Saturday, June 11, 2022

ADUHAI AH 45

 

ADUHAI AH  45

(Tien Kumalasari)

 

Sriani terkejut. Ia berdiri di teras dan menunggu. Pasti ada kesalahan, sampai ada polisi datang kemari, pikirnya.

“Selamat siang,” sapa salah seorang dari dua polisi yang datang.

“Selamat siang,” jawab Sriani ragu.

“Benarkah ini rumah Ibu Sriani?”

“Ya, saya sendiri. Ada apa ya?”

“Saya membawa perintah penangkapan untuk Ibu," kata salah seorang polisi itu sambil menyerahkan sepucuk surat bersampul coklat.

Sriani terbelalak. Penangkapan untuk dirinya? Gemetar tangannya ketika membuka surat itu.

“Ini pasti salah, saya tidak merasa membuat kesalahan,” katanya dengan suara bergetar.

“Ibu Sriani, sebaiknya Ibu mengikuti kami, dan menerangkannya nanti di kantor. Saya hanya bertugas membawa Ibu.”

“Tidak, aku tidak mau,” teriaknya.

Salah seorang polisi maju dan memegangi lengan Sriani yang mau beranjak masuk ke dalam.

“Lepaskaaaan, aku bukan penjahat. Lepaskaaaan,” ia terus berteriak, membuat beberapa karyawannya yang ada di dalam berhamburan keluar.

Polisi itu terus membawa Sriani. Sriani meronta.

Polisi segera memborgol tangan Sriani karena dia terus meronta.

“Kalian ini gila atau apa? Aku bukan penjahat.” Sriani terus berteriak, bahkan di dalam mobil, ketika polisi memaksanya masuk dan menguncinya, kemudian membawanya pergi.

“Aduh, apa yang terjadi?” tanya salah seorang karyawan gugup.

“Iya, nggak tahu aku, mengapa tiba-tiba ibu ditangkap polisi?”

“Dia melakukan kejahatan apa?”

“Tadi dia bilang mau mengurus sertifikat atau apa, gitu lho. Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba polisi menangkap bu Sriani.

“Lalu bagaimana kita?”

“Kita tunggu saja dulu, siapa tahu nanti ibu akan segera bisa pulang.”

“Tapi aku takut, bagaimana kalau kita terlibat?”

“Terlibat apa? Kita tidak pernah tahu urusannya bu Sri, kecuali hanya bekerja.”

“Iya benar.”

“Tapi polisi pasti menemui kita dan bertanya macam-macam.”

“Kita bilang saja tidak tahu apa-apa. Tidak usah takut kalau kita tidak punya kesalahan.”

“Hiih, tapi berurusan dengan polisi, menakutkan.”

“Hadeeeh, kamu itu, kalau kita tidak melakukan hal yang salah, ya tidak usah takut.”

“Iya benar, tapi sebaiknya kita kemasi dulu barang-barang itu, aku berpikir lebih baik kita pulang saja.”

“Ya sudah, ayuk.”

***

“Desy keluar dari ruang prakteknya di rumah, dan melihat seorang pasien masih menunggu.

“Sudah habis Hes?” tanyanya kepada Hesti.

“Masih ada satu, pasien dokter Danarto,” jawab Hesti.

“Oh, baiklah.”

Hesti termenung ketika Desy sudah masuk ke dalam rumah. Ia merasa gelisah sejak kemarin, karena Sarman sudah memasukkan laporan perihal surat tanah yang akan digagahi ibu tirinya. Sungguh dia sebenarnya tak ingin ribut-ribut, tapi semua orang minta agar dia menuntut haknya. Memang sih, dia merasa dibohongi oleh ibu tirinya. Tapi Hesti tak ingin memikirkannya. Dia berpikir secara sederhana, yaitu harus bekerja agar mendapatkan penghasilan, lalu bisa meneruskan kuliah. Tak sedikitpun ada bayangan bahwa sesungguhnya dia memiliki harta yang tidak sedikit. Dia tak mempedulikannya. Tapi kata Sarman, kebenaran harus ditegakkan. Apa boleh buat.

Ia masih melamun, ketika pasien terakhir sudah selesai diperiksa, dan Danarto sudah bersiap masuk ke dalam rumah.

“Hesti,” panggilan itu mengejutkannya, karena dia memang sedang melamun.

“Eh, ya …?”

“Kamu melamun?”

“Hehe … iya," jawabnya sambil tersenyum.

“Memikirkan ibu tiri kamu?”

“Iya sih."

“Saat ini dia sudah ditangkap polisi.”

“Duh … “

“Kamu takut?”

“Aku tidak suka  ada masalah. Aku merasa sudah cukup bekerja, mendapat makan minum gratis, dan bisa kuliah. Hanya itu yang aku pikirkan.”

“Tidak apa-apa. Pemikiran seperti itu tidak ada salahnya. Tapi jangan biarkan seseorang menginjak-injak apa yang menjadi hak kamu. Itu tidak benar, dan kebenaran harus ditegakkan.”

“Iya Mas.”

“Ya sudah, sekarang aku sudah selesai, ayo masuk dan beristirahat,”

“Aku bersih-bersih dulu,” kata Hesti sambil beranjak memasuki ruang praktek dokter Danarto. Setiap hari itulah pekerjaannya. Melayani praktek dokter Danarto dan Desy, menyiapkan segala sesuatunya sebelum praktek, dan merapikan kembali ruangan setelah praktek, barulah dia beristirahat. Ia senang melakukan semua itu. Ia senang mengecap hasil jerih payahnya, menikmati semua karunia karena berada di lingkungan orang-orang baik yang mengasihi dan memperhatikannya.

Ketika Hesti selesai dengan tugasnya, dan sudah mengunci pintu kedua ruang praktek itu, barulah dia masuk ke dalam rumah.

Dilihatnya Desy sedang menyiapkan makan malam di dapur.

“Mari Mbak, biar aku saja yang menata meja,” kata Hesti.

“Kamu cuci kaki tangan dulu, baru ikut menata meja. Aku sudah menyiapkan lauknya,” kata Desy.

“Baiklah Mbak,” kata Hesti yang kemudian beranjak masuk ke kamarnya dan membersihkan diri,

“Dia selalu memikirkan laporan itu,” kata Danarto yang tiba-tiba sudah masuk ke dapur, mendekati istrinya yang sedang memanasi sayur.

“Iya, aku tahu. Tapi kan banyak yang akan membantu dia.”

“Dia berpikir secara sederhana. Mendapat uang, bisa makan dan bisa kuliah, itu cukup.”

“Gadis lugu yang sangat baik. Aku tidak mengira, karena dulu dia seperti seorang gadis liar yang tanpa malu-malu mengejarmu.”

“Ada yang menuntunnya agar dia melakukan semua itu. Aslinya dia gadis polos, dan lugu, dan sederhana cara berpikirnya.”

“Benar. Sekarang Mas duduk saja di ruang makan, aku dan Hesti akan menyiapkan makan malam kita.”

“Baiklah, nyonya Danarto, aku siap menunggu,” kata Danarto sambil mengacak rambut isterinya lembut, menghirup harum rambut itu dengan sepenuh rasa.

“Ah …”

Danarto urung melangkah, kembali mendekati istrinya dan kembali untuk mencium pipinya.

***

Hari masih pagi, dan remang malam masih tersisa. Di timur sana, warna kemerahan menghiasi langit, memberikan isyarat bahwa matahari akan segera bersemayam di tahtanya, memberi penerangan dan kehangatan di seluruh permukaan alam.

Sarman seperti biasa, sudah menyirami kebun bunga yang menjadi kesayangan ibunya.

“Sarman …”

Sarman menoleh ketika mendengar suara yang sudah sangat dikenalnya. Haryo menyentuh pundaknya, lalu duduk di sebuah bangku, tak jauh dari dirinya yang sedang menyingkirkan daun-daun kering yang sudah rontok.

“Bapak sudah bangun?”

“Ya sudah lah, bukankah kamu tahu kalau bapak selalu bangun pagi?”

Sarman mengangguk.

“Kamu sekarang seorang sarjana. Apakah kamu mau selamanya menjadi tukang kebun?” canda Haryo.

“Sedang berusaha mencari pekerjaan Pak. Tapi sebenarnya saya ingin melanjutkan kuliah lagi.”

“Bagus Man, aku mendukung kamu.”

“Ya Pak.”

“Kamu lulus dengan nilai terbaik. Kamu akan mendapat prioritas di fakultas dimanapun kamu kuliah.

“Saya akan mencobanya, Pak.”

“Lakukan saja, bapak akan membantu kamu.”

“Kalau soal biaya, saya ada Pak. Bapak tidak usah memikirkan.”

“Apa kamu punya uang?”

“Saya kan menabung setiap uang kontrakan rumah saya dibayarkan. Saya kira cukup.”

“Baiklah, bilang sama bapak, kalau kamu membutuhkan apapun.”

“Baiklah Pak.”

“Bagus. Dan setelah itu, segera cari isteri.”

Sarman tertawa lirih.

“Kamu sudah tua. Saatnya punya istri, hidup berkeluarga. Kalau itu sudah terjadi, bapak akan merasa tenang dan lega.”

“Ya, Pak.”

“Dari kemarin-kemarin ‘ya … yaa …” terus.”

Haryo menarik lengan Sarman, diajaknya duduk di sampingnya.

Sarman mengibaskan tangannya yang kotor terkena tanah.

“Siapa gadis yang beberapa minggu yang lalu datang kemari bersama kamu?”

“Oh, itu Sita, teman satu kost nya Hesti ketika masih di sana.”

“Kamu suka sama dia?”

Sarman tertawa.

“Tidak Pak.”

“Bapak melihat gadis itu sepertinya suka sama kamu.”

Sarman menggeleng pelan.

“Dia kan cantik? Kamu tidak suka? Atau … kamu menyukai gadis lain?”

Sarman tersenyum, Bayangan Hesti melintas, tapi ia belum berani mengatakannya.

“Nanti saja Pak, kalau Sarman sudah bekerja.”

Simbok keluar dengan membawa nampan, menghidangkan segelas kopi pahit kesukaan Sarman, dan satu gelas susu coklat, kesukaan Haryo.

“Taruh disini saja Mbok,” kata Haryo sambil bergeser, dan menyisakan tempat bagi Simbok untuk meletakkan gelas-gelasnya.

“Kok simbok membawa kopiku kesini sih?” tanya Sarman.

“Bapak tadi yang minta, Mas.”

“Memang aku ingin berbincang sama kamu disini. Ayo minumlah kopi pahitmu,” kata Haryo sambil meraih coklat susunya.

“Masih panas,” katanya saat sudah memegang gelasnya.

“Mana pisang goreng yang tadi kamu bilang Mbok?”

“Sebentar Pak, akan saya ambilkan,” kata simbok sambil berlalu.

“Kamu benar-benar belum memikirkan istri?” Haryo masih mendesak Sarman dengan masalah istri.

“Nanti saja, kan Sarman belum bekerja.”

“Kelamaan. Dulu bapak masih kuliah sudah punya pacar,” kemudian Haryo tertawa sendiri. Mentertawakan keisengannya yang bahkan membuat rumah tangganya nyaris hancur. Hanya karena kemuliaan hati istrinya saja maka kemudian dia bisa menemukan jalan hidup yang tentram seperti sekarang ini.

“Tapi dengar, jangan sekali-sekali meniru bapakmu ini,” kata Haryo wanti-wanti.

Sarman tersenyum tipis. Ya enggaklah, aku  bukan mata keranjang, katanya dalam hati.

“Kesenangan sesaat membawa kita untuk berteman dengan setan. Dan setan selalu bertepuk tangan manakala  kita mencecap nikmat dosa seperti yang selalu diiming-imingkannya.”

Sarman mengangguk pelan. Ia bersyukur tidak mewarisi keberandalan ayahnya dalam bergaul dengan perempuan.

“Bapak bersyukur, kamu tumbuh menjadi laki-laki yang tangguh, dan membuat bapak bangga.”

Simbok muncul membawa sepiring pisang goreng yang masih hangat.

“Eh, ayo minum kopimu Man,” kata Haryo sambil menyeruput susu coklatnya.

“Sudah tidak panas, enak ini Mbok, terima kasih.”

Simbok tersenyum, kemudian berlalu.

“Eeeh, curang, kenapa aku tidak di ajak?” seru Tindy yang baru turun dari teras.

Haryo tersenyum.

“Kemarilah, aku baru membujuk Sarman supaya segera mencari istri,” kata Haryo.

Tindy duduk di samping Sarman.

“Saya ambilkan minum untuk Ibu,” kata Sarman.

“Tidak Man, aku sudah minum  di dapur tadi. Pisang gorengnya saja, aku mau,” kata Tindy sambil mencomot pisang gorengnya.

Langit sudah sedikit terang. Sedikit wajah matahari yang tampak, seakan menghalau kegelapan yang semula menyelimuti bumi.

“Bapak kan tidak tahu, Sarman ini masih menunggu seseorang yang sekarang masih kuliah,” canda Tindy.

“Ibu bisa saja,” kata Sarman tersipu, lalu menutupi rasa malunya sambil menghirup kopi pahitnya.

Ia tahu, bahwa ibunya bisa meraba isi hatinya tentang siapa yang dicintainya.

“Sarman ingin kuliah lagi.”

“Bagus Man, ibu senang mendengarnya. Tapi itu tidak menghambat kalau kamu ingin segera menikah lho.”

Sarman hanya cengar-cengir.

“Tapi ya malah kebetulan, kamu selesaikan S2 kamu, sementara dia sudah siap menerima lamaran kamu. Kalaupun belum selesai, tidak apa-apa lho, kalau mau menikah,” sambung Tindy.

“Saya serahkan semuanya, bagaimana Allah mengatur hidup saya,” kata Sarman bijak.

“Bagus Man. Jangan lupa juga, saat ini kamu sedang membantu Hesti dalam kasusnya mempertahankan haknya sebagai pewaris dari neneknya.”

“Iya Bu, saya sudah menghubungi pengacara. Dia yang akan menyelesaikannya.”

“Semoga permasalahannya segera tuntas.”

***

Sriani merasa kesal karena dia harus ditahan. Polisi sudah mengobrak abrik rumahnya untuk menemukan barang bukti. Tentu saja termasuk surat yang ditanda tangani Hesti dengan terpaksa, tanpa sempat membacanya terlebih dulu.

“Bukankah surat bertanda tangan ini sudah cukup? Mengapa saya masih dituduh menipu?” Sriani berteriak keras karena gusar.

“Ibu tidak usah berteriak, ada sidang di pengadilan yang akan menunjukkan semua kebenarannya.

“Tanda tangan ini asli, bukan palsu, bapak bisa menanyakannya kepada orangnya.”

Tapi Sriani tetap saja ditahan. Sampai menunggu kasus itu di sidangkan.

***

Sita yang merasa kesepian sejak Hesti tidak lagi menjadi tetangga kost nya, ingin sekali menemuinya di tempat kerja. Karena dia hanya punya waktu di sore hari, dan kalau sore Hesti harus bekerja.

Tapi dia tidak tahu dimana alamat tempat Hesti bekerja. Ia harus menelpon Sarman untuk menanyakannya.

Ia mengambil ponselnya dan mencari nomor kontak Sarman.

Tapi tiba-tiba ada suara pintu diketuk. Sita terkejut. Ia membuka pintu kamarnya dan merasa heran melihat seorang laki-laki berdiri diluar.

Laki-laki itu mengangguk sopan, dan Sita membalasnya dengan hati penuh tanda tanya. Ia belum pernah mengenal laki-laki itu.

“Dengan ibu Sita Purwaningrum?” tanya laki-laki itu.

Sita mengangguk heran.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

45 comments:

  1. Replies
    1. Selamat bu dosen Iyeng Juara 1, menyongsong kehadiran pengantin baru dan para calon pengantin dalam serial ADUHAI....AH, besutan ibunda Tien Kumalasari:

      Delete
    2. Aduhai_Ah 45......
      Alhamdulillah sdh tayang. Matur nuwun bunda Tien Kumalasari.
      Salam SEROJA, sehat selalu dan tetap ADUHAI... In shaa Allah.

      Delete
    3. Ihhiirr...maturnuwun mbak Nani dan pakdhe Djoko...kok pas mbuka, pas tayang

      Delete
    4. Selamat mb. Iyeng, juara kali ini, yes.... Yes...... Bu Tien tambah seru ajah.....

      Delete
  2. Alhamdulillah ADUHAI-AH 45 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 45 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  4. Alhamdullilah AA 45 sdh tayang..makin lm makin seru dan geregetan bunda..slmt mlm n slmt istrht..salam seroja dri sukabumi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah...
    ADUHAI AH dah tayang gasik terima kasih Ibu Tien...selamat malam selamat beristirahat..semoga sehat sll

    ReplyDelete
  6. Wah ada tamu menemui Sita sepertinya pengacara nya Hesti utk menangani kasusnya dgn Sriani..
    Salam sehat selalu kagem Bu Tien dan keluarga...Aamiin YRA.🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  7. Siapa yg nyari sita ya terima kasih bu tien

    ReplyDelete
  8. lha siapa lagi ini yg dtng k rumah Sita...

    Matur nuwun bunda Tien...v

    ReplyDelete
  9. Laki-laki itu mengangguk sopan, dan Sita membalasnya dengan hati penuh tanda tanya. Ia belum pernah mengenal laki-laki itu.

    “Dengan ibu Sita Purwaningrum?” tanya laki-laki itu.

    Sita mengangguk heran.

    Dugaanku...... boleh kan menduga ?
    Laki-laki yang datang dengan sopan ini adalah seseorang yang sedang mencari data-data sehubungan dengan pribadi Hesti.....
    Salah satunya Sita teman kostnya..... Laki-laki ini adalah seorang pengacara yang mengumpulkan bahan untuk dipergunakan membela kasus Hesti yang sedang menuntut "HAK" nya yang dengan semena-mena "DIRAMPOK" Sriani sebagai ibu tirinya.
    Semoga dugaanku benar.
    Lanjoooot bunda ....
    Kami semua sabar menunggu esok malam......
    Salam ADUHAI ....AH.

    ReplyDelete
  10. Alhamdullilah AA 45 sdh tayang, terima kasih mbak Tien, sehat selalu dan selamat berbahagia bersama keluarga.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah AA 45 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin

    ReplyDelete
  12. Terima kasih bunda Tien, selamat weekend dan semangat

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah sdh tayang trimakasih bu Tien....

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah. Matursuwun mbak Tien
    salamsehat selalu

    ReplyDelete
  15. Mbak Tien, makin seru saja ceritanya. Mungkin tamu Sita itu adalah pengacara yang diminta Sarman membela kepentingan Hesti, mencari bukti atas kejahatan Sriani, yaitu membuat surat pernyataan palsu yang ditandatangani Hesti tanpa sempat membacanya, juga penggelapan harta peninggalan almh bu Mintarsih. Lumayan tuh ancaman pidananya. Pemalsuan ancamannya 6 tahun, penggelapan ancamannya 4 tahun, serta jika dia telah menggambil sejumlah perhiasan, bisa kena pasal pencurian juga, ancamannya 5 tahun. Kejahatan itu menyebabkan ada alasan untuk dilakukan penahanan, karena total ancaman pidananya adalah pidana terberat ditambah sepertiganya, yaitu 6 tahun ditambah 2 tahun = maks 8 tahun. Kapokmu kapan Sriani...uugghh

    ReplyDelete
  16. Maaf, Sriani melakukan pencurian kan dwngan masuk ke dalam rumah almh Mintarsih, berarti pencurian dengan pemberatan, alias curaf. Ancamannya 7 tahun. Jadi maksimum pidana bisa dijatuhkan = 7 ditambah 2 tahun 4 bulan, jadi 9 tahun 4 bula ....blaikk..

    ReplyDelete
  17. Nglilir langsung baca AA. Matur nuwun, bu Tien

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah .tayang walau baru buka,nuhun bu Tien

    ReplyDelete
  19. Makasih mba Tien.
    Salam hangat ...aduhai ...ah

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .
    Sll sehat dan bahagia . .

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien

    Siapa ya yg dtg ke rmh Sita
    Apakah polisi atas pengacara
    Aduhai Ah

    Salam sehat wa'afiat semua ya

    ReplyDelete
  22. Salam sehat ....ini nunggu2 munculnya Aduhai Ah

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...