Saturday, June 14, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 37

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  37

(Tien Kumalasari)

 

Laki-laki yang baru saja membuka pintu itu adalah Sulistyo. Matanya menatap gadis yang tergolek santai di atas tempat tidurnya, yang menuding-nuding ke arahnya dengan pandangan marah.

“Kamu … kamu … beraninya kamu memasuki kamarku,” akhirnya Dewi mampu berteriak.

“Ini kamarku,” Listyopun berteriak.

“Apa maksudmu? Ini rumah ibuku.”

“Ini rumah bibiku.”

“Kamu sudah kemasukan setan ya? Pergi!”

“Ini kamarku, bagaimana kamu bisa mengusirku? Lihat di meja itu, itu foto aku waktu wisuda di luar negri beberapa tahun yang lalu.”

Dewi bangkit dan menatap ke arah meja yang ditunjuk. Benarkah? Ini kamar Listyo? Sejak kapan kamar ini menjadi miliknya?

Dewi berdiri dan bergegas keluar dari kamar, setelah Listyo memberinya jalan.

Ia menuju ke ruang tengah, dan melihat mbok Randu sedang menata bawaannya.

“Bagaimana mungkin dia?” pekiknya sambil duduk di kursi dengan kesal.

Tapi tiba-tiba Listyo mendekatinya.

“Kapan kamu datang? Kemana saja kamu selama ini?”

“Bukan urusan kamu.”

“Kamu sudah semakin dewasa, jelek kalau masih saja galak, tahu?!”

“Galak, kalau sama kamu. Tidak dengan yang lainnya,” katanya sengit. Rupanya Dewi masih mengira bahwa Listyo mendekati ibunya karena masih mengharapkan dirinya.

“Dewi, jangan begitu.”

“Yang aku tidak tahu, mengapa kamu ada di sini?”

“Bibi yang menyuruhku tinggal di sini. Baru beberapa hari ini. Kamu tadi tidur di kamar yang biasanya aku tempati.”

“Pantesan bau!”

“Apa? Bau apa? Pasti bau wangi kan?” goda Listyo melihat wajah Dewi cemberut bak matahari tertutup mega.

“Jangan marah lagi, nanti hilang cantiknya.”

“Yang aku tidak tahu, mengapa kanjeng ibu mengijinkan kamu tinggal di sini.”

“Kanjeng ibumu itu masih terhitung bibiku. Dia baik kepadaku, apa tidak boleh?”

“Simboook,” Dewi berteriak.

“Ya, saya di sini Den Ajeng,” jawab mbok Randu yang memang duduk tak jauh dari tempat itu.

“Tolong bersihkan kamar yang disebelah kanjeng ibu ya Mbok, jauh-jauh dari kamar yang di depan itu.”

“Baiklah.”

“Dewi, sebenarnya pergi ke mana kamu selama ini?” Listyo masih berusaha bersikap manis, walau Dewi memperlakukannya dengan acuh tak acuh.

“Bukan urusan kamu.”

“Kamu lari menghindari aku, lalu sekarang Tuhan mempertemukan kita lagi di sini, jangan-jangan kita memang berjodoh.”

“Apa? Amit-amit jangan sampai!”

“Ada apa ini? Lhoh, kamu ….?”

Dewi berdiri lalu menubruk sang ibu yang baru saja masuk ke dalam ruangan.

“Dewi? Ya Tuhan, kamu Dewi anakku,” keduanya bertangisan. Mbok Manis dan Mbok Randu ikut berlinangan air mata.

“Ke mana saja, kamu?” tanya mbok Manis sambil duduk di dekat mbok Randu.

“Jauh,” jawab mbok Randu sambil mengusap air matanya. Ia dan mbok Manis tentu saja merasakan kebahagiaan kedua bendoronya itu. Sulistyo kemudian duduk di salah satu kursi, menatap mereka yang sedang melepas rindu.

“Dewi, kemana saja kamu selama ini? Mengapa kamu tidak memakai perhiasan lagi? Ke mana anting, gelang dan kalungmu?” kata Saraswati setelah tangis itu reda, lalu menarik Dewi agar duduk berdampingan di kursi panjang.

“Dewi sudah menjadi gadis biasa. Semua perhiasan tidak Dewi perlukan lagi.”

“Apa katamu? Lalu kamu berikan kepada siapa barang-barang itu? Itu mahal, permata pilihan yang tak ternilai.”

“Bahkan yang ada di kotak perhiasan itu sudah tidak ada lagi,” jawab Dewi enteng.

“Dewi?!”

Dewi tersenyum sumringah. Tapi ketika tatapan matanya tertuju kepada Listyo yang duduk di depannya, senyum itu hilang seketika.

“Mengapa Kanjeng Ibu ijinkan dia ada di sini?”

“Dewi, ibu sendirian di sini, hanya dengan beberapa abdi. Rumah ini besar, sedangkan Listyo menyewa rumah untuk dia tinggali ketika sedang bertugas di sini, karenanya ibu suruh dia tinggal di sini untuk menemani ibu. Kami bertemu secara kebetulan, ketika ibu baru kembali kemari.”

Wajah Dewi muram ketika kembali menatap Listyo, sedangkan Listyo hanya cengar cengir karena sang bibi membelanya.

“Kamu tahu kalau ibu ada di sini dari siapa?”

“Dewi sudah pulang ke Solo. Oh ya, sebentar, ada yang Dewi lupa,” tiba-tiba Dewi berdiri, dan berlari masuk ke kamar Listyo. Ponselnya tertinggal di sana. Ia lupa mengabari Satria kalau dia sudah ada di Jogya, jadi Satria tidak usah mencarinya di sana. Setelah mengirimkan pesan, dia keluar sambil masih membawa ponselnya.

“Ada apa?” tanya Saraswati.

“Mengabari teman kalau Dewi sudah ada di Jogya. Ibu dari mana? Karena tidak ada ibu, Dewi sembarangan masuk ke kamar dia,” kata Dewi dengan wajah cemberut lagi.

“Jalan-jalan ke Malioboro dengan mbok Manis. Tadi ibu beli gudeg, nanti kita makan bersama-sama.”

“Tadi Dewi ke rumah yang di Solo, tidak bertemu kanjeng rama dan Kanjeng Ibu. Man Tangkil sudah menceritakan semuanya,” kata Dewi sendu.

“Lalu kamu langsung kemari?”

“Dewi tidur di kamar Kanjeng Ibu semalam. Tapi tidak ketemu kanjeng rama sampai pagi harinya. Jadi Dewi berangkat kemari tanpa pamit.”

Saraswati menghela napas berat. Ia tahu bahwa suaminya sedang kebingungan mencari Arum dan anak-anaknya.

“Mbok, tata belanjaan kita di meja, kita harus makan dulu, sambil cerita. Dewi belum cerita ke mana saja bertahun-tahun meninggalkan ibunya ini, lalu ketika datang ia mengatakan bahwa tidak lagi memiliki perhiasan. Kalau hanya untuk makan dua tahun saja, sepasang gelang kamu itu masih cukup. Bukan harus menghilangkan semuanya. Jangan-jangan kamu ditipu orang.”

“Tidak, Kanjeng Ibu tidak usah khawatir, nanti Dewi akan menceritakan semuanya.”

Tiba-tiba ponsel Listyo berdering, Listyo segera mengangkatnya.

“Apa? Kamu tidak jadi ke Solo hari ini? Kenapa? Tidak jadi pengin ketemuan sama kekasih kamu? Oh, baiklah. Di mana dia? Belum tahu? Baiklah, tidak apa-apa, aku justru akan pulang sore nanti … yaa, sedang ada saudara yang lama tidak ketemu. Baiklah, aku akan ke rumah kamu sebelum pulang.”

Listyo menutup ponselnya.

“Dari siapa? Keluarga di Solo?”

“Bukan, Bi, mahasiswa saya yang Bibi juga sudah ketemu itu.”

“O, dia. Janjian ketemu?”

“Tidak, harusnya dia pulang ke Solo karena pacarnya datang, tapi ternyata pacarnya itu malah pergi ke Jogya, jadi dia tidak jadi pulang. Malah saya nanti yang mau pulang.”

“Kamu mau pulang? Ayo kita makan dulu, sambil mendengarkan cerita Dewi.”

***

Listyo yang sangat takjub mendengar cerita Dewi, tetap terus membayangkan bagaimana Dewi yang ternyata memilih hidup sederhana demi membangun sebuah keterbelakangan, agar menjadi sesuatu yang luar biasa. Ia tak menyesal harus melupakan Dewi, karena kepergian Dewi bukan sekedar lari dari perjodohannya dengan dirinya, tapi untuk melakukan sesuatu yang diluar bayangan semua orang, ketika Dewi meninggalkan wisma indah yang mengungkungnya dengan kehormatan dan kemuliaan. Dewi pantas dikagumi. Namun sedikit sesal yang melanda tak lagi terasa menyakitkan. Entah mengapa, daripada ejek mengejek dengan Dewi dengan canda, lebih baik dia pulang. Suara anak kecil yang memekik nyaring … taaa… tataaa… lebih membuatnya ingin segera pulang. Benarkah suara anak kecil itu yang memicu rindu? Bukan suara lembut ibunya yang terdengar bagaikan alunan buluh perindu? Listyo memarahi dirinya sendiri. Apakah sifat isengnya kumat? Sifat yang membuat Dewi membencinya? Melamun sepanjang perjalanan, sampai tak sadar ketika tiba-tiba mobilnya sudah memasuki halaman rumahnya. Pavilyun yang tadinya senyap, sekarang celoteh anak kecil dan pekikan nyaring jabangbayi merah, menyambut kedatangannya. Entah mengapa, Listyo merasa menemukan dunia yang indah dan penuh warna. Hari-harinya tidak sekedar bangun tidur, mandi, sarapan, berangkat kerja, lelah lalu pulang. Begitu seterusnya seperti sebuah lingkaran yang membelenggunya. Sekarang ini ada sesuatu yang lain. Lalu ia yakin tak akan melepaskan mereka. Bukankah mereka butuh tempat tinggal? Bukankah mereka juga butuh orang yang bisa melindungi? Dirinyakah?

***

Listyo sudah mandi, tapi dia tidak segera pergi ke pavilyun untuk melihat ‘tamu-tamu’ yang memberi warna pada kehidupannya. Ia duduk di ruang tengah dan melamun. Melamun tentang perasaan cinta yang sudah lama mengendap di dasar hatinya. Melamun tentang impian kedua orang tuanya yang ingin segera mendapatkan menantu dari dirinya. Ah, ya … bukankah itu sebabnya maka ia memilih hidup sendirian di rumahnya yang sekarang ini, daripada dikejar-kejar oleh keinginan orang tuanya tentang sebuah pernikahan?

Ia mengira perasaan cinta itu sudah mati. Ia hampir menyerah ketika mereka ingin menjodohkan lagi dengan kerabat yang lain, ketika tiba-tiba sebuah perasaan aneh mengganggunya. Janda itu, dan anak-anaknya.

“Ya Tuhan, apa benar aku jatuh cinta pada dia? Apa bukan karena kasihan melihat nasibnya dan hidupnya yang terlunta-lunta?” gumamnya berkali-kali.

“Taaaa… tatataaa….”

Listyo terkejut, tiba-tiba Aryo berjalan tertatih dari pintu samping, menghampirinya.

“Maaf Pak, mas Aryo merengek-rengek meminta saya membawanya kemari.”

Listyo bangkit, mengembangkan kedua tangannya, lalu menggendong Aryo yang kemudian berteriak kegirangan.

“Bapak mau saya buatkan teh?” tawar si Yu yang melihat belum ada cangkir minuman di meja.

“Kalau sudah ada, baiklah, aku mau Yu.”

“Tanpa menjawab si Yu membalikkan tubuhnya, membiarkan Aryo bercanda dengan Listyo.

“Mengapa kamu baru bisa mengucap itu? Panggil aku .. papa … hayo, bisa nggak, papa … pa … paa …” kata Listyo, sedikit ‘lancang’.

Aryo menatap Listyo dengan mata beningnya, lalu Listyo berteriak senang mendengar ocehan berikutnya.

“Pappaaap… papaaapp..,”

“Anak pintar … lagi … lagi ….”

“Paaap…. paaaap …”

Listyo kembali mengangkat tubuh Aryo tinggi-tinggi, membuat Aryo terkekeh-kekeh.

Listyo bahagia, rumahnya tiba-tiba menjadi hidup.

***

Hari itu Dewi pamit kepada ibunya, untuk menemui seorang teman. Ia tidak mengatakan secara jelas siapa temannya itu, dan si ibu menganggap bahwa hal itu ada hubungannya dengan apa yang dilakukan Dewi di luar Jawa.

Di sebuah rumah makan sederhana, mereka bertemu. Dewi dan Satria. Ketika Satria menanyakan tentang mengapa kembali ke Jogya? Dewi mengatakan bahwa ibunya sekarang tinggal di Jogya, di rumah kakek neneknya.

Kepada Satria, Dewi berterus terang tentang kemelut rumah tangga kedua orang tuanya, membuat Satria menaruh iba terhadap kekasihnya.

“Aku ikut prihatin. Sesungguhnya sedikit banyak aku pernah mendengar kejadian itu yang disebarkan dari mulut ke mulut, tapi aku enggan mengatakannya pada kamu. Aku tak ingin kamu yang berada ditempat jauh menjadi sedih memikirkannya.”

“Iya, aku mengerti.”

“Apakah kamu tidak ingin bertemu dengan ayahmu?”

“Entahlah, aku belum ingin. Aku bisa merasakan sakit hati ibuku atas perbuatan ayahku itu. Walau sebenarnya ibuku tidak begitu menyalahkan perempuan yang telah melahirkan dua orang anak ayahku.”

“Di mana sekarang perempuan itu?”

“Kabarnya dia lari dari ayahku. Dia terpaksa melakukannya. Tapi ayahku terus-terusan berusaha mencarinya. Bukankah itu membuat ibuku sakit? Ibu merasa diduakan, apalagi kelihatannya ayahku lebih memikirkan kepergian perempuan itu.”

“Barangkali ayahmu memikirkan dua orang anaknya.”

“Mungkin, entahlah.”

“Aku menyesal, kepulangan kamu ini ternyata disambut dengan berita yang tidak mengenakkan.”

“Mau bagaimana lagi. Lebih baik aku mengetahuinya, daripada tidak. Tapi aku bersyukur, ibuku tampak terhibur dengan kepulanganku.”

“Tentu saja. Bertahun kehilangan seorang anak, pasti membuatnya sedih.”

“Aku menyesal melakukannya. Tapi bagaimana lagi, aku benar-benar tak suka dijodohkan.”

“Tapi kepergian kamu memberikan sebuah kehidupan baru di desa itu. Kamu pasti disebutnya pahlawan.”

“Tidak, aku sudah berpesan agar mereka tidak menyebut namaku dalam perjalanan kemajuan desa itu. Aku hanya sekedar membantu.”

“Lalu apa rencanamu sekarang?”

“Aku ingin kuliah lagi.”

“Bagus sekali, aku akan mendukungmu.”

***

“Siapa sebenarnya yang kamu temui siang tadi?”

“Seorang teman.”

“Dewi, kamu sudah dewasa, sudah saatnya menikah.”

“Apa maksud Kanjeng Ibu adalah Dewi harus menikah dengan mas Listyo? Ibu memintanya tinggal di sini karena dia masih berharap bisa memiliki Dewi?”

“Tidak, kamu salah. Dia sudah mengatakan kalau sudah melupakan kamu. Kasihan juga, sampai sekarang dia bilang bahwa tidak mudah jatuh cinta lagi.”

“Dia kan laki-laki, sudah mapan, pasti gampang mencari istri.”

Tapi tiba-tiba Dewi melihat sebuah foto berbingkai yang tidak begitu besar, yang baru sekarang dilihatnya, kemarin dia tidak memperhatikannya.

“Itu foto siapa Kanjeng Ibu? Anak laki-laki kecil yang lucu sekali.”

“Dia anak angkatku.”

“Kanjeng Ibu punya anak angkat?”

“Dia anak Arum, tapi sebenarnya juga anak ayah kamu.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

53 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku jauh di Pulau Sebrang tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 37" sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🀲🀲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  3. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul 🀲

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun, Bu Tien. Sugeng malming. Sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Anik
      Met malming juga

      Delete
  5. Alhamdulillah
    Dyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillaah dah baca.,
    Bikin penasaran, men duga" Dewi = satria... Listyio = Arum cocokan... Makasih bunda salam sehat dan bahagia bersama keluarga

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  8. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  9. Alhamdulillah wa' syukurillah...
    CeJeDePeeS_37 sudah tayang.
    Semoga bu Tien dan pa Tom Widayat dalam keadaan sehat, sehat, sehat selalu.
    Aamiin....

    Wah bentar lagi rasanya mau tamat nih.... Dewi kuliah atas keinginannya didukung oleh Satria tentunya, Listyo sdh kesengsem sama Arum dan kedua anaknya.
    Trus bagaimana Adisoma, Den Ayu dan Sinah...? Nyumanggakaken bu Tien mau dibawa kemana??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mas Kakek

      Delete
  10. Suwun bu Tien semoga bu Tien n kreg sehat selalu

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~37 telah hadir, maturnuwun Bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    Aamiin YRA 🀲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  12. Suwun bu Tien....sehat sreslu


    ReplyDelete
  13. Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, semoga Bunda dan keluarga selalu dalam keadaan sehat wal afiat, Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Mundjiati

      Delete
  14. Sambil menunggu Dewi kuliah, Satria tentu mencari pekerjaan.
    Listyo sepertinya benar-benar kecantol janda muda beranak dua. Tapi bagaimana kalau tahu, itu anak pamannya...
    Salam sukses mbak Tien yang Aduhai, semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  15. Suwun Bu Tien, CJDSP nya …🀝

    Mugi Ibu & klg besarnya sll dlm Lingkup Alloh SWT

    ReplyDelete
  16. πŸƒπŸ‚πŸƒπŸ‚πŸƒπŸ‚πŸƒπŸ‚
    Alhamdulillah πŸ™πŸ¦‹
    Cerbung CJDPS_37
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat terus, banyak berkah
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🀲. Salam seroja😍
    πŸ‚πŸƒπŸ‚πŸƒπŸ‚πŸƒπŸ‚πŸƒ

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai

      Delete
  17. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, smg s3hat dan bahagia selalu bersama amancuπŸ™

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien, salam sehat sepanjang hayat

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 37 "sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  20. Maturnuwun Bu Tien ,eps 37 telah tayang, semoga nomor selanjutnya lancar dan lebih seru.....sehat dan bahagia bersama Kel tercinta....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Tatik

      Delete
  21. Alhamdulillaah CJDPS-37 sdh hadir
    Yerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Ysa Robbal' Aalaamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ting

      Delete
  22. Alhamdulillah.... terima kasih Bu Tien cerbungnya sangat menghibur semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Yati

      Delete
  23. Terimakasih bunda Tien, cerbung asyiknya membuat kami penasaran dan terhibur... Selamat istirahat dan berkumpul bersama keluarga tercinta..... aduhaiii

    ReplyDelete
  24. Terima kasih Bunda Tien, barokalloh aamiin YR'A ... sehat2 ya Bunda Tien

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Yulian

      Delete
  25. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya πŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–

    Masih belum terbuka ya padahal mereka saling mengenal satu dg lain nya,,,seruuu.penasaran πŸ™πŸ€­

    ReplyDelete
  26. Waah...kok Dewi gak curiga mendengar cerita Listyo ttg mahasiswanya yg batal ke Solo itu ya? πŸ€”

    Terima kasih, ibu Tien yg sangan piawai mengaduk perasaan penggemar cerbungnya. Sehat selalu ya, bu...πŸ™πŸ»πŸ˜€

    ReplyDelete