Monday, October 7, 2019

DALAM BENING MATAMU 16

DALAM BENING MATAMU  16

(Tien Kumalasari)

Mirna gemetar ketakutan. Ia seperti melihat iblis sedang mengamuk. Wajah yang memang sudah tampak menakutkan itu bertambah seram dengan mata yang seakan menyorotkan api. Mirna bersimpuh dilantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.Air matanya bercucuran. Ia sedih memikirkan ibunya. Ia sedih menanggung beban dendam yang ditimpakan dipundaknya. Ia juga sedih melihat ibunya seperti orang tidak waras mendengar kegagalannya. Atau memang ibunya tidak waraskah ? Ya Tuhan... ya Tuhan... jerit batin Mirna. 

Widi mengobrak abrik kursi makan tua yang keempatnya sudah doyong kekiri dan kekanan. Semuanya bergelimpangan.

"Hentikan ibu.... hentikaaaan..," jerit Mirna.

"Kamu tidak becus, kamu tidak ber sungguh-sungguh membantu aku.. kamu jatuh cinta sama bedebah itu, tak perduli pada ibumu !!" teriak Widi lebih keras.. 

"Ibu, itu kecelakaan... bukan kehendak Mirna bu.. tolong tenangkan hati ibu ya....tenang bu.. masih ada kesempatan lain.."

"Dasar bodoh !! "

"Ibu... jangan membuat Mirna sedih bu... sungguh Mirna akan bantu ibu... percayalah ibu.. " kata Mirna sambil menangis.

Widi meninggalkan ruang makan yang berantakan itu, tanpa mengucap sepatah katapun, dan Mirna sambil bercucuran air mata membereskan barang-barang yang berantakan karena ulah ibunya.

Malam telah larut, tapi Mirna belum juga masuk kedalam kamarnya. Ibunya masuk duduk tak bergerak disebuah kursi didepan kamarnya. Mirna merasa sangat letih, tapi ia harus berbicara sesuatu dengan ibunya.Perlahan ia mendekatinya, dan duduk didepannya.

"Ibu...," masih ada isak ketika Mirna memanggil ibunya.

"Kala boleh tau, sesungguhnya apa yang terjadi antara ibu dan laki-laki bernama Galang itu, sehingga ibu sangat membencinya?" lanjutnya hati-hati, sambil mengusap air matanya.

Ibunya masih terdiam.

"Tak maukah ibu mengatakannya?"

"Mana bisa aku menceriterakan semuanya sama kamu? Itu terlalu menyakitkan. Jangan bertanya lagi karena keinginanku hanya membalasnya."

"Ibu..."

"Jadi kalau ibu nggak mau bercerita, kamu juga nggak mau membantu?"

"Bukan begitu bu, tentu Mirna mau membantu.."

"Harus ada cara lain, sedang aku pikirkan, tapi jangan ber tanya-tanya lagi." kata Widi yang kemudian berdiri lalu masuk kedalam kamarnya.

Mirna menghela nafas panjang. Ia hampir tak percaya bahwa laki-laki bernama Galang itu sebegitu jahatnya. Mendengar cara dia berbicara, dan menyaksikan betapa baik dan santunnya Adhitama anaknya.. sama sekali tak menunjukkan bahwa mereka orang jahat. Jangan-jangan itu semua karena kesalahan ibunya. Pemikiran itu membuat Mirna ingin mengetahui hal yang sebenarnya terjadi.Tapi bagaimana caranya .. Mirna belum menemukan jalannya.

***

Putri masih ada di Solo, ia ingin mengamati bagaimana sesungguhnya hubungan antara Adhitama anaknya dan juga Dinda, tapi ia melihat Adhitama seperti membatasi pertemuan dengan Dinda, dan Dinda masih seperti anak kecil yang ingin bermanja kepada kakaknya. Tapi rasa khawatir tetap menghantui pikiran Putri. Apakah sebaiknya ia dan Galang berterus terang saja ?

"Tante...." Putri menoleh, dilihatnya Dinda bersiap hendak pergi.

"Mau kemana Dinda?"

"Dinda mau ke tko buku, mencari bahan-bahan panduan untuk mengikuti UMPTN."

"Mau tante antar?"

"Enggak tante, Dinda bisa sendiri, sudah sering kesana sama mbak Ayud."

"Baiklah, sudah pamit sama eyang?"

"Sudah.."

"Hati-hati ya nak.."

"Baik tante."

Sampai kemudian Dinda tak lagi tampak, Putri masih berfikir, bahwa gadis itu sangat baik dan seandainya dia bukan anaknya Teguh, pasti dengan suka cita Putri mengambilnya menjadi menantu. Putri tiba-tiba merasa sedih, teringat noda dan duka yang dilaluinya sehingga lahirlah Adhitama. 

"Salahku.. ini semua salahku," bisiknya sedih.

"Putri..." panggil bu Broto

"Oh, ya bu..." 

"Ada telephone dari suamimu. Telephone rumah."

Putri berdiri dan berjalan kearah pesawat telephone. 

***

Siang itu Mirna datang terlambat karena mengurus surat-surat yang hilang bersama tas kecilnya. Terutama memblokir ATM nya yang walau tak banyak tapi menurutnya itu sangat dibutuhkannya. Ketika masuk kedalam ruangannya, Adhitama sedang mau pergi keluar.

"Ma'af saya tadi ke bank mengurus ATM saya, harus melapor ke polisi juga pak, katanya kepada Adhit.

"Ya, kan aku yang nyuruh kamu mengurus semuanya. Sekarang aku mau keluar dulu."

"Baik pak."

Mirna duduk dikursi kerjanya dengan lesu. Banyak hal yang harus dipikirkannya., Sungguh ia merasa terbebani dengan dendam ibunya. 

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, lalu seseorang masuk kedalam. Mirna mengenalnya, gadis cantk yang dulu datang lalu pergi makan bersama Adhitama, ohya.. dia adiknya Raka, berarti masih kerabatnya. Tiba-tiba juga tersersit sebuah pikiran dibenak Mirna.

"Hallo selamat siang, mas Adhit mana ?"

"Pak Adhit sedang keluar mbak," jawab Mirna sambil tersenyum.

"Yaah, lama nggak ya?"

"Kurang tau tuh, silahkan kalau mau menunggu."

Dinda langsung duduk di sofa tempat Adhit menerima tamunya. Ia membawa sebuah tas yang berisi buku-buku, yang kemudian diletakkannya begitu saja dimeja.

"Dari belanja mbak,?"

"Beli buku-buku panduan untuk UMPTN  tadi.. terus mampir kesini mau ketemu mas Adhit."

O, benar-benar masih belia, baru mau masuk universitas, pikir Mirna.Tiba-tiba rasa cemburu yang semula mengusik hatinya menjadi berkurang.

"Oh, sayang pak Adhit sedang keluar. Boleh kenalan mbak, nama saya Mirna," kata Mirna setelah berdiri mendekati Dinda, sambil mengulurkan tangannya.

"Oh iya, saya Dinda, Adinda," sambut Dinda ramah. Kemudian mereka duduk berhadapan.

"Lama nggak ya mas Adhit?"

"Tadi nggak bilang mau kemana tuh. Ma'af, dik Dinda adiknya mas Raka ya?" Mirna mengubah panggilannya dari mbak ke adik karena tau bahwa Dinda masih jauh lebih muda.

"Ya, kok tau..?"

"Pernah dengar saja, mas Raka kan juga sudah beberapa kali datang kemari."

"Oh, iya.. kan mereka sahabatan sejak kecil."

"Dik Dinda tinggal di Jakarta?" pancing Mirna, padahal dia sudah tau kalau Dinda dari Medan.

"Bukan, saya dari Medan. Dulu pernah tinggal di Jakarta, tapi bapakku kemudian dipindahkan pekerjaannya ke Medan oleh pak Haris."

Mirna seperti pernah mendengar nama itu, kalau tidak salah ibunya pernah bilang kalau dulu bekerja diperusahaan omnya yang bernama Haris. Mirna mulai memutar otaknya, bagaimana caranya mengurai masa lalu ibunya. Tapi ia pura-pura tak tau apa-apa.

"Pak Haris itu nama pimpinan perusahaan ya dik?"

"Iya, tapi sebenarnya dia itu masih saudara, saya memanggilnya kakek Haris, sedangkan ibu memanggilnya om Haris."

Tuh kan, benar perkiraanku. Pikir Mirna lagi.

"Oh, begitu. Saya kayaknya punya teman yang tinggal di Medan, tapi nggak tau dimana. Kalau alamat rumah dik Dinda dimana ?" pancing Mirna lagi. Lalu Dinda menyebutkan alamatnya yang dicatat dalam hati oleh Mirna.

"Mas Adhit lama ya? Biar saya telephone saja. Ah, nanti kalau pakai ponsel pasti dia nggak mau mengangkat, boleh pinjam telephone mbak?"

"Boleh, silahkan."

Dinda memutar nomor ponsel Adhit.

"Hallo, Mirna, ada apa?" tanya Adhit dari seberang.

"Aku bukan Mirna, aku Dinda mas," jawab Dinda

"Kamu?Ngapain kamu di kantor mas Adhit?"

"Aku habis putar-putar nyari buku, trus mampir kemari, nyari mbak Ayud juga lagi nggak ada."

"Ya sudah pulang saja sana, nanti dimarahin eyang lho pergi lama-lama."

"Lho mas Adhit kok ngusir aku, nggak mau.. aku nungguin mas Adhit disini."

"Dinda..."

"Aku mau ngomong sama mas Adhit."

"Ngomong apa?"

"Pokoknya penting. Nggak mau pulang kalau belum ketemu mas Adhit."

"Ya sudah, tungguin sebentar."

Dinda menutup telepone dan merasa lega, kemudian kembali duduk di sofa.

"Mau minum dik.." Mirna menawarkan minuman.

"Biar nanti saya ambil sendiri saja."

Mirna kembali ke mejanya, mencatat alamat Dinda yang tadi disebutkan. Ia memutar lagi otaknya, bagaimana ia bisa menemui ibunya Dinda yang sebenarnya masih sepupu ibunya. Pasti ia tau banyak tentang ibunya.

Ketika Adhit datang, Mirna berpamit keluar ruangan karena sa'atnya istirahat dan makan siang. Adhit heran melihat Dinda menunggunya. Ada debaran yang selalu dirasakannya setiap menatap wajah cantik nan polos itu.. dan selalu ditahannya setiap kali teringat tangis ibunya yang sampai sekarang belum dimengerti artinya.

"Ada apa kamu ini? Hm, dari beli buku-buku ya?"

"Iya, trus mampir kemari, aku mau ngomong sama mas Adhit."

"Ngomong apa sih ?"

"Menurut Dinda, sikap mas Adhit sekarang lain. Ada apa?"

"Lain bagaimana ?" tanya Adhit yang menatap Dinda dengan debaran hati yang sama.

"Pokoknya lain, nggak ramah kayak biasanya, nggak pernah ngajak ngobrol seperti biasanya. Apa karena ada tante Putri?" nerocos Dinda tanpa sungkan.

"Lhoh, kok Dinda mengira begitu, akhir-akhir ini mas Adhit lagi sangat sibuk, banyak kerjaan, dan lagi Dinda harus belajar untuk menghadapi ujian masuk universitas, kalau keseringan ngobrol sama jalan-jalan nanti kamu nggak bisa belajar dong."

"Bener, karena itu?"

"Bener," kata Adhit yang kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain. Mata bening yang mengerjap kerjap itu seperti mata pedang yang menyilaukan matanya.

"Ya sudah kalau begitu, Dinda mau pulang."

"Eit, nggak mau makan dulu?"

"Mau ngajakin makan Dinda?"

"Iya kalau mau, tapi samperin mbak Ayud diruangannya ya."

"Okey... " Dan Dinda keluar ruangan itu dengan gembira.

Adhit menghela nafas. Alangkah susah menghapus bayangan mata bening itu dari ingatannya.

Sebelum Adhit keluar ruangan untuk menyusul Dinda, Mirna sudah masuk setelah selesai makan siang. 

"Ma'af pak , saya mau bicara sebentar."

"Oh ya, ada apa, saya mau makan sama Dinda dulu."

"Sebentar saja, besok saya mau ijin untuk tidak mauk kerja selama tiga hari."

***

besok lagi ya


No comments:

Post a Comment