Wednesday, March 23, 2022

BUKAN MILIKKU 20

 

BUKAN MILIKKU  20

(Tien Kumalasari)

 

“Bagaimana? Jangan melongo begitu Mo, takut aku melihat kamu seperti itu,” kata pak Siswanto sambil tersenyum mengejek.

“Mm_mm … maksud Bapak, Retno sudah mengandung? Kok Bapak bicara soal anak ?”

“Ya, anak kamu sudah hamil. Itu memang keinginan aku, karena isteri Sapto yang di Jakarta tidak akan bisa hamil lagi, Jadi, aku minta agar anakmu menikah dengan Sapto itu karena aku menginginkan anaknya.”

“Jadi … jadi ….”

“Jadi karena aku melihat tampaknya Retno keberatan melepaskan anaknya nanti, aku minta agar kamu membujuknya, supaya Retno mau melakukannya.”

“Ya ampun … aku tidak tahu kalau Retno sudah hamil,” gumam Kartomo seperti kepada dirinya sendiri.

“Sudah tiga bulan ….”

“Sudah tiga bulan?”

“Bagaimana? Pikirkan baik-baik, kamu mau tidak membantu aku,” kata pak Siswanto sambil berdiri dan masuk kedalam rumah.

Pak Kartomo masih melamun ketika pak Siswanto keluar, lalu meletakkan segepok uang di meja. Mata pak Kartomo langsung membelalak, menatap tumpukan uang itu seakan ingin meraupnya seketika.

“Ini uang kamu.”

“Uang s_saya?”

“Akan menjadi uang kamu kalau kamu mau membantu aku. Bujuk anak kamu agar bersedia melepaskan anaknya nanti. Bukankah kamu bisa menikahkannya dengan orang lain setelah dia pulang, dan kamu bisa mendapat cucu lagi?”

“Dia akan pulang?” ada nada kecewa ketika pak Kartomo mengucapkannya.

“Anakmu sendiri yang mau. Sejak awal dia bilang minta diceraikan oleh anakku. Baiklah, tapi nanti setelah anaknya lahir,”

“Dia bodoh.”

“Lakukan yang terbaik. Masalah mau pulang atau tidak bisa dipikirkan nanti, tapi kamu punya kewajiban membujuknya agar mau melepaskan anaknya. Soalnya ketika aku minta agar Retno menikah itu, memang agar dia punya anak supaya menantuku senang bisa menimang bayi, meskipun bukan terlahir dari rahimnya.”

“Iya … iya … saya mengerti.”

“Mengerti, lalu bagaimana? Kalau tidak bersedia ya sudah,” kata pak Siswanto sambil meraup uangnya kembali.

“Eh, tidak … tidak … jangan begitu Pak. Baiklah, saya bersedia.”

Pak Siswanto meletakkan uangnya lagi.

“Bersedia membujuk Retno, dan harus berhasil. Tahu?”

“Baik, akan saya lakukan.” Katanya sambil matanya tak lepas dari memandang tumpukan uang di depannya.

“Tulis disini, supaya kamu tidak ingkar,” kata pak Siswanto yang rupanya juga sudah menyiapkan selembar kertas dan balpoint.

“Saya harus menulis apa?”

“Menulis, bahwa kamu berjanji akan menyerahkan anaknya Retno kepada aku, setelah anaknya lahir. Lalu kamu tanda tangan disitu, di atas meterai.”

“Oh, tolong Bapak mendektekan kalimatnya, saya yang menulis,” kata pak Kartomo yang memang pendidikannya rendah dan tidak mungkin bisa menyusun kata-kata.

Pak Siswanto mengalah, mendektekan kalimat demi kelimat yang isinya seperti yang dimaksud. Lalu menyuruh pak Kartomo tanda tangan di atas meterai.

Pak Siswanto lupa dan pak Kartomo juga tidak mengerti, bahwa hak seorang anak adalah ada pada orang tuanya, bukan pada kakeknya.

***

Retno makan masakan ibunya dengan nikmat, lalu duduk di ruang tengah sambil berbicara banyak dengan ibunya. Ibunya juga bercerita tentang keadaan Wahyudi, mulai dia datang dan meninggalkan sepeda motornya di pinggir jalan sampai dia jatuh sakit dan bu Kartomo membelikannya obat lalu mengiriminya makanan.

“Tapi di hari ketiga, dia sudah kelihatan lebih baik. Ibu tidak lagi ke sana karena ada seorang tetangganya yang merawatnya.”

“Seorang gadis?”

“Ya, gadis, cantik, tapi masih sangat muda.”

Retno menahan gejolak batinnya yang meronta, seakan tak rela Wahyudi bersama gadis lain.

“Kamu sudah punya suami, yang syukurlah baik, jadi jangan memikirkan nak Wahyudi lagi. Biarkan dia mendapatkan penggantimu. Ibu ikut senang kalau itu terjadi, karena bagaimanapun, Ibu merasa bersalah karena membiarkanmu berpisah dengan dia.”

Retno diam, tapi dia heran mendengar ibunya mengatakan bahwa suaminya baik.

“Darimana Ibu tahu bahwa suamiku baik?”

“Nak Wahyudi mengatakannya. Katanya dia melihatnya datang ke rumahnya bersamamu. Suami yang tidak baik mana mau mengantarkan isterinya menemui bekas pacarnya dan bahkan katanya sikapnya sangat santun?”

Retno menghela napas.

“Itu bukan suami Retno Bu.”

“Bukan?”

“Itu adiknya mas Sapto, namanya Budiono.”

“Oo ….”

“Dia memang baik.”

“Apakah kamu tidak bahagia bersama suami kamu?”

Retno hampir mengeluh karena sesungguhnya dia tidak menyukai suaminya, tapi kemudian dia ingat bahwa ibunya tidak boleh melihat dia menderita, karenanya keluhan itu ditahannya.

“Tidak apa-apa Bu, Retno bahagia. Hanya saja dia tinggal di Jakarta.”

“Mengapa kamu tidak ikut bersamanya?”

Retno diam sesaat.

“Retno memang tidak mau. Retno … tidak ingin jauh dari Ibu,” Retno memberi alasan sekenanya.

“Retno, kamu sudah dewasa, sudah bersuami dan hampir punya anak, jadi mengapa masih ingin selalu dekat dengan Ibu?”

Retno tiba-tiba merangkul Ibunya, dan terisak di pundaknya.

“Nduk, mengapa menangis?”

“Aku ingin selalu dekat dengan Ibu, mengapa tidak boleh?” isaknya. Banyak yang ingin dikatakannya. Dukanya, ketidak senangannya  bahkan bencinya kepada bapak mertuanya, tapi semua ditahannya. Biarlah dia memikulnya sendiri. Jangan ibunya.

“Retno, baiklah, tentu saja boleh. Ibu juga senang kalau selalu dekat dengan kamu. Kalau kangen tidak terlalu jauh. Di Jakarta memang jauh dari sini,” kata bu Kartomo yang berusaha menghibur anaknya.

Retno mengangguk, lalu melepaskan pelukannya. Bu Kartomo mengambil tissue lalu menghapus air mata di wajah Retno sambil tersenyum.

“Sudah dewasa begini, masih ingin dekat dengan Ibu.”

Tiba-tiba ponsel Retno berdering.

“Dari Budi,” kata Retno sambil mengangkat ponselnya.

“Ya Bud?”

“Mbak Retno masih di rumah Ibu?”

“Ya, masih di rumah Ibu.”

“Saya mau pulang sekarang, saya samperin sekalian ya Mbak?”

“Baiklah, nggak apa-apa.”

Retno menutup ponselnya.

“Budi mau menjemput Retno,” kata Retno.

“Baiklah, kamu sudah hampir seharian disini.”

“Ibu jaga kesehatan ya? Uang itu pakai saja untuk apa saja. Masak yang enak, beli baju yang bagus, atau jalan-jalan,” pesan Retno.

“Baju Ibu masih banyak, belum ingin beli baju. Makan juga biasa saja. Ibu tak ingin berubah karena kamu beri Ibu uang. Biarlah Ibu simpan, untuk sesuatu yang penting saja.”

“Ya sudah, terserah Ibu saja. Yang penting Ibu harus bahagia.”

“Kamu juga harus bahagia, ya.”

***

“Senang ya, kangennya sama ibu sudah terlampiaskan?” kata Budi dalam perjalanan pulang.

“Ya, ibu terharu ketika aku memberinya uang. Tapi Ibu ingin menyimpannya saja.”

“Mengapa? Bukannya untuk makan enak, membeli sesuatu yang menyenangkan?”

“Ibu seorang yang sederhana. Tidak punya banyak keinginan.”

“Mirip Mbak Retno.”

“Masa?”

“Mbak Retno juga tidak pernah ingin beli sesuatu. Walaupun ada uang, tapi tidak pernah mempergunakannya. Tidak pernah belanja baju bagus, tas bagus, sepatu bagus.”

“Semua yang ada sudah cukup. Itu juga yang dikatakan Ibu tadi.”

“Ketemu Bapak juga?”

“Tidak. Seharian di rumah, tidak ketemu bapak. Entah bapak pergi kemana.”

Budiono bukannya tidak tahu sifat pak Kartomo, tapi dia enggan mengatakannya.

“Langsung pulang? Atau mau mampir kemana ?”

“Langsung pulang saja Bud, kamu kan baru pulang dari kantor, pasti capek dong.”

“Kalau memang Mbak Retno ingin mampir untuk beli sesuatu, ya nggak apa-apa. Aku nggak capek kok.”

“Nggak usah, aku nggak ingin apa-apa.”

“Mau saya traktir bakso?”

“Budi, kamu ini apa tidak capek?”

“Tidak, lagi pengin makan bakso, maukah menemani?”

Retno tersenyum. Bagaimana dia mampu menolak? Budi sangat baik dan selalu menghiburnya.

“Baiklah kalau begitu.”

Budi tersenyum senang. Ia membelokkan mobilnya ke arah dimana warung bakso langganannya berada.

***

“Mbak Retno sudah tidak merasa mual ya?” tanya Budi ketika mereka sudah menyantap bakso.

“Tidak begitu sering. Sejak kemarin aku baik-baik saja. Itulah sebabnya aku ingin ketemu ibu. Soalnya kalau masih merasa mual atau bagaimana, nanti akan merepotkan ibu.”

“Senang mendengarnya. Lagian mbak Retno memang kelihatan lebih segar.”

“Benarkah? Itu karena tadi siang makan masakan ibuku.”

“Enak dong masakan ibu.”

“Masakan ibu itu selalu enak, karena disertai dengan kasih sayang.”

“Iya pastinya. Sayangnya ibuku tidak pernah memasak sendiri. Hanya kadang-kadang saja sih, kalau lagi ingin.”

“Ada yu Asih yang masakannya juga jempolan.”

“Benar.”

“Besok aku mau ikut memasak.”

“Ikut memasak?”

“Tiba-tiba saja ingin.”

“Barangkali bayi yang dikandung Mbak Retno nanti perempuan.”

“Kok tahu?”

“Katanya kalau wanita hamil suka melakukan pekerjaan perempuan, maka dia adalah perempuan.”

“Kamu seperti sudah pernah hamil saja.”

“Ada karyawan di kantor yang sedang hamil. Dia malas sekali, dan juga tidak suka dandan. Kata temannya, nanti anaknya laki-laki.”

Retno tersenyum lucu.

“Laki-laki atau perempuan, itu adalah anugerah. Aku mulai menyayangi anak ini.”

“Memangnya tadinya enggak?”

Retno menampakkan wajah muram.

“Tadinya aku merasa benci sekali, kehadirannya tak kuinginkan.”

Retno menampakkan wajah sedih.

“Tapi tidak, aku mengerti dia tak berdosa. Akulah yang berdosa kalau tidak menyayanginya. Itu sebabnya … maaf … aku benci keputusan pak Siswanto yang mau memberikan bayiku kepada Kori. Tidak akan,” katanya tandas.

“Ya, aneh sekali. Bapak mengira, dengan diberikannya bayi, maka kekecewaan mbak Kori akan terobati. Menurutku tidak.”

“Doakan aku ya Bud, agar aku kuat.”

“Mbak Retno kuat, aku selalu mendoakan dan mendukung.”

“Terimakasih untuk selalu menguatkan aku.”

Ketika mereka keluar dari warung bakso itu, ada juga seorang gadis sedang membawa bungkusan, bersamaan keluarnya dengan mereka. Rupanya dia juga membeli bakso, untuk dibawanya pulang. Retno merasa seperti pernah melihat gadis itu. Tapi lupa di mana.

Budi sudah membukakan pintu untuknya, kemudian Retno masuk, setelahnya barulah Budi berjalan ke arah kemudi. Tapi ketika berjalan ke arah pintu mobilnya, tiba-tiba tanpa disadari seorang gadis yang sedang berdiri disamping mobil, tertabrak olehnya.

Gadis itu menjerit, karena tumpahan panas dari bungkusan bakso yang pecah dan membasahi kakinya.

“Aaaughh!” teriaknya kemudian berjongkok mengelus kakinya yang mungkin saja melepuh.

Budi terkejut. Ia menutup kembali pintu mobilnya, dan mendekati si gadis.

“Maaf … maaf …  Saya tidak tahu kalau Mbak berdiri di dekat mobil saya.”

Gadis itu berdiri, lalu berjalan terpincang-pincang. Baju bagian bawahnya basah.

Retno yang melihat kejadian itu kemudian turun.

“Kenapa Bud?”

“Mbaknya kesakitan, terkena tumpahan bakso panas. Aku yang salah.”

“Ayo kita bawa ke klinik terdekat,” kata Retno.

“Mbak, tunggu Mbak. Mungkin kaki mbak melepuh,” kata Retno.

Gadis itu terduduk di tangga warung, mengelus kaki  yang kesakitan dari bagian paha ke bawah.

“Ayo mBak, kami akan membawa ke klinik terdekat.”

“Tidak, terima kasih.”

“Jangan sampai terlambat ditangani, nanti melepuh dan akan lebih parah lagi,” sambung Budi.

“Ayo Mbak.”

Gadis itu menatap Retno yang kemudian menarik tangannya. Ia menurut ketika Retno membawanya masuk ke dalam mobil.

Budi membawanya ke rumah sakit, karena kebetulan ada rumah sakit terdekat dari tempat itu.

Ketika turun dan Retno memapahnya, tiba-tiba gadis itu berkata.

“Retno ya? Eh … mbak Retno?”

Retno menatapnya heran.

“Kok tahu nama saya?”

“Pernah melihat di ponselnya mas Wahyudi."

Retno terkejut. Ia ingin bertanya sesuatu, tapi Budi sudah menuntunnya ke arah UGD.

Retno duduk dibangku, disamping Budi. Tiba-tiba Retno ingat sesuatu. Dia gadis yang pernah dilihatnya bersama Wahyudi.

“Mbak, aku akan keluar sebentar, baju gadis itu basah. Aku akan membelikannya baju. Mbak mau ikut?”

“Aku ikut. Dimana kita membelinya?”

“Didekat situ ada, aku tadi sudah memikirkannya dan melihat-lihat.”

Lalu Retno mengikuti Budi, membelikan baju bawahan untuk gadis itu.

“Aku merasa sangat bersalah,” kata Budi setelah kembali ke rumah sakit, kemudian menyerahkan baju itu kepada perawat, agar diberikan kepada gadis yang sedang ditangani.

“O, untuk mbak Wuri?” tanya perawat yang pastinya sudah menanyakan nama pasiennya.

“Ya, yang kakinya melepuh. Bukankah bajunya basah?”

“Baiklah.”

“Namanya Wuri,” kata Budi yang kemudian kembali duduk di samping Retno.

Retno diam. Wahyudi rupanya menceritakan hubungannya dengan dirinya, dan menunjukkan foto dirinya yang masih terpasang di ponselnya. Barangkali gadis itu kesal terhadap dirinya, karena menganggap meninggalkan Wahyudi yang sangat mencintainya.

“Mbak, ada apa? Karena dia mengenal Mbak Retno?”

“Dia gadis tetangganya mas Wahyudi.”

“O, yang itu ? Yang Mbak pernah melihatnya di rumah mas Wahyudi ?”

“Iya.”

“Apa Mbak merasa … maaf … cemburu?”

Retno menatap Budi. Lalu bertanya kepada hatinya. Benarkah dia cemburu?

“Aku sudah meninggalkan dia. Dia berhak memiliki siapapun,” katanya lirih. Ia merasa tak perlu kesal terhadap Wuri. Gadis itu tak bersalah, bukan?

Perawat sudah menuntun Wuri keluar. Budi dan Retno berdiri menghampiri. Lalu dia meminta catatan yang dibawa perawat, agar bisa dibayarkannya di kasir.

“Biar saya saja,” kata Wuri.

“Tidak, kamu duduk dulu menunggu, aku akan mengambil obatnya juga.”

Retno menuntunnya duduk.

“Maaf ya, dik Wuri jadi terluka.”

“Nggak apa-apa, namanya juga kecelakaan. Memang saya saja yang lagi apes,” jawab Wuri.

Retno merasa, gadis ini baik. Ia tidak marah walau terluka karena kesalahan seseorang, bahkan dengan bijak mengatakan bahwa memang dirinya lagi apes.

“Nanti kami antar pulang, dan mampir beli bakso lagi.”

“Nggak usah.”

“Harus. Kan tadi pengin makan bakso?”

“Iya sih, itu tandanya Allah tidak mengijinkan.”

“Nanti aku akan minta kepada Allah, agar sepulang kita nanti, Allah mengijinkan Wuri makan bakso.”

Wuri tertawa.

Retno menatapnya kagum. Gadis ini cantik sekali. Benarkah Wahyudi sudah melupakannya karena dia?

Tiba-tiba ponsel Wuri berdering.

“Oh, ini dari mas Wahyudi,” katanya sambil membuka ponselnya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

65 comments:

  1. Alhamdulillah BM_20 sdh tayang. Matur nuwun bu Tien......
    Salam sehat tetap semangat....

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah BM 20 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  3. Jeng Wiwiek juara 1
    Selamat ya, aku mbayangi aja dibelakangnya.

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien.

    ReplyDelete
  5. Juara 1 mbk Wiwik



    Mbk Tien mtnuwun sdh tayang BMnya

    ReplyDelete
  6. Yah.... Matursuwun bu Tien
    Udh tayang BM20

    ReplyDelete
  7. Terimakasih bunda Tien sayang❤️😘

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah .... trimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  9. Emang bu nani sragen pancen oyee ditanyak lgs jawab siap tayang eh jebule wis tayang tenan makasih bu nani ma kasih bu tien bm xa tayang siiiiip

    ReplyDelete
  10. Terimakasih bunda Tien sayang yg baik ❤️😘

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, Terima kasih mbak Tien semoga sehat selalu...

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah...
    Terima kasih Bu Tien🙏

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah...
    Maturnuwun
    Salam Aduhai bu

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah
    Sdh datang
    Matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  15. Makasih Mbak Tien. BM 20 sudah hadir. Smoga Mbak Tien selalu sehat wal afiat.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, suwun Bu Tien....
    Salam sehat selalu....🙏🙏

    ReplyDelete
  17. Wah... makin seruu trs partnya... terimakasih Mbu Tien... sehat² trs....

    ReplyDelete
  18. Wow..makin indah saja top markotop Bu cantik.. salam sehat selalu Amin YRA 🙏 mr wien

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah BM 20 dah tayang
    Terimakasih bunda Tien
    Salam sehat dan aduhai

    ReplyDelete
  20. Puji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip shg BM 20 hadir bagi kami para penggandrungnya.

    Rasanya Retno dan Wuri cocok dan bisa bersahabat. Puji Tujan.
    Gimana perkenalan Wahyudi dan cewek yg diajukan temannya?
    Kalau cocok gak papa, nanti Wuri jadian dengan Budi ...

    Monggo ibu Tien dilanjut aja, penasaran berat. Matur nuwun Berkah Dalem.

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah berkunjung.
    Asyik nih.. Retno dan Wuri berbincang dengan baik.
    Terus hubungan Wuri - Yudi bagaimana ya, tunggu besuk lagi.
    Salam sehat dari Sragentina, mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah sdh tayang.Matur nuwun dn sehat sll bu Tien

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah BM 20 sdh tayang. Matursuwun bu Tien.
    Salam sehat selalu dan ADUHAI selalu

    ReplyDelete
  24. Terima kasih bunda Tien, semakin asyik ceritanya, salam sehat selalu dan Aduhai

    ReplyDelete
  25. Teeoma kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  26. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo,

    ReplyDelete
  27. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan,

    ReplyDelete
  28. Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem Massachusetts, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
    ADUHAI.....

    ReplyDelete
  29. Bakalan sama mbak Wuri nanti Budiono..dan Retno kembali ke Wahyudi.....sangat bagus ceritanya bunda Tien..

    ReplyDelete
  30. Trimakasih bu Tien BM20nya...

    Waduh..bapaknya Reto udh kemakan janji sm bapaknya Sapto...udh dpt duit jg...gimana nanti yaaa..
    Aduhaiiii sekali...

    Salam sehat selalu bu Tien..
    Selamat ulang tahun..panjang mumur dan bahagia senantiasa..🙏🎂🎁💐
    Salam aduhaii..🌷

    ReplyDelete
  31. Alhamdulilah terima kasih bu tien... met malam ..met istirahat salam sehat dan salam aduhai dari pondok gede

    ReplyDelete
  32. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu. Aduhai

    ReplyDelete
  33. Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien... Semoga Bu Tien selalu sehat... Salam aduhai 🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  34. Pa Kartomo dan pa Sis dua orang menomor satukan uang pikir mereka dg uang semua akan beres mereka lupa yg punya anak adalah Retno Retno berhak sepenuhnya atas anak yg dilahirkannyadoa tidak akan rela memberikan buah hatinya utk Kori.Wuri akankah jatuh hati pada Budi atau sebaliknya.Wahyudi masih selalu ingat Retno akankah Retno diceraikan Sapto setelah melahirkan?Tunggu cerita selanjutnya.Kori tambah stress ketika Sapto mengatakan tidak akanmenceraikan Retno.

    ReplyDelete
  35. 𝘔𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢, 𝘪𝘮𝘢𝘫𝘪𝘯𝘢𝘴𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢...
    𝘚𝘦𝘮𝘰𝘨𝘢 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘪𝘣𝘶𝘳 𝘬𝘢𝘮𝘪, ā𝘮ī𝘯

    𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...

    ReplyDelete
  36. Assalamualaikum wr wb. Retno, pertahankan hakmu untuk anak Kandungmu. Jangan takut kpd Siswanto dan Sapto, yg mikir bhw semuanya bisa dibeli dgn uang. Selesaikan semuanya melalui proses hukum Retno, meskipun hukum kadang bisa di beli. Gantungkan semua keinginganmu kpd Allah Swt. Maturnuwun Bu Tien, semoga Bu Tien senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin. Aamiin Yaa Robbal'alamiin... Salam sehat dari Pondok Gede...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
      Aamiin Ya Allah Aamiin
      Matur nuwun Pak Mashudi

      Delete
  37. Nuwun bu Tien.Ceritanya semakin menarik..buat penasaran. Wah bapaknya Retno mata duitan, anak dan cucu dijadikan ladang uang. Semoga saja perjanjian yg ditanda tangani p Kartomo batal karena yg berhak atas anaknya Retno ya Retno sendiri bukan pak Kartomo. Salam sehat selalu bu Rien. Belum bisa gabung karena masi di luar Jawa

    ReplyDelete
  38. Wah wah makin kesini Wuri dekat sama Yudi..apa kah Jodoh yaa semoga dan yg akan bantu Retno pasti Sapto yg kesini jatuh cinta dgn Retno yg lembut

    ReplyDelete
  39. Semoga Wuri jadi sama Budi lalu Retno jadi sama Sapto Yudi dapat pengganti retno Kori dicerau, Pak Sis dan besannya masuk penjara

    ReplyDelete
  40. yang uti ini Abimanyu ibrahim Al farizi

    ReplyDelete
  41. Bunda Tien, penggemar mas Budi dibelakangku ini lo nyundul2... tak suruh sabaaaar 😂😂

    ReplyDelete