Friday, November 28, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 35

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  35

(Tien Kumalasari)

 

Ini buku apa? Tipis, tulisannya aneh. Alvin dan Alisa serta Kenanga tak bisa membacanya.

“Ini hurup Kawi, atau malah sebelumnya. Aku tidak bisa membacanya,” kata Alvin sambil mengangkat bahu.

“Mungkin Kenanga pernah diberi tahu oleh ayahnya?” kata Alisa kepada Kenanga.

“Tidak, aku tidak pernah tahu.” Kenanga menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kalau begitu mas Alvin harus mencari seorang ahli bahasa atau apa yang bisa menerjemahkannya.”

“Baiklah, besok akan aku coba. Sekarang aku mau mandi dulu dan ganti pakaian.”

“Iya Mas, sampai basah kuyup begitu?”

“Tadi hujan lebat, tak ada tempat berteduh. Ada juga pohon, tapi tetap saja kami basah.”

“Segeralah ganti pakaian, nanti masuk angin,” kata Kenanga.

Alvin mengangguk sambil tersenyum penuh arti. Kemudian pergi ke kamarnya.

“Sayang ya, obat kakek bersorban tidak bisa diselamatkan,” gumam Alisa.

“Iya, aku juga menyesal. Tapi sebenarnya aku juga takut kalau harus mempergunakan obat-obat itu. Di kota kan banyak dokter yang sudah ahli dalam semua jenis penyakit, aku kira tidak mudah mempergunakan obat-obat dari bapak di tempat ini. Dokter pasti menentangnya.”

“Mungkin kamu benar, tapi kenyataannya aku dan Sinta bisa sembuh, ibuku juga sembuh. Ya kan? Jadi sebenarnya resep obat dari ayahmu itu juga banyak gunanya.”

“Aku jadi sedih, sekarang tidak bisa lagi melakukannya. Karena setiap ramuan harus disertai obat inti yang dipunyai kakek. Setelah obat itu hilang, aku tak bisa melakukan apa-apa.”

“Tidak usah sedih Kenanga, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk berbuat baik.”

“Alisa, bagaimana kalau kita melihat keadaan mas Hasto? Aku ingin mendengar kabarnya, dan melihat keadaannya."

”Ya, kamu benar, aku juga ingin ke sana. Tapi menunggu mas Alvin dulu ya, biar dia mandi dan beristirahat, kasihan, dia juga pasti capek.”

“Iya, kita tunggu dia dulu.”

“Tapi kalau kamu ingin buru-buru, kita bisa berangkat sendiri, bagaimana?”

“Nanti mas Alvin marah?”

“Tidak apa-apa, nanti dia juga pasti menyusul ke sana.”

“Kalau kamu tidak keberatan, tidak apa-apa.”

“Tidak, ayo kita berangkat dulu, dari pada bengong di rumah. Dan kebetulan juga aku tidak ada kuliah hari ini.”

"Harusnya kuliah ya?"

“Kebetulan libur. Apa kamu ingin sekolah?”

“Tidak, aku tidak ingin, biarkan aku seperti ini. Apakah memalukan kalau aku tidak sekolah?”

“Jangan berpikir yang tidak-tidak. Mas Alvin sudah memilihmu, dengan segala kelebihan dan kekurangan kamu.”

Kenanga mengangguk terharu.

“Pamit pada ibu dulu ya,” kata Kenanga.

“Ya, tentu saja.”

***

Ketika sampai di rumah sakit, ternyata Hasto sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kedua orang tuanya sudah diberi tahu dan menungguinya saat operasi.

Saat itu kedua orang tua Hasto tidak sedang di ruangan di mana Hasto terbaring. Yang ada adalah Sinta yang menelungkupkan kepalanya di ranjang. Tampaknya dia kelelahan dan tertidur.

Kenanga tersenyum senang. Ia melihat kedekatan antara Hasto dan Sinta, yang belum pernah tampak sebelumnya. Ini bukan pertemanan biasa. Sinta menunggui Hasto sampai dua hari, dan dia tampaknya belum akan pulang ke Jakarta. Demi rasa sayangnya kepada Hasto? Hanya Sinta yang tahu, dan itu adalah harapan Kenanga. Ia merasa dosanya berkurang setelah menolak Hasto, ketika Hasto sudah menemukan wanita lain yang lebih baik.

Ketika Alisa mau menyapa, Kenanga menariknya, sambil menutupkan jari telunjuk ke bibirnya, soalnya bukan hanya Sinta yang tertidur, tapi demikian juga Hasto.

Lalu keduanya memilih duduk di sofa yang ada di ruangan itu, dan bicara berbisik-bisik.

“Bagaimana menurutmu ketika melihat mereka?” bisik Alisa.

“Aku senang. Mereka tampak dekat. Barangkali rasa sayangnya tumbuh ketika melihat mas Hasto kesakitan,” jawab Kenanga.

“Maksudnya, sakit hati  mas Hasto karena patah hati, tiba-tiba sudah menemukan obatnya, bukan?”

Kenanga mengangguk sambil tersenyum.

“Kenanga pantas diperebutkan,” gumam Alisa sambil menyandarkan tubuhnya.

“Apa maksudmu? Aku hanyalah gadis desa yang bodoh. Mereka orang-orang terpelajar yang pintar.”

“Manusia jatuh cinta bukan karena pendidikannya. Perilaku dan sifat yang baik lebih menarik, apalagi kalau ditambah wajah yang menarik.”

“Kamu pernah jatuh cinta?” tanya Kenanga.

Alisa menggeleng.

“Temanku banyak. Mungkin seperti juga mas Alvin, aku susah jatuh cinta.”

“Mas Alvin juga belum pernah jatuh cinta?”

“Sekalinya dia jatuh cinta adalah sama kamu.”

Kenanga terkekeh, lupa kalau harus bicara berbisik-bisik di dekat orang-orang yang sedang tidur. Ia menutup mulutnya tapi semuanya sudah terlambat. Sinta mengangkat kepalanya, demikian juga Hasto yang kemudian membuka matanya.

Mereka menatap ke arah sofa, dan melihat kedua gadis sedang tertawa tertahan.

“Kalian ada di sini?” teriak Sinta.

“Lanjutkan saja tidurmu. Maaf aku dan Kenanga mengganggu,” kata Alisa.

“Keterlaluan. Mengapa diam saja? Harusnya kalian membangunkan aku.”

“Masa iya kami tega membangunkan kamu yang sedang terlelap?”

“Dasar!”

Alisa dan Kenanga berdiri dan mendekat. Hasto tampak lelah.

“Bagaimana keadaan kamu?”

“Baik. Tadi pagi aku dioperasi. Tulang punggungku ada yang patah.”

“Aku ikut prihatin.” kata Kenanga pelan.

“Tadi mas Alvin bermaksud menggambil obat-obat peninggalan kakek. Tapi sudah musnah.”

“Musnah bagaimana?”

“Rumah Kenanga dibakar oleh anak buah Lurah lawas.”

“Astaga. Dibakar?” tanya Hasto terkejut.

“Tapi mereka semua sudah ditangkap polisi. Alvin yang melaporkannya.”

“Keterlaluan. Pasti karena mencari Kenanga tidak ada di rumahnya, lalu ia mengamuk,” kata Hasto.

“Benar, kabarnya begitu. Sedianya Kenanga mau mengambil obat-obat untuk membantu kamu juga, tapi semuanya musnah.”

“Untunglah Kenanga sudah berada di tempat aman. Masalah aku, sudah ditangani dokter. Terima kasih perhatiannya.”

“Semoga segera pulih Mas,” kata Kenanga sambil tersenyum.

***

Waktu yang terus berjalan, tak terasa bagi mereka semua. Kenanga yang banyak belajar dalam kehidupan yang pastinya berbeda dengan kesehariannya, mulai merasa nyaman berada di lingkungan keluarga Warsono.

Ketika Alvin bekerja dan Alisa pergi kuliah, Kenanga membantu memasak di dapur. Ia banyak belajar memahami kehidupan keluarga itu. Cara mereka berdandan, makan, dan semuanya.

Kenanga sudah berubah. Ia adalah gadis lincah yang cerdas memahami semua yang dipelajarinya. Tapi sayangnya, ketika keluarga Warsono menawarkan agar Kenanga melanjutkan sekolah, Kenanga menolaknya.

Bukan karena malas atau enggan, tapi ia lebih suka menjadi gadis sederhana seperti apa adanya. Walau begitu diwaktu senggang dia banyak membaca buku. Apapun dibacanya. Tentang pengetahuan, tentang perkembangan yang terjadi, dan Kenanga yang cerdas bisa memiliki banyak hal tanpa orang lain menyadarinya. Alvin tidak menyesal, juga tidak kecewa, walau Kenanga tidak ingin melanjutkan sekolah. Kenanga belajar dari pengalaman yang didapat dari buku-buku yang dibacanya, dan itu membuat Alvin bangga.

***

Hari itu Alvin pulang dengan membawa buku kakek bersorban yang sudah diterjemahkan oleh salah seorang kenalannya yang banyak mengerti tentang sastra dan sejarah-sejarah masa lalu.

Buku itu sebenarnya adalah tentang siapa sebenarnya kakek bersorban yang tak seorangpun tahu siapa namanya karena dia memang tak ingin mengatakannya. Bahkan Kenanga yang sudah dianggapnya sebagai anak kandung, tak pernah diberi tahu tentang siapa sebenarnya sang ayah.

Kakek bersorban adalah cicit dari seorang tabib istana Sedayu sejak ratusan tahun yang lalu, yang kemudian istana itu hancur karena dianggap memberontak oleh kerajaan yang lebih besar. Tidak diceritakan kerajaan apa yang lebih besar itu. Para petinggi istana melarikan diri ke goa dengan membawa harta karun, tapi kakek Asta Guna memilih menyendiri di sebuah hutan, bersama istrinya. Ia adalah ahli pengobatan yang jaman dahulu disebut sakti, karena usapan tangannya bisa menyembuhkan penyakit, disamping obat-obatan yang dibuatnya. Ia beranak cucu yang keturunannya adalah kakek bersorban. Nama sebenarnya adalah aki Damar. Tapi ia tak mau menyebutkan namanya. Ia hidup tanpa istri dan menemukan bayi yang terbuang dijurang, lalu diberinya nama Kenanga, seperti nama salah seorang jin di bukit Senyap, dengan alasan yang tak dikatakannya. Barangkali karena tak ingin jin yang tadinya tergila-gila pada kakek Damar itu tak lagi mengganggunya, setelah kakek Damar memiliki anak bernama Kenanga juga. Entahlah. Barangkali ada cerita lain tentang bayi itu dan kakek Damar.

Terjemahan tulisan itu ditulis dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti, dan membuat Kenanga takjub. Anak siapa dia sebenarnya?

***

Ketika semua orang sedang memperbincangkan buku kakek bersorban, tiba tiba Sinta datang dengan membawa undangan. Alvin membacanya dengan rona bahagia.

“Ya ampuuun, kamu akan menikah mendahului aku?” teriak Alvin.

“Kelamaan, keburu menjadi perawan tua,” jawab Sinta seenaknya.

Undangan pernikahan Sinta dan Hasto akan diadakan di Jakarta, mengingat orang tua Sinta tinggal di sana.

“Kalian semua harus datang, juga bapak dan ibu. Awas saja kalau nggak datang, aku sumpahin kamu menjadi bujang lapuk,” kata Sinta sambil menunjuk ke arah hidung Alvin.

“Jangan khawatir, calon istriku sudah siap setiap saat. Ya kan, Kenanga?” kata Alvin sambil menatap Kenanga, membuat Kenanga menunduk tersipu.

“Mas Alvin akan menikah bulan depan, awas juga kalau kalian tidak datang,” balas Alisa sambil tersenyum.

Kisah ini sudah berakhir, karena masing-masing pejalan sudah sampai diujungnya. Di depan mereka adalah laut biru yang luas, siap membawa kapal kehidupan berlayar mengarunginya. Semoga bahagia.

***

Besok lusa sudah ganti cerita.

 

 

Seorang perempuan setengah tua yang masih genit duduk dihadapan suaminya yang sedang sakit.

“Mas, mengapa Mas harus mencari pewaris perusahaan Mas ini jauh-jauh? Anak Mas yang lain sudah kaya, sudah punya usaha masing-masing, sudah selayaknya usaha yang Mas jalankan sekarang ini Mas serahkan kepada Nilam, satu-satunya anak kita.”

“Tapi anakku yang lain juga punya hak atas usaha ini.”

“Mas lupa ya, bagaimana pengorbanan aku selama Mas sakit? Tak ada siapa-siapa yang merawat Mas, hanya aku. Hitung-hitung usaha ini menjadi upah bagi pengorbanan aku selama ini. Adil kan? Lagipula Nilam itu gadis pintar. Ia akan bisa mengendalikan usaha Mas dengan baik. Mas tidak akan kecewa.”

Wouw … seru nggah sih, ceritanya? Tungguin ya, HANYA BAYANG-BAYANG.

 

 

Thursday, November 27, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 34

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  34

(Tien Kumalasari)

 

Alvin terkejut. Apakah itu kebakaran di rumah Kenanga? Ia segera mengajak tiga orang karyawannya naik.

Seorang warga dusun memburunya.

“Jangan naik Mas, ada kebakaran di atas.”

“Sebelah mana kebakaran itu Pak?” tanya Alvin.

“Rumah Kakek. Dibakar anak buah Lurah Lawas.”

“Apa? Mengapa tidak ada yang menghalanginya?”

“Bagaimana menghalanginya Mas, dia itu punya banyak anak buah. Tadinya sepertinya dia mencari Kenanga, yang tampaknya sudah pergi dibawa orang kota. Lurah lawas mengamuk, lalu membakar rumah Kenanga.”

Alvin marah bukan alang kepalang. Ia sudah mendengar bahwa Lurah lawas adalah orang yang ingin mengambil Kenanga sebagai istri. Aki tua yang tidak tahu diri itu memaksakan kehendak karena merasa dia kaya dan memiliki banyak anak buah. Karena itulah Kenanga dibawanya pulang dengan didukung oleh orang-orang dibawah bukit.

“Ayo kita naik.” ajaknya sambil melambaikan tangan kepada ketiga orang pegawai kantornya.

“Jangan Mas, masih ada beberapa orang anak buah Lurah lawas ada di atas sana. Mereka tidak akan turun sebelum rumah Kenanga habis ludes.”

Alvin segera menelpon polisi, lalu mengajak ketiga bawahannya naik ke atas. Ia memikirkan obat peninggalan kakek bersorban yang sangat diharapkan bisa dibawa turun ke bawah.

Sebelum naik ia berpesan kepada orang-orang dibawah bukit, agar kalau ada polisi datang mereka bisa menunjukkan jalannya.

Orang-orang dusun yang beberapa orang diantaranya mengenal Alvin sebagai orang yang sering datang, segera menyanggupinya. Mereka senang kalau ada polisi turun tangan. Selama ini tak ada seorangpun berani melakukannya, karena Lurah lawas mengancam keras. Kalau ada yang berani lapor polisi maka dia akan menghabisi seluruh keluarganya. Bukan main Lurah lawas ini. Semakin merasa berkuasa dan semakin jumawa.

***

Alvin sudah sampai di atas. Ada tiga orang yang masih menunggui api berkobar dan melempar-lemparkan daun-daun kering agar kobaran semakin besar.

Alvin mencelos, rumah itu tak berujud, hampir rata dengan tanah. Ketika ia mendekat, tiga orang anak buak Lurah lawas menghadang. Mereka bukan orang yang pernah dilumpuhkan Alvin ketika Alvin akan membawa turun Kenanga. Barangkali juga mereka masih kesakitan karena dihajarnya saat itu.

“Berhenti!! Mau apa kalian?” teriak salah seorang diantaranya.

“Mengapa kalian bakar rumah itu?” teriak Alvin.

“Apa peduli kamu? Ini perintah majikan kami, tak boleh ada yang menghalangi.”

Alvin menatap ke arah puing-puing yang sebagian masih menyala, walau sudah banyak yang menjadi bara. Tak ada yang bisa diselamatkan.

“Kalian dan majikan kalian telah melakukan kejahatan. Tak lama lagi kalian akan masuk penjara,” teriak Alvin penuh amarah.

Ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak.

“Penjara itu apa? Haaa? Tak ada yang berani mendekati kami. Polisipun tidak, bagaimana bisa masuk penjara?”

“Sudah, jangan banyak bicara, pergi atau sekalian kalian aku masukkan ke dalam bara itu?” hardik yang lainnya.

“Bagaimana kalau kamu lebih dulu yang kami masukkan ke dalam bara?”

Karena marah ketiganya menerjang ke arah Alvin. Tapi ketiga orang pegawai Alvin bukan orang sembarangan. Kemungkinan untuk bentrok dengan anak buah Lurah lawas itu sudah dipikirkannya, karenanya ia membawa pegawai kantornya yang bisa bela diri.

Kesombongan anak buah Lurah lawas runtuh seketika, ketika mereka tidak bisa sekali sambar bisa membuat orang tersungkur. Sebaliknya malah mereka jatuh bangun karena tendangan-tendangan lawannya.

Sementara itu, Alvin mendekat ke arah reruntuhan rumah Kenanga. Ia mencari sesuatu, barangkali ada yang tersisa. Tapi tak ada. Kotak kayu yang dikatakan Kenanga dipakai untuk menyimpan obat-obat inti milik kakek bersorban sudah menjadi abu. Ada botol-botol yang kemungkinan berisi obat-obat itu, pecah berhamburan. Tak bersisa. Tiba-tiba Alvin melihat sebuah benda yang sebagian hangus. Alvin mengoreknya dengan sebatang kayu yang di dapatnya di sekitar tempat itu. Di sekelilingnya bara masih menyala.

Alvin heran, benda yang dicungkil-cungkilnya itu adalah sesuatu yang dibungkus kain, hanya terbakar sedikit. Ketika berhasil menariknya di tempat aman, Alvin memungutnya, lalu berteriak karena kepanasan.

“Ya Tuhan, apa itu?”

Karena benda itu panas, Alvin hanya mendorong-dorongnya ke tempat aman. Ia belum tahu apa isi bungkusan itu. Sungguh aneh, disekitarnya adalah api, mengapa dia tidak terbakar? Alvin mendiamkannya. Ia melihat anak buah Lurah lawas sudah jatuh bangun di atas tanah.

Alvin mengitari tempat itu, sudah ada pohon-pohon yang ikut terbakar. Sebentar lagi hutan ini akan hangus. Alvin ingin mencari letak tanah makam kakek bersorban. Tapi masih terhalang oleh api. Ia berlari ke arah belik, berusaha mengambil air dan menyiramkannya agar api padam. Tapi tak berhasil.

Tiba-tiba terdengar tembakan-tembakan. Alvin merasa lega, rupanya polisi cepat datang. Ketiga orang anak buah Lurah lawas menyadari datangnya bahaya yang lebih besar. Mereka membalikkan tubuh dan berlari. Tapi beberapa kali tembakan membuat mereka jatuh tersungkur. Dengan mudah polisi meringkusnya, lalu menyeretnya turun.

Tiba-tiba terdengar guntur menggelegar, lalu hujan turun bagai dicurahkan dari langit. Polisi tetap turun dari bukit, tapi Alvin dan ketiga temannya masih ada di sana. Mereka mencari tempat berteduh. Pohon di sekitar rumah sudah terbakar, jadi mereka berlari agak jauh mencari pohon rindang yang masih tersisa.

Alvin menghampiri bungkusan yang tentu saja sudah tidak lagi panas. Ia membawanya menyusul anak buahnya yang sudah lebih dulu berteduh. Kotak kecil itu di dekapnya di depan dada.

Apakah ini obat yang dimaksud Kenanga? Tentunya bukan. Kenanga mengatakan kotaknya besar dan dari kayu.

Itu pula sebabnya ia tidak naik sendiri tapi dengan membawa orang-orang kantor untuk menemani membawanya. Kotak ini kecil, terbungkus kain putih yang anehnya hanya terbakar sebagian. Alvin belum berani membukanya, takut barang yang entah apa itu menjadi basah.

Hujan masih turun sangat deras. Dan mereka bersyukur karena hujan itu kemudian memadamkan api yang berkobar, mematikan bara yang masih menyala.

Keempat orang itu sudah basah kuyup.

“Tunggu kalau sedikit reda, aku ingin melihat makam kakek bersorban.”

Ketiganya mengangguk. Dan tak lama kemudian hujan memang berhenti. Turunnya hujan seakan hanya akan mematikan kobaran api, lalu setelah padam, maka hujanpun berhenti.

Gerimis masih turun ketika Alvin melangkah tersaruk-saruk karena tanah basah dan berlumpur. Ia masih ingat makam itu, tak jauh dari rumah Kenanga.

Alvin akhirnya menemukannya. Ia sangat takjub karena gundukan tanah pemakaman itu masih utuh, tidak longsor oleh turunnya hujan. Kayu yang ditancapkan di atas dan dibawahnya, masih tegak berdiri.

Alvin berjongkok di samping tanah makam itu, dan berdoa, diikuti oleh ketiga anak buahnya.

Akhir dari doanya, ia mengatakan sesuatu, seakan kakek bersorban sedang ada di depannya.

“Kakek, aku akan menjaga Kenanga dengan baik, akan membuatnya bahagia, jadi Kakek tidak usah khawatir ya?” kata Alvin yang kemudian mengusap air matanya yang tak urung menetes membasahi pipinya yang masih basah oleh hujan.

Sebelum berdiri, Alvin berjanji akan sering menjenguk makam kakek bersorban.

Guntur berbunyi, membuat keempatnya terkejut. Mereka mengira hujan akan turun, tapi tidak. Ketika mereka mendongak ke atas, langit bersih dan berwarna kebiruan. Alvin menoleh ke arah reruntuhan rumah, yang sudah tak berwujud. Ia yakin kotak obat itu sudah ikut dilalap api. Rupanya Kenanga tidak diijinkan membawa kotak itu kebawah, dan rupanya juga entah bagaimana, kakek bersorban seperti ingin agar Kenanga menjalani hidupnya dengan normal, bukan sebagai ahli obat seperti dirinya.

***

Ketika mereka sampai di bawah, orang-orang dusun mengerumuninya. Mereka mengatakan kalau Lurah lawas dan semua anak buahnya sudah ditangkap polisi. Mereka beramai-ramai melaporkan kelakuan pak Lurah lawas yang semena-mena. Mereka berharap agar dusun mereka kembali tenang, lepas dari kekejaman Lurah lawas yang dengan sesuka hatinya suka melakukan pemaksaan. Bahkan janda-janda muda juga menjadi korban kebejatannya.

“Oh iya Mas, mobil teman Mas masih dititipkan di rumah saya,” kata seseorang.

“Baiklah, nanti saya akan mengurusnya setelah pulang dulu. Teman saya itu sekarang juga sedang sakit.”

“Oh, baiklah Mas, saya akan menjaganya baik-baik, dan semoga dia cepat sembuh.”

“Aamiin, terima kasih ya Pak. Sebenarnya saya bisa saja membawanya pulang ke rumahnya, tapi saya kan tidak membawa kuncinya.”

“Baiklah, saya mengerti.”

***

Dengan tubuh masih basah kuyup mereka naik ke mobil. Tapi Alvin menyempatkan diri menelpon ke rumah, mengatakan kepada Kenanga tentang keadaan rumahnya.

Alisa merangkul Kenanga yang menangis tersedu-sedu mendengar apa yang dikatakan Alvin.

“Kenanga, mas Alvin sudah mengatakan kalau akan sering mengunjungi ayahmu. Jadi kamu masih selalu bisa ke sana. Dan kamu harus bersyukur karena yang namanya Lurah lawas dan anak buahnya sudah ditangkap polisi.”

“Tapi aku tidak punya rumah lagi.”

“Mengapa berkata begitu? Bukankah ini juga rumahmu?”

“Aku sangat merepotkan.”

“Tidak, kami senang melakukannya, kamu tidak usah bersedih.”

“Kotak obat itu hancur menjadi abu, berikut semua isinya. Itu adalah peninggalan bapak, agar aku bisa meneruskan upaya penyembuhan untuk sesama.”

“Kenanga, rupanya ayahmu memang tidak ingin kamu menjalani hidup seperti dulu. Dia ingin kamu menjadi keluarga kami, dan hidup dengan tenang.”

Kenanga masih terisak.

“Aku juga tidak bisa membantu mas Hasto.”

“Mas Hasto sudah ditangani dokter. Cepat atau lambat, dia akan bisa pulih.”

Kenanga akhirnya mengangguk, pasrah.

“Kamu jangan sedih lagi. Kamu sudah berada disekitar orang-orang yang mencintai kamu. Apa kamu tidak balas mencintainya, terutama kepada mas Alvin?” tanya Alisa, setengah menggoda. Pertanyaan itu membuat Kenanga tersipu, kemudian mencubit lengan Alisa pelan. Ada senyuman diantara matanya yang basah. Sekarang ia mengerti, mengapa almarhum ayahnya menitipkan dirinya kepada Alvin. Rupanya di sini dia menemukan orang-orang yang menyayanginya.

***

Ketika kemudian Alvin pulang, Kenanga terkejut Alvin memberikannya sebuah kotak. Kotak itu terbuat dari besi tipis, karenanya tidak ikut terbakar. Hanya bungkusnya yang ikut terbakar, tapi hanya sebagian.

“Hanya ini yang masih tersisa, aku belum membukanya. Entah isinya apa."

Perlahan dengan dibantu Alvin, karena kotak itu sangat kencang menutupnya, akhirnya Kenanga bisa membukanya. Agak heran mereka melihatnya. Kotak itu berisi sebuah buku. Buku yang tulisannya sangat aneh.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, November 26, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 33

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  33

(Tien Kumalasari)

 

Hasto membuka matanya perlahan. Jalannya mobil yang bergoyang-goyang membuatnya tersadar. Ia heran sedang berada di dalam sebuah mobil, bersandar di jok dengan tubuh terasa lemas. Ia menoleh ke arah samping, dan terkejut melihat siapa yang sedang menyetir mobilnya.

“Sinta?”

Sinta menoleh ke sampung dan tersenyum.

“Kamu kenapa?”

“Badanku sakit semua. Bagaimana kamu bisa membawa aku ke dalam mobil?”

“Aku sengaja datang, karena hari ini dan besok kan libur. Aku ke rumah Alisa, kata bibi pembantu semua keluarga sedang ke bukit, menjemput calon menantu keluarga Warsono. Aku pinjam mobil teman, lalu menyusul, karena aku kan juga kenal sama Kenanga, bahkan yang sudah menyembuhkan kakiku yang retak atau patah. Sekarang aku sudah baik-baik saja. Tidak disangka aku melihat kamu berjalan terhuyung-huyung, bahkan pingsan begitu aku berhenti. Beruntung kamu bisa bersandar di mobil, kalau tidak kamu bisa luka oleh batu-batu yang berserakan di jalan."

“Oh, ini mau ke mana? Mobilku tertinggal di sana.”

“Sudah jauh, sebentar lagi sampai rumah sakit.”

“Apa maksudmu rumah sakit?”

“Kamu itu sakit. Orang waras nggak mungkin pingsan kan?”

“Oh, ya Tuhan, aku sakit ya?”

“Sebenarnya ada apa? Dan di mana mereka? Kamu ketemu Alvin dan keluarganya?”

“Ada di sebuah rumah penduduk. Ada sesuatu yang luar biasa terjadi.”

“Apa sesuatu yang luar biasa?”

Lalu secara singkat Hasto menceritakan kejadian yang terjadi di rumah Kenanga, yang akhirnya membuat tubuhnya luka-luka, yang pastinya luka dalam, karena ia merasakan badannya sakit semua.

“Jadi kalian habis bertempur melawan laki-laki tua yang mau membawa Kenanga? Yah, untunglah ada Alvin yang kemudian datang. Dia kan jago taekwondo.”

“Ya, begitulah, untung ada Alvin yang membuat mereka akhirnya tak berdaya dan berhasil membawa Kenanga turun.”

“Mengapa kamu tidak mengatakan bahwa kamu terluka sehingga Kenanga bisa mengobati. Dia han ahli meramu obat dengan caranya?”

“Aku … malu mengatakannya.”

“Ya ampuun, kesakitan tapi malu mengakuinya?”

“Terus terang kemudian aku kalah bersaing dengan Alvin, tapi aku sudah memberinya selamat kepada Kenanga.”

“Jadi sekarang Kenanga akan ikut bersama keluarga Alvin?”

“Untuk menghindari orang tua tak tahu diri itu. Kalau Kenanga masih di rumahnya, bisa jadi mereka akan datang lagi dan memaksa Kenanga. Tak apa, yang penting Kenanga selamat.”

Mobil Sinta sudah sampai di rumah sakit, dan ternyata Hasto memang tidak bisa berjalan tegak. Mungkin ada tulang-tulangnya yang retak atau entahlah. Yang jelas Sinta harus meminta brankar untuk membawa Hasto ke ruang IGD.

***

Keluarga Warsono dan Kenanga sudah sampai di rumah. Kenanga terbelalak melihat rumah seindah dan semegah itu. Dibandingkan dengan rumahnya yang beratap rumbai, berdinding bambu, alangkah jauh bedanya. Ia melangkah ragu, dan harus dirangkul Alisa agar masuk ke dalam rumah.

“Kenanga, jangan sungkan. Kelak rumah ini akan menjadi rumahmu juga,” kata bu Warsono melihat keraguan yang tampak pada wajah Kenanga.

“Iya, masuk dan ajak Kenanga ke kamarmu,” lanjut pak Warsono, sedangkan Alvin hanya tersenyum-senyum bahagia.

Alisa langsung mengajak Kenanga masuk ke dalam kamar. Kamar yang sangat mewah dengan perabotan yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kenanga mengamati ke sekelilingnya, tak ada lampu minyak seperti dirumahnya. Alisa membuka jendela kamarnya, lalu udara segar masuk ke dalamnya. Ketika Kenanga berdiri di depan jendela itu, ia melihat sebuah kebun penuh dengan tanaman bunga. Ada kolam kecil dan ikan-ikan berkecipak riang di kejauhan.

“Kamu suka?”

“Aku takut,” jawab Kenanga, membuat Alisa tertawa.

“Apa yang membuatmu takut? Oh ya, sebaiknya kamu mandi dulu, ayo ke kamar mandi,” kata Alisa sambil menarik tangannya ke kamar mandi.

“Itu apa?” katanya sambil menunjuk ke arah bathup dengana heran.

“Itu namanya bathup, kalau kamu suka berendam, kamu bisa masuk ke sana dan berendam air hangat. Kalau tidak suka, kamu bisa mengucurkan air dari sini. Ini sabun, ini handuk yang sudah disiapkan.”

Alisa mengajari Kenanga bagaimana ia harus mandi, lalu memberikan bajunya untuk dipakai oleh Kenanga, bukan kain dan kebaya seperti yang dipakainya.

“Tuh kan, badanku sama badanku itu sama. Bajuku bisa pas di badan kamu.”

Alisa mengajak Kenanga berkaca, rambutnya yang panjang tergerai lepas. Alisa menyisirinya lembut, lalu Kenanga menggelungnya dengan apik.

“Kamu cantik sekali.”

Kenanga juga heran melihat bayangan di cermin. Ketika di rumahnya, cerminnya adalah air belik yang tenang. Bayang-bayang yang terlihat tidak begitu jelas, terkadang air dalam belik bergoyang-goyang. Sekarang ia dengan jelas melihat bayangannya sendiri, dan dengan heran ia menyadari, bahwa dirinya sangat cantik.

“Itu … apakah aku?” katanya sambil menunjuk bayangannya sendiri yang berdiri sejajar dengan Alisa.

“Tentu saja kamu. Kamu sangat cantik.”

“Apa aku pantas tinggal di sini?”

“Kamu seperti putri dari kahyangan,” kata Alisa.

Kenanga teringat dongeng almarhum ayahnya. Putri dari kahyangan adalah bidadari. Ia pernah membayangkan seorang bidadari ketika melihat wajah Sinta saat ia mengobatinya. Dirinya secantik itu?

“Ayo kita keluar, bibik akan membuat minuman hangat untuk kita,” katanya sambil menggandeng Kenanga keluar dari kamar.

Baju yang dipakai hanya baju rumahan, berwarna hijau lumut berkembang putih, lengannya panjang dan baju itu juga menutupi kakinya.

Alisa mengajaknya ke ruang tengah, di mana sudah ada ayah ibu Alisa dan juga Alivin yang semuanya menatapnya takjub.

“Kenanga, kamu cantik sekali,” puji bu Warsono.

Alisa mengajaknya duduk disampingnya. Bibik pembantu menyiapkan minuman hangat dalam cangkir-cangkir yang menurut Kenanga sangat indah.

Setelah meletakkan cangkir-cangkir itu, bibik mengatakan bahwa tadi ada yang mencari Alisa.

“Siapa yang mencari aku?”

“Itu teman Non. Yang namanya Sinta.”

“Sinta kemari?”

“Iya, katanya mau menyusul Non, setelah bibik bilang seluruh keluarga menjemput calon istri tuan Alvin.”

Kenanga menunduk tersipu, Bahkan pembantu rumah menyebutnya calon istri Alvin?

“Sinta menyusul? Tidak tuh, kok aku tidak ketemu ya.”

Alisa mengambil ponsel dan menelponnya dan langsung dijawab oleh Sinta.

“Alisa, tadi aku menyusul kalian.”

“Kok nggak ketemu?”

“Sekarang aku di rumah sakit.”

“Apa? Kamu sakit?”

“Bukan. Hasto yang sakit.”

“Mas Hasto sakit? Kok kamu bisa ketemu dia? Sakit apa?”

Semua yang hadir mendengarkan Alisa bertelpon. Terkejut mendengar Hasto sakit.

Lalu Sinta mengatakan tentang pertemuannya dengan Hasto yang kemudian pingsan saat mobilnya berhenti didekatnya.

“Rumah sakit mana?” tanya Alvin.

“Berikan alamat rumah sakitnya. Mas Alvin mau ke sana.”

***
Alvin berangkat sendiri ke rumah sakit yang dimaksud. Bersaing dalam memperebutka seorang gadis bukan berarti membunuh rasa persahabatan. Bergegas dia masuk, lalu melihat Sinta duduk di ruang tunggu.

“Alvin, akhirnya kamu datang,” sapa Sinta.

“Apa yang terjadi?”

“Aku sudah cerita sama Alisa, apa dia tidak mengatakannya padamu?”

“Ya, sekilas, tapi aku kan juga ingin mendengar dari kamu.”

Sinta pun mengatakan semuanya.

“Apa kata dokter?”

“Masih diadakan pemeriksaan secara keseluruhan. Seperti ada tulangnya yang patah.”

“Kok dia kuat berjalan ya?”

“Mungkin tadinya hanya retak, karena dipaksa berjalan lalu patah.”

“Aku heran, ketika sebelum turun dari bukit aku melihat dia kesakitan, tapi ketika aku bertanya, katanya tidak apa-apa. Aku mau memapah dia turun, dia menolaknya, jadi dia berjalan sendiri.”

“Dia bilang, malu mengakui kalau dia kesakitan.”

“Ketika aku datang dia sedang dikeroyok oleh anak buah pak tua itu. Tampaknya dia berhasil menjatuhkan pak tua, tapi anak buahnya ada lima orang. Tampaknya Hasto juga jatuh bangun ketika itu. Heran, mengapa dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Kalau Kenanga tahu, barangkali Kenanga bisa memberikan obatnya, paling tidak untuk mengurangi sakitnya.”

“Benar, aku juga sembuh karena Kenanga. Sekarang Kenanga ada di rumahmu? Kata Hasto dia kamu bawa pulang.”

“Benar, orang-orang dusun menyarankan agar Kenanga diungsikan dulu, agar tidak diganggu oleh pak tua itu.”

“Apakah sekiranya Kenanga bisa membantu mengobati Hasto ya?”
”Entahlah, apa sebaiknya aku panggil dia?”

“Kamu telpon Alisa, lalu kamu bicara sama Kenanga.”

Lalu Alvin akhirnya bisa bicara dengan Kenanga. Tapi Kenanga mengatakan kalau obat-obatnya tertinggal di rumah.

“Apa aku harus mengambilnya? Aku tidak tahu sakitnya seperti apa, tapi barangkali bisa mengurangi atau membantu menyembuhkannya. Hanya membantu, aku bukan orang pintar yang bisa membuat orang sakit bisa sembuh, Nanti aku pulang dulu,” kata Kenanga.

“Jangan kamu. Baiklah, nanti kita atur caranya. Aku akan menemui Hasto dulu.”

Alvin menutup pembicaraan, dan merasa lega Kenanga mau membantunya.

“Bagaimana?” tanya Sinta.

“Kenanga mau mengambil ramuan-ramuan yang ada di rumahnya, tapi lebih baik jangan dia yang pergi. Bahaya bisa setiap saat mengintainya. Pak Tua itu kabarnya punya banyak anak buah. Yang berani menentangnya bisa celaka. Kalau Kenanga pulang lalu dia tahu, bisa bahaya.”

“Jadi kamu yang akan pergi ke sana?”

“Ya, sebaiknya begitu, aku akan mengajak beberapa orang kantor, barangkali ada barang yang susah di bawa, sehingga mereka bisa membantu.”

“Syukurlah.”

***

Alvin memarahi Hasto karena tidak mau mengaku kalau dia kesakitan. Hasto yang masih merasa lemah hanya tersenyum. Mana bisa Alvin merasakan apa yang dirasakannya? Sakit hatinya lebih berat dari sakit di tubuhnya.

“Aku sudah bilang pada Kenanga, dia bersedia membantu.”

“Aku sudah ditangani dokter, tidak usah repot karena aku.”

“Hasto, aku masih sahabatmu bukan? Jadi tenang saja. Siapa tahu obat yang diberikan Kenanga bisa mengurangi sakit kamu, atau bisa mempercepat penyembuhan di samping penanganan dokter.”

“Aku harus dioperasi, dokter sudah mengatakannya.”

“Kenanga bilang hanya membantu. Biar dioperasi, siapa tahu obatnya bisa mempercepat kesembuhan kamu?”

Hasto hanya diam. Sedikit sungkan ketika Alvin akhirnya tahu bahwa dirinya kesakitan karena dihajar anak buah Lurah lawas.

***

Keesokan harinya, dengan petunjuk Kenanga tentang di mana ramuan obatnya disimpan, Alvin berangkat bersama anak buahnya, karena ramuan inti yang dibuat oleh kakek bersorban ada di sebuah kotak besar.

Mereka sudah sampai di bawah bukit dan bersiap naik, tapi betapa terkejutnya ketika mereka melihat asap hitam membubung tinggi, tanda ada kebakaran di atas sana.

***

Besok lagi ya.

Tuesday, November 25, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 32

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  32

(Tien Kumalasari)

 

Seseorang bergegas mendekat, dan wanita yang berdiri di depan Kenanga melambaikan tangannya sambil berteriak.

“Mas, sini! Tolong Kenanga.”

“Apa ini? Siapa dia?”  Lurah lawas berteriak marah.

“Kenanga, apa yang terjadi?”

Yang datang adalah Hasto. Ia langsung mendekat ke arah kenanga, tapi salah seorang anak buah lurah lawas menghadang.

“Mau apa kamu?” hardiknya.

“Minggir. Kenanga adalah calon istri Lurah lawas, kamu tidak boleh mendekat."

“Lurah lawas yang mana? Calon istri apa? Kenanga adalah calon istriku,” Hasto gantian berteriak.

“Minggir Mas, kamu bukan lawannya,” Kenanga juga berteriak.

“Kamu siapa, anak muda masih ingusan, mengaku sebagai calon suami Kenanga? Berani sekali kamu mengorbankan nyawa kamu.”

Seorang anak buah Lurah lawas mendorong tubuh Hasto sehingga terhuyung-huyung.

Kenanga menjerit.

“Mas, kamu bukan lawannya. Mundurlah.”

“Kenanga, kamu bersedia menjadi istrinya?”

“Tidak, lebih baik aku mati.”

“Kenanga, kamu tidak boleh mati, kamu akan bahagia menjadi istriku. Kamu aku jadikan ratu di rumahku, Kenanga,” kata Lurah lawas lembut, membuat Kenanga bertambah muak.

“Cepat bawa dia, mengapa kalian malah seperti mendapat tontonan? Singkirkan anak muda itu!”

Walau tak segagah Alvin, tapi Hasto adalah laki-laki. Ia pantang menyerah. Demi cintanya kepada Kenanga, bahkan nyawa akan dikorbankannya. Ia melompat ke dekat Kenanga, lalu tiba-tiba sudah berdiri menghadang di depan gadis pujaannya, seperti melindunginya.

Lurah lawas yang tak menduga gerakan Hasto begitu cepat, menjadi terkejut lalu berubah sangat marah. Ia menerjang ke arah Hasto, tapi ternyata tulang tuanya kalah gesit dengan gerakan Hasto. Ia justru jatuh tersungkur, lalu sambil mengaduh-aduh ia memaki-maki anak buahnya.

Kesempatan itu dipergunakan Hasto untuk membawa pergi Kenanga dari tempat itu. Wanita yang tadi membantu Kenanga, merasa sedikit lega, berharap Hasto berhasil membawa pergi Kenanga.

Tapi Lurah lawas yang tak mampu berdiri memaki-maki anak buahnya.

“Bodoh! Bodoh kalian! Kejar dia! Kalian mau mati?”

Kelima anak buahnya bergerak, dan tiba-tiba sudah berada di depan Hasto, menghalangi Hasto yang menggandeng erat tangan Kenanga.

“Jangan harap kalian bisa lepas dari sini,” hardik salah seorang dari mereka.

Lalu tiba-tiba kelimanya serentak menyerang Hasto, yang kemudian mendorong Kenanga ke arah pinggir. Mana mampu Hasto melawan kelima anak buah Lurah lawas yang semuanya berbadan kekar dan berwajah bengis?

Berkali-kali Hasto terkena pukulan, tapi ia terus bertahan. Perempuan yang tadi menemani Kenanga mendekati Kenanga dengan wajah pucat. Tampaknya mereka akan berhasil menjatuhkan Hasto.

Tapi tiba-tiba seseorang muncul. Kenanga berteriak.

“Mas Alvin!!”

Alvin terkejut, melihat Hasto dikeroyok. Ia segera maju dan berhasil memukul salah seorang sehingga jatuh berguling-guling.

Masih ada empat orang, dan walau lemah tapi Hasto masih sempat mempertahankan diri. Ketika SMA, Alvin pernah mengikuti sekolah taekwondo, dengan gerakan secepat kilat kakinya menendang lawannya sehingga jatuh terjerembab mencium tanah. Gerakan yang tak terduga dan bisa mematikan, membuat empat orang anak buah Lurah lawas menjadi keder.

Dari jauh, Lurah lawas yang masih terduduk tak mampu bangun terus berteriak memaki-maki.

“Bodoh! Musuh dua orang bocah saja kalian tak berdaya? Dasar bodoh! Percuma aku membayar kalian!! Salah satu kemari, bantu aku bangun.”

Tinggal seorang yang masih berdiri, itupun sebelah lengannya terasa lemas setelah terkena tendangan Alvin. Iapun kemudian jatuh terduduk. Barangkali lengan kirinya patah.

Kenanga menatap kagum. Ia bersyukur atas kedatangan Alvin yang mampu melawan anak buah Lurah lawas, dan membuat mereka tak berdaya.

Sementara itu Alvin menatap Hasto yang tampak kelelahan.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja,” jawab Hasto walaupun wajahnya tampak pucat. Ada luka di kakinya yang tak dikatakannya. Mungkin malu, atau sungkan karena tanpa Alvin ia tak mampu berbuat apa-apa.

“Sebaiknya Mas ajak Kenanga pergi dulu dari tempat ini,” kata perempuan yang sejak tadi menggenggam tangan Kenanga.

“Baiklah, ayo turun  dulu, supaya Kenanga merasa tenang,” kata Alvin.

“Hasto, kamu masih kuat berjalan turun? Mari aku papah,” kata Alvin tulus, tapi Hasto menolaknya.

“Tidak, aku bisa.”

“Ya sudah, pelan-pelan kalau ada yang terasa sakit.”

“Benarkah kamu tidak terluka?” tanya Kenanga.

“Tidak, aku tidak apa-apa,” katanya sambil mengikuti mereka turun.

“Kenanga, ada ayah dan ibuku menunggu di bawah,” kata Alvin tiba-tiba, membuat Kenanga terkejut.

“Apa?”

“Mereka ingin mengenal kamu lebih dekat.”

“Tidak, aku malu, lihat pakaianku,” kata Kenanga yang kemudian berhenti melangkah.

“Hei, ada apa denganmu. Apa kamu memilih menjadi istri aki tua itu?”

Hasto mendengar apa yang dikatakan Alvin. Kejadian itu membuatnya mundur selangkah. Dia bukan apa-apa dibanding Alvin, apalagi sudah ada orang tua Alvin yang katanya menunggu di bawah, dan itu berati bahwa mereka bisa menerima Kenanga. Benarkah begitu? Keluarga kaya raya, dan Kenanga berani mengambil resiko untuk direndahkan nantinya?

Alvin tersenyum senang melihat Kenanga kemudian mengikutinya turun.

Di bawah, sebuah mobil tampak diparkir di tepi jalan. Begitu melihat beberapa orang turun, lalu ada seorang gadis berkulit putih, berkain dan berkebaya dengan diikatkan pada perutnya, bu Warsono dan pak Warsono segera turun. Ada Alisa bersama mereka, yang kemudian berlari mendekati Kenanga, lalu menariknya ke dekat ayah ibunya.

“Ini Kenanga, Pak, Bu. Gadis cantik calon menantu Bapak dan Ibu.”

Kenanga terkejut. Calon menantu? Tapi ia tak bisa lama-lama berpikir, karena tiba-tiba bu Warsono memeluknya.

Kenanga kebingungan mendapat sambutan hangat. Pak Warsono juga menjabat tangannya dan menepuk punggungnya hangat.

“Ini … ba … bagaimana?”

Alvin tersenyum.

“Aku sudah mengatakan pada bapak dan ibu aku, mereka akan menjadi mertua kamu.”

“Ta … tapi ….”

Tiba-tiba Kenanga menoleh ke arah Hasto yang diam sedari tadi. Menyadari situasi yang membuat dirinya kehilangan harapan, Hasto berusaha untuk menerima dengan  tabah. Berjiwa besar akan lebih mengangkat derajatnya, bukan kelihatan sebagai manusia terpuruk dalam kekalahan. Ia mendekat dan menjabat tangan Kenanga hangat.

“Selamat Kenanga, kamu sudah menemukan pasangan yang tepat. Semoga kalian berbahagia,” katanya tulus.

Kenanga hanya tersipu, menatap Alvin yang juga sedang menatapnya hangat.

“Itu kan Hasto, teman kuliah Alvin?” kata pak Warsono.

Hasto mendekat, kemudian menyalami ayah dan ibu Alvin, dan mencium tangannya.

“Kenapa diam saja? Kamu dulu sering datang ke rumah kan?” sambung bu Warsono.

“Iya Bu, Pak, tapi saya mau pamit dulu.”

“Mengapa buru-buru?”

“Saya lupa membawa kunci rumah, bapak dan ibu saya sedang bepergian, takutnya ketika pulang lalu tidak bisa masuk rumah,” kata Hasto memberi alasan, padahal sebenarnya ia memang merasa lebih baik tidak melihat kehangatan mereka, agar batinnya tidak semakin terluka.

“Baiklah Hasto, terima kasih banyak ya, apa harus aku antar?” tanya Alvin.

“Tidak, aku membawa mobil.”

“Daripada berbincang di sini, ayo singgah di rumah saya saja. Itu, rumah saya di depan, hanya gubug, maklum, rumah orang dusun, tapi lebih baik daripada berbincang di sini.”

Mereka setuju, lalu mengikuti perempuan dusun tadi yang bergegas mendahului. Perempuan itu menceritakan apa yang baru saja terjadi di atas, dan berharap mereka membawa Kenanga dulu ke kota, agar Lurah lawas tidak mengganggu lagi. Kedua orang tua Alvin setuju. Alisa sangat senang akan mendapat teman.

“Nanti tidur di kamarku, ceritakan tentang bukit-bukit berhantu yang ada di sana,” kata Alisa senang. Kenanga tersenyum, tak ada penolakan, karena ia mendapat sambutan hangat, tidak seperti yang pernah dia bayangkan.

***

Hasto berjalan dengan langkah lunglai, sesungguhnya tubuhnya terasa sakit semua. Ia jatuh bangun dihajar anak buah Lurah lawas, tapi sungkan mengatakan hal yang sebenarnya. Ia memilih segera pulang dan istirahat di rumah.

Langkahnya yang terhuyung-huyung membuat seorang pengendara mobil kemudian berhenti di dekatnya.

“Hasto?”

Bukannya menoleh, Hasto malah ambruk, bersandar pada mobil yang berhenti di dekatnya.

“Hasto, kamu kenapa?”

Dengan susah payah dia membuka mobil dan memapah Hasto ke dalam mobilnya, lalu dilarikannya ke rumah sakit.

***

Besok lagi ya.

Monday, November 24, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 31

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  31

((Tien Kumalasari)

 

Dari beberapa warga yang ikut duduk bersama di depan rumah Kenanga, tak satupun yang menyukai Lurah lawas. Ia arogan, sombong dan semena-mena. Karena punya banyak uang, maka ia ingin agar semua orang tunduk padanya.

Karenanya begitu dia turun bersama anak buahnya, tak kurang yang mengumpat dan memaki-makinya.

“Dasar tua bangka tak tahu diri.”

“Jangan sampai ia berhasil memiliki Kenanga. Kita harus menghalanginya.”

“Bagaimana caranya? Kalau dia datang bersama anak buahnya yang kejam itu, kita bisa mati kutu karena mereka kejam dan tak punya peri kemanusiaan.

“Makanya harus ada upaya untuk menghalanginya.”

“Bagaimana caranya?”

“Kita sembunyikan Kenanga.”

“Disembunyikan di mana?”

“Mari kita pikirkan bersama. Bersembunyi di mana supaya aman?”

“Tak mungkin di rumahku yang sempit itu.”

“Bagaimana kalau biar dibawa itu … temannya dari kota yang guanteng-guanteng itu.”

“Nah, kalau begitu baru aman.”

“Tapi bagaimana menghubungi mereka?”

“Pasti susah. Orang kota rumahnya mana, nggak ada yang tahu.”

“Apa Kenanga tahu ya? Besok pagi kalau dia bangun kita sarankan saja untuk ikut salah satu diantaranya.”

Dengar-dengar kang Suto juga mau mengambil Kenanga menjadi menantu. Anaknya juga sudah mapan, jadi guru sekolah yang dekat terminal itu.”

“Wah, nggak bakalan berani dia, karena sudah mendengar kalau Lurah lawas mau memboyong dia.”

“Lalu bagaimana baiknya?”

“Besok pagi biar kita ajak Kenanga bicara. Dia pasti juga tak mau dipaksa mengikuti kemauan Lurah lawas.”

Banyak usulan tapi yang paling banyak disetujui adalah ikut ke kota.

“Mana berani dia menyusul ke kota dan ngamuk di sana seperti kepada kita.”

“Masalahnya adalah kita tidak tahu ke mana mencari salah satu diantara mereka.”

“Mereka sering datang, semoga bisa datang lebih cepat sebelum Lurah lawas memaksakan kehendaknya.

***

Dua hari setelah minum jamu pemberian Kenanga, bu Warsono merasa dirinya lebih sehat. Perawat yang membuka pembalut luka terkejut ketika melihat luka itu sudah mengering.

“Ini diberi apa ya Bu, seperti warna kehijauan begini.”

“Maaf suster, anak saya memberi kompres obat dari kampung. Apakah nanti dokter akan marah?”

“Tidak Bu, luka ibu sudah mulai mengering. Ini pertanda bagus. Mulai hari ini sudah tidak perlu diperban lagi. Saya hanya membersihkan kulit-kulitnya yang mengering. Saya kira dokter tidak akan keberatan kalau masih diberikan kompres yang dari kampung itu lagi, karena memang ternyata menyembuhkan.”

“Syukurlah suster.”

“Dari apa ya obatnya ini Bu?”

“Saya juga tidak tahu, yang memberi itu rumahnya jauh di hutan sana. Saya juga minum obat ramuannya.”

“Bagus sekali, tensi ibu sudah normal. Sebentar lagi akan kami cek gula darahnya Bu. Kalau benar sudah stabil, ibu pasti boleh segera pulang.”

“Senang mendengarnya, suster.”

Bu Warsono memang benar-benar senang. Ia sudah merasa nyaman. Nyaman hatinya, nyaman badannya. Sepertinya tak ada keluhan. Ia merasa lebih segar.

***

Dan keesokan harinya bu Warsono benar-benar diijinkan pulang, membuat seisi rumah menjadi bahagia.

“Walaupun aku juga minum obat dari dokter, tapi obat yang diberikan calon mantuku benar-benar membantu,” kata bu Warsono dengan gembira.

“Ibu sudah menyebutnya calon mantu, apakah Ibu benar-benar sudah merasa mantap?”

“Sudah Pak, sekarang ibu hanya memikirkan kebahagiaan anak-anak kita. Kita sudah memiliki harta yang cukup, tidak usah memikirkan besan yang kaya dan lebih terhormat. Yang penting kita tidak membuat anak kita menderita,” kata bu Warsono tulus.

“Apakah Bapak tidak setuju?” tanya bu Warsono ketika melihat suaminya terdiam.

“Aku tidak akan memaksakan kehendak, terserah Ibu saja. Aku tidak suka Ibu bersedih atau kecewa. Dulu aku kira bukan gadis dari desa atau dari hutan itu yang Ibu harapkan. Tapi setelah Ibu merasa mantap, aku juga senang.”

“Segera minta Alvin agar segera membawanya kemari Pak, kasihan anak itu setelah ayahnya meninggal.”

“Nanti ibu katakan saja pada dia. Dengar-dengar dia akan sering mengunjunginya, dan tidak akan memaksa seandainya Kenanga belum mau diajak turun. Alvin maklum, karena pastinya dia masih berduka.”

“Seandainya tidak harus naik bukit yang katanya terjal itu, ibu mau kok ikut menjemput Kenanga.”

“Nanti kalau Alvin sudah siap, kita menunggu di bawah saja, biar yang muda-muda naik.”

“Begitu ya Pak. Ibu setuju. Rasanya ibu ingin segera berangkat ke sana.”

“Ibu itu kalau sudah punya keinginan kok susah sekali dikendalikan. Ibu kan baru saja pulang dari dirawat di rumah sakit. Ibu harus pulih dulu, bari bisa bepergian jauh.”

“Rasanya sudah sembuh kok Pak.”

“Rasanya, tapi kan belum benar-benar sehat. Sebaiknya istirahat dulu sehari dua hari, baru bisa bepergian jauh.”

***

Orang-orang kampung sudah berbincang dengan Kenanga selama dua hari ini. Keputusan terbaik memang sebaiknya Kenanga ikut antara Hasto dan Alvin. Tapi Kenanga masih bingung memikirkannya. Kalau menurut kata hati, ia memang menyukai Alvin, apalagi sang ayah juga sudah mengatakan secara tersamar, bahwa jodohnya akan datang hari di mana ayahnya mengatakannya. Dan yang datang ketika itu adalah Alvin. Lagipula sang ayah sudah menitipkan dirinya pada Alvin. Tapi mengingat Alvin yang menurut Hasto adalah keluarga kaya raya yang tak mungkin mau bermenantukan gadis desa seperti Kenanga, hati Kenanga diliputi perasaan bimbang. Benarkah yang pas untuk dirinya adalah Hasto? Yang kata Hasto pula bahwa orang tuanya juga berasal dari desa, dan kemungkinan besar pasti mau menerimanya. Tapi mengapa hati terasa berat untuk codong kepada Hasto? Ia sama sekali tidak menyukai Hasto yang terlalu mendesaknya. Ia juga tidak suka ketika Hasto berbohong tentang Sinta yang katanya tunangan Alvin.

“Apa kamu tahu di mana rumah teman kamu itu, Kenanga? Salah satu saja diantara mereka, kalau kamu tahu rumahnya, kami akan mendatanginya dan mengatakan bahwa kamu akan segera dibawa Lurah lawas,” kata salah seorang warga dusun yang selalu menemani Kenanga setelah kakek bersorban meninggal.

“Aku tidak tahu Lik, dua-duanya rumahnya di mana, aku tidak tahu,” kata Kenanga sedih.

“Kalau begitu kita tinggal berharap, semoga mereka datang sebelum Lurah lawas memaksakan kehendak untuk segera membawa Kenanga.”

***

Tapi ternyata sebelum Hasto atau Alvin datang, Lurah lawas sudah mendahuluinya. Ia datang bersama beberapa orang bawahannya.

Kenanga yang hanya ditemani seorang wanita dusun sangat terkejut melihat kedatangan mereka. Tanpa basa basi mereka duduk di atas tikar yang memang selalu digelar di depan rumah Kenanga. Lurah lawas berdiri dengan angkuh, menatap Kenanga yang berdiri memandangi mereka dengan wajah kesal, disertai takut.

“Kenanga, aku kira sudah lebih dari sepekan ayah kamu meninggal. Tidak baik seorang gadis hidup sendirian. Sekarang aku sedang menjemput kamu, agar kamu tidak kesepian. Aku kan sudah bilang kalau punya rumah baru yang belum pernah aku tempati, dan itu aku akan memberiikannya untuk kamu. Rumahnya bagus. Kamu akan tinggal di sana dengan lebih nyaman. Lagipula jadi istriku itu enak, kamu tidak akan kekurangan,” kata Lurah lawas panjang lebar.

Wajah Kenanga gelap bagai langit tertutup mendung.

“Pak Lurah kan tahu, belum lama bapak meninggal, mana mungkin aku memikirkan punya suami? Lebih baik biarkan aku tenang. Masalah suami aku belum memikirkannya.”

“Jangan begitu Kenanga. Maksudku begini, kamu tinggal dulu di rumah aku itu, aku akan menunggu sampai kamu benar-benar siap menerima aku sebagai suami.”

“Maaf pak Lurah, aku tidak mau.”

Mendengar jawaban Kenanga, wajah pak Lurah berubah merah padam. Belum pernah ada yang menentangnya. Semua keinginannya harus terlaksana. Oh ya, Lurah lawas lupa, ia belum memberikan apa-apa pada orang tua Kenanga. Tapi kan Kenanga tidak punya orang tua lagi? Baiklah, Lurah lawas punya banyak barang berharga, bahkan yang menempel pada tubuhnya. Orang setua dia, laki-laki pula, ia tak sungkan memakai kalung dan gelang emas. Ia segera melepasnya, lalu dengan gelang dan kalung dalam genggaman, ia mendekati Kenanga, yang kemudian melangkah mundur melihat Lurah lawas mendekatinya.

“Kenanga, jangan menjauh, aku ingin memberikan sesuatu untuk kamu. Ini, lihat apa yang aku bawa ini. Ini adalah kalung rantai yang tak ternilai harganya. Juga gelang bermata berlian ini, setara dengan sebuah rumah mewah. Ini untuk kamu Kenanga, sudah aku persiapkan. Memang tidak aku bungkus atau aku letakkan di sebuah kotak perhiasan, karena perjalanan yang sulit, kemudian aku malah memakainya agar mudah dibawa. Ini, terimalah, ini untuk kamu, Kenanga,” kata Lurah lawas sambil mengulungkan benda di dalam genggamannya.

“Tidak, maaf, aku tidak mau. Bawa saja kembali, aku tidak mau.”

Kenanga melangkah semakin menjauh.

“Kenanga, apa maksudmu? Kamu menolak pemberianku sementara semua orang mengincar barang-barang ini?”

“Atas dasar apa pak Lurah memberikan barang-barang ini?”

“Jangan bodoh Kenanga, tentu saja karena kamu akan menjadi istriku. Masih bertanya lagi?”

“Aku tidak mau. Bawa kembali barang-barang itu, aku tidak mau.”

Sudah sejak tadi pak Lurah menahan kemarahannya, dan mendengar penolakan Kenanga yang dengan tegas diucapkannya, ia tak bisa lagi menahannya. Ia menoleh kepada anak budahnya, yang siap menerima perintah sang majikan.

“Paksa dia!” titahnya.

Serentak lima orang yang semula ngelesot di tikar, kemudian berdiri.

Seorang wanita yang menemani Kenanga, berdiri menghalang di depan Kenanga.

“Pak Lurah, mohon pengertiannya, saat ini Kenanga masih berduka. Mohon pak Lurah bersabar ya,” katanya pelan, sesungguhnya dia juga takut.

“Aku itu hanya akan membawa dia dan menyuruhnya tinggal di rumah bagus. Bukan di rumah beratap tembikar seperti ini. Minggir kamu!”

Tiba-tiba seseorang datang dari arah bawah.

“Ada apa ini?” ia berteriak.

***

Besok lagi ya.