudah
mengunci pintu kedua ruang praktek itu, barulah dia masuk ke dalam rumah.
Dilihatnya Desy sedang menyiapkan makan malam di
dapur.
“Mari Mbak, biar aku saja yang menata meja,” kata
Hesti.
“Kamu cuci kaki tangan dulu, baru ikut menata meja.
Aku sudah menyiapkan lauknya,” kata Desy.
“Baiklah Mbak,” kata Hesti yang kemudian beranjak
masuk ke kamarnya dan membersihkan diri,
“Dia selalu memikirkan laporan itu,” kata
Danarto yang tiba-tiba sudah masuk ke dapur, mendekati istrinya yang sedang
memanasi sayur.
“Iya, aku tahu. Tapi kan banyak yang akan membantu
dia.”
“Dia berpikir secara sederhana. Mendapat uang, bisa
makan dan bisa kuliah, itu cukup.”
“Gadis lugu yang sangat baik. Aku tidak mengira,
karena dulu dia seperti seorang gadis liar yang tanpa malu-malu mengejarmu.”
“Ada yang menuntunnya agar dia melakukan semua itu. Aslinya
dia gadis polos, dan lugu, dan sederhana cara berpikirnya.”
“Benar. Sekarang Mas duduk saja di ruang makan, aku
dan Hesti akan menyiapkan makan malam kita.”
“Baiklah, nyonya Danarto, aku siap menunggu,” kata
Danarto sambil mengacak rambut isterinya lembut, menghirup harum rambut itu
dengan sepenuh rasa.
“Ah …”
Danarto urung melangkah, kembali mendekati istrinya
dan kembali untuk mencium pipinya.
***
Hari masih pagi, dan remang malam masih tersisa. Di
timur sana, warna kemerahan menghiasi langit, memberikan isyarat bahwa matahari
akan segera bersemayam di tahtanya, memberi penerangan dan kehangatan di
seluruh permukaan alam.
Sarman seperti biasa, sudah menyirami kebun bunga yang
menjadi kesayangan ibunya.
“Sarman …”
Sarman menoleh ketika mendengar suara yang sudah
sangat dikenalnya. Haryo menyentuh pundaknya, lalu duduk di sebuah bangku, tak
jauh dari dirinya yang sedang menyingkirkan daun-daun kering yang sudah rontok.
“Bapak sudah bangun?”
“Ya sudah lah, bukankah kamu tahu kalau bapak selalu
bangun pagi?”
Sarman mengangguk.
“Kamu sekarang seorang sarjana. Apakah kamu mau
selamanya menjadi tukang kebun?” canda Haryo.
“Sedang berusaha mencari pekerjaan Pak. Tapi
sebenarnya saya ingin melanjutkan kuliah lagi.”
“Bagus Man, aku mendukung kamu.”
“Ya Pak.”
“Kamu lulus dengan nilai terbaik. Kamu akan mendapat
prioritas di fakultas dimanapun kamu kuliah.
“Saya akan mencobanya, Pak.”
“Lakukan saja, bapak akan membantu kamu.”
“Kalau soal biaya, saya ada Pak. Bapak tidak usah
memikirkan.”
“Apa kamu punya uang?”
“Saya kan menabung setiap uang kontrakan rumah saya
dibayarkan. Saya kira cukup.”
“Baiklah, bilang sama bapak, kalau kamu membutuhkan
apapun.”
“Baiklah Pak.”
“Bagus. Dan setelah itu, segera cari isteri.”
Sarman tertawa lirih.
“Kamu sudah tua. Saatnya punya istri, hidup
berkeluarga. Kalau itu sudah terjadi, bapak akan merasa tenang dan lega.”
“Ya, Pak.”
“Dari kemarin-kemarin ‘ya … yaa …” terus.”
Haryo menarik lengan Sarman, diajaknya duduk di
sampingnya.
Sarman mengibaskan tangannya yang kotor terkena tanah.
“Siapa gadis yang beberapa minggu yang lalu datang
kemari bersama kamu?”
“Oh, itu Sita, teman satu kost nya Hesti ketika masih
di sana.”
“Kamu suka sama dia?”
Sarman tertawa.
“Tidak Pak.”
“Bapak melihat gadis itu sepertinya suka sama kamu.”
Sarman menggeleng pelan.
“Dia kan cantik? Kamu tidak suka? Atau … kamu menyukai
gadis lain?”
Sarman tersenyum, Bayangan Hesti melintas, tapi ia belum
berani mengatakannya.
“Nanti saja Pak, kalau Sarman sudah bekerja.”
Simbok keluar dengan membawa nampan, menghidangkan
segelas kopi pahit kesukaan Sarman, dan satu gelas susu coklat, kesukaan Haryo.
“Taruh disini saja Mbok,” kata Haryo sambil bergeser,
dan menyisakan tempat bagi Simbok untuk meletakkan gelas-gelasnya.
“Kok simbok membawa kopiku kesini sih?” tanya Sarman.
“Bapak tadi yang minta, Mas.”
“Memang aku ingin berbincang sama kamu disini. Ayo
minumlah kopi pahitmu,” kata Haryo sambil meraih coklat susunya.
“Masih panas,” katanya saat sudah memegang gelasnya.
“Mana pisang goreng yang tadi kamu bilang Mbok?”
“Sebentar Pak, akan saya ambilkan,” kata simbok sambil
berlalu.
“Kamu benar-benar belum memikirkan istri?” Haryo masih
mendesak Sarman dengan masalah istri.
“Nanti saja, kan Sarman belum bekerja.”
“Kelamaan. Dulu bapak masih kuliah sudah punya pacar,”
kemudian Haryo tertawa sendiri. Mentertawakan keisengannya yang bahkan membuat
rumah tangganya nyaris hancur. Hanya karena kemuliaan hati istrinya saja maka
kemudian dia bisa menemukan jalan hidup yang tentram seperti sekarang ini.
“Tapi dengar, jangan sekali-sekali meniru bapakmu ini,”
kata Haryo wanti-wanti.
Sarman tersenyum tipis. Ya enggaklah, aku bukan mata
keranjang, katanya dalam hati.
“Kesenangan sesaat membawa kita untuk berteman dengan
setan. Dan setan selalu bertepuk tangan manakala kita mencecap nikmat dosa seperti yang selalu
diiming-imingkannya.”
Sarman mengangguk pelan. Ia bersyukur tidak mewarisi
keberandalan ayahnya dalam bergaul dengan perempuan.
“Bapak bersyukur, kamu tumbuh menjadi laki-laki yang
tangguh, dan membuat bapak bangga.”
Simbok muncul membawa sepiring pisang goreng yang
masih hangat.
“Eh, ayo minum kopimu Man,” kata Haryo sambil
menyeruput susu coklatnya.
“Sudah tidak panas, enak ini Mbok, terima kasih.”
Simbok tersenyum, kemudian berlalu.
“Eeeh, curang, kenapa aku tidak di ajak?” seru Tindy
yang baru turun dari teras.
Haryo tersenyum.
“Kemarilah, aku baru membujuk Sarman supaya segera
mencari istri,” kata Haryo.
Tindy duduk di samping Sarman.
“Saya ambilkan minum untuk Ibu,” kata Sarman.
“Tidak Man, aku sudah minum di dapur tadi. Pisang gorengnya saja, aku
mau,” kata Tindy sambil mencomot pisang gorengnya.
Langit sudah sedikit terang. Sedikit wajah matahari
yang tampak, seakan menghalau kegelapan yang semula menyelimuti bumi.
“Bapak kan tidak tahu, Sarman ini masih menunggu
seseorang yang sekarang masih kuliah,” canda Tindy.
“Ibu bisa saja,” kata Sarman tersipu, lalu menutupi
rasa malunya sambil menghirup kopi pahitnya.
Ia tahu, bahwa ibunya bisa meraba isi hatinya tentang
siapa yang dicintainya.
“Sarman ingin kuliah lagi.”
“Bagus Man, ibu senang mendengarnya. Tapi itu tidak
menghambat kalau kamu ingin segera menikah lho.”
Sarman hanya cengar-cengir.
“Tapi ya malah kebetulan, kamu selesaikan S2 kamu,
sementara dia sudah siap menerima lamaran kamu. Kalaupun belum selesai, tidak
apa-apa lho, kalau mau menikah,” sambung Tindy.
“Saya serahkan semuanya, bagaimana Allah mengatur
hidup saya,” kata Sarman bijak.
“Bagus Man. Jangan lupa juga, saat ini kamu sedang
membantu Hesti dalam kasusnya mempertahankan haknya sebagai pewaris dari
neneknya.”
“Iya Bu, saya sudah menghubungi pengacara. Dia yang
akan menyelesaikannya.”
“Semoga permasalahannya segera tuntas.”
***
Sriani merasa kesal karena dia harus ditahan. Polisi
sudah mengobrak abrik rumahnya untuk menemukan barang bukti. Tentu saja
termasuk surat yang ditanda tangani Hesti dengan terpaksa, tanpa sempat
membacanya terlebih dulu.
“Bukankah surat bertanda tangan ini sudah cukup?
Mengapa saya masih dituduh menipu?” Sriani berteriak keras karena gusar.
“Ibu tidak usah berteriak, ada sidang di pengadilan
yang akan menunjukkan semua kebenarannya.
“Tanda tangan ini asli, bukan palsu, bapak bisa
menanyakannya kepada orangnya.”
Tapi Sriani tetap saja ditahan. Sampai menunggu kasus
itu di sidangkan.
***
Sita yang merasa kesepian sejak Hesti tidak lagi
menjadi tetangga kost nya, ingin sekali menemuinya di tempat kerja. Karena dia
hanya punya waktu di sore hari, dan kalau sore Hesti harus bekerja.
Tapi dia tidak tahu dimana alamat tempat Hesti
bekerja. Ia harus menelpon Sarman untuk menanyakannya.
Ia mengambil ponselnya dan mencari nomor kontak
Sarman.
Tapi tiba-tiba ada suara pintu diketuk. Sita terkejut.
Ia membuka pintu kamarnya dan merasa heran melihat seorang laki-laki berdiri
diluar.
Laki-laki itu mengangguk sopan, dan Sita membalasnya dengan
hati penuh tanda tanya. Ia belum pernah mengenal laki-laki itu.
“Dengan ibu Sita Purwaningrum?” tanya laki-laki itu.
Sita mengangguk heran.
***
Besok lagi ya.
Yesss
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien sayang
DeleteJuara 1 Jeng Iyeng..... Selamat
DeleteSelamat bu dosen Iyeng Juara 1, menyongsong kehadiran pengantin baru dan para calon pengantin dalam serial ADUHAI....AH, besutan ibunda Tien Kumalasari:
DeleteAduhai_Ah 45......
DeleteAlhamdulillah sdh tayang. Matur nuwun bunda Tien Kumalasari.
Salam SEROJA, sehat selalu dan tetap ADUHAI... In shaa Allah.
Ihhiirr...maturnuwun mbak Nani dan pakdhe Djoko...kok pas mbuka, pas tayang
DeleteSelamat mb. Iyeng, juara kali ini, yes.... Yes...... Bu Tien tambah seru ajah.....
DeleteYes
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien.
Selamat Jeng Iyeng juara
ReplyDeleteWaduh ketinggalan
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 45 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 45 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdullilah AA 45 sdh tayang..makin lm makin seru dan geregetan bunda..slmt mlm n slmt istrht..salam seroja dri sukabumi🙏🥰🌹
ReplyDeleteAlhamdullilah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷
Ah..... Siapa lagi tuhhhh....
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteADUHAI AH dah tayang gasik terima kasih Ibu Tien...selamat malam selamat beristirahat..semoga sehat sll
Wah ada tamu menemui Sita sepertinya pengacara nya Hesti utk menangani kasusnya dgn Sriani..
ReplyDeleteSalam sehat selalu kagem Bu Tien dan keluarga...Aamiin YRA.🙏🙏🙏
Siapa yg nyari sita ya terima kasih bu tien
ReplyDeletelha siapa lagi ini yg dtng k rumah Sita...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...v
Laki-laki itu mengangguk sopan, dan Sita membalasnya dengan hati penuh tanda tanya. Ia belum pernah mengenal laki-laki itu.
ReplyDelete“Dengan ibu Sita Purwaningrum?” tanya laki-laki itu.
Sita mengangguk heran.
Dugaanku...... boleh kan menduga ?
Laki-laki yang datang dengan sopan ini adalah seseorang yang sedang mencari data-data sehubungan dengan pribadi Hesti.....
Salah satunya Sita teman kostnya..... Laki-laki ini adalah seorang pengacara yang mengumpulkan bahan untuk dipergunakan membela kasus Hesti yang sedang menuntut "HAK" nya yang dengan semena-mena "DIRAMPOK" Sriani sebagai ibu tirinya.
Semoga dugaanku benar.
Lanjoooot bunda ....
Kami semua sabar menunggu esok malam......
Salam ADUHAI ....AH.
Baru
ReplyDeleteAlhamdullilah AA 45 sdh tayang, terima kasih mbak Tien, sehat selalu dan selamat berbahagia bersama keluarga.
ReplyDeleteAlhamdulillah AA 45 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien, selamat weekend dan semangat
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang trimakasih bu Tien....
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matursuwun mbak Tien
ReplyDeletesalamsehat selalu
Mbak Tien, makin seru saja ceritanya. Mungkin tamu Sita itu adalah pengacara yang diminta Sarman membela kepentingan Hesti, mencari bukti atas kejahatan Sriani, yaitu membuat surat pernyataan palsu yang ditandatangani Hesti tanpa sempat membacanya, juga penggelapan harta peninggalan almh bu Mintarsih. Lumayan tuh ancaman pidananya. Pemalsuan ancamannya 6 tahun, penggelapan ancamannya 4 tahun, serta jika dia telah menggambil sejumlah perhiasan, bisa kena pasal pencurian juga, ancamannya 5 tahun. Kejahatan itu menyebabkan ada alasan untuk dilakukan penahanan, karena total ancaman pidananya adalah pidana terberat ditambah sepertiganya, yaitu 6 tahun ditambah 2 tahun = maks 8 tahun. Kapokmu kapan Sriani...uugghh
ReplyDeleteMaaf, Sriani melakukan pencurian kan dwngan masuk ke dalam rumah almh Mintarsih, berarti pencurian dengan pemberatan, alias curaf. Ancamannya 7 tahun. Jadi maksimum pidana bisa dijatuhkan = 7 ditambah 2 tahun 4 bulan, jadi 9 tahun 4 bula ....blaikk..
ReplyDeleteNglilir langsung baca AA. Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah .tayang walau baru buka,nuhun bu Tien
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat ...aduhai ...ah
Alhamdulillah,Terimakasih Mbak
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteSll sehat dan bahagia . .
Trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Siapa ya yg dtg ke rmh Sita
Apakah polisi atas pengacara
Aduhai Ah
Salam sehat wa'afiat semua ya
Salam sehat ....ini nunggu2 munculnya Aduhai Ah
ReplyDelete