Friday, September 6, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 51

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  51

(Tien Kumalasari)

Ponsel itu terus berdering dan Galang hanya memandanginya tanpa ekspresi. Tulisan pengirim itu tertera jelas RAHARJO. Mau apa dia menelpon dimalam buta seperti ini? Minta ma'af? Apakah dia harus minta ma'af? Atau minta ijin untuk bisa menemui Putri walau hanya sekejap? Tidak, Galang tak akan membiarkan Raharjo menemui isterinya, apalagi di sedang tak ada disampingnya. Dan Galang juga tak ingin memberitahu Raharjo bahwa dia sudah ada di Jakarta. Akan mudah baginya nanti bisa berduaan dengan Putri. Tidaaaak. Dan sampai ponsel itu berhenti berdering Galang hanya memandanginya.

Galang masih mendekap gulingnya erat-erat, seakan itulah Putri isterinya. Ah, apa aku sudah gila? Aku meninggalkannya lalu aku merindukannya. bisik batin Galang. Tapi dia memang merindukan isterinya, ia juga merindukan Adhitama, anaknya, atau anak Raharjo yang tertitipkan padanya. Bukan, Adhitama anakku, bukankah Putri juga mengatakan pada Raharjo bahwa Adhitama anak pertamanya bersama Galang? Lalu Galang sadar, bahwa sesungguhnya Putri ingin menutupi keberadaan Adhitama yang darah daging Raharjo. Apakah itu bukan menunjukkan bahwa Putri memang mencintainya? Memilihnya hidup bersama dirinya dan Adhitama anaknya? Mengapa dia meragukannya?

Sampai malam berganti pagi, Galang masih tergolek diranjang tanpa mampu memejamkan matanya.

Ia juga tak hendak bangkit, ataupun sekedar minum seteguk air. 

Ketika akhirnya matanya terlelap karena keletihan, tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Dengan malas Galang meraih ponselnya, dan matanya terbuka lebar ketika membaca tulisan ISTERIKU dilayar ponselnya.

"Hallo," serak suara Galang menyambut telepone itu.

"Mas, baru bangun?" suara lembut itu amat dikenalnya, amat dirindukannya.

"Ya, semalaman aku nggak tidur," jawab Galang lesu.

"Kenapa mas?"

"Nggak biasa tidur sendirian, kangen sama kamu, sama Adhit.."

"Lalu mengapa mas pergi meninggalkan kami?"

"Aku bingung, aku harus menenangkan pikiran."

"Sekarang sudah tenang?"

"Belum."

"Mas..."

"Apa kata dokter? Kamu seperti sudah sehat."

"Kata dokter aku tidak apa-apa. Hanya tertekan, pastinya, karena mas tinggalkan."

"Hm.. sesungguhnya aku juga tau."

"Tapi tekanan darahku rendah, hari ini aku harus periksa ke laboratorium."

"Periksa apanya?"

"Darah, atau.. entahlah, ada suratnya,"

"Periksa, dan kabari aku..."

"Mas masih malas bicara, ya sudah tidurlah lagi."

"Mana Adhit?"

"Digendong simbok, didepan."

"Ya sudah, nanti aku telepone kamu."

Pembicaraan terhenti karena Galang tak tahan oleh serangan kantuknya.

***

Ketika pak Haris melewati rumah dinas yang akan dipakai Galang, dilihatnya rumah itu terbuka. Retno yang duduk disamping pak Haris berteriak :" Seperti ada mas Galang disana."

Pak Harus mengantikan mobilnya, lalu mundur beberapa meter, Dan kemudian memasuki halaman rumah apik yang terbuka pintunya.

"Benarkah ada Galang? Katanya ke Solo? Bohong dia?"

"Nggak tau om, tadi saya seperti melihat dia masuk dari pintu samping."

"Ayo turun."

Pak Haris dan Retno turun, langsung masuk melalui pintu depan. Dilihatnya Galang sedang menata perabotan disesuaikan dengan seleranya.

"Galang.."

Galang terkejut, karena terpaku pada apa yang dikerjakannya sampai tak tau ada orang masuk, dan ternyata pak Haris.Tergopoh ia menyambut lalu menyalami tangan pimpinannya.

"Kamu nggak jadi ke Solo?"

"Jadi pak, sorenya saya kembali."

"Isteri dan anakmu?"

"Masih di Solo pak, kasihan, sudah lama tidak ketemu bapak ibunya."

"Kamu bisa menyuruh Tarman untuk membersihkan dan menata rumah ini, jangan kamu sendiri mengerjakannya. "

"Ya pak, nanti saya telepone dia."

"Kalau perlu telepone sekarang saja, biar segera dikerjakan. Bilang mana yang kamu nggak cocog, dan apa kurangnya."

"Tapi.. ini hari Minggu.."

"Nggak apa-apa, panggil saja, nanti aku beri dia uang lemburnya. Oke, biar aku saja yang memnggilnya," kata pak Haris yang kemudian menelpon pegawainya yang akan disuruhnya membantu berbenah dirumah Galang yang baru. Pak Haris berjalan keluar sambil berbicara dengan pak Tarman, sementara Retno mendekati Galang.

"Mas, apa kabar?"

"Baik Retno," jawab Galang singkat. Wajah sendu itu tertangkap oleh Retno. Pasti karena pertemuan Raharjo dan isterinya, pikir Retno.

"Bu Galang masih di Solo?" Galang hanya mengangguk sambil menarik kursi dan mempersilahkan Retno duduk.

"Raharjo sudah menelpon aku mas."

"Tentang pertemuannya dengan isteriku?"

"Ya, sungguh tak disangka, berbulan bulan kita bergaul dalam pekerjaan dan belum pernah sekalipun bertemu. Dan tiba-tiba dia ternyata adalah Putri."

"Kamu juga mengenal Putri?"

"Pernah beberapa kali bertemu ketika bersama Raharjo, tapi nggak begitu akrab."

"Raharjo bilang apa? Bukankah dia masih mengharapkan isteriku?"

"Mengapa mas Galang berkata begitu? Raharjo tidak seburuk itu. Kalau dia shock, pastilah, karena kan pertemuan itu tidak di sangka-sangka."

"Bukankah kamu pernah bilang bahwa Raharjo masih mencintai kekasihnya yang hilang setahun lebih yang lalu?"

"Itu kan perkiraanku mas, kenyataannya aku tidak tau. Kalau ada cinta yang tersisa, mungkin saja, tapi kalau ingin kembali ya mana mungkin mas."

"Cara dia memandang isteriku, aku tidak suka,"

"Ya, mas cemburu, oke, itu kan tandanya cinta. Tapi apa karena itu lalu mas membenci Raharjo? Lalu menuduhnya akan melakukan hal buruk?  Raharjo juga tak tau kalau bu Galang itu ternyata Putri."

Galang terdim. Sesungguhnya ia merasa keterlaluan telah berprasangka buruk pada Raharjo. Galang merasa bahwa perasaannya berlebihan. Ia kemudian teringat telepon Raharjo tengah malam tadi. Mungkin Raharjo juga sedang diamuk perasaan gundah, atas pertemuan yang tak di sangka-sangka itu, lalu ingin berbincang dengannya. Ia menyesal telah mengabaikan telephone itu.

"Mas, aku mohon, janganlah hal ini membuat persahabatan kita jadi retak. Tetaplah seperti dulu."

Pembicaraan terhenti ketika dilihatnya pak Haris sudah kembali memasuki ruangan.

"Sudah beres, sebentar lagi Tarman dan kawan-kawannya akan datang kemari, katakan saja apa maumu, Galang," kata pak Haris setelah beberapa sa'at lamanya berbicara diluar dengan anak buahnya.

"Terimakasih banyak pak," kata Galang sambil berdiri.

"Aku mau pulang, Retno, kamu mau tetap disini dulu atau aku antar pulang?"

"Saya disini dulu om, mau omong-omong sama Galang."

"Baiklah, tungguin Tarman ya Lang," kata pak Haris sambil berlalu.

"Perabotan disini sudah lengkap, tapi kalau ada barang-barang kamu yang harus diusung kesini, suruh mereka mengusungnya, ada colt terbuka yang nanti dibawa Tarman,"lanjut pak Haris.

"Baik pak, terimakasih,"

Galang kembali duduk, pikirannya masih terbang ke mana-mana. 

"Bagus kalau bisa segera diatur rumah ini mas, besok kalau bu Galang dan Adhitama kembali, bisa langsung pulang kemari. 

Wajah Galang sedikit berseri, membayangkan anak isterinya segera tinggal dirumah ini ber sama-sama.

Ia juga membayangkan box tidurnya Adhitama tak akan berdesakan dengan ranjang bapak ibunya. Galang berdiri lagi dan berjalan kearah sebuah kamar yang paling besar. Ia akan menata box bayi itu disamping ranjang mereka, tapi ada almari yang harus dipinggirkan kesamping.. dan..

"Oh ya Lang," pak Haris berteriak didepan pintu. Galang berhenti dan setengah berlari menghampiri pak Haris.

"Mobilmu dan mobil untuk Raharjo sedang diurus, nanti minggu depan mungkin sudah selesai," lanjut pak Haris.

"Oh, terimakasih pak."

"Mobilmu itu biar dipakai isterimu saja. Besok kalau ada uangnya, diganti yang baru saja."

"Ya pak," jawab Galang sambil tertawa.

"Oh ya," sudah melangkah tapi pak Harus masih ingin bicara, Galang urung masuk kedalam rumah, mengikuti sampai pak Haris tiba didepan mobilnya.

"Aku ingatkan, pesta ulang tahun perusahaan lho Lang, jangan lupa, Raharjo harus menari bersama isterimu," lalu pak Haris masuk kedalam mobil, meninggalkan Galang yang terpaku disana.

***

besok lagi ya

4 comments:

  1. SMG akhir dri cerbung ini..biarlah putri dan Galang berbahagia. Dan teguh berumah tangga jg dgn Retno..org cinta itu blm tentu diakhiri memilikinya..jadilah persahabatan dan persaudaraan sejati..

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49 (Tien Kumalasari)   Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tid...