Saturday, September 7, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 52

SEKEPING CINTA MENUNGGU PUENAMA  52

(Tien Kumalasari)

Galang masih terpaku ditempatnya berdiri, bahkan sampai ketika mobil pak Haris sudah lenyap ditelan keramaian. Dihalaman itu sebuah pohon mangga sedang berbunga. Daunnya yang rimbun membuat sekelilingnya terlindungi dari panas menjelang sore hari itu. Ada sebuah bangku dibawah mangga itu, Galang melangkah kesana dan duduk sambil menyilangkan kakinya. Dipandanginya halaman yang cukup luas itu tampak tak terawat karena lama tak ditempati. Ada pohon mawar yang nyaris kering. Aduhai, Galang teringat isterinya yang sangat menyukai mawar. Nanti ia akan menyuruh pak Tarman mencari bibit mawar yang banyak agar halaman ini penuh bunga kesukaan Putri. Galang menghela nafas panjang. Kata-kata pak Haris tadi sungguh mengganggu benaknya yang hampir redam oleh panas dihati yang membara.

Pak Haris masih berharap Raharjo menari bersama isterinya. Ya Tuhan, mampukah mereka melakukannya, dan mampukah hatiku melihatnya? Keluh Galang dalam hati. Ada kicau burung kecil yang hinggap didahan pohon itu, Galang mendongakkan kepalanya, dan melihat sepasang burung berkejaran dari dahan ke dahan. Alangkah manis..

Langkah-langkah kecil yang mendekat, membuyarkan lamunan Galang. Ia baru teringat bahwa tak sendirian dirumah itu.

"Mas Galang, aku kira mas Galang sudah pulang duluan meninggalkan aku," pekik Retno sambil mendekat, kemudian duduk disebelah Galang.

Galang tertawa lirih.

"Ma'af, aku lupa kalau ada kamu didalam."

"Iih, jahat bener, kalau aku tidak keluar pasti mas Galang benar-benar pergi meninggalkan aku deh."

"Ma'af..." Galang mengusap wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.

"Mas Galang masih memikirkan Raharjo?"

Galang menatap Retno yang juga sedang menatap kearahnya. Mata bening itu tampak kesal melihat sikapnya. Ia menghela nafas, kemudian mengalihkan pandangannya kearah kebun yang kerontang.

"Tadi pak Haris bilang, bahwa Raharjo harus menari bersama isteriku," keluh Galang lirih.

"Oouw...." Retno tak perlu minta penjelasan lagi karena sudah tau bahwa hal itulah yang menambah gundah dihati Galang. 

Sebuah colt terbuka memasuki halaman. Galang dan Retno berdiri menunggu.

Pak Tarman dan tiga orang temannya turun dari sana dan menyalami Galang serta Retno.

"Apa yang harus saya kerjakan pak?" tanya pak Tarman.

"Ayo masuk pak," Galang beranjak masuk kedalam rumah. Retno mengikuti dari belakang.

"Ret, bantuin aku menata rumahku ya?" pinta Galang sambil menatap Retno.

"Siap, komandan," kata Retno sambil mengangkat tangannya seperti seorang militer menghirmati atasan. Galang tersenyum. Perempuan ini sebenarnya sangat serasi berdampingan dengan Raharjo. Apakah setelah pertemuan dengan Putri lalu Raharjo tetap tak mau melamar Retno seperti pernah dianjurkannya? Galang menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. 

Pak Tarman berdiri mematung, lalu Galang sadar bahwa ia sedang ditunggu.

Ia kemudian memberi perintah kepada pak Tarman tentang apa yang harus dirubahnya. Cat rumah, Letak perabotan..

"Bagaimana kalau cat rumah diganti biru muda?"

"Wauw, bagus mas, biru itu pertanda cinta," pekik Retno. Pak Tarman ikut tersenyum.

Mereka dirumah itu dan membicarakan apa yang sebaiknya diganti atau ditata, sampai malam tiba. Retno memesan makan dan minum untuk mereka melalui online, sebelum mereka semua pulang, dan pak Tarman mengatakan siap mengerjakan pembenahan rumah itu mulai besok pagi.

***

Putri sedang duduk diteras sendirian. Ia ingin menelpon suaminya tapi diurungkannya. Tadi pagi tampak sekali bahwa Galang menerima telepone dengan ogah-ogahan. Dan setelah itu Galang tak berusaha menelponnya lagi. Apakah sesungguhnya Galang ingin menjauhi isterinya? Dan kata-kata yang diucapkannya adalah bohong semata? Kangen? Masa  iya.. Kenapa ia tak berusaha menelpon dirinya? Menanyakan kesehatannya... dan.. astaga, Putri baru ingat bahwa hari ini ia harus periksa ke laborat. Hari sudah malam, tapi Putri memang enggan melakukannya.

"Putri, kamu melupakan sesuatu," tiba-tiba bu Broto menegurnya dari pintu.

"Apa bu?"

"Bukankah seharusnya kamu tadi periksa ke laborat?"

"Oh, iya, Putri lupa.. tapi nggak usahlah bu, Putri sudah merasa sehat."

"Kamu itu gimana ? Dokter menyuruh kamu periksa, berarti ada apa-apanya. Bagaimana kalau memang kamu menderita sakit yang kamu tidak tau atau tidak merasakannya?"

"Putri benar-benar merasa sehat bu, saya kira dokter Frans hanya menghawatirkan tekanan darah Putri yang rendah, atau mungkin hb rendah, sudahlah, besok Putri mau beli vitamin saja."

"Persis seperti bapaknya," omel bu Broto yang kemudian masuk kedalam rumah.

"Pak, Putri ternyata memang nggak mau periksa ke laborat.," kata bu Broto kepada suaminya yang sedang menonton televisi.

"Mungkin dia sudah merasa sehat." jawab pak Broto tanpa mengalihkan pandangannya  dari layar televisi.

"Hm...," bu Broto mendengus. Ada pertandingan sepak bola, pantas pak Broto nggak perhatian. Bu Broto masuk keruang tengah, mencari Adhitama yang sedang bercanda dengan simbok, bersama beberapa mainan yang tersebar disekelilingnya.

***

Ketika Retno sampai di rumah kost Raharjo, dilihatnya Raharjo sudah berdiri ditepi jalan. Retno mengehentikan mobilnya persis disamping Raharjo.

"Ayo naik, belum punya mobil sudah sombong mau ninggalin aku," gerutu Retno setelah Raharjo duduk disampingnya. Raharjo hanya terdiam, bahkan ketika mobil itu melaju menyusuri jalanan yang ramai dan sesak.

"Hei, apa aku bicara sama patung?" celoteh Retno sambil menghindari pejalan kaki yang nekat menyeberang.

"Hampir saja," celetuk Raharjo karena terkejut.

"Hm... bisa ngomong rupanya."

"Diamlah Ret, aku lagi bingung nih," keluh Raharjo.

"O, bingung... maksudnya bingung karena apa? Masih mimpi ketemu Putri? Lalu apa, mau menangisinya sepanjang hidup kamu? Hari terus berjalan, dan kamu harus melanjutkan hidupmu. Kalau kamu cinta, biarkanlah dia bahagia bersama suaminya. Begitu kan?"

Raharjo terdiam.

"Kalau kamu mau menangis sepanjang hidup kamu ya terserah, aku kehabisan tissue untuk mengeringkan air matamu. Jadi aku nggak akan bicara lagi, terserah kamu mau apa."

"Tega ya?"

"Apa maksudmu tega? Apa aku harus menangis bersama kamu?Hm... sorry ya.."

"Retno.. kamu bisa diam nggak?"

"Nggak bisa, suka-suka aku mau ngomong atau nggak, mulut-mulutku sendiri."

"Kok pagi ini kamu galak? Biasanya kamu lemah lembut, dan sayang sama aku."

"Apa? Ya Tuhan, siapa sayang sama kamu? Laki-laki cengeng, gampang mengeluh, suka bermimpi, no.. Jo, aku nggak sayang sama kamu."

Raharjo mengelap keringat dingin yang membasahi tubuhnya.

"Jangan ngabisin tissue ku."

"Retno, demi Tuhan, apa yang harus aku lakukan?"

"Jo, kamu bukan anak kecil. Ketika sesuatu menimpamu, jangan sampai kamu jatuh tanpa bisa bangun lagi. Bahwa hidup itu harus kita jalani, seperti sebuah perjalanan untuk menuju kesuatu tempat. Kalau kamu bermimpi, maka kamu tak akan bangun selamanya."

"Mengapa pagi ini aku seperti ketemu dengan nenekku ya?"

 "Semprul kamu, masa aku kamu anggap seperti nenek-nenek?"

"Baiklah.. "

"Apa yang baiklah?"

Rahajo menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Jangan sampai kamu jatuh tanpa bisa bangun lagi.  Pinter juga nenek-nenek cerewet ini. Pikir Raharjo yang kemudian menghela nafas berkali-kali.

"Kamu sesak nafas?"

Tuh kan, hari ini baru Raharjo sadar bahwa Retno sangat cerewet. Baiklah, bukankah gadis ini sangat baik dan semuanya demi kebaikanku? pikir Raharjo lagi. Lalu dihembuskannya lagi nafasnya, dan kali itu dihembuskannya keras.

Mampir ke apotik sebentar ya?"

"Ngapain?"

"Beli obat sesak nafas buat kamu,". Dan Raharjo terbahak.

  Retno cemberut, tapi hatinya senang bisa membuat Raharjo tertawa.

"Jadi.... "

"Jadi apa?

 "Kamu mau tetap menangisi nasib kamu atau mau bangkit lagi? Demi cintamu yang sekeping itu kamu akan membawa hati  kamu terus ber darah-darah?"

Raharja mengangkat tangan kanannya, memegang tangan Retno yang masih hinggap di setir mobil.

"Bersama kamu, aku akan kuat, lalu Raharjo tersenyum. Retno memalingkan mukanya. Sejak dulu dia tau bahwa senyum itu bisa menjatuhkan hatinya. Tapi tidak, Retno tak mau jadi pelarian cinta Raharjo. Matanya terus menatap kedepan.

"Kok diam," tanya Raharjo.

"Nanti kamu bilang aku nenek-nenek lagi. Oh ya Jo, kamu tau? Pak Haris kemarin ketemu mas Galang, dan dia minta supaya kamu tetap menari sama Putri."

"Apa? " Raharjo melepaskan tangannya. Jiwanya kembali bergetar. Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku yang pingsan, bukan Putri. Pikir Raharjo.

"Apa yang kamu pikirkan? Kalau hati kamu bersih pasti kamu bisa menjalaninya."

Sementara itu mereka sudah sampai dikantor. Retno memarkir mobilnya, lalu dilihatnya Galang baru saja turun dari mobilnya dan berjalan kearah kantor. Retno turun dari mobilnya dan setengah berlari mengejar Galang.

"Mas... mas Galang, tungguin ,,," terengah suara Retno karena berlari-lari.

"Awas ya, jangan sampai kamu terjatuh. kenapa lari-lari?"

"Itu mas, Raharjo, dibelakang, tungguin donk," pinta Retno. Mau tak mau Galang berhenti. Ia tak mau disebut ke kanak-kanakan.

Raharjo melangkah menghampiri, agak ragu-ragu ketika tangannya terulur kearah Galang.

"Mas, dari Solo kemarin?" tanya Raharjo pelan, Galang menyambut tangan Raharjo dan melepaskannya.

Alangkah gantengnya Raharjo. Pantas dulu Putri suka sama dia. Lhah, kok lari kesana lagi. Galang menenangkan pikirannya.

"Aku Sabtu sore sudah kembali," jawab Galang sambil terus melangkah.

"Oh,"

"Mas.." kata Raharjo pelan. Galang menoleh kesamping, dimana Raharjo berjalan sejajar dengannya. Retno mengikuti dari belakang sambil ter saruk-saruk, habis keduanya melangkah cepat sekali.

"Aku minta ma'af, semua ini terjadi karena..."

"Sudah, lupakanlah..." sergah Galang.

"Baiklah."

"Pak Haris meminta kamu tetap menari bersama isteriku,"kata Galang yang kemudian berbelok kearah ruangan dikantornya.

Kini Raharjo yang terpaku. Ia berhenti didepan pintu ruang kantor Galang, dan menatap daun pintu yang tertutup rapat.

Retno menariknya menjauh dari sana.

"Ia memberi tau, bukan mengijinkan," desis Raharjo pilu.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment