SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 54
SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 54
(Tien Kumalasari)
Putri tertegun. Iya benar, itu ibunya Teguh. Dia pernah kesana ketika itu, menangis dihadapan Teguh, lalu bu Marsih melihatnya. Mungkin bu Marsih sudah tau hubungannya dengan Teguh dulu. Putri jadi merasa nggak enak. Diulurkannya tangannya untuk menjabat bu Marsih dan menciumnya lembut.
"Apa kabar bu?" sapa Putri, sedikit gemetar.
"Baik mbak, sudah pernah ketemu Teguh? Dia sekarang di Jakarta.
"Oh, iya bu," jawab Putri tanpa mengiyakan pertemuannya dengan Teguh dua hari yang lalu.
"Apa kabar nak Putri?"
"Saya baik, saya sudah menikah dan.. anak saya... satu," lanjut Putri.
"Oh, syukurlah, Teguh malah belum mau menikah nih.
Tiba-tiba perempuan tambun yang sedari tadi diam saja mengulurkan tangannya menyalami Putri.
"mBak Putri, saya Naning."
"Oh iya," jawab PUtri singkat.
"Dulu saya pernah menjadi calon isterinya mas Teguh," lanjut Naning tanpa malu-malu.
Bu Marsih segera menowel lengan Naning keras-keras.
"Tapi mas Teguh nggak mau sama saya, jadi saya menikah dengan orang lain, seneng mas Teguh menungguin pernikahan saya kemarin," dan Naning tertawa kecil dengan lucu.
"Naning!! Kamu itu apaan sih.!"
Putri segera teringat ketika pada suatu hari menelpon Teguh, seorang perempuan menjawab dan mengakuinya sebagai calon isteri Teguh. Itu pula sebabnya semakin mantap hati Putri untuk melupakannya, apalagi ketika Galang memperhatikannya, mengasihinya, menjaganya dengan tulus. Dan Teguhpun hilang dari hatinya.
"Ma'af mbak Putri, dia ini sebetulnya hanya suka bercanda."
Putri mengangguk pelan, dan Bu Marsih segera menarik Naning keluar dari warung srabi itu, karena tampaknya bu Marsih sudah selesai belanja srabi nya.
Putri kemudian duduk dibangku yang ada diruangan itu, dan memberi isyarat kepada simbok untuk memesankan apa yang diinginkannya/
"Srabi saja jeng?"
"Ya mbok, 2, yang biasa saja, aku nggak suka coklat."
"Yang digulung atau tidak?"
"Digulung mbok, "
Putri menunggu sambil mengibaskan bayangan tentang Teguh yang kembali melintas dibenaknya.
***"
Sepulang kerja itu Raharjo mendahului pergi ke parkiran. Ia harus mengatakan pada Retno bahwa dirinya sangat menyesal. Bukankah awalnya Raharjo mengatakan bahwa ada satu jalan untuk melumerkan rasa cemburu dihati Galang? Dan menurut Raharjo jalan itu adalah yang tadi dikatakannya pada Retno, melamarnya. Sungguh ia tak menyangka Retno menolaknya. Dan penolakan itu menyadarkan Raharjo tentang siapa dirinya. Sesungguhnya ia bukan tak suka pada Retno, hanya takut, ragu-ragu, merasa rendah diri, dan tadi itu meluncur dari mulutnya begitu saja karena keinginan mencairkan suasana tegang diantara dirinya dan Galang. Kalau diterima Raharjo pasti bersyukur karena apa yang dikatakannya itu tidak bertentangan dengan hatinya. Dan ia akan segera menemui Galang untuk mengatakan bahwa Retno lah yang cintai, bukan Putri lagi. Tapi ternyata tidak, hati Raharjo lumat bersepih.
Ketika terdengar langkah kaki mendekat, Raharjo membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah kedatangan Retno. Retno menatapnya seperti tanpa ekpresi, tampaknya ia benar-benar marah.
"Retno, aku mau ngomong sebentar, sebelum kamu pulang," kata Raharjo dengan jantung berdebar.
"Bisakah bicara didalam mobil?" tanya Retno sambil membukakan pintu mobil untuk Raharjo.
"Bolehkah ikut bersamamu seperti biasanya?" Raharjo ragu-ragu.
"Naiklah," kata Retno singkat, sambil memutari mobil dan membuka pintu depan lalu duduk didalamnya/
Raharjo masih berdiri dibawah, dengan pintu masih terbuka.
"Nggak mau masuk?"
Raharjo melompat kedalam dan menutup pintunya.
Retno menjalankan mobilnya pelan, keluar dari temat parkir. Dari kaca spion dilihatnya Galang baru menuruni tangga menuju tempat parkir mobilnya.
***
"Retno, aku minta ma'af, " kata Raharjo hati-hati.
Retno tak menjawab.
"Aku terlalu lancang, tak tau diri, berani mengucaapkan kata-kata itu." lanjut Raharjo.
"Kata-kata apa?"
"Bahwa aku melamarmu untuk menjadi isteriku. Aku tiba-tiba sadar, aku tak pantas mengatakannya, aku harus tau diri. Sungguh aku minta ma'af. Tadinya aku berharap, "ada jalan" yang aku katakan sebelumnya, adalah apabila aku dan kamu bisa bersatu dalam..... dalam... cinta," kata Raharjo semakin lirih, apalagi ketika mengucapkan kata cinta.
"Nah, itu."
"Apa?"
"Kamu mengatakan itu hanya karena ingin berdamai dengan mas Galang kan?"
"Lhoh," Raharjo bingung.
"Aku tidak mau menjadi alat damai untuk kalian. Pura-pura saling bersatu supaya rasa cemburu mas Galang cair? Tidak, aku menolaknya, aku tak mau berbohong dalam mempermainkan rasa."
"Retno, apa maksudmu?"
"Jo, kamu ini benar-benar bodoh."
"Benar," kata Raharjo singkat, lalu ia meluruskan pandang kearah depan, diiantara lalu lalang yang padat disore menjelang senja itu. Bukankah aku memang bodoh? Pikir Raharjo.
"Jo,"
"Aku melupakan siapa diriku, untuk itu aku minta ma'af, anggap saja aku tak pernah mengucapkan itu."
"Jo, bukan itu...."
"Kamu mau mema'afkan aku atau tidak?"
"Kamu tidak mengerti apa yang aku maksudkan Jo, aku tidak marah karena kamu mengucapkan itu, tidak. Aku sedih karena ucapan itu hanya karena kamu ingin berdamai dengan mas Galang, aku tadi sudah mengatakannya bukan?"
"Oh.. itu.." Raharjo benar-benar bodoh, tak mudah mencerna apa yang dikatakan Retno. Ia diam beberapa sa'at. AKU SEDIH KARENA UCAPAN ITU HANYA KARENA KAMU INGIN BERDAMAI DENGAN MAS GALANG. Ooo... Tuhan, Raharjo menyadari arti ucapan Retno.
"Kamu tidak mengerti juga?"
"Retno, tapi... aku.. aku juga .. sayang sama kamu," gemetar suara Raharjo ketika mengucapkannya, lalu dipandanginya wajah Retno yang kemudian memerah.
"Tapi... aku minta ma'af, tidak apa-apa kalau kamu menolaknya, sekarang aku tau diri,."
Retno tiba-tiba menghentikan mobilnya disebuah rumah makan. Lalu memarkir mobilnya disana.
"Retno, kamu lapar?"
"Ya, aku lapar, sesiang tadi perutku belum kemasukan apapun. Ayo turun," kata Retno yang kemudian turun dari mobil, diikuti Raharjo,
"Ma'af ya Ret."
"Aku ingin kamu mengucapkan kata-kata terakhirmu tadi, sambil kita makan."
"Tentang... aku minta ma'af?"
"Bodoh! Tentang perasaan kamu yang sesungguhnya."
"Tt..tapi..,"Raharjo begitu gugup. Tapi Retno menggandengnya memasuki rumah makan itu, lalu memilih duduk dimeja sudut yang jauh dari pelanggan yang lain.
"Jo, diluar ada penjual bunga, beli setangkat lalu berikan padaku sambil mengucapkan apa yang kamu rasakan kepadaku."
"Aap..apa?"
"Bodoh !!" Kata Retno lagi sambil duduk, tapi kemudian Raharjo mengerti. Ia berdiri. Lalu dibelinya bukan hanya setangkai bunga, tapi seikat bunga. Retno tersenyum geli.
"Kamu ini tidak romantis ya Jo? Mengucapkan cinta saja harus diberitau bagaimana caranya," ujar batin Retno sambil tersipu. Sesungguhnya ia hanya ingin menggoda Raharjo. Sesungguhnya ia bahagia mendengar deretan kata Raharjo yang terakhir, lalu ia ingin mendengarnya lagi. Kemudian ia menarik buku menu yang disodorkan dan me milih-milih makanan yang diinginkannya.
"Retno,"
Retno mendongakkan kepalanya, memandangi Raharjo yang memegangi seikat bunga, lalu diulurkannya padanya. Retno diam, menunggu sambil menatap mata Raharjo yang memandanginya dengan wajah pias. Retno tersenyum dalam hati. Pasti Raharjo ragu-ragu mengatakannya. Laki-lagi ganteng yang penakut. Pikir Retno.
"Retno, bunga ini untuk kamu," bisiknya lirih.
"Oh, terimakasih Jo, bunganya indah sekali." Tangan Retno mengulur, menerima ikatan bunga dari genggaman Raharjo. Tapi Raharjo malah menggenggam tangan lembut itu erat-erat, sehingga dua pasag tangan memegangi ikatan bunga. Retno tersipu sendiri. Ini idenya, tapi kemudian ia merasa sangat malu.
"Sebagai ungkapan rasa... cinta .. aku.. sama.. kamu... Ma'af kalau aku lancang," lirih kata itu. Retno sedikit kesal karena ada lanjutan kata ma'af disana.
"Tanpa kata ma'af Jo."
"Aku, mencintai kamu.."
Dan mata Retno berkaca-kaca. Ber tahun-tahun dia menunggu kata itu, baru sekarang didengarnya. Ya Tuhan, alangkah indah sore itu.
***
Baru saja pak Tarman mengatakan kapada Galang bahwa sudah selesai membenahi rumah yang akan ditinggalinya.
"Baiklah pak, nanti waktu istirahat saya akan melihat kesana, lalu pak Tarman bisa membantu mengusung perabot yang perlu saya bawa dari rumah lama."
"Baiklah, saya akan menunggu diluar," jawab pak Tarman sambil berlalu.
Galang melanjutkan pekerjaannya. Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi. Ia sangat bersemangat untuk menata rumah barunya. Ia berjanji dalam hati, nanti kalau semuanya sudah siap Galang akan menelpon isterinya dan mengirimkan gambar rumah beserta isinya, dan setiap sudut yang ingin dipamerkannya . Galang tersenyum membayangkan isterinya dan Adhitama pasti menyukai rumah barunya.
Ketika kemudian ia menemui pak Tarman diluar, dilihatnya Raharjo sedang berbincang dengan pak Tarman. Galang ingin menghentikan langkahnya lalu kembali keruangannya, tapi Retno keburu melihatnya. Rasa sungkan membuat langkahnya terus berlanjut.
"Mas, rumah mas Galang sudah oke kata pak Tarman, " kata Retno riang.
"Ya, terimakasih telah membantu memikirkan penataannya," jawab Galang sambil tersenyum.
"Nanti aku sama Raharjo mau ikut bersama pak Tarman," lanjut Retno
"Aap..pa?"
"Kami ingin melihat rumah baru mas Galang. Mungkin Raharjo juga sedang memikirkan rumah barunya nanti." kata Retno.
Galang tak bisa mengatakan tidak. Walau tak banyak yang dikatakannya, Galang membiarkan Raharjo dan Retno ikut bersamanya.
***
besok lagi ya
No comments:
Post a Comment