Friday, October 4, 2019

DALAM BENING MATAMU 14

DALAM BENING MATAMU  14

(Tien Kumalasari)

Putri terkejut, rangkulan  pada bahu anaknya terlepas seketika, dipandanginya wajah Adhit dengan linangan air mata. Adhitama terkejut, mengapa ibunya harus menangis? Hanya karena pilihannya yang tidak disetujuinya? Haruskah ibu menitikkan air mata? Begitu buruk kah Dinda dimata kedua orang tuanya? Seburuk apa? Gadis cantik manis, lincah, pintar, manja menawan, aduh.. kenapa? Bisik batin Adhit.

"Mengapa ibu menangis?" Kata Adhit lirih, sambil mengusap air mata ibunya.

Putri tak menjawab, air matanya terus bercucuran, lalu Adhit mengambil tissue yang ada diatas meja kemudian dipergunakan untuk mengusap air mata yang terus membasah dipipi ibunya.

"Mengapa ibu ?"

Putri hanya meng geleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya pucat.

Galang tak mampu mengucapkan kata-kata, telaga bening mulai mengambang dimatanya. Ia pun menarik selembar tissue untuk mengusapnya. 

Adhit benar-benar tak mengerti. Seperti Galang dan Putri yang juga tak mengerti harus berkata apa. Rahasia yang terpendam selama puluhan tahun dihati keduanya, haruskah dibuka sa'at itu juga? Ya Tuhan, Galang tak sampai hati membuka aib isterinya. Dulu mereka berjanji akan tetap menyimpan rahasia itu, tapi bagaimana kalau kemudian ada kejadian seperti ini?

"Mengapa bapak? Mengapa ibu? Begitu buruk kah pilihan Adhit?"

Galang menggeleng.

"Tidak buruk nak, hanya tidak tepat. Bapak mohon, carilah gadis lain, jangan membuat susah ibumu dan bapakmu ini."

Sebuah pilihan, membuat susah?  Pikir Adhit tak mengerti. Gadis itu tak ada cacat celanya.

"Suatu hari nanti kamu akan mengerti. Untuk sa'at ini, jangan dulu memikirkan Dinda. Biarkah dia kuliah sampai selesai," kata Galang kemudian.

"Setelah itu, bapak akan ijinkan?"

"Tidak, tetap tidak..."

"Mengapa bapak, katakan mengapa?"

"Kalian tidak sepadan, usia terlalu jauh, dan dia masih kanak-kanak." tandas kata Galang, sehingga Adhit tak berani lagi menjawabnya. 

"Nanti ibu akan ikut pulang ke Solo bersama kamu," kata Galang sambil memandangi isterinya, dan tanpa mengucap sepatah katapun Putri segera mengerti. Ia harus bicara dengan ibunya. Hanya bu Broto yang mengetahui rahasia itu selain mereka berdua.

"Benar kata bapakmu, ibu akan ikut bersama kamu nanti."

***

Ayud dan Dinda menatap Adhitama dengan heran, melihat kedatangan Putri dan Adhitama bersamaan di malam itu. Mereka juga melihat wajah muram Adhit, walau Adhit berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.

"Ini dia, direktur yang menghilang tiba-tiba. Hm.. kalau mas tidak membawa ibu datang kemari, pasti Ayud sudah marahi mas habis-habisan." kata Ayud sambil cemberut.

"Urusannya selesai?"

"Selesai sebagian, tapi mas melupakan janji dengan pak Petrus."

"Oh ..iya.."

"Enak saja oh iya..  "

"Besok aku selesaikan semuanya, sekarang aku akan beristirahat." kata Adhit sambil langsung masuk kekamarnya. Diliriknya Dinda yang terus menatapnya tanpa ber kata-kata. Hatinya teriris mengingat kata-kata kedua orang tuanya pagi tadi.

"Kenapa dia?" Kata bu Broto sambil memeluk Putri.

"Lagi kecapean bu. Ayud, kamu tidak memeluk ibu?" tegur Putri sambil mengembangkan tangannya. Putri menghambur kearah ibunya dan mereka berpelukan erat sekali.

"Ayud kangen sama ibu, sebenarnya kami akan ke Jakarta ber sama-sama, tapi mas Adhit tiba-tiba pergi lebih dulu."

"Nanti kalau ada waktu luang, pergilah ke Jakarta, bapak juga kangen sama kamu."

"Iya bu.."

"Hallo, ini Dinda bukan?" seru Putri yang juga segera mencium Dinda. Ditatapnya wajah cantik itu. Putri merasa bahwa sepantasnyalah kalau Adhit menyukai gadis ini. Tapi Dinda masih tampak polos, apa dia juga menyukai Adhit? Semoga tidak terjadi, bisik batin Putri.

"Dinda juga kangen sama tante," kata Dinda sambil tersenyum. Tampak lesung pipit dikedua pipinya, menambah manis wajahnya.

"Sayang, sudah lama kita nggak bertemu ya, tau-tau kamu sudah dewasa."

"Tante masih seperti dulu lho, cantik...." puji Dinda.

Putri menowel pipi Dinda.

"Ayo Dinda, kita bantu yu Supi menyiapkan makan malam untuk mereka," ajat Ayud sambil menggandeng Dinda kebelakang.

Putri duduk disamping ibunya, tak tahan ia kemudian memeluk ibunya sambil menangis.

"Ada apa nduk? Ibu sudah menduga, pasti sesuatu sedang terjadi." kata bu Broto sambil memeluk anaknya.

"Ibu, Putri ingin b icara, bolehkah kita bicara di kamar ibu saja?"

"Tentu saja boleh, ayo kekamarku, tampaknya kamu nggak ingin anak-anak mendengar ini semua bukan?"

Putri mengangguk, sambil mengikuti langkah ibunya kedalam kamar. Putri mengunci pintu kamar itu, lalu duduk disebuah sofa yang ada dikamar itu, berhadapan dengan ibunya.

"Ada apa?"

"Bu, ibu kan tau siapa Adhit sebenarnya?"

"Maksudmu...."

"Dia itu kan anaknya Teguh, ibu tau bukan?"

"Ya, tapi kan itu sudah berlalu, apa suamimu mengungkitnya lagi?"

"Bukan bu, Adhit bilang pada ayahnya kalau dia suka sama Dinda.."

"Ya Tuhan... ya Tuhan..." bisik bu Broto sambil menyedakapkan kedua tangan didada.

"Sejak dulu, kalau ada apa-apa, Adhit selalu berterus terang kepada bapaknya. So'al pelajaran, so'al teman=temannya, so'al beberapa gadis yang berusaha mendekati dia, semua diceritakan sama bapaknya. Kemarin.. pas bapaknya menelpon dia, dia bilang suka sama Dinda, kami jadi bingung bu."

"Iya ibu tau... Adhit sangat dekat dengan bapaknya."

"Itulah bu.. tadi pagi pas dia datang.. bilang kalau nggak sama Dinda nggak mau menikah."

"Tapi mereka sepertinya tidak pernah memperlihatkan itu."

"Benar, Dinda juga belum tentu suka, tapi kalau dibiarkan, lalu cinta dihati Adhit itu berkembang, bisa hancur semuanya bu."

"Jadi Adhit baru bilang suka.."

"Adhit itu aneh, sejak dulu belum pernah tertarik kepada seorangpun gadis, begitu tertarik dia langsung seperti orang bingung. Ia bilang mau ke Jakarta, tapi diam-diam dia ke Medan, dan disana dia itu mau ngapain.. juga nggak tau, dia sendiri bingung pada sikapnya."

"Jadi dia ke Medan karena itu?"

"Pasti maksudnya mau bilang sama Raharjo kalau dia suka sama anaknya, tapi dia ragu-ragu mengucapkannya, atau mungkin juga nggak berani... lalu dia hanya bilang mampir saja. Orang bingung itu kan?"

"Orang gemblung.."

"Mas Galang takut, kalau hal itu tidak dicegah dari sekarang, nanti keterusan, lalu bagaimana kita harus bersikap bu?"

"Padahal Raharjo sendiri kan tidak tau bahwa Adhit itu darah dagingnya?"

"Yang tau hanya ibu, Putri dan mas Galang."

Bu Broto tampak menghela nafas panjang. Memang ini baru awal perasaan Adhit, tapi sangat perlu mencegahnya. Mereka sedang berfikir mencari jalan keluar yang terbaik.

"Adhit selalu bertanya, mengapa dilarang, apa buruknya Dinda? Memang tidak buruk, cantik sempurna, tapi mereka sedarah... ya Tuhan, itu dosa Putri.. mengapa masih menyiksa perasaan Putri sampai sekarang? Bagaimana Putri menebusnya bu?" isak Putri.

"Nduk, sudah.. nggak usah menangis, nanti kita pikirkan apa yang harus kita lakukan, dan jangan menyesali yang sudah berlalu. Kalian sudah hidup tenteram dan bahagia. Kalau kali ini ada sesuatu yang membuat luka itu teriris kembali, anggaplah sebagai godaan. Dan kamu harus yakin bahwa kamu tidak sendiri, karena ibu, juga suamimu, pasti akan mendukungmu."

Ketukan dipintu mengejutkan mereka. Putri mengusap air matanya.

"Jangan sampai anak-anak tau kalau kamu sedang bersedih, ya?"

Putri mengangguk.

"Eyang, makan malam sudah siaap," teriak Ayud dari luar kamar.

"Yaa.. ya.. sebentar.." jawab bu Broto.

***

Seminggu sudah Putri berada dirumah bu Broto, jalan keluar belum juga mereka temukan.  Dan Adhit tak pernah lagi bertanya pada ibunya tentang alasan pelarangan itu. Tapi sikapnya pada Dinda sedikit berubah. Ia hanya sering mencuri pandang tapi sedikit sekali mengajaknya bercanda. Tapi bukan berarti Adhit ingin melupakan Dinda. Adhit sedang menunggu reaksi Dinda apabila sadar bahwa dia menyukainya. Jadi kalau Dinda menyambut uluran cintanya.. barangkali Adhit akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.

Dikantornya Adhit juga sedang sibuk mengurusi perusahaannya. Ada pertemuan yang harus didatanginya tapi diluar kota. 

"Mengapa dia minta aku menemuinya di Sarangan?" tnya Adit pada Mirna.

"Mereka bilang sendiri sama bapak, saya tidak tau alasannya pak, mungkin karena mereka datang dari luar Jawa, dan ingin berbincang ditempat yang sejuk."

"Tapi pak Sarno sedang sakit, katanya gula darahnya naik tinggi dan harus beristirahat."

"Ya pak.."

Adhit mengangkat interkom yang tersambung keruang Ayud.

"Apa kamu bisa ikut Minggu depan ini?"

"Ke Sarangan? Nggak mas, badanku lagi nggak enak, tapi nggak tau kalau nanti sudah baikan.. entahlah. Mas ajak saja Mirna. Kan dia lebih tau tentang apa yang akan dibicarakan nanti."

"Memang aku sama Mirna, tapi masa cuma berdua, pak Sarno lagi sakiaikt."

"Nggak apa-apa mas, sekali-sekali, asal mas jangan sampai mencari kesempatan dalam kesempitan," canda Ayud.

"Amit-amit deh, jangan gila kamu." kata Adhit kesal sambil menutup interkom nya.

Mirna ber debar-debar, dia akan ikut bersama Adhit ke luar kota, mungkin menginap.. aduhai.. apa yang harus diperbuatnya nanti, Mirna gemetar membayangkannya.

Ia meraba kedalam tasnya, dan botol berisi serbuk putih itu masih ada ditempatnya. Apa sebenarnya isi botol ini? Ia selalu lupa menanyakannya pada ibunya, karena kalau bertemu pasti sudah malam. Hampir terlonjak dia ketika tiba-tiba Adhit memanggilnya.

"Mirna, minggu depan kamu ikut menemui tamu kita di Sarangan."

 ***

"Ibu, besok hari Senin Mirna harus ke Sarangan, mungkin menginap." kata Mirna ketika malam itu ibunya pulang.

"Sama siapa? Sopir setengah tua itu?"

 "Tidak bu, sama pak Adhit, karena pak Sarno sedang sakit, dan tampaknya bu Ayud tidak bisa ikut."

"Haa.. ibu bagus, kesempatkan kita untuk melampiaskan dendam itu."

"Ibu..."

"Kamu kan tidak lupa pada janji kamu bahwa akan membela ibumu ini? Akan membantu membalaskan dendam itu?"

Mirna terdiam. Yang dibayangkan adalah kemesraan karena bisa berduaan sama bos ganteng yang dipujanya, ibunya mengingatkan lagi akan dendam itu. 

"Mengapa diam?"

"Apa yang harus Mirna lakukan ?"

"Taburkan serbuk putih itu sebelum berangkat kedalam minuman bosmu itu."

"Sebenarnya serbuk itu untuk apa bu?"

"Kamu tidak usah banyak bertanya, lakukan saja apa kata ibumu. Dan selesai."

Lalu perempuan bercadar itu terkekeh senang, seperti telah berhasil mencapai apa yang diinginkannya.Merinding bulu kuduk Mirna mendengar tawa itu.

"Apa ini akan membunuhnya?" tanya Mirna miris.

"Kalau ya kenapa? Memang itu yang aku inginkan, tapi dengan caraku. Sudah diam dan lakukan apa perintah ibu."

***

besok lagi ya




















No comments:

Post a Comment