ADUHAI AH 44
(Tien Kumalasari)
“Hallo …” Sarman menyapa penelponnya, khawatir, barangkali ada sesuatu yang penting.
“Nak Sarman?” jawab si penelpon.
“Ya, maaf, ini siapa ya?”
“Wah, nak Sarman lupa sama saya ya, saya pak RT.”
“O, pak RT yang_”
“Yang di kampungnya almarhumah bu Mintarsih.”
“Oh, ya ampun, maaf. Saya lupa bahwa saya telah
memberikan nomor tilpun saya ke pak RT.”
“Saya yang minta, barangkali ada yang perlu, Nak.”
“Oh, iya … iya, ada apa ya Pak?”
“Saya cuma mau memberi tahu, bahwa kemarin itu bu
Sriani datang ke rumahnya bu Mintarsih.
“Mau apa dia?”
“Dia bilang, bahwa nak Hesti sudah mengikhlaskan
peninggalan neneknya untuk dia, lalu dia akan mengesahkannya dengan balik nama
atas nama dia.”
“Hm, kok ada orang sejahat itu ya.”
“Saya sudah memperingatkan dia. Tapi dia bilang nak Hesti sudah menyetujuinya
dengan membubuhkan tanda tangan. Itu akan dipergunakannya untuk syarat balik
nama nanti.”
“Baiklah Pak, terima kasih atas informasinya.”
“Menurut saya, hal itu tidak bisa didiamkan saja.
Kasihan nak Hesti.”
“Benar pak, nanti saya akan membantu mengurusnya.
Sekali lagi terima kasih ya Pak.”
“Sama-sama Nak.”
Sarman menutup ponselnya dengan wajah geram.
“Ada apa?” tanya Haryo.
“Ini masalah Hesti. Ibu tirinya bermaksud mengangkangi
harta peninggalan neneknya.”
“O, itu. Bawa saja ke pengadilan. Biar mendapat
pelajaran dia.”
“Iya Pak. Soalnya Hesti terlihat lugu dan ketakutan di
hadapan ibu tirinya, jadi ibu
tirinya memperlakukannya dengan seenaknya.”
“Kamu harus membantunya, kalau memang dia ketakutan,”
sambung Tindy.
Hesti yang ada di dekat mereka hanya mendengarkan.
Sungguh dia takut berhadapan dengan ibu tirinya, tapi mendengar banyak yang
akan membantu, maka hatinya menjadi lebih tenang.
“Bagaimana Hesti?” tanya Sarman.
Hesti mengangkat wajahnya, dan melihat semuanya sedang
memandanginya.
“Terserah Mas Sarman saja.”
“Kamu yakin, kamu akan berani menentang ibu tiri kamu?”
“Kalau dibantu, saya menurut saja. Sebetulnya tidak
nyaman juga, berebut harta seperti itu, kelihatannya memalukan bukan?”
“Yang harusnya malu bukan kamu, tapi ibu tiri kamu
itu,” tukas Haryo.
“Ya sudah, ayo kita pulang. Lebih baik berembug di
rumah saja.”
“Jangan lupa mengabari Danarto dan Desy untuk acara
nanti malam, Bu,” Haryo mengingatkan isterinya.
“Iya, nanti aku menelponnya. Sekarang mereka pasti
masih bertugas.
***
Siang hari itu Hesti harus kembali ke rumah Danarto,
karena sore harinya dia punya tugas. Tutut bersikeras mengantarkan, karena dia
punya kepentingan.
“Aku tahu, kamu pasti bukan sekedar mengantarkan
Hesti, tapi mau bermain dengan Nara kan?” kata Tindy.
“Iya sih Bu, sudah beberapa hari tidak kesana, kangen
sekali rasanya.”
“Ibu bisa mengerti, bocah itu memang sangat
menggemaskan.”
“Benar Bu. Kemarin itu dia sudah bisa mengucap bu … bu
… begitu.”
“Masa?”
“Mungkin dia kangen sama ibunya ya Bu.”
“Bisa jadi. Walau belum bisa mengungkapkan
perasaannya, pasti jauh di dasar hatinya ada rasa seperti itu. Mungkin juga dia
bertanya, di mana ibuku.”
“Tapi dia bisa terkekeh lucu.”
“Mungkin karena melihat orang-orang memperhatikannya, mengajaknya
bermain, menyayanginya, sehingga dia bisa melupakannya.”
“Ya sudah Bu, Tutut mengantar Hesti dulu, nanti
kembali setelah mbak Desy dan mas Danar selesai praktek. Jadi kami datang
bersama-sama kemari.”
“Iya, terserah kamu saja.”
“Hestiiiii,” Tutut berteriak.
“Ya, aku sudah siap.” Kata Hesti dari dalam rumah.
“Oh ya, aku mau mengambil salah satu boneka lagi untuk
Nara.”
“Masih kecil, jangan diberi boneka terlalu besar,”
Tindy mengingatkan.
“Iya Bu, ini yang kecil kok.”
Tindy hanya geleng-geleng kepala, menyaksikan ulah
Tutut yang seperti menemukan mainan baru. Nara, bocah yang ditinggalkan ibunya
dalam keputus-asaannya, beruntung mendapatkan kasih sayang dari orang-orang
di sekitarnya.
***
“Naraaaa,” masih di luar pintu saja Tutut sudah
berteriak.
Pintu rumah Danis tidak tertutup, berarti Nara tidak
sedang tidur. Tutut langsung masuk dan menemukan Nara sedang bermain di ruang
tengah, duduk di atas karpet yang digelar.
“Naraaa, sayang,” serunya sambil mengacungkan boneka lucu
ke hadapannya.
Nara tertawa, sambil tangannya meraih boneka itu.
“Na … na .. naa…”
“Kamu suka?”
Nara menarik-narik boneka kelinci itu sambil
tertawa-tawa.
“Saya buatkan minum, mbak Tutut?” tanya suster Murni sambil
berdiri.
“Air putih saja sus,” kata Tutut yang menarik Nara ke
dalam pangkuannya, kemudian mencium pipi gembulnya sepuas hati.
“Na … na … naa..”
“Aku bukan Nana … panggil Tutut … ayo … bilang …
Tutut..”
“Bu … bu …” Nara terkekeh, bukannya memanggil Tutut
justru menyebut ‘bu’ dengan mulut mengerucut lucu.
“Hiih .. kok ‘bu’ sih …”
“Tutut …”
“Bukan, yang benar ya itu tadi … bu, ini ibu, Nara,”
suara bariton itu mengejutkannya. Tutut sudah tahu bahwa Danis yang datang.
Agak heran sih, mengapa Danis bisa pulang sesiang itu.
“Apa maksudmu?” sekarang bibir Tutut yang mengerucut.
Danis terbahak.
“Bu … buu…" dan mulut kecil yang mengerucut itu
terlihat menyemburkan salivanya.
Danis ikut duduk di atas karpet, lalu meraih tissue
dan mengusap saliva yang membasah sampai ke dagunya.
“Tutut … ayo … panggil Tutut …”
Nara tertawa-tawa sambil mempermainkan boneka
kelincinya.
“Kok sudah pulang sih?” tanya Tutut.
“Nggak tahu kenapa, tiba-tiba aku pengin pulang,
ternyata ada yang nungguin di sini,” kata Danis sambil tertawa.
“Iih … ge-er ya.. siapa nungguin siapa?”
“Kamu … nungguin aku …
“
“Ngaco … ngawur …”
Danis senang sekali mengganggu Tutut. Suka melihat
bibirnya yang cemberut setiap kali dia menggodanya.
“Kamu tuh, kalau marah kok semakin cantik sih.”
“Iih, mas Danis, pergi sana, aku tuh ke sini penginnya
main sama Nara, bukan karena kamu. Bukan nungguin kamu. Yeeeek.”
Suster Murni meletakkan segelas air putih di meja,
seperti pesanan Tutut.
“Oh ya Sus, ini pampers buat Nara, katanya habis?” kata Danis sambil mengulurkan sebuah bungkusan besar.
“Oh, iya dok. Tadi saya sudah hampir menelpon dokter
untuk mengingatkan.”
“Iya, aku pulang awal juga karena harus buru-buru beli
pampers, sekalian susu dan biskuit untuk Nara juga.”
Suster Murni membawa bungkusan yang di ulungkan Danis
ke belakang.
“Nara suka ya, ditungguin ibu?”
Tutut membulatkan matanya ke arah Danis.
“Ibu … ibu … ibu dari mana sih?”
“Lama-lama kan kamu juga jadi ibu?”
Tutut terdiam. Ia kembali bermain bersama Nara, mengacuhkan
Danis yang melepas sepatunya kemudian duduk di dekatnya.
“Nara pasti senang, ada bapak … ada ibu …” tapi kali
ini Danis tidak tertawa. Rupanya ia serius membayangkan terciptanya sebuah
keluarga. Tutut meliriknya sekilas, tapi urung memelototi dokter ganteng itu,
karena melihat sorot mata Danis yang tiba-tiba berubah sendu.
“Kapan ya, hal itu bisa terjadi?” kata Danis seperti
bergumam.
“Ya sudah, segera cari ibu buat Nara,” kata Tutut tanpa
menoleh ke arah Danis.
“Aku ingin, tapi yang mau dijadikan ibu belum jinak,
masih suka terbang saja.”
Tutut melihat ke arah Danis.
“Memangnya burung, pakai terbang segala?”
“Iya, burung merpati. Itu sebabnya ada istilah
jinak-jinak merpati. Kadang mau dielus dan di sayang, lalu terbang tinggi …
lalu hinggap lagi … dan terbang lagi … Harusnya aku punya panah, lalu
memanahnya sehingga dia tidak bisa terbang lagi.”
“Panah? Mati dong burungnya kena panah.” Tutut mulai
ingin mengimbangi kekonyolan Danis.
“Tidak. Panah asmara tidak mematikan. Dia akan jatuh
dan menyerahkan diri, untuk dikurung di dalam sangkar.”
“Kasihan sih, kenapa dikurung di dalam sangkar.”
“Sangkar emas.”
“Biarpun emas, burung tidak pernah suka dikurung. Ia
lebih suka terbang bebas, lalu hinggap di setiap dahan diantara pohon-pohon
rindang.”
Tutut tersenyum. Ia bukanlah gadis yang bodoh. Ia tahu
kemana arah perkataan Danis. Ia berusaha selalu menyangkalnya.
“Yaah, kenapa hinggap di setiap dahan. Cemburu dong
aku ….” Kata Danis seenaknya.
“Lhoh, ini masalah apa sih, ada burung, ada panah, ada
sangkar, kok larinya ke ‘cemburu’?”
“Maunya aku, burung itu harus hinggap di satu dahan.
Di pohon rindang, yang sejuk, adem, mengayomi. Jangan hinggap di setiap dahan
dong.”
“Ihh, nggak nyambung deh.” Sergah Tutut. Tak urung
senyumnya tetap mengembang.
“Biar aku menyambungnya. Eeeh, lihat, Nara memasukkan
telinga kelinci itu ke mulutnya …” teriak Danis.
“Oh, ya ampuun, sayaang, nggak boleh ya. Ini kotor …”
kata Tutut sambil mengambil boneka itu, tapi Nara memeganginya sangat kuat.
“Na … naaa.. naaaa …” katanya setengah menjerit.
Rupanya dia marah mainannya diambil oleh Tutut.
“Sayang, nggak boleh marah sama ibu dong. Ibu kan
baik,” kata Danis.
Tutut kembali mengerucutkan bibirnya.
“Ibu lagi … ibu lagi …” kesalnya.
“Bbuuu …bbuuuu…”
“Tuh kan …”
Tutut kembali tersenyum, melihat mulut Nara saat
mengucapkan ‘bu’. Ia mengangkatnya lalu memangkunya, dan kembali menciuminya.
Ditempat yang agak jauh, suster Murni tersenyum-senyum
sendiri, mendengar canda majikannya dan gadis cantik yang tampaknya disukainya.
Tiba-tiba Nara merengek, dan tangannya melambai ke
arah suster Murni.
“Oh, apakah dia haus, sus?” tanya Tutut.
“Saatnya makan Mbak, sudah saya siapkan,” kata suster
Murni sambil mendekat, lalu mengangkat Nara.
Tutut kemudian berdiri, diikuti Danis.
“Nara maem ya, tante mau pulang dulu, kata Tutut
sambil mencium lagi pipi Nara yang ada dalam gendongan suster Murni.
“Kok tante sih, nggak pantas tuh,” sergah Danis.
“Memangnya harus apa?”
“Ibu, itu panggilan yang tepat,” kata Danis ngeyel.
“Ogah.”
“Tutut, sebegitu bencinya kamu sama aku ya? Sehingga
apa yang aku katakan nggak ada yang bener menurut kamu?” kata Danis memelas.
Tentulah dibuat-buat. Danis, gitu lhoh.
Lalu Tutut tersenyum. Ia hanya mengganggu Danis. Siapa
sih yang benci? Dia cakep, gagah, biarpun tidak segagah Danarto, kakak iparnya,
tapi itu cukup buat Tutut. Dia juga penuh kasih sayang, buktinya dia mau
merawat Nara yang sebenarnya bukan darah dagingnya.
“Nah, gitu dong, tersenyum. Kamu tahu nggak, kalau
tersenyum kamu manis sekali.”
“Katanya aku cantik kalau marah?”
“Orang cantik itu, marah atau tersenyum tetap saja
cantik.”
Tutut memeletkan lidahnya.
“Ya sudah, aku pulang dulu ya? Ini sudah sore,” kata
Tutut sambil melangkah keluar.
“Mau diantar?”
“Diantar bagaimana, aku kan membawa mobil sendiri,
sekalian menunggu mas Danarto sama mbak Desy selesai praktek.”
“Kan masih lama? Kenapa tidak disini saja dulu?”
“Nggak enak ah, main ke rumah duda,” kata Tutut
seenaknya.
“Heeei… duda keren, tahu.”
“Oh ya, nanti malam kami mau makan-makan di luar,
ceritanya syukuran mas Sarman kan tadi di wisuda.”
“Oh iya, hari ini ya?”
“Mau ikut?”
“Nggak enak ah, itu kan acara keluarga, sedangkan aku
belum jadi keluarga, baru calon,” kata Danis cengengesan.
Tapi kali ini Tutut tidak cemberut. Ia tersenyum
lebar.
“Kapan ya, aku bisa jadi keluarga?” kata Danis saat
Tutut sudah masuk ke dalam mobil.”
“Besok Mei,” canda Tutut.
“Mei? Tahun depan dong Mei? Kan ini baru Juni.”
“Maksudnya, may be yes, may be no,” kata Tutut sambil
menjalankan mobilnya, meninggalkan Danis yang kemudian menggaruk kepalanya yang
tidak gatal.
“Benar kan, dia itu jinak-jinak merpati, tahu nggak siih?” gumam Danis sambil masuk ke dalam rumah. Dilihatnya suster Murni
menyuapi Nara, tapi mengulaskan senyum lucu ketika melihat Danis masuk.
“Mbak Tutut cantik,” katanya pelan.
“Iya, cantik, tapi agak galak,” sahut Danis sambil
menowel pipi Nara.
“Ia sangat menyayangi Nara. Semoga bisa jadi ibunya,”
kata suster Murni seperti kepada dirinya sendiri, tapi tak di sangka, Danis
yang sudah berjalan masuk mendengarnya.
“Aamiin,” sahutnya sambil berlalu.
Suster Murni tersenyum lebar, sambil mencium pipi
Nara.
“Besok kalau dia datang lagi kemari, Nara panggil dia ‘ibu’
ya,” kata suster Murni.
Seperti mengerti, Nara tertawa-tawa.
“Na … naaa..naaa..”
***
Sore itu Sriani sedang mengumpulkan berkas-berkas yang
akan dibawanya untuk pengurusan balik nama dari sertifikat atas nama ibu
Mintarsih, yang akan dijadikan menjadi atas nama dirinya. Surat yang ditanda
tangani Hesti sudah di pegangnya. KTP .. KK .. apa lagi ya? Sriani sedang
mencocokkan persyaratan yang harus dipenuhi dengan apa-apa yang sudah ada, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti dihalaman. Mobil polisi.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien sayang
DeleteAlhamdulillahi.... AA_44 sdh ditayangkan bunda Tien Kumalasari.
ReplyDeleteYuk kita baca bareng2. Bagaimana Sarman/ Hesti, Danis/Tutut..... Bgmn pula nasib Sriani.
Terima kasih bu Tien, salam SEROJA dan tetap ADUHAI....
ReplyDeleteMtnuwun....mbk Tien 🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteSll sehat dan bahagia . .
Alhamdulillah, salam sehat mbak Tien
ReplyDeleteHamdalah... dah tayang AA nya baca ya
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH~44 sudah hadir... maturnuwun dan salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdullilah AA 44 sdh tayang..mksih bunda Tien..slm sht sll dan aduhai ah dri sukabumi🙏🥰🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 44 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Terima kasih bu Tien
Semoga sehat selalu
Alhamdullilah
ReplyDeleteAlhamdulillah.... yg ditunggu sdh ada.....Trimakasih bu Tien semoga sehat selalu .
ReplyDeleteNah... Sriani tersangkut perkara, saya merasa itu jenis penipuan. Jadi makin cepat masalah Sriani selesai.
ReplyDeleteSudah 44 episode maka sebentar lagi akan tamat.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteSemoga yg terbaik u Hesti dan mama tirinya kena masalah..terimakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteLama gak koment tp ttep setia membaca karya bunda Tien ..aduhai ah .bagus banget....banyak pelajaran kehidupan di dalam ceritanya...Semangat selalu bunda Tien..salam sehat....
Trims Bu tien
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, semoga mbak Tien sehat² selalu dan Salam sejahtera untuk seluruh keluarga.
ReplyDeleteYang ditunggu sdh tayang. Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu. Aamiin
Matur nuwun bunda Tien AA 44 telah tayang..🙏
ReplyDeleteSemoga Hesti mendapatkan keadilan dan Sriani dibuat jera.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu aduhai
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien AA 44nya. Semoga sehat selalu
ReplyDeletePerintah penggeledahan di tempat tinggal Sriani, mencokok Sriani untuk diinterogasi dikantor polisi atas pengaduan pemaksaan penandatanganan tanpa diketahui isinya, pengambilan harta milik nenek Mintarsih tanpa sepengetahuan pewaris yang sah.
ReplyDeleteYa kalau dilihat dari kronologi kejadian dari nènèk sakit²an justru Hesti disuruh keluar kota alasan belajar, kembali dengan memaksa Hesti tanda tangan diatas kertas bermeterai yang tidak boleh melihat apa yang tertulis.
Allibi itu jelas berencana, memang mau menguasai kekayaan nènèk Mintarsih.
Ha embuh; pintêr²é Sriani berkelit dengan berbagai alasan, jan jané katering juga sudah jalan, awak yå isih wutuh; maksudté?
maksudté yå wutuh, wong durung tahu babaran.
o dadi wutuh yå.
ora kalong ngono på.
hais ora kedåwå dåwå bèn mung kon nyêmak waé ndadak nggamblèh.
lha piyé, lambé turah jew, kåyå anaké Semar.
nèk ora nggamblèh blangkêmên på.
Cita cita Sriani serakah ya, kan rumah tinggalan suaminya sudah jadi kantor katering lumayan jalan lho usahané kok masih saja ada niat nyabêt punya mertua.
kan pemekaran bidang usaha kuliner, caranya
yaitu caranya yang keliru berarti salah, diulang lagi mungkin besok ada her registrasi siapa tahu.
Danis mulai mendekati Tutut, nggodain, mancing mancing.
halah kaé muridté mbakyuné, mesthiné ditinggali password carané.
nganti mèh putus asa yå, bèn ajar tlatèn, sabar åpå ora.
Sarman mau dicarikan kerja dimana nih, dulu Haryo janji nyarikan pekerjaan buat Sarman.
Biar mantap biar cari sendiri dulu atau mau usaha mandiri.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke empat puluh empat sudah tayang,
Sehat sehat, semangat, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Rame
ReplyDeleteNah lho, orang jahat itu mesti berurusan dgn polisi...Semoga saja kepercayaan diri Hesti semakin kuat, dgn adanya orang orang sekitar yg bersedia membantunya...
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien 🤗🥰
ReplyDelete