DALAM BEENING MATAMU 72
DALAM BENING MATAMU 72
(Tien Kumalasari)
Anggi terkulai lemas. Ditariknya tubuhnya dari pelukan Adhit, ditariknya pula sehelai selimut yang semula berantakan, agar menutupi tubuhnya yang menggigil. Bukan karena kedinginan, tapi karena guncangan hebat ketika mendengar suara lembut yang terlontar dari mulut suaminya. Suara panggilan yang sangat manis, tapi bukan nama dirinya yang selema beberapa sa'at berayun bersama dalam lilitan cinta. Aduhai, tak tahan lagi ketika air mata terburai membasahi pipinya. Ditelungkupkannya tubuhnya dan membiarkan isaknya tertahan tertutup bantal.
Adhit terperanjat. Ia tak menyangka melakukan semua itu. Tak menyangka nama itu yang terlontar dari bibirnya, ketika nikmat merayapi sekijur tubuhnya. Ketika bunga-bunga api memercik menghiasi taman hatinya. Dipandanginya tubuh Anggi yang tertelungkup menahan isak, lalu dipeluknya erat. Namun Anggi mengibaskannya. Ia beringsut menjauh, bahkan hampir terjatuh dari pembaringan.
"Anggi, ma'afkan aku... ma'af ya," suara Adhit seperti merintih. Mana bisa ia menarik kembali desis manis yang terlontar dari bibirnya. Mengapa... mengapa.. beribu pertanyaan juga memenuhi benaknya.
"Anggi, ma'af ya, aku tak sengaja..."
Ya Tuhan, tak sengaja.. tapi suara itu bagaikan sebilah pedang yang men cabik-cabik segumpal hatinya, jiwanya, perasaannya.
"Aku mohon, ma'afkan aku Anggi.. aku berjanji... aku..."
"Jangan pernah berjanji !!" tiba-tiba Anggi membalikkan tubuhnya, mata yang basah itu menatap tajam suaminya dengan amarah yang tak tertahankan. Adhit merinding. Ia melihat api memancar dari sana, dari mata bening yang penuh berlinangan .
"Anggi...."
"Hentikan semua ini mas, hentikan!" suara Anggi hampir berteriak. Ia turun dari ranjang sambil menarik selumut untuk menutupi tubuhnya, lalu diambilnya baju yang semula berserakan, dan dikenakannya.
"Anggi..."
Namun dengan cepat Anggi masuk kekamar mandi. Adhit mengejarnya tapi Anggi sudah menguncinya dari dalam.
Adhit terpaku didepan pintu. Didengarnya gemerecik air tak henti-hentinya, berbaur dengan isak Anggi yang terdengar sayup. Isak yang memilukan, berpacu dengan derasnya air yang mengucur.
Anggi mengenakan pakaiannya, dan terduduk ditepi ranjang.
Mengapa aku ini... mengapa Mirna... mengapa Mirna... Ya Tuhan, apakah aku mencintainya? Inikah cinta? Aku belum pernah merasakannya.. mengapa aku ini...?Bisiknya lirih, sambil meng acak-acak rambutnya.
Ketika Anggi keluar dari kamar mandi, membalut tubuhnya dengan kimono, Adhit mendekatinya, tapi Anggi menghindar. Air matanya tampak sembab, basah dan kemerahan. Diam-diam Adhit merasa iba.
"Anggi..."
Namun rupanya Anggi sudah bisa menenangkan hatinya. Ia mengambil selembar handuk bersih dari dalam lemari, diulurkannya pada suaminya.
"Mandilah mas, aku akan buatkan teh panas buat mas," bisiknya pelan.
Adhit terpana. Ia mengira Anggi akan kembali mengumpatnya habis-habisan, mengungkit semua yang pernah diucapkannya, namun tidak. Ia menerima handuk itu, ingin kembali memeluknya tapi lagi-lagi Anggi menghindar.
Tak ada kata terucap lagi dari mulut Anggi. Ia membuka almari pakaian dan mengambil seperangkat baju pengganti, membiarkan Adhit berjalan kekamar mandi dengan langkah gontai.
Hari masih pagi menar, gelam masih menyelimuti alam yang terasa dingin beku. Adzan subuh belum terdengar, tapi Anggi sudah duduk di ruang tengah sambil menghirup teh hangat yang baru saja dibuatnya. Matanya masih tampak sembab, tapi tak ada lagi air bening yang mengaliri pipinya. Anggi barangkali perempuan yang luar biasa. Sekejap tangisnya me=ledak-ledak, tapi tak lama kemudian ia berhasil menenangkan dirinya. Setidaknya itulah yang tampak, walau mungkin hatinya bagai dirajang ber keping-keping.
Ketika Adhit keluar dari kamar, dengan rambut masih basah, tapi dengan pakaian yang bersih dan wangi, Anggi beringsut dari duduknya. Karena ia tau Adhit akan duduk disampingnya seperti biasa dilakukannya.
Adhit membiarkannya. Wajahnya tampak murung, mungkin penuh sesal.
"Minumlah teh nya, masih hangat," Kata Anggi sambil menghirup lagi tehnya, kemudian bangkit berdiri.
"Anggi..."
"Aku mau berganti pakaian. Ingin jalan-jalan ke pasar pagi-pagi," ujarnya sambil berlalu.
"Hari masih gelap Anggi," teriak Adhit karena Anggi sudah hampir memasuki kamar.
"Nggak apa-apa, dijalan sudah banyak lalu lalang," jawabnya lalu menutup pintunya, bahkan menguncinya, jangan sampai Adhit menyusulnya dan mengatakan apapun, karena Anggi tak ingin mendengarnya.
Adhit menyandarkan tubuhnya di sofa, matanya menerawang jauh, teringat apa yang baru saja terjadi, serasa seperti mimpi.
Mirna... Mirna... Mirna..... mengapa Mirna?
Adhit bahkan tak menyadari bahwa Anggi sudah keluar dari rumah, dan berjalan menyusuri kegelapan menjelang pagi itu.
***
Tapi benarkah hati Anggi sekuat batu? Dengan mudah dia bisa mengendapkan perasaan hatinya yang bergolak, amarahnya yang memuncak, dan sakit hatinya yang bagai ter iris-iris? Tidak, disepanjng langkahnya yang gontai, terburailah air mata yang seperti ditumpahkan dari sumbernya. Lelah Anggi mengusapnya, dan air mata itu terus saja mengalir. Tersaruk langkahnya, menatap kearah jalanan ber aspal yang dipijaknya. Sesekali terdengar isaknya, dan terguguk se-sa'at membuat pundaknya berguncang perlahan.
Beruntung belum banyak orang ber lalu-lalang. Anggi terus saja melangkah, entah kemana kaki akan membawanya. Barangkali dengan terus berjalan, akan tuntaslah semua derita yang disandangnya.
***
Ketika terbangun, bu Broto terkejut melihat Adhit tertidur disofa diruang tengah. Bu Broto juga melihat sisa-sisa teh di dua cawan yang tergeletak di meja. Ditebarkannya pandangannya ke sekeliling, tapi tak ditemukannya Anggi. Bu Broto berjalan kearah kamar barangkali Anggi masih tertidur, atau sedang apa. Namun ia tak menemukan yang dicarinya. Dikamar mandipun tidak. Bu Broto kembali keluar, disentuhnya lengannya, lalu Adhit terkajut dan terbangun.
"Eyang?" tanyanya bingung.
"Mengapa tertidur disini? Mana Anggi?"
"Oh, dia.. dia.. katanya ingin ber jalan-jalan kepasar," jawab Adhit. Sebenarnya ia juga heran karena tak melihat kapan Anggi keluar dari sana. Mungkin ia sibuk dengan lamunannya.
"Kepasar? Sepagi ini?"
"Iya eyang, katanya ingin ber jalan-jalan."
Adhit kemudian berdiri dan melangkah kedalam kamar. Bu Broto tak mengatakan apapun, tak pernah menduga apa yang terjadi karena ia mengira Anggi pergi setelah membuat teh untuk mereka berdua. Bu Broto berjalan ke dapur dan melihat Sumi sedang membakar roti.
Namun ketika Sumi sudah membawa roti itu keruang tengah, dilihatnya Adhit sudah berdandan rapi.
"Kok sudah rapi Dhit?" tanya bu Broto.
"Mau menyusul Anggi, tapi nanti Adhit mau langsung ke kantor saja."
"Sarapan dulu?"
"Nanti saja eyang, Adhit bisa sarapan di kantor," jawab Adhit sambil terus berlalu, menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya.
Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya. Pagi ini terasa berbeda.
***
Bu Susan terkejut ketika pagi itu Anggi muncul tib-tiba. Ia sedang membuat sarapan didapur ketika itu. Ia lebih terkejut ketika tiba-tiba Anggi memeluknya dan menangis sesenggukan didadanya.
"Anggi... "
"Mama.... biarkan aku menangis didada mama.." isaknya pilu.
"Ada apa ini? Kamu bertengkar dengan suami kamu?"
Namun Anggi terus saja menangis.
"Anggi, sudah... ayu.. duduklah dulu .. mama buatkan teh hangat ya?"
Bu Susan menuntun anaknya ke sebuah kursi diruang dapur itu, lalu membuat secawan teh yang kemudian diulurkannya pada Anggi.
"Minum, dan tenangkan hatimu..."
Anggi meneguk minumannya. Air mata masih membasahi pipinya. Mata Anggi bengkak, sungguh, sudah sejak semalam dia menangis terus dan hanya menahannya ketika masih ada didepan suaminya sebelum dia pergi.
"Ada apa nduk?"
"Ma, bagaimana kalau Anggi bercerai dengan mas Adhit?"
Bu Susan tekejut. Dipandanginya Anggi lekat-lekat. Tak percaya akan apa yang diucapkannya. Namun Anggi tampak ber sungguh-sungguh.
"Ada apa sebenarnya?"
"Anggi kasihan sama mas Adhit ma.."
"Kasihan bagaimana maksudmu?"
"Anggi sangat mencintai mas Adhit, Anggi ingin mas Adhit bahagia."
"Mama tidak mengerti.."
"Mas Adhit hanya terpaksa menikahi Anggi, dia sangat ingin punya anak..."
"Itu kan sudah diketahuinya sejak dulu, bahwa kamu tak akan bisa memberinya keturunan?" kata bu Susan sedikit kesal.
"Benar, tapi Anggi sedih.. mas Adhit tidak bahagia ma.."
"Kalau ingin anak, kalian bisa mengambilnya dari panti asuhan.. atau..."
"Bukan ma... anak yang dari darah dagingnya sendiri."
"Lalu karena itu kamu ingin bercerai?"
"Entahlah, Anggi bingung."
"Jangan Nggi, pernikahan itu bukan seperti mainan, yang kalau nggak suka lalu boleh ditinggalkan begitu saja. Kalian sudah mengucpkan janji suci, dihadapan Allah, dan itu harus kamu pegang selamanya."
"Tapi ma..."
"Tenangkan hatimu sejenak, jangan memutuskan sesuatu ketika hatimu sedang marah."
"Anggi tidak sedang marah."
"Tapi kamu dibalut emosi tinggi, entah oleh apa."
"Aku tidak akan menceraikan kamu Anggi," tiba-tiba suara itu muncul begitu saja dari luar pintu dapur. Bu Susan dan Anggi menoleh, dilihatnya Adhit sedang berdiri dipintu.
"Nak, masuklah, mari bicara dengan tenang, mama juga bingung mendengar keluhan Anggi pagi ini."
"Biar Adhit jemput Anggi sekarang ma, eyang mencari-carinya.."
"Tuh, Nggi..." kata bu Susan.
Adhit mendekati Anggi, menarik tangannya sehingga Anggi berdiri.
"Ayo kita pulang Nggi, nggak baik membawa perso'alan kita kepada orang tua. Itu akan membuat mama kepikiran."
Anggi tak menjawab, tapi menurut ketika Adhit membawanya ke mobil.
"Eyang mencari kamu, eyang heran kamu pergi pagi-pagi."
"Mas, ijinkan aku bicara," kata Anggi pelan.
"Baiklah, bicaralah," jawab Adhit sambil tersenyum.
"Anggi sedih melihat mas Adhit tidak bahagia."
"Siapa bilang aku tidak bahagia>?"
"Tidak mas, jangan ingkar. Sepanjang langkah Anggi dari pagi buta sampai tiba dirumah mama, hanya mas yang Anggi pikirkan. Anggi sedih karena Anggi tau mas menginginkan sesuatu, dan sesuatu itu nggak bisa Anggi berikan untuk mas."
"Iya, aku tau, sudahlah, ma'afkan aku."
"Bukan ma'af itu yang penting mas. Tadi Anggi memikirkan, apakah Anggi minta cerai dari mas..."
"Tidak Anggi... tidak.."
"Kalau begitu ada satu permintaan Anggi."
Adhit memandangi Anggi yang sesekali masih mengusap air matanya. Iba rasanya melihat wajah cantik itu kuyu bagai rembulan tertutup mendung.
"Katakan Anggi.."
"Menikahlah dengan mbak Mirna."
***
besok lagi ya
Anggi...... Bener bener baik hati...... Moga bahagia. Duh bu turn kadian anggi....
ReplyDeleteBegitu baiknya anggi bu tien, jangan biarkan anggi m
ReplyDeleteHwaauuu Anggiii........ apa bener setulus hatinya ikhlas ??
ReplyDeleteSara istri pertama nabi Ibrahim aja sempat terbakar cemburu berat saat nabi Isma'il lahir padahal kan dia sendiri yg meminta nabi Ibrahim utk menikahi Siti Hajar
Sediiiih..greget..bingung dan bikin penasaran........hebatt mbak Tien!!!🌹🌸🌺
ReplyDeleteYa ini lebih baik. Walau berat tp lebih baik di madu deh, jd bs punya anak dan suami bersama. Adit senang dpt mina n anak. Anggi senang msh bersama adit.
ReplyDeleteibu tien alhmd sy sdh dpt mengikuti episode 53 krn yg biasa krm wa cerbung macet ... jd sy cb cr lwt watpad tyt susah juga diawalnya. btw bgtu lht profil ibu kok sy sempat membayangkan bu tien mirip dg salah satu kadis opd kami. apa nama tien kumalasari nama utk publikasi? sy satu kota dg asal tokoh putri ibunya adhit dan ayud ...
ReplyDeleteTien Kumalasari.nama yang diambil dari singkatan nama asli saya.
DeleteJadi penasaran ya. Ikutan dag dig dug. Bagaimana response Adhit Dan ortunya?
ReplyDeleteHari ini Ada yg seri dbm 73 kah?
Mba Mien, lagi nungguin yang 73
DeleteMungkin itu yg terbaik yang penting tidak ada yg tersakiti..
ReplyDeleteNah itu bagean Mbak Tien mengolahnya..
Ga sabar....jgn lama2 dong ibu
ReplyDeleteEps 73... Plsss
ReplyDeleteTrmksh jwbnnya bu Tien. Ditunggu eps 73 dst
ReplyDeleteCeritanya smakin menggemaskan ... mata bening apakah harus bercucuran air mata ? Laki2 itu imam ... menjadi tauladan .. hrs kuat ..
ReplyDeleteAnngi begitu pasrah menerima taqdir Yang Maha Kuasa...mdh2an ia bahagia
ReplyDeleteDitunggu episode 73...
ReplyDeleteMbak tiennn ditunggu episode selanjutnya dan selanjutnya...
ReplyDeleteJd cerita surga ysng tak diinginkan
ReplyDeleteIbu Tien Penasaran kapan keluar lanjutannya...
ReplyDeleteSudah nunggu 3 hari, part 73 ga kunjung muncul...😓😓
ReplyDeletesemakin menarik nih ceritanya
ReplyDelete