Thursday, March 10, 2022

BUKAN MILIKKU 09

 

BUKAN MILIKKU  09

(Tien Kumalasari)

 

Wahyudi masih menyandarkan tubuhnya di tembok. Ditatapnya gadis yang berdiri di hadapannya.

“Ka_ kamu … “

“Aku Wuri Mas, kamu kira hantu apa? Kamu itu kenapa? Muntah-muntah kayak perempuan lagi ngidam.”

“Mengapa kemari?”

“Ya ampuun, aku tuh mau ke pasar, terus mendengar kamu muntah-muntah, terus aku masuk kemari. Bisa jalan nggak? Ayo aku bantu jalan ke rumah,” kata Wuri sambil meletakkan keranjang belanjaannya, lalu meraih tangan Wahyudi yang terkulai lemas.

Wahyudi mengangkat tubuhnya yang semula bersandar di tembok, melangkah mengikuti Wuri yang menuntunnya.

“Badanmu itu berat, jangan begini, aku bisa ikut ambruk nanti Mas,” omel Wuri yang memang agak cerewet.

“Lepaskan saja, aku bisa jalan kok,” kata Wahyudi pelan.

“Ya sudah, terserah kamu saja, pelan-pelan jalannya. Tanganmu dingin banget Mas, kok nggak pakai jacket.”

“Sudah, kamu ke pasar sana, aku nggak apa-apa.”

“Nggak apa-apa, jalannya saja sempoyongan begitu. Masuk ke rumah dulu, baru aku pergi  ke pasar. Nanti kalau tiba-tiba kamu pingsan bagaimana?”

Dan Wuri kemudian mengikuti Wahyudi sampai masuk ke dalam, dan duduk di sofa.

“Ini sudah ada minuman, diminum dulu. Aduh, aku kira hangat, ternyata dingin. Nggak ada minuman hangat sih Mas?”

“Nggak ada, pergi sana.”

“Dibantuin malah ngusir. Sebentar, warungnya pak Soma sudah buka, aku belikan wedang anget dulu,” kata Wuri yang kemudian beranjak keluar.

Wahyudi menyandarkan tubuhnya di sofa. Sejak kemarin dia merasakan badannya nggak enak. Memang sih sudah tidak panas lagi, tapi sekarang dia merasa kedinginan. Tak lama kemudian Wuri datang dengan membawa segelas teh panas.

“Mas, ini masih hangat, diminum gih,” kata Wuri sambil mengacungkan gelas ke hadapan Wahyudi.

“Panas … “

“Iya sih, kamu punya piring untuk ngademin nggak sih, kata Wuri yang tanpa diminta langsung beranjak ke belakang, dan kembali dengan membawa piring. Ia menuang sedikit minumannya, lalu memberikannya kepada Wahyudi.

“Sudah, kamu ke pasar sana. Aku minum sendiri saja,” kata Wahyudi sambil menerima piring berisi teh yang dituang Wuri, lalu menghirupnya perlahan.

“Enak kan? Lebih terasa hangat ya? Kamu itu pulang kapan? Kok nggak nyuruh orang bersih-bersih rumah. Rumahmu bau, seperti kandang kambing. Nanti sepulang dari pasar aku bantu membersihkan rumah,” omel Wuri.

“Dan kalau sudah lebih enakan, lebih baik kamu mandi, nanti aku panaskan air buat kamu mandi. Badanmu bau apek, kayak kambing,” lanjutnya.

“Diam, cerewet.”

“Biarin, memang aku cerewet. Itu ada roti, dimakan. Oh ya, nanti dari pasar aku belikan bubur ya. Sudah, aku tinggal dulu, kamu istirahat saja,” kata Wuri sambil beranjak pergi.

Wuri adalah tetangga sebelah, anaknya bu Mantri. Dia baru lulus SMA, dan sekarang membantu ibunya berjualan masakan matang di depan rumahnya. Mereka sudah kenal dekat dan seperti saudara. Wuri yang cantik, centil lagi cerewet, sering mengomeli Wahyudi kalau kebetulan mampir dan melihat rumah Wahyudi kotor. Wahyudi hanya tertawa saja, dan menganggap Wuri masih anak-anak. Tapi pagi itu Wuri tampak dewasa. Dengan rambut panjang yang disanggul, mengingatkan Wahyudi akan Retno, yang suka menyanggul rambut panjangnya. Wahyudi menghela napas sedih. Ia kembali teringat Retno yang sudah menjadi milik orang lain. Ditahannya nyeri dan pilu yang terus menerus menggigit perasaannya.

Diteguknya teh dari dalam gelas, yang sudah tidak sepanas tadi. Ia merasa lebih nyaman. Tapi tubuhnya masih terasa lemas. Roti yang terletak di depannya belum disentuhnya. Ia enggan makan apapun, bahkan sejak kemarin, ketika mengetahui bahwa ada acara siraman di rumah Retno, lalu dia pulang dengan limbung. Tapi sore tadi bu Kartomo memaksanya makan, bahkan menyuapinya dengan telaten. Barangkali bu Kartomo merasa tidak enak karena kandasnya hubungan cintanya dengan anak gadisnya. Wahyudi tidak tahu kapan bu Kartomo pulang dengan meninggalkan segelas minuman dan beberapa bungkus roti.

Wahyudi membaringkan tubuhnya di sofa, dan memejamkan matanya. Tapi tidak lama kemudian terdengar celotehan yang dikenalnya.

“Mas, aku bawakan bubur nih, harus dimakan, kalau tidak mau makan aku suapin kamu.”

Wahyudi membuka matanya, dan melihat Wuri sudah membuka bungkusan bubur, lalu pergi ke belakang mengambil sendok.

“Ayo dimakan,” perintahnya seperti kepada anaknya.

“Ogah.”

“Eh, bandel. Ayo mangap, kamu harus makan. Hiih, mengapa wajahmu sangat buruk dan kuyu begitu sih Mas. Mangap.”

Wahyudi terpaksa membuka mulutnya, dan mengunyah bubur hangat yang disuapkan Wuri.”

“Dasar manja. Maunya disuapin, pura-pura nggak mau makan,” omel Wuri.

“Kamu punya plester?” tanya Wahyudi.

“Plester? Buat apa? Kamu terluka?”

“Buat menutup mulutmu yang cerewet itu,” gerutu Wahyudi.

“Apa? Enak saja,” katanya cemberut.

“Sudah, aku makan sendiri saja.”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Bangun kalau begitu. Bangun kuat nggak?”

Wuri meletakkan piring di meja, dan menarik tubuh Wahyudi agar bangun. Tapi karena terlalu berat, Wuri justru terjatuh keatas dada Wahyudi. Wuri berteriak-teriak marah.

“Hiiih, sengaja ya? Sengaja ya?” katanya sambil bangkit dan memukuli dada Wahyudi dengan wajah merah padam, kemudian duduk, menjauh dari Wahyudi.

“Maaf. Kamu sih, aku kan bisa bangun sendiri,” kata Wahyudi sambil berusaha bangkit.

“Ini, makan sendiri saja, aku mau pulang dulu,” kata Wuri yang masih cemberut.

Saat itulah bu Kartomo muncul.

“Eh, ada tamu,” kata bu Kartomo.

“Bukan Bu, saya bukan tamu. Saya tetangga sebelah. Silakan Bu,” kata Wuri yang terus keluar dari rumah. Lupa pada janjinya yang akan membantu membersihkan rumah Wahyudi.

“Nak, bagaimana keadaan kamu?”

“Baik Bu. Kok Ibu balik lagi kemari?”

Bu Kartomo meletakkan rantang yang dibawanya dari rumah. Rantang berisi nasi dan lauk pauk.

“Kemarin Ibu melihat nak Wahyudi sakit, saya pulang ketika nak Wahyudi tidur. Saya khawatir terjadi apa-apa pada nak Wahyudi.

“Saya sudah tidak apa-apa Bu.”

“Tapi masih kelihatan pucat. Ini ada bubur. Mbak cantik itu tadi yang membelikannya?”

“Iya Bu, tetangga sebelah.”

“Dilanjutkan makan buburnya, sayang sudah susah-susah dibawakan,” kata bu Kartomo.

Wahyudi terpaksa menghabiskan buburnya karena bu Kartomo memaksanya.

“Bagaimana rasanya sekarang? Kalau memang masih merasa sakit, lebih baik ke dokter saja.”

“Saya baik-baik saja Bu.”

“Syukurlah. Ini Ibu bawakan makan, barangkali bisa untuk sehari. Ada nasi dan lauknya. Semoga nak Yudi suka.”

“Mengapa Ibu repot-repot untuk saya?”

“Keadaan nak Yudi membuat Ibu sangat prihatin. Ibu tak bisa melakukan apa-apa kecuali memperhatikan keadaan nak Yudi sekarang ini. Saya berharap nak Yudi segera bisa merelakan kepergian Retno, dan memulai kehidupan yang lebih tenang. Barangkali ada gadis lain yang lebih baik dari Retno. Cobalah untuk menerima takdir ini sebagai cobaan yang semoga nak Yudi bisa melewatinya.”

Wahyudi menengadahkan wajahnya, berusaha menahan jatuhnya air mata.

Semuanya memang harus terjadi, biar mengalirkan air mata darah sekalipun, Retno tidak ditakdirkan menjadi miliknya. Ia harus kuat dan bisa menata hidupnya. Kedatangan bu Kartomo lah yang membuatnya berusaha bangkit.

“Ibu jangan memikirkan saya lagi. Saya tak akan apa-apa.”

“Kalau Ibu sudah yakin nak Yudi akan baik-baik saja, maka Ibu tak akan lagi memikirkannya.”

Wahyudi mengangguk lesu. Barangkali tak akan mudah, tapi ia harus mencobanya.

“Tadi ada gadis cantik, cocok lho untuk nak Yudi,” tiba-tiba bu Kartomo teringat Wuri yang tadi berpapasan dengannya ketika dia datang.

“O, itu Wuri Bu, masih kanak-kanak,” jawab Yudi sambil tersenyum tipis. Gadis cerewet itu terkadang membuatnya jengkel dengan celotehnya yang semaunya. Tapi sejak pagi tadi ia merasa sedikit terhibur. Ada yang memarahinya karena rumahnya kotor seperti rumah kambing, dan mengatakan tubuhnya bau, yang barangkali juga memang bau kambing.

“Tapi dia tampak sudah dewasa.”

“Baru lulus SMA bu, tahun kemarin ini. Itu tetangga sebelah rumah, ibunya berjualan makanan matang.”

“O, tapi dia cantik bukan?”

“Iya bu,” kata Yudi sambil tersenyum.

“Ya sudah Nak, ibu pulang dulu. Ini nanti dimakan ya, dihabiskan. Besok Ibu kemari lagi. Oh ya, motor nak Yudi masih dititipkan di tetangga,” tiba-tiba bu Kartomo teringat motor itu.

“Oh, iya Bu, nanti akan saya ambil.”

Bu Kartomo pulang, meninggalkan Wahyudi yang masih saja merenungi keadaannya yang dirasa seperti mimpi.

***

Saat makan pagi itu Retno diminta menemani bu Siswanto. Mereka hanya bertiga karena pak Siswanto pergi keluar kota. Tak ada sapa ketika pulang bersama setelah pernikahan itu, kecuali tatapan dingin yang menggigit. Retno dianggapnya sesuatu yang sudah dibeli, lalu ditaruh di rumah begitu saja, tanpa mempedulikannya.

Bu Siswanto, Retno dan Budiono makan dengan lebih banyak terdiam. Retno hanya makan sekadarnya saja, dan membuat Budiono harus menegurnya.

“Makan yang banyak Mbak, supaya seger seperti aku,” kata Budiono sambil terus menatap Retno yang masih saja tampak muram.

“Bagaimana semalam? Kamu bisa tidur nyenyak?” tanya bu Siswanto.

Retno hanya mengangguk. Sesungguhnya dia hampir tak bisa tidur karena selalu dibayangi ketakutan akan kedatangan Sapto di kamarnya.

“Bu, nanti Budi belum akan ke kantor ya, Budi ingin jalan-jalan. Sudah lama tidak melihat kota ini.”

“Terserah kamu saja.”

“Saya mengajak Mbak Retno ya Bu?”

“Terserah Retno, kalau dia mau. Sapto paling baru akan datang kemari malam ini.”

Dan kata-kata bu Siswanto itu membuat tangan Retno kemudian gemetar, sehingga sendok yang dipegangnya terjatuh.

“Oh, maaf.” Katanya dengan gugup lalu membungkuk untuk mengambil sendoknya.

“Ganti yang baru saja. Itu Bud, ambilkan untuk kakak kamu.”

“Terima kasih,” kata Retno sambil menerima sendok yang diberikan Budiono.

“Ini masih hari pertama untuk Retno, pasti dia belum terbiasa.”

“Mbak harus menganggap rumah ini seperti rumah sendiri,” sambung Budiono.

Retno mengangguk pelan.

“Nanti ikut jalan-jalan ya, Mbak pasti bisa menunjukkan tempat-tempat yang nanti tampak asing bagi saya.”

Retno pun mengangguk lagi. Ia ingat bahwa ia ingin meminta Budiono agar mengantarkan dia bertemu Wahyudi.

***

Mereka memang hanya berputar-putar. Budiono banyak bertanya, dan Retno hanya menjawab ala kadarnya.

“Mbak sungguh belum bisa menerima keadaan ini ya?”

“Saya terpaksa menjalaninya.”

“Mbak masih mencintai pacar Mbak?”

“Sangat.”

“Saya ikut menyesal mengapa hal ini bisa terjadi. Mas Sapto juga tidak sungguh-sungguh menginginkannya. Bapak yang memaksanya.”

“Akan lebih baik kalau dia menolaknya.”

“Semua yang Bapak inginkan tak ada yang bisa menghentikannya.”

“Semoga dia tidak pernah mendekati aku,” gumamnya lirih.

“Tapi dia juga menginginkan anak dari pernikahan ini.”

Retno memalingkan wajahnya ke arah samping.

“Budi,” panggilnya kemudian.

“Ya ?”

“Maukah kamu menolong aku?”

“Tentu. Aku ada dipihak Mbak Retno, apapun akan aku lakukan.”

“Aku ingin menemui dia.”

Budiono menatap wajah Retno, yang sedang memandangnya dengan mata penuh permohonan. Sungguh sedih menatap wajah cantik yang tampak kuyu tak bersemangat itu.

“Aku harus mengantarkan Mbak Retno?”

“Maukah?”

“Apa dia ada di kota ini?”

“Entahlah. Tapi mungkin saja ya.”

“Dia bekerja di sini? Di kota ini?”

“Tidak. Selama ini dia di Jakarta. Tapi perasaan aku mengatakan bahwa dia ada di sini, setidaknya saat ini.”

“Bagaimana kalau nanti dia membawa Mbak kabur?”

“Kalau sebelum menikah, ya. Aku yang memintanya. Tapi sekarang ini, resikonya terlalu berat, karena aku adalah isteri orang.”

“Jadi ?”

“Aku harus ketemu dia dan meminta maaf. Aku belum pernah mengatakan bahwa aku akan menikah, atau dipaksa menikah.”

“Lalu ….”

“Maukah mengantarkan aku ke rumahnya?”

Melihat tatapan sendu itu, Budiono tak bisa menolaknya. Sungguh ia bisa mengerti apa yang dirasakan Retno. Kalau ia bisa melakukannya, maka dia akan melakukannya.

“Baiklah. Katakan kemana saya harus mengantarkan Mbak.”

Retno menghela napas lega.

***

Wahyudi merasa lebih baik. Ia beranjak ke belakang untuk menjerang air. Badannya masih terasa kurang nyaman, jadi ia harus mandi dengan air hangat. Sejak kedatangannya dari Jakarta ia memang belum mandi. Tidak aneh kalau Wuri mengatakan bahwa dirinya bau kambing.

Sambil menunggu air panas, ia kembali duduk di sofa, mengamati keadaan rumahnya. Berbulan dia tidak pulang, biasanya begitu datang dia minta tolong salah seorang tetangga untuk membersihkan rumahnya. Tapi sejak kedatangannya dia juga tak melakukan apa-apa. Saat dia berdiri untuk mengambil sapu, si cerewet itu datang.

“Aku lupa tadi berjanji untuk membersihkan rumah kamu mas.”

Wahyudi menatapnya dengan senyuman tipis. Sudah pasti akan banyak omelan yang akan dilontarkan dari mulut tipisnya.

“Kamu belum mandi juga? Rupanya kamu benar-benar tidak tahu bahwa bau apek telah memenuhi ruangan ini.”

“Apa itu aku?”

“Ya jelas dong Mas, kan kamu yang ada di sini. Cepat mandi, atau aku guyur kamu di sini juga.”

“Eh, sembarangan. Aku baru memanaskan air, tahu.”

“Oh, baiklah. Kalau memang badan tidak enak, lebih baik mandi pakai air hangat. Tapi ngomong-ngomong tadi tuh siapa? Ibu-ibu yang datang sambil membawa rantang? Haaa, jangan bilang bahwa dia calon mertua kamu.”

“Dia calon mertua yang gagal jadi mertua,” tiba-tiba wajah Wahyudi menjadi sendu.

“Apa maksudnya gagal jadi mertua kamu?”

“Memang tadinya aku harapkan begitu. Tapi ….”

Wahyudi menggelengkan kepalanya. Tak urung si cerewet itu merasa kasihan melihatnya.

“Kamu kelihatan sedih Mas. Patah hati ya? Gadis itu pergi dengan pria lain? Menghianati cinta kamu?”

“Dia dinikahkan dengan pria lain oleh orang tuanya.”

“Yaaah, tapi mengapa ibunya datang kemari dan mengirimi kamu makanan? Sebagai permintaan maaf?”

“Ibunya memilih aku. Bapaknya yang memaksa dia. Baru kemarin mereka menikah,” Wahyudi berterus terang, untuk meringankan derita yang menderanya. Ia tahu, walau terkadang mengesalkan, Wuri terkadang bisa bersikap dewasa. Maklum, dia biasa sekolah sambil membantu ibunya berjualan, dan keadaan ekonomi keluarganya itulah yang membuat dia lebih dewasa dari umurnya.

“Ya ampun Mas, ternyata kamu sedang mengalami kejadian yang sangat menyakitkan. Kamu kesakitan lahir batin ya Mas.Tahu begitu aku tidak akan mengomeli kamu,” kata Wuri tulus.

“Terima kasih karena memperhatikan aku.”

“Kalau tidak melihatmu muntah-muntah tadi, aku tak tahu bahwa kamu ada di rumah dan sangat menderita.”

“Aku mau mandi dulu, tampaknya airnya sudah panas.”

Wuri mengangguk, lalu mulai membersihkan rumah Wahyudi yang berdebu. Ia juga mengepelnya sehingga rumah itu sekarang berbau wangi. Wuri juga menjerang air untuk membuat minuman hangat untuk Wahyudi. Hal itu biasa dilakukan Wuri setiap Wahyudi pulang.

Wahyudi sudah berganti pakaian, dan menyisir rambutnya. Wajahnya sudah kelihatan bersih, walaupun sedikit pucat. Ia terharu melihat segelas minuman hangat disiapkan di meja.

“Terima kasih Wuri.”

“Sekarang aku yang bau. Berkeringat nih, aku mau pulang dulu.”

“Jangan, temani aku makan dulu.”

“Makan?”

“Iya, calon mertua gagal itu membawa makanan banyak, tak akan bisa aku menghabiskannya.”

Wuri mendekati meja, membuka rantang yang memang belum dibuka. Serantang nasi, serantang sayur dan serantang ikan goreng yang berisi beberapa potong.

“Wah, banyak banget.”

“Itu sebabnya kamu harus menemani aku.”

Wuri menurut. Ia mengambil piring dan menata nasi serta sayur itu di tempat yang pantas, kemudian mereka makan berdua.

Saat itulah tiba-tiba Retno muncul.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

66 comments:

  1. Alhamdulillah......
    Mosok juara lagi...???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Luar biasa Kakek... Juara teruuuus

      Delete
    2. Loh juaranya om kakek toh? Kirain j. Nanik Sragen, hehe. Selamat ya om.

      Delete
  2. Alhamdulillah BM~09 sudah hadir.. maturnuwun bu Tien..🙏

    ReplyDelete
  3. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo,

    ReplyDelete
  4. alhamdulillah...maturnuwun
    mugi tansah pinaringan sehat

    ReplyDelete
  5. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan,

    ReplyDelete
  6. Malam Bunda Makasih cerbungnya dan met istirahat.Sehat selalu dan tetap semangat

    ReplyDelete
  7. Terimakasih bu Tien..
    Salam aduhai
    Semoga ibu sehat selalu.. 🙏🙏❤

    ReplyDelete
  8. Allhamdulillah
    Terima jasih bunda Tien

    ReplyDelete
  9. Trimakasih bu Tien.... semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  10. Salam aduhai, trm ksh sdh tayang gasik

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien... Selamat malam selamat beristirahat semoga Bu Tien selalu sehat... Salam... 🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  12. Alamdulillah...
    Yang ditunggu tunggu telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga bu Tien senantiasa dikaruniai kesehatan dan tetap semangat
    Salam ADUHAI dr Cilacap..

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah....sueun ibu
    Mugi ibu tansah pinaringan sehat

    ReplyDelete
  14. Wah... kakek juara 1... uuh.. mantap partnya... wahyudi akan menyangka retno nyaman bersama suaminya pdahal adiknya... dan retno akan menyangka yudi sdh melupakannya dg adanya Wuri... aduhai... berat banget.....
    Sehat² trs Mbu Tien.....

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillahh BM 09 tayang
    Terimakasih bunda Tien, semoga bunda selalu sehat
    Salam sehat dan aduhai

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah.
    Matur nuwun Mbak Tien ... selalu ADUHAI ...Semoga Berkah dan Ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu melindungi kita semua Aamiin😊🌹

    ReplyDelete
  17. Semoga retno bs ketemu dlu dg wahyudi.. dan minta maaf. Kasian mereka hrs berpisah.. nunggu bsk lg aah...
    Tks bu Tien..

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien.

    ReplyDelete
  19. Trimakasih bu Tien..BM09nya..

    Critanya aduhaiii bangeet..
    Retno mau salah sangka ke Wahyudi jg ga masalah..udh jd istri org wlpn hanya dipake modus sm bpk mertuanya..😒

    Lanjuut besok lagii..

    Salam sehat selalu bu Tien dan aduhaii..🙏💟🌷

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah BM 09 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah BM 09 sdh hadir..
    Terima kasih Ibu Tien..
    Semoga sehat selalu..
    Salam *ADUHAI*..

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang.
    Mulai gayeng kiyii....,, apa terjadi salah paham ya, tapi tidak apa kan sudah bukan apa-apa lagi.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  23. Selamat malam, mb Tien
    Wah, bisa salah duga nih
    Tp Retno pasti sedih melihat Euri n Yudi
    Salam manis mb Tien
    Yuli Semarang

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien salam sehat dan mbak selalu dlm lindungan Alloh SWT, Aamiin
    Salam ADUHAI......

    ReplyDelete
  25. Begitulah rencana Tuhan... Ehh rencana ibu Tien sebagai pencipta cerita... Luar biasa...

    Semoga semua menjadi baik...
    Sapto gak niat kpd Retno malah diganti Budi adiknya dan Yudi juga sudah tertarik kepada Wuri.
    Bukan milikku adalah kata2 Yudi, Sapto maupun Retno, tapi semua bahagia...

    Monggo ibu Tien, dilanjut aja makin penasaran. Matur nuwun Berkah Dalem.

    ReplyDelete
  26. Terimakasih Bu Tien yang selalu menghibur penggemarnya, salam sehat selalu. aaah, salam aduhai.

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah.. Bukan Milikku Eps 09 sudah tajang. Matur nuwun mbak Tien.
    Salam sehat selalu dari Tangerang.

    ReplyDelete
  28. Makasih mba Tien. Salam hangat dan aduhai..

    ReplyDelete
  29. Matursuwun bu Tien .....aduhai...sugeng ndalu...salam sehat dari Yk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maturnuwun ibu....mugi bu Tien tansah kaparingan berkah sehat dan bahagia sll bersama kel tercinta.

      Delete
  30. Bu Tien, Wahyudi jgn dilembekin ah, apalagi hanya krn cinta, tapi Laki2 yg tegar, strong, berwibawa gitu loh bu🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  31. Assalamualaikum wr wb. Wuri hrs bisa menyemangati Wahyudi,agar kembali percaya diri, bukan memble krn di tinggal wanita yang di cintainya. Dunia itu luas dan mungkin Retno bukan jodohnya Wahyudi. Terima kenyataan dan sgr move on... Cemburukah Retno melihat Yudi makan bersama gadis lain... Sabar menunggu kelanjutannya. Maturnuwun Bu Tien, semoga senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin. Aamiin Yaa Robbal'alamiin....Salam sehat dari Pondok Gede....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
      Aamiin Allahumma Aamiin
      Matur nuwun dan ADUHAI pak Mashudi

      Delete
  32. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien untuk BMnya 🤗
    Waduh,,,bisa cemburu semuanya nih 😁😁
    Aduhaaii jadi nya

    Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien 🤗💖 Salam ADUHAAII

    ReplyDelete
  33. Selamat siabg bunda Tien.. Trimaksih BM nya.. Slmsehat sll dan aduuhai sll🙏🥰🥰🌹🌹

    ReplyDelete
  34. Nunggu mas Wahyudi sampai terkantuk kantuk 😂😂

    ReplyDelete
  35. Betul bu Wiwik.. Biar dpt nomor 1 ya.. Ngalahin kake..hihi..
    Mau tdr penasaran nunggu di sapa dulu sm mas Wahyudi nih...

    ReplyDelete
  36. Kasian Yudi ..manusia bisa berharap dan Allah penentunya yaa krn bpnya yg gila harta dan gila hormat semoga sdh gak zaman ya

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...