ADUHAI AH 43
(Tien Kumalasari)
Perhelatan itu telah usai. Danarto telah memboyong
isterinya di rumah barunya. Menikmati kehangatan bersuami isteri, yang bertahun
mengendap dan mereka akan mengaduknya sebagai pelepas kerinduan yang tertunda.
Malam begitu indah. Danarto menyibakkan tirai jendela
besar di kamarnya, memandangi bintang-bintang yang bertebaran di langit. Mengitari
sepotong bulan yang mengambang. Begitu besar maknanya keindahan yang
diciptakanNya, ketika sebuah cinta bermuara pada sebuah pantai yang mampu
menggulungkan ombak dalam desah resah yang membelah sunyi yang mencekam.
Danarto membuka jendela kaca yang menghalangi angin
mengelus tubuhnya. Dan kemudian angin itu berebut menembus batas yang memisahkan
alam dan kamar yang penuh dengan aroma cinta.
“Mas …” sebuah panggilan lembut membuat Danarto
mengalihkan pandangan dari bulan ke arah ranjang, dimana Desy terbaring lelah.
“Kemarilah … “ kata Danarto tak kalah lembut, sambil melambaikan
tangannya ke arah sang istri yang baru beberapa jam lalu dinikahinya.
Desy bangkit perlahan, membenahi baju tidurnya, lalu
melangkah mendekati sang suami, kemudian berdiri di sampingnya.
“Segar sekali bukan?” bisik Danarto lagi, sambil
merengkuh bahu isterinya.
“Indahnya langit … “ kata Desy pelan, lalu
menyandarkan kepalanya di bahu bidang suaminya.
“Lebih indah wajah istriku …” gumamnya sambil
mempererat pelukannya.
“Ah …”
Danarto mencubit hidung Desy dengan gemas.
“Apakah kau bahagia menjadi nyonya Danarto?”
“Ah …”
“Jangan ‘ah’ dong jawabnya. Ingin aku pencet hidung
kamu lebih keras?”
“Kalau aku nggak bisa bernapas, bagaimana?”
“Aku berikan kamu napas buatan,” kata Danarto
seenaknya.
Desy terkekeh lucu, lalu dicubitnya pinggang Danarto.
“Auww,” pekik Danarto. Pekik manja dong, masa sih
dicubit sedikit saja kesakitan?
“Mau lebih keras?” ancam Desy.
“Kamu belum menjawab pertanyaan aku.”
“Apa sih?”
“Apa kamu bahagia menjadi nyonya Danarto?”
Danarto mengangkat jarinya ke depan Desy, bersiap
mencubit hidung mancung itu kalau ia benar mendesah ‘ah’ lagi.
Desy sudah membuka mulutnya, siap mengeluarkan desah menggemaskan
itu.
“Jawab, nyonya …”
“Kamu menanyakan sesuatu yang sudah kamu ketahui
jawabannya.” Katanya
“Nggak, aku belum tahu kok.”
“Bohong.”
“Jawab saja, kenapa sih? Malu?”
“Ah …” dan Desy kemudian berlari menjauh, menghindari
Danarto yang akan memencet hidungnya.
Keduanya terkekeh, sambil berlarian mengitari jajaran
sofa yang ada di dalam kamar itu. Berkejaran seperti anak kecil berebut mainan.
Aduhai …
Langkah kaki Desy yang kecil tentu saja terkejar oleh
Danarto yang memiliki langkah lebih lebar. Akhirnya juga sang istri tertangkap.
Desy meronta, tapi tangan kuat itu merengkuhnya. Mana bisa Desy mampu
melepaskan diri?
“Ampuuun …. “ teriak Desy.
“Jawab dulu, aku ingin mendengarnya,” bisiknya di
telinga Desy.
“Iyaaaa … “ Desy berteriak.
“Apa itu … iya …?
“Ah ….”
Lalu Danarto melemparkan istrinya ke ranjang. Desy bergulung
hingga sampai di sisi seberang, lalu turun, dan terkekeh mengejek suaminya yang
penasaran dengan ulahnya.
Apakah setiap pasangan pengantin selalu berulah
seperti anak kecil? Entahlah. Tak ada yang bisa diceritakan karena kemudian kidung-kidung
cinta kembali bergema, menebarkan harumnya rasa dan pesona.
***
Danis terbangun ketika mendengar rengekan anak kecil.
Sedikit bingung karena belum terbiasa mendengar rengekan itu. Belum
seminggu ia merawat Nara dengan dibantu oleh seorang baby sitter.
Ia keluar dari kamar, pagi masih remang, karena malam
belum sepenuhnya meninggalkan singgasana yang membuat senyap dan hening
menyelimuti alam sekitar.
Dilihatnya suster Murni sedang membuat susu, sambil
menggendong Nara.
“Nara rewel ya sus?”
“Tidak dok. Biasanya kalau terbangun memang begitu.
Ini sedang saya buatkan susu.”
“Sini, biar aku yang menggendongnya,” kata Danis
sambil mengulurkan tangannya.
Nara menurut, karena memang sudah biasa setiap hari
ada Danis yang selalu di sebut ‘bapak’ oleh ibunya.
Danis membawanya ke luar rumah, untuk menghirup udara
pagi yang segar. Danis menarik napas dalam-dalam mengisi paru-parunya dengan
udara bersih hingga penuh, lalu menghembuskannya perlahan. Nara menatapnya.
“Udara pagi itu menyegarkan, sayang.”
Nara tertawa, menampakkan dua gigi kecil yang berbaris
manis.
“Kamu adalah anakku, kamu mengerti?”
Nara, pastinya tidak mengerti, tapi ia tampak
berjingkrak dalam gendongan Danis.
“Bapak akan membesarkan kamu, menjadikan kamu anak
pintar, yang baik hati, yang luhur budi, yang akan membuat bangga orang tua
kamu.”
Nara mengangguk-angguk sambil lagi-lagi menampakkan
dua giginya yang seperti kelinci.
Tak lama kemudian suster Murni keluar, dengan membawa
botol susu untuk Nara, sambil menarik kereta dorong.
“Tuh, kamu minum susu dulu ya, Bapak mau mandi.”
Danis meletakkan Nara di atas kereta dorong, lalu
suster Murni memberikan botol susunya. Nara menyedotnya dengan lahap.
Danis tersenyum sambil melangkah ke dalam rumah.
Tiba-tiba ia merasa, ada kehangatan di rumah itu dengan adanya Nara. Lambat
laun ia mulai menyayangi bocah itu, walau bukan darah dagingnya. Dia tak
berdosa. Dia juga layak mendapatkan kasih sayang, dan Danis bersedia
memberikannya.
***
Hesti mulai bekerja di tempat praktek Danarto dan
Desy, karena mereka memang sudah mulai membuka prakteknya. Hesti mulai menyukai
pekerjaannya. Di pagi hari dia kuliah, dan sore harinya dia bekerja. Desy
bahkan meminta agar Hesti pindah saja ke rumahnya, supaya dia tidak perlu ketika
malam setelah tutup praktek lalu dia harus pulang sendirian ke rumah keluarga
Haryo.
“Mas, besok mas Sarman wisuda,” kata Desy ketika
mereka makan pagi di rumah, ditemani Hesti.”
“Apa kamu mau ikut menghadiri?” tanya Danarto.
“Ingin sih, tapi aku tidak bisa meninggalkan tugas,
seperti juga Mas kan?”
“Bolehkah saya ikut?”
“Kamu, bukankah Sarman memang meminta bapak, ibu,
Tutut dan kamu menghadiri acara itu?”
“Horee ... ”
“Kamu harus ada di sana, bukankah kamu pacarnya?”
canda Desy.
“Iih, mbak Desy tuh … “
“Bukankah? Apa mas Sarman kurang ganteng?”
“Apa mas Sarman terlalu tua untuk kamu?”
sambung Danarto.
“Aku masih kecil … “ jawab Hesti sambil menyuap
sarapannya.
“Kecil apanya, rambutnya ya?”
“Mbak Desy, aku ingin kuliah dulu sampai selesai.”
“Tapi kamu suka kan, sama mas Sarman?”
“Nggak tahu aku, entahlah. Belum terpikirkan.”
“Tapi ngomong-ngomong, kok ibu kamu belum melakukan
apa-apa ya?” tanya Desy mengalihkan pembicaraan.
“Iya sih, biarkan saja,” kata Hesti dengan perasaan
enggan.
“Kamu tidak boleh begitu Hesti. Itu hak kamu, kamu harus
memperjuangkannya.”
“Aku tidak berani Mas. Sudahlah, biarkan saja.”
“Tidak boleh. Ketidak adilan harus ditentang. Kalau
kamu ingin mengikhlaskan harta itu, jangan kepada orang jahat seperti ibu tiri
kamu. Sumbangkan ke yayasan-yayasan sosial. Ke masjid, anak yatim piatu,” kata
Danarto panjang lebar.
Hesti tampak gelisah.
“Kamu seperti ketakutan berhadapan dengan ibu kamu?”
“Lebih baik aku tidak memikirkannya.”
“Jangan-jangan dia sudah membalik namakan harta itu atas
namanya, dengan surat yang ditanda tangani Hesti.” Kata Desy.
“Menurut aku, laporkan saja dia.”
“Tidak.”
“Hesti, kamu tidak sendiri, aku carikan pengacara, dan
mas Sarman juga sudah menjanjikan itu kan?”
“Bagaimana caranya? Aku sungguh tidak berani.”
“Hesti, kamu harus berani. Menentang kejahatan itu
wajib. Jangan biarkan dia berbuat
semena-mena sama kamu.”
Hesti terdiam. Ada rasa takut, tapi ada juga rasa
menentang. Kata-kata ‘kamu tidak sendiri’ itu kemudian agak bisa menenangkan
hatinya.
“Terserah kalian saja. Aku tidak bisa apa-apa.”
***
Di sebuah rumah agak ke pinggiran kota Surabaya,
Sriani sedang duduk di sebuah kursi. Rumah itu diakuinya sudah menjadi miliknya. Ia
sedang menunggu pak RT yang dipanggilnya beberapa jam yang lalu, tapi belum
tampak juga orangnya muncul.
Sriani berjalan-jalan ke belakang, lalu ke depan, lalu
mengitari rumah, dan bernapas lega karena harta peninggalan Mintarsih akan
segera menjadi miliknya sepenuhnya.
Ia kembali duduk, ketika melihat pak RT sudah datang
memasuki rumahnya.
“Silakan duduk, pak RT,” kata Sriani mempersilakan.
Pak RT duduk, agak kurang senang melihat sikap Sriani,
mengingat sikapnya beberapa minggu yang lalu saat bertemu Hesti yang benar-benar
ahli waris bu Mintarsih.
“Pak RT, saya hanya ingin mengatakan, mengingat anak
tiri saya Hesti sudah bisa memahami tentang wasiat dari neneknya, yang
mana almarhumah tersebut sudah menghibahkan rumah peninggalan berikut isinya
kepada saya, maka saya kira saya tidak perlu lagi memperkarakan hal ini kepada
yang berwajib.”
“Maksud Ibu bagaimana?”
“Langsung saja sertifikat rumah dan tanah ini akan
saya balik nama menjadi atas nama saya, daripada ribet, harus sidang segala.”
“Apa bisa langsung balik nama Bu, sedangkan ada ahli
waris langsung dari almarhumah?”
“Kan Hesti sudah menanda tangani surat persetujuan
pengalihan hak milik itu ?”
“Rasanya kok kasihan juga ya Bu, mengapa cucunya
sendiri tidak mendapatkan apa-apa,” kata pak RT dengan wajah muram.
“Pak RT ini bagaimana? Saya merawat Hesti itu sejak
bayi, mengasihinya seperti anak kandung sendiri, mendidiknya, menyekolahkannya
sampai dia kuliah. Itu yang membuat almarhumah mertua saya kemudian mengikhlaskan
warisannya kepada saya.”
“Disini saya hanya orang luar, tidak berhak melakukan
apa-apa. Apa yang saya katakan tadi hanya uneg-uneg saya secara pribadi.”
“Betul pak RT, dan mengapa saya berbicara dengan pak
RT, barangkali nanti dalam proses pengalihan hak, pak RT juga akan memberi saya
surat pengantar untuk pengurusan itu. Entah diperlukan entah tidak, pengantar
dari RT, tapi setidaknya saya sudah bicara dengan pak RT.”
“Baiklah, saya sudah bisa menerimanya, semoga hanya niat
baik saja yang akan mendapat ridho dari Allah subhana hu wa ta’ala.”
“Apa maksud pak RT bicara begitu?”
“Bukankah semua niat baik akan mendapat ridho? Kalau
bu Sriani punya niat baik, pasti Allah akan memberikan jalan. Saya yakin itu.”
“Saya hanya menjalankan apa yang menjadi pesan
almarhumah.”
Pak RT berdiri.
“Sepertinya saya sudah cukup mengerti, sekarang saya
permisi,” kata pak RT sambil beranjak keluar dari dalam rumah, meninggalkan bu
Sriani yang bermuka masam, karena merasa bahwa pak RT tidak mendukungnya,
biarpun dirinya sudah mengatakan alasannya.
“Tunggu pak RT,” tiba-tiba bu Sriani menghentikan
langkah pak RT.
Pak RT berhenti melangkah, membalikkan tubuhnya
menghadap ke arah Sriani duduk.
“Ya?”
“Saya lupa bilang, nanti kalau semuanya sudah selesai,
akan ada uang tip untuk pak RT,” kata Sriani yang merasa bahwa dengan iming-iming
uang, pasti laki-laki setengah tua itu akan mendukungnya.
“Oh, maaf Bu, saya sebagai RT, hanya menjalankan
kewajiban saya, dan saya tidak membutuhkan imbalan apapun, karena melayani
masyarakat sudah menjadi kewajiban saya,” katanya tandas.
“Iya saya tahu, tapi saya hanya akan memberikan tip
sebagai rasa terima kasih saya.”
“Tidak Bu, maaf saya tetap tidak bisa menerimanya.
Saya permisi,” kata pak RT sambil membalikkan badannya dan melangkah keluar
tanpa menoleh lagi.
“Huh, sombong! Baru jadi RT saja sombong. Entah seperti apa kalau besok-besok jadi presiden,” katanya sambil tersenyum sinis.
***
Acara wisuda itu sudah usai. Haryo dan Tindy
bergantian memeluk Sarman, atas rasa terima kasih dan bangganya karena Sarman
sukses menjadi sarjana dengan predikat Cum Laude.
“Terima kasih Bapak, terima kasih Ibu, karena Bapak
dan Ibu lah saya menjadi seperti ini, sekali lagi terima kasih,” kata Sarman
sambil mencium tangan Haryo dan Tindy, dengan linangan air mata.
Tutut tak mau kalah. Ia memeluk kakaknya dengan penuh
haru.
“Selamat ya Mas, aku bangga punya Mas. Mas sungguh
hebat.”
“Terima kasih Tutut, segera menyusul mas ya,” kata
Sarman sambil menepuk bahu adiknya.
“Iya, baiklah, aku sudah hampir selesai kok. Bantuin
ya.”
“Iya, pasti.”
“Selamat ya Mas,”
giliran Hesti menyalami Sarman.
“Terima kasih Hesti. Belajar yang rajin ya. Kamu pasti
bisa.”
“Iya, doakan ya Mas.”
“Iya, kalian harus sukses.”
“Nanti malam kita makan diluar, sebagai rasa syukur atas
berhasilnya Sarman ya. Kabari Desy dan Danarto,” kata Haryo.
“Iya, ajak simbok juga kan Bu?” kata Tutut.
“Iya, pasti, simbok juga harus merasakan kebahagiaan
keluarga kita,” jawab Tindy.
Tiba-tiba ponsel Sarman berdering. Ia mengambil
ponselnya dan melihat siapa yang menelpon.
***
Besok lagi ya.
Yess
ReplyDeleteMb Iyeng... josss
DeleteMatur nuwun bunda Tien 🙏💕
Alhamdulillah...... bu dosen Iyeng buanter mblayune nganti kesandung ora dirasakna........
DeleteMatur nuwun bu Tien, salam SEROJA & tetap ADUHAI AH...
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien....🙏🙏
Maturnuwun mbakyuku sayang...pinisirinnn
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima ksih bunda Tien AA nya..slmt mlm dan slmt istrht..salam sehat dan sayang dri Sukabumi🙏🌹💖
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien...
ReplyDeleteTambah seru nih..
Alhamdulillah ADUHAI AH~43 sudah hadir.. maturnuwun dan salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien, aduhai aah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteTinggal Sriani yang belum terselesaikan. Balik nama warisan tidak semudah yang dibayangkan. Benar kata pak RT.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Terima kasih... asyik trs prt nya... terima kasih mbu Tien.....
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 43 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Sarman mencium tangan Haryo dan Tutut..,. :)
ReplyDeleteWaah senengnya Desy dan danarto udah menikah koq g ngundang kita ya , he he
ReplyDeletemakasih, Bu Tien, semoga slalu sehat dan tetap semangat mengibur kita , salam aduhai dari Pasuruan
Alhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Terima kasih bu Tien
Semoga sehat selalu
Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteAA .... dah tayang jangan lama lama bacanya ya ... salam kasadayana yang baca AA
ReplyDeletePenasaran telp dari siapa ya..,trims Bu tien
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah..trimakasih bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tlien...🙏
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu
Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 43 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Hårå Sarman dapat telepon dari pak RT, kasih kabar kelihatan nya Sriani mau lewat jalur hibah yang enggak begitu banyak biaya dan waktu.
ReplyDeleteBerdasarkan surat yang ditandatangani Hesti sebagai pewaris tunggal, Sarman diharapkan merapat ke pak èrté, menyiapkan pengacara, sesuai janjinya karena Hesti selalu lemah berhadapan dengan Sriani.
Danis merasakan ada damai; menikmati kebersamaan dengan Nara sebagai penyemangat hidup, apalagi sepulang kerja.
Kapok ora bingung; ra ånå sing biså di gamblèhi, lha nrenyuhake jew.
Ada juga kebahagiaan sepasang pengantin baru.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke empat puluh tiga sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien AA 43nya
ReplyDeleteSemoga sehat selalu