BUKAN MILIKKU
09
(Tien Kumalasari)
Wahyudi masih menyandarkan tubuhnya di tembok.
Ditatapnya gadis yang berdiri di hadapannya.
“Ka_ kamu … “
“Aku Wuri Mas, kamu kira hantu apa? Kamu itu kenapa?
Muntah-muntah kayak perempuan lagi ngidam.”
“Mengapa kemari?”
“Ya ampuun, aku tuh mau ke pasar, terus mendengar kamu
muntah-muntah, terus aku masuk kemari. Bisa jalan nggak? Ayo aku bantu jalan ke
rumah,” kata Wuri sambil meletakkan keranjang belanjaannya, lalu meraih tangan
Wahyudi yang terkulai lemas.
Wahyudi mengangkat tubuhnya yang semula bersandar di
tembok, melangkah mengikuti Wuri yang menuntunnya.
“Badanmu itu berat, jangan begini, aku bisa ikut
ambruk nanti Mas,” omel Wuri yang memang agak cerewet.
“Lepaskan saja, aku bisa jalan kok,” kata Wahyudi
pelan.
“Ya sudah, terserah kamu saja, pelan-pelan jalannya.
Tanganmu dingin banget Mas, kok nggak pakai jacket.”
“Sudah, kamu ke pasar sana, aku nggak apa-apa.”
“Nggak apa-apa, jalannya saja sempoyongan begitu.
Masuk ke rumah dulu, baru aku pergi ke pasar. Nanti kalau tiba-tiba kamu
pingsan bagaimana?”
Dan Wuri kemudian mengikuti Wahyudi sampai masuk ke
dalam, dan duduk di sofa.
“Ini sudah ada minuman, diminum dulu. Aduh, aku kira
hangat, ternyata dingin. Nggak ada minuman hangat sih Mas?”
“Nggak ada, pergi sana.”
“Dibantuin malah ngusir. Sebentar, warungnya pak Soma
sudah buka, aku belikan wedang anget dulu,” kata Wuri yang kemudian beranjak
keluar.
Wahyudi menyandarkan tubuhnya di sofa. Sejak kemarin
dia merasakan badannya nggak enak. Memang sih sudah tidak panas lagi, tapi
sekarang dia merasa kedinginan. Tak lama kemudian Wuri datang dengan membawa
segelas teh panas.
“Mas, ini masih hangat, diminum gih,” kata Wuri sambil
mengacungkan gelas ke hadapan Wahyudi.
“Panas … “
“Iya sih, kamu punya piring untuk ngademin nggak sih,
kata Wuri yang tanpa diminta langsung beranjak ke belakang, dan kembali dengan
membawa piring. Ia menuang sedikit minumannya, lalu memberikannya kepada
Wahyudi.
“Sudah, kamu ke pasar sana. Aku minum sendiri saja,”
kata Wahyudi sambil menerima piring berisi teh yang dituang Wuri, lalu
menghirupnya perlahan.
“Enak kan? Lebih terasa hangat ya? Kamu itu pulang
kapan? Kok nggak nyuruh orang bersih-bersih rumah. Rumahmu bau, seperti kandang
kambing. Nanti sepulang dari pasar aku bantu membersihkan rumah,” omel Wuri.
“Dan kalau sudah lebih enakan, lebih baik kamu mandi,
nanti aku panaskan air buat kamu mandi. Badanmu bau apek, kayak kambing,” lanjutnya.
“Diam, cerewet.”
“Biarin, memang aku cerewet. Itu ada roti, dimakan. Oh
ya, nanti dari pasar aku belikan bubur ya. Sudah, aku tinggal dulu, kamu
istirahat saja,” kata Wuri sambil beranjak pergi.
Wuri adalah tetangga sebelah, anaknya bu Mantri. Dia
baru lulus SMA, dan sekarang membantu ibunya berjualan masakan matang di depan
rumahnya. Mereka sudah kenal dekat dan seperti saudara. Wuri yang cantik,
centil lagi cerewet, sering mengomeli Wahyudi kalau kebetulan mampir dan
melihat rumah Wahyudi kotor. Wahyudi hanya tertawa saja, dan menganggap Wuri
masih anak-anak. Tapi pagi itu Wuri tampak dewasa. Dengan rambut panjang yang
disanggul, mengingatkan Wahyudi akan Retno, yang suka menyanggul rambut
panjangnya. Wahyudi menghela napas sedih. Ia kembali teringat Retno yang sudah
menjadi milik orang lain. Ditahannya nyeri dan pilu yang terus menerus menggigit
perasaannya.
Diteguknya teh dari dalam gelas, yang sudah tidak
sepanas tadi. Ia merasa lebih nyaman. Tapi tubuhnya masih terasa lemas. Roti
yang terletak di depannya belum disentuhnya. Ia enggan makan apapun, bahkan
sejak kemarin, ketika mengetahui bahwa ada acara siraman di rumah Retno, lalu
dia pulang dengan limbung. Tapi sore tadi bu Kartomo memaksanya makan, bahkan
menyuapinya dengan telaten. Barangkali bu Kartomo merasa tidak enak karena kandasnya
hubungan cintanya dengan anak gadisnya. Wahyudi tidak tahu kapan bu Kartomo
pulang dengan meninggalkan segelas minuman dan beberapa bungkus roti.
Wahyudi membaringkan tubuhnya di sofa, dan memejamkan
matanya. Tapi tidak lama kemudian terdengar celotehan yang dikenalnya.
“Mas, aku bawakan bubur nih, harus dimakan, kalau
tidak mau makan aku suapin kamu.”
Wahyudi membuka matanya, dan melihat Wuri sudah
membuka bungkusan bubur, lalu pergi ke belakang mengambil sendok.
“Ayo dimakan,” perintahnya seperti kepada anaknya.
“Ogah.”
“Eh, bandel. Ayo mangap, kamu harus makan. Hiih,
mengapa wajahmu sangat buruk dan kuyu begitu sih Mas. Mangap.”
Wahyudi terpaksa membuka mulutnya, dan mengunyah bubur
hangat yang disuapkan Wuri.”
“Dasar manja. Maunya disuapin, pura-pura nggak mau
makan,” omel Wuri.
“Kamu punya plester?” tanya Wahyudi.
“Plester? Buat apa? Kamu terluka?”
“Buat menutup mulutmu yang cerewet itu,” gerutu
Wahyudi.
“Apa? Enak saja,” katanya cemberut.
“Sudah, aku makan sendiri saja.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Bangun kalau begitu.
Bangun kuat nggak?”
Wuri meletakkan piring di meja, dan menarik tubuh
Wahyudi agar bangun. Tapi karena terlalu berat, Wuri justru terjatuh keatas
dada Wahyudi. Wuri berteriak-teriak marah.
“Hiiih, sengaja ya? Sengaja ya?” katanya sambil
bangkit dan memukuli dada Wahyudi dengan wajah merah padam, kemudian duduk,
menjauh dari Wahyudi.
“Maaf. Kamu sih, aku kan bisa bangun sendiri,” kata
Wahyudi sambil berusaha bangkit.
“Ini, makan sendiri saja, aku mau pulang dulu,” kata
Wuri yang masih cemberut.
Saat itulah bu Kartomo muncul.
“Eh, ada tamu,” kata bu Kartomo.
“Bukan Bu, saya bukan tamu. Saya tetangga sebelah.
Silakan Bu,” kata Wuri yang terus keluar dari rumah. Lupa pada janjinya yang
akan membantu membersihkan rumah Wahyudi.
“Nak, bagaimana keadaan kamu?”
“Baik Bu. Kok Ibu balik lagi kemari?”
Bu Kartomo meletakkan rantang yang dibawanya dari
rumah. Rantang berisi nasi dan lauk pauk.
“Kemarin Ibu melihat nak Wahyudi sakit, saya pulang
ketika nak Wahyudi tidur. Saya khawatir terjadi apa-apa pada nak Wahyudi.
“Saya sudah tidak apa-apa Bu.”
“Tapi masih kelihatan pucat. Ini ada bubur. Mbak
cantik itu tadi yang membelikannya?”
“Iya Bu, tetangga sebelah.”
“Dilanjutkan makan buburnya, sayang sudah susah-susah
dibawakan,” kata bu Kartomo.
Wahyudi terpaksa menghabiskan buburnya karena bu
Kartomo memaksanya.
“Bagaimana rasanya sekarang? Kalau memang masih merasa
sakit, lebih baik ke dokter saja.”
“Saya baik-baik saja Bu.”
“Syukurlah. Ini Ibu bawakan makan, barangkali bisa
untuk sehari. Ada nasi dan lauknya. Semoga nak Yudi suka.”
“Mengapa Ibu repot-repot untuk saya?”
“Keadaan nak Yudi membuat Ibu sangat prihatin. Ibu tak
bisa melakukan apa-apa kecuali memperhatikan keadaan nak Yudi sekarang ini.
Saya berharap nak Yudi segera bisa merelakan kepergian Retno, dan memulai kehidupan
yang lebih tenang. Barangkali ada gadis lain yang lebih baik dari Retno.
Cobalah untuk menerima takdir ini sebagai cobaan yang semoga nak Yudi bisa
melewatinya.”
Wahyudi menengadahkan wajahnya, berusaha menahan
jatuhnya air mata.
Semuanya memang harus terjadi, biar mengalirkan air
mata darah sekalipun, Retno tidak ditakdirkan menjadi miliknya. Ia harus kuat
dan bisa menata hidupnya. Kedatangan bu Kartomo lah yang membuatnya berusaha
bangkit.
“Ibu jangan memikirkan saya lagi. Saya tak akan
apa-apa.”
“Kalau Ibu sudah yakin nak Yudi akan baik-baik saja,
maka Ibu tak akan lagi memikirkannya.”
Wahyudi mengangguk lesu. Barangkali tak akan mudah,
tapi ia harus mencobanya.
“Tadi ada gadis cantik, cocok lho untuk nak Yudi,”
tiba-tiba bu Kartomo teringat Wuri yang tadi berpapasan dengannya ketika dia
datang.
“O, itu Wuri Bu, masih kanak-kanak,” jawab Yudi sambil
tersenyum tipis. Gadis cerewet itu terkadang membuatnya jengkel dengan
celotehnya yang semaunya. Tapi sejak pagi tadi ia merasa sedikit terhibur. Ada
yang memarahinya karena rumahnya kotor seperti rumah kambing, dan mengatakan
tubuhnya bau, yang barangkali juga memang bau kambing.
“Tapi dia tampak sudah dewasa.”
“Baru lulus SMA bu, tahun kemarin ini. Itu tetangga
sebelah rumah, ibunya berjualan makanan matang.”
“O, tapi dia cantik bukan?”
“Iya bu,” kata Yudi sambil tersenyum.
“Ya sudah Nak, ibu pulang dulu. Ini nanti dimakan ya,
dihabiskan. Besok Ibu kemari lagi. Oh ya, motor nak Yudi masih dititipkan di tetangga,”
tiba-tiba bu Kartomo teringat motor itu.
“Oh, iya Bu, nanti akan saya ambil.”
Bu Kartomo pulang, meninggalkan Wahyudi yang masih
saja merenungi keadaannya yang dirasa seperti mimpi.
***
Saat makan pagi itu Retno diminta menemani bu Siswanto.
Mereka hanya bertiga karena pak Siswanto pergi keluar kota. Tak ada sapa ketika
pulang bersama setelah pernikahan itu, kecuali tatapan dingin yang menggigit.
Retno dianggapnya sesuatu yang sudah dibeli, lalu ditaruh di rumah begitu saja,
tanpa mempedulikannya.
Bu Siswanto, Retno dan Budiono makan dengan lebih banyak terdiam. Retno hanya makan
sekadarnya saja, dan membuat Budiono harus menegurnya.
“Makan yang banyak Mbak, supaya seger seperti aku,”
kata Budiono sambil terus menatap Retno yang masih saja tampak muram.
“Bagaimana semalam? Kamu bisa tidur nyenyak?” tanya bu
Siswanto.
Retno hanya mengangguk. Sesungguhnya dia hampir tak
bisa tidur karena selalu dibayangi ketakutan akan kedatangan Sapto di kamarnya.
“Bu, nanti Budi belum akan ke kantor ya, Budi ingin
jalan-jalan. Sudah lama tidak melihat kota ini.”
“Terserah kamu saja.”
“Saya mengajak Mbak Retno ya Bu?”
“Terserah Retno, kalau dia mau. Sapto paling baru akan
datang kemari malam ini.”
Dan kata-kata bu Siswanto itu membuat tangan Retno
kemudian gemetar, sehingga sendok yang dipegangnya terjatuh.
“Oh, maaf.” Katanya dengan gugup lalu membungkuk untuk
mengambil sendoknya.
“Ganti yang baru saja. Itu Bud, ambilkan untuk kakak
kamu.”
“Terima kasih,” kata Retno sambil menerima sendok yang
diberikan Budiono.
“Ini masih hari pertama untuk Retno, pasti dia belum
terbiasa.”
“Mbak harus menganggap rumah ini seperti rumah
sendiri,” sambung Budiono.
Retno mengangguk pelan.
“Nanti ikut jalan-jalan ya, Mbak pasti bisa
menunjukkan tempat-tempat yang nanti tampak asing bagi saya.”
Retno pun mengangguk lagi. Ia ingat bahwa ia ingin
meminta Budiono agar mengantarkan dia bertemu Wahyudi.
***
Mereka memang hanya berputar-putar. Budiono banyak
bertanya, dan Retno hanya menjawab ala kadarnya.
“Mbak sungguh belum bisa menerima keadaan ini ya?”
“Saya terpaksa menjalaninya.”
“Mbak masih mencintai pacar Mbak?”
“Sangat.”
“Saya ikut menyesal mengapa hal ini bisa terjadi. Mas
Sapto juga tidak sungguh-sungguh menginginkannya. Bapak yang memaksanya.”
“Akan lebih baik kalau dia menolaknya.”
“Semua yang Bapak inginkan tak ada yang bisa
menghentikannya.”
“Semoga dia tidak pernah mendekati aku,” gumamnya
lirih.
“Tapi dia juga menginginkan anak dari pernikahan ini.”
Retno memalingkan wajahnya ke arah samping.
“Budi,” panggilnya kemudian.
“Ya ?”
“Maukah kamu menolong aku?”
“Tentu. Aku ada dipihak Mbak Retno, apapun akan aku
lakukan.”
“Aku ingin menemui dia.”
Budiono menatap wajah Retno, yang sedang memandangnya
dengan mata penuh permohonan. Sungguh sedih menatap wajah cantik yang tampak
kuyu tak bersemangat itu.
“Aku harus mengantarkan Mbak Retno?”
“Maukah?”
“Apa dia ada di kota ini?”
“Entahlah. Tapi mungkin saja ya.”
“Dia bekerja di sini? Di kota ini?”
“Tidak. Selama ini dia di Jakarta. Tapi perasaan aku
mengatakan bahwa dia ada di sini, setidaknya saat ini.”
“Bagaimana kalau nanti dia membawa Mbak kabur?”
“Kalau sebelum menikah, ya. Aku yang memintanya. Tapi
sekarang ini, resikonya terlalu berat, karena aku adalah isteri orang.”
“Jadi ?”
“Aku harus ketemu dia dan meminta maaf. Aku belum
pernah mengatakan bahwa aku akan menikah, atau dipaksa menikah.”
“Lalu ….”
“Maukah mengantarkan aku ke rumahnya?”
Melihat tatapan sendu itu, Budiono tak bisa
menolaknya. Sungguh ia bisa mengerti apa yang dirasakan Retno. Kalau ia bisa
melakukannya, maka dia akan melakukannya.
“Baiklah. Katakan kemana saya harus mengantarkan Mbak.”
Retno menghela napas lega.
***
Wahyudi merasa lebih baik. Ia beranjak ke belakang
untuk menjerang air. Badannya masih terasa kurang nyaman, jadi ia harus mandi
dengan air hangat. Sejak kedatangannya dari Jakarta ia memang belum mandi.
Tidak aneh kalau Wuri mengatakan bahwa dirinya bau kambing.
Sambil menunggu air panas, ia kembali duduk di sofa,
mengamati keadaan rumahnya. Berbulan dia tidak pulang, biasanya begitu datang
dia minta tolong salah seorang tetangga untuk membersihkan rumahnya. Tapi sejak
kedatangannya dia juga tak melakukan apa-apa. Saat dia berdiri untuk mengambil
sapu, si cerewet itu datang.
“Aku lupa tadi berjanji untuk membersihkan rumah kamu
mas.”
Wahyudi menatapnya dengan senyuman tipis. Sudah pasti
akan banyak omelan yang akan dilontarkan dari mulut tipisnya.
“Kamu belum mandi juga? Rupanya kamu benar-benar tidak
tahu bahwa bau apek telah memenuhi ruangan ini.”
“Apa itu aku?”
“Ya jelas dong Mas, kan kamu yang ada di sini. Cepat
mandi, atau aku guyur kamu di sini juga.”
“Eh, sembarangan. Aku baru memanaskan air, tahu.”
“Oh, baiklah. Kalau memang badan tidak enak, lebih
baik mandi pakai air hangat. Tapi ngomong-ngomong tadi tuh siapa? Ibu-ibu yang
datang sambil membawa rantang? Haaa, jangan bilang bahwa dia calon mertua kamu.”
“Dia calon mertua yang gagal jadi mertua,” tiba-tiba
wajah Wahyudi menjadi sendu.
“Apa maksudnya gagal jadi mertua kamu?”
“Memang tadinya aku harapkan begitu. Tapi ….”
Wahyudi menggelengkan kepalanya. Tak urung si cerewet
itu merasa kasihan melihatnya.
“Kamu kelihatan sedih Mas. Patah hati ya? Gadis itu
pergi dengan pria lain? Menghianati cinta kamu?”
“Dia dinikahkan dengan pria lain oleh orang tuanya.”
“Yaaah, tapi mengapa ibunya datang kemari dan
mengirimi kamu makanan? Sebagai permintaan maaf?”
“Ibunya memilih aku. Bapaknya yang memaksa dia. Baru
kemarin mereka menikah,” Wahyudi berterus terang, untuk meringankan derita yang
menderanya. Ia tahu, walau terkadang mengesalkan, Wuri terkadang bisa bersikap
dewasa. Maklum, dia biasa sekolah sambil membantu ibunya berjualan, dan keadaan
ekonomi keluarganya itulah yang membuat dia lebih dewasa dari umurnya.
“Ya ampun Mas, ternyata kamu sedang mengalami kejadian
yang sangat menyakitkan. Kamu kesakitan lahir batin ya Mas.Tahu begitu aku
tidak akan mengomeli kamu,” kata Wuri tulus.
“Terima kasih karena memperhatikan aku.”
“Kalau tidak melihatmu muntah-muntah tadi, aku tak
tahu bahwa kamu ada di rumah dan sangat menderita.”
“Aku mau mandi dulu, tampaknya airnya sudah panas.”
Wuri mengangguk, lalu mulai membersihkan rumah Wahyudi
yang berdebu. Ia juga mengepelnya sehingga rumah itu sekarang berbau wangi.
Wuri juga menjerang air untuk membuat minuman hangat untuk Wahyudi. Hal itu
biasa dilakukan Wuri setiap Wahyudi pulang.
Wahyudi sudah berganti pakaian, dan menyisir rambutnya.
Wajahnya sudah kelihatan bersih, walaupun sedikit pucat. Ia terharu melihat
segelas minuman hangat disiapkan di meja.
“Terima kasih Wuri.”
“Sekarang aku yang bau. Berkeringat nih, aku mau
pulang dulu.”
“Jangan, temani aku makan dulu.”
“Makan?”
“Iya, calon mertua gagal itu membawa makanan banyak,
tak akan bisa aku menghabiskannya.”
Wuri mendekati meja, membuka rantang yang memang belum
dibuka. Serantang nasi, serantang sayur dan serantang ikan goreng yang berisi
beberapa potong.
“Wah, banyak banget.”
“Itu sebabnya kamu harus menemani aku.”
Wuri menurut. Ia mengambil piring dan menata nasi
serta sayur itu di tempat yang pantas, kemudian mereka makan berdua.
Saat itulah tiba-tiba Retno muncul.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah......
ReplyDeleteMosok juara lagi...???
Kakek pancen oye
DeleteADUHAI
Luar biasa Kakek... Juara teruuuus
DeleteLoh juaranya om kakek toh? Kirain j. Nanik Sragen, hehe. Selamat ya om.
DeleteAlhamdulillah BM sdh tayang
ReplyDeleteWihh kalah terus ma kakek
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah BM~09 sudah hadir.. maturnuwun bu Tien..🙏
ReplyDeleteTerima kasuh Bu Tien.
ReplyDeleteHallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo,
alhamdulillah...maturnuwun
ReplyDeletemugi tansah pinaringan sehat
Sami2 Ibu Nanik
DeleteAamiin
Selamat j. Nanik, juara. Aduhai bu Tien
DeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan,
Malam Bunda Makasih cerbungnya dan met istirahat.Sehat selalu dan tetap semangat
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien..
ReplyDeleteSalam aduhai
Semoga ibu sehat selalu.. 🙏🙏❤
Allhamdulillah
ReplyDeleteTerima jasih bunda Tien
Trimakasih bu Tien.... semoga sehat selalu
ReplyDeleteSalam aduhai, trm ksh sdh tayang gasik
ReplyDeleteAlhamdulillah... Terima kasih Bu Tien... Selamat malam selamat beristirahat semoga Bu Tien selalu sehat... Salam... 🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlamdulillah...
ReplyDeleteYang ditunggu tunggu telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga bu Tien senantiasa dikaruniai kesehatan dan tetap semangat
Salam ADUHAI dr Cilacap..
Alhamdulillah....sueun ibu
ReplyDeleteMugi ibu tansah pinaringan sehat
Wah... kakek juara 1... uuh.. mantap partnya... wahyudi akan menyangka retno nyaman bersama suaminya pdahal adiknya... dan retno akan menyangka yudi sdh melupakannya dg adanya Wuri... aduhai... berat banget.....
ReplyDeleteSehat² trs Mbu Tien.....
Alhamdulillahh BM 09 tayang
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, semoga bunda selalu sehat
Salam sehat dan aduhai
Alhamdulillah.
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien ... selalu ADUHAI ...Semoga Berkah dan Ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu melindungi kita semua Aamiin😊🌹
Semoga retno bs ketemu dlu dg wahyudi.. dan minta maaf. Kasian mereka hrs berpisah.. nunggu bsk lg aah...
ReplyDeleteTks bu Tien..
Alhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien..BM09nya..
ReplyDeleteCritanya aduhaiii bangeet..
Retno mau salah sangka ke Wahyudi jg ga masalah..udh jd istri org wlpn hanya dipake modus sm bpk mertuanya..😒
Lanjuut besok lagii..
Salam sehat selalu bu Tien dan aduhaii..🙏💟🌷
Sami2 Ibu Maria
DeleteSalam sehat
ADUHAI
Alhamdulillah BM 09 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Sami2 Ibu Uchu
DeleteAamiin
Alhamdulillah BM 09 sdh hadir..
ReplyDeleteTerima kasih Ibu Tien..
Semoga sehat selalu..
Salam *ADUHAI*..
Sami2 Ibu Nina
DeleteAamiin
ADUHAI
Matur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang.
ReplyDeleteMulai gayeng kiyii....,, apa terjadi salah paham ya, tapi tidak apa kan sudah bukan apa-apa lagi.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Sami2 Pak Latief
DeleteADUHAI
Trims Bu Tien sudah menghibur
ReplyDeleteSelamat malam, mb Tien
ReplyDeleteWah, bisa salah duga nih
Tp Retno pasti sedih melihat Euri n Yudi
Salam manis mb Tien
Yuli Semarang
Salam manis juga buat Ibu Yuli
DeleteADUHAI
Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien salam sehat dan mbak selalu dlm lindungan Alloh SWT, Aamiin
ReplyDeleteSalam ADUHAI......
Sami2 Ibu Nanung
DeleteAamiin
ADUHAI
Begitulah rencana Tuhan... Ehh rencana ibu Tien sebagai pencipta cerita... Luar biasa...
ReplyDeleteSemoga semua menjadi baik...
Sapto gak niat kpd Retno malah diganti Budi adiknya dan Yudi juga sudah tertarik kepada Wuri.
Bukan milikku adalah kata2 Yudi, Sapto maupun Retno, tapi semua bahagia...
Monggo ibu Tien, dilanjut aja makin penasaran. Matur nuwun Berkah Dalem.
Sami2 Ibu Yustinhar
DeleteADUHAI deh
Terimakasih Bu Tien yang selalu menghibur penggemarnya, salam sehat selalu. aaah, salam aduhai.
ReplyDeleteSami2 Ibu Tuti
DeleteADUHAI ah
Alhamdulillah.. Bukan Milikku Eps 09 sudah tajang. Matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu dari Tangerang.
Sami2 Mas Dudut
DeleteSalam sehat dari Solo
Makasih mba Tien. Salam hangat dan aduhai..
ReplyDeleteSami2 Ibu Sul
DeleteADUHAI
Matursuwun bu Tien .....aduhai...sugeng ndalu...salam sehat dari Yk.
ReplyDeleteSami2 Ibu Alian
DeleteSalam ADUHAI
Maturnuwun ibu....mugi bu Tien tansah kaparingan berkah sehat dan bahagia sll bersama kel tercinta.
DeleteTerima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 KP LOVER
DeleteBu Tien, Wahyudi jgn dilembekin ah, apalagi hanya krn cinta, tapi Laki2 yg tegar, strong, berwibawa gitu loh bu🙏🙏🙏
ReplyDeleteBaiklah Ibu Umi
DeleteADUHAI
Assalamualaikum wr wb. Wuri hrs bisa menyemangati Wahyudi,agar kembali percaya diri, bukan memble krn di tinggal wanita yang di cintainya. Dunia itu luas dan mungkin Retno bukan jodohnya Wahyudi. Terima kenyataan dan sgr move on... Cemburukah Retno melihat Yudi makan bersama gadis lain... Sabar menunggu kelanjutannya. Maturnuwun Bu Tien, semoga senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin. Aamiin Yaa Robbal'alamiin....Salam sehat dari Pondok Gede....
ReplyDeleteWa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
DeleteAamiin Allahumma Aamiin
Matur nuwun dan ADUHAI pak Mashudi
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien untuk BMnya 🤗
Waduh,,,bisa cemburu semuanya nih 😁😁
Aduhaaii jadi nya
Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien 🤗💖 Salam ADUHAAII
Sami2 Ibu Ika Laksmi
DeleteADUHAI
Alhamdulillah.turnuwun
ReplyDeleteSami2 Pak Herry
ReplyDeleteSelamat siabg bunda Tien.. Trimaksih BM nya.. Slmsehat sll dan aduuhai sll🙏🥰🥰🌹🌹
ReplyDeleteNunggu mas Wahyudi sampai terkantuk kantuk 😂😂
ReplyDeleteBetul bu Wiwik.. Biar dpt nomor 1 ya.. Ngalahin kake..hihi..
ReplyDeleteMau tdr penasaran nunggu di sapa dulu sm mas Wahyudi nih...
Alhamdulillah
ReplyDeleteKasian Yudi ..manusia bisa berharap dan Allah penentunya yaa krn bpnya yg gila harta dan gila hormat semoga sdh gak zaman ya
ReplyDelete