CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 36
(Tien Kumalasari)
Satria memandang sungkan kepada dosen yang ada di depannya. Menurutnya Listyo kelewat baik kepada dirinya, tidak seperti sikap dosen kepada mahasiswanya, tapi lebih dari kepada seorang teman, bahkan sahabat.
“Sat, mengapa diam?”
“Saya tidak bisa merepotkan Bapak, masa Bapak harus mengantarkan saya ke bandara?”
“Bukan kamu yang minta, tapi aku yang minta. Hari ini harusnya aku pulang ke Solo, tapi ternyata besok ada jadwalku pagi-pagi, jadi lebih baik aku pulang besok siang saja. Ayolah, daripada aku pulang dan bengong sendirian.”
“Tapi ….”
“Sat, apa kamu takut kalau pacarmu jatuh cinta pada dosenmu yang ganteng ini?” canda Listyo sambil tertawa lucu.
“Bukan begitu Pak … saya hanya menemuinya di bandara, karena dia akan langsung kembali ke Solo.”
“O, rumahnya di Solo? Ya tidak apa-apa, nanti setelah dia berangkat kita bisa pulang sama-sama lagi kan?”
“Beneran nih, nggak apa-apa, ini sangat merepotkan.”
“Nanti setelah kamu ketemu pacar kamu, aku akan bersembunyi dan menjauh dari kalian. Percayalah bahwa aku tak akan mengganggu.”
Satria tersenyum.
“Memangnya kami mau ngapain? Paling hanya bertemu, tidak akan melakukan apa-apa, kami baru saling suka, belum resmi tunangan, belum halal melakukan yang lebih, kan? Jadi percayalah tidak akan ada tontonan misalnya orang berpelukan, atau lebih dari itu.”
Listyo terbahak.
“Iya, aku tahu, kamu laki-laki yang baik. Tapi bagaimanapun yang namanya bertemu dengan kekasih, pastilah ada sesuatu yang … gimana … gitu, walaupun tidak saling menyentuh.”
“Bapak sudah pernah mengalaminya?” goda Satria.
“Sering,” jawabnya sambil terkekeh lucu.
“Dulu aku agak berandalan, seenaknya terhadap perempuan, tapi setelah aku ditolak sebelum bertunangan, aku merasa bahwa dunia cintaku sangatlah sempit. Ditolak itu sakit, dan kemudian susah bagiku untuk tertarik pada wanita manapun,” lanjutnya.
“Wah, Bapak bisa jadi bujang lapuk dong.”
“Sudah jadi nih, apa mungkin kemudian aku nggak akan laku lagi ya?”
“Ya nggak mungkin. Banyak mahasiswa Bapak yang sering menggoda Bapak kan? Anehnya Bapak tidak pernah tertarik.”
“Itulah aku, nggak tahu kenapa, apakah perasaan cintaku sudah mati setelah penolakan itu?”
“Ayolah, kenapa kita jadi bicara yang enggak-enggak sih. Kamu ingin membawa pulang dulu motormu, atau kamu tinggalkan di kampus lalu langsung aku antarkan kamu ke bandara?” lanjut Listyo.
“Saya pulang dulu, kalau begitu. Bapak menunggu di sini ya?”
“Ya bukan begitu, kamu pulang, taruh motormu di rumah, aku mengikutimu dari belakang, jadi kamu tidak usah kembali lagi ke kampus.”
Satria tersenyum sungkan, benar-benar dia sungkan. Listyo kelewat baik, kalau ia terus-terusan menolak maka dia pasti akan marah.
“Ayo, kamu seperti gadis ditawarin nikah saja, pakai sungkan segala.”
Akhirnya Satria mengambil motornya dan memacunya pulang ke tempat kostnya, sedangkan Listyo mengikutinya dari belakang.
***
Menurut jadwal, pesawat yang ditumpangi Dewi akan mendarat kira-kira setengah jam lagi, dan dia akan langsung menuju Solo setengah jam berikutnya dengan taksi yang sudah dia pesan. Hanya sebentar, tapi itu cukup bagi Satria. Ia yakin akan ada waktu untuk bertemu. Ia akan pulang keesokan harinya untuk bertemu lagi nantinya. Tapi bisakah? Kalau Dewi sudah masuk ke rumahnya, apakah masih ada waktu untuk bertemu, mengingat tembok ndalem Adisoma begitu tebal dan tak mudah ditembus. Satria masih ingat ketika gagal menemui Dewi beberapa tahun yang lalu.
Listyo sudah memarkir mobilnya, tapi kemudian dia berpamit untuk menemui temannya yang bekerja di bandara.
“Lho, Bapak mau kemana?”
“Ada temanku di situ, aku akan menemuinya sebentar, karena sudah lama tidak bertemu. Nanti aku menyusul kamu,” katanya begitu mereka turun dari mobil.
Mereka berpisah, Listyo menemui temannya, Satria menuju ke arah ruang kedatangan untuk menunggu kekasihnya.
Satria duduk di bangku kosong, dengan hati berdebar-debar. Seperti apa wajah Dewi sekarang? Apakah setelah kepergiannya yang hampir dua tahun itu ia masih akan memakai kain dan kebaya walau rambut terurai lepas? Apakah dia akan lebih cantik atau kulitnya menghitam karena bekerja di lapangan?
Suara dari mikrofon mengatakan bahwa pesawat yang ditumpangi Dewi akan segera mendarat. Satria berdiri, lalu berjalan menuju ke arah jalan keluar. Ia melongok ke arah luar, mencari keberadaan Listyo, tapi dosennya itu belum tampak batang hidungnya. Apakah dia memang menghindar dari pertemuannya dengan Dewi karena takut mengganggu? Ada-ada saja. Memangnya setelah bertemu dia akan melakukan apa?
Pesawat sudah landing, dan penumpang sudah turun dari pesawat. Satria menata batinnya. Pertemuan yang hanya sebentar itu cukup membuat degup di dadanya semakin kencang.
Satu persatu penumpang keluar sambil menjinjing bawaan. Satria mencari-cari, sampai kepalanya melongok ke arah dalam. Seorang gadis dengan rok panjang dan kaos putih berlengan panjang tampak melenggang. Rambutnya diikat kebelakang, sebelah tangannya menjinjing tas tangan, sedangkan dibelakangnya, seorang wanita setengah tua membawa kopor yang ditariknya, berkain dan berkebaya. Rambut yang memutih tampak di konde kecil.
Satria hampir berteriak. Itu gadis yang ditunggunya, bersama abdi setianya.
Begitu keluar, tak tahan bagi Satria untuk tidak berteriak.
“Dewi!”
Mata Dewi mencari-cari. Ia hampir melompat mendahului antrian jalan keluar ketika melihat bayangan Satria sedang menunggunya.
“Satriaaa!”
Ketika bertemu, Dewi meletakkan bawaannya, lalu menyambut tangan Satria yang menyalaminya dengan hangat. Tak ada pelukan, tapi dua pasang mata berbicara banyak. Tentang kerinduan, tentang ungkapan yang tak mampu keluar dari mulut masing-masing. Dan Satria melihat ada genangan bening dipelupuk mata Dewi, dari sepasang mata bintang yang menatapnya.
“Kamu semakin cantik,” katanya sambil melepaskan pegangannya, lalu mengajaknya agak kepinggir, dan duduk di bangku.
Mbok Randu mengikutinya, tapi ia tak banyak bicara. Ia belum pernah bertemu Satria, tapi ia mengagumi ketampanannya. Pantas momongannya suka, dia pantas menjadi pasangan. Yang satu cantik, yang satu ganteng. Dan demi si ganteng itu sang momongan rela kabur dari pertunangan di saat lamaran dengan pilihan orang tuanya.
“Duduklah Mbok,” kata Dewi meminta mbok Randu duduk.
“Ini … ?” tanya Satria.
“Ini mbok Randu, yang momong aku sejak kecil dan ikut jalan-jalan bersama aku, ya kan Mbok?”
Mbok Randu mengangguk.
“Apa kabar Mbok?”
“Baik, Den.”
“Jangan memanggilku begitu, panggil namaku, Satria,” kata Satria.
Mbok Randu hanya tersenyum. Mana mungkin dia akan memanggil kekasih momongannya dengan hanya namanya saja.
Lalu mbok Randu memang hanya diam, mendengar keduanya saling bercerita dengan penuh gembira.
“Kamu dengan siapa?”
“Dosen aku yang pernah aku ceritakan itu mengantarkan aku, entah ke mana dia. Katanya mau menyusul.”
“Aku tidak akan lama, aku sudah pesan taksi bandara untuk langsung ke Solo, tidak lama lagi aku harus siap untuk pulang begitu taksi menjemput.”
“Tidak apa-apa, besok aku akan pulang ke Solo.”
“Bagus sekali, kita bisa bertemu lagi dan berbincang lebih banyak.”
Dan tak lama kemudian Dewi dan mbok Randu memang harus bersiap untuk menuju pulang ketika taksi sudah menjemput. Listyo belum tampak batang hidungnya.
Ketika Dewi dan mbok Randu sudah tak kelihatan lagi, Satria mencari-cari, dan tiba-tiba terkejut ketika seseorang memukul pelan pundaknya.
“Hei, belum ketemu juga?”
“Bapak bagaimana, dia sudah pergi, langsung pulang ke Solo.”
“Waduh, aku belum sempat berkenalan dong.”
“Bapak lama sekali.”
“Temanku bercerita banyak, pakai nyuguhin minuman segala. Aku sudah menolak tapi dia memaksa.”
“Sayang sekali. Tapi besok saya mau pulang ke Solo, tadi waktunya tidak banyak.”
“Pasti ada kali lain untuk kamu kenalkan aku sama dia kan?”
“Pasti lah Pak, supaya Bapak bisa merestui hubungan kami.”
Listyo tertawa.
“Ada-ada saja. Yang bisa merestui itu orang tua kalian masing-masing. Aku hanya ikut berbahagia kalau kamu juga bahagia.”
“Terima kasih Pak. Juga atas semuanya. Bapak sudah mengantarkan saya, gratis.”
“Sebenarnya ingin kenal dengan pacar kamu itu, tapi ternyata belum untung aku ini. Ya sudah, kapan-kapan pasti ada waktu. Sekarang ayo kita pulang. Sudah sore, mampir makan ya.”
“Terserah Bapak saja.”
***
“Itu yang namanya den Satria? Ganteng,” kata mbok Randu ketika dalam perjalanan pulang.
“Yang penting dia itu baik dan pintar. Semangatnya itu, yang walau orang tuanya bukan keluarga berada, tapi dia berusaha sendiri untuk biaya kuliahnya, tidak mau memberatkan siapapun.”
“Dan demi dia, Den Ajeng rela pergi jauh dari rumah, meninggalkan segala kemewahan dan kemuliaan.”
“Mbok, kok manggilnya ganti den ajeng lagi. Panggil aku seperti biasanya saja, aku bukan lagi den ajeng.”
“Tidak enak rasanya, masak neng Dewi, begitu.”
“Iya, tidak apa-apa Mbok. Aku yang minta. Kamu adalah simbokku.”
“Baiklah, kalau begitu. Sebenarnya takut kualat.”
“Memangnya aku ini siapa, bisa membuat orang kualat?”
Mbok Randu hanya tersenyum. Agak pusing kepalanya ketika harus naik kendaraan lagi. Ia berusaha untuk tidak mabuk, karena waktu berangkat dia sempat mabuk dan harus istirahat seharian penuh begitu sampai di hotel, tempat mereka menginap pada saat pertama kali datang di tempat asing.
“Kamu mabuk, Mbok?”
“Tidak, sudah mencium minyak angin dari tadi.”
“Sebentar lagi kita sampai, aku senang sekali akan bertemu dengan kanjeng rama dan kanjeng ibu.”
***
Begitu sampai di gerbang, Dewi melihat Tangkil berlari-lari menyambut.
“Ini Den Ajeng Dewi kan? Ini mbok Randu kan?” pekiknya.
“Iya, tolong bawa barang-barang ini turun dulu,” kata mbok Randu.
Ketika menapakkan kaki di pendopo, Dewi merasakan suasana lengang yang tidak seperti biasanya. Tak ada abdi yang menyambut, kecuali Tangkil yang membawakan barang-barang lalu meletakkannya di depan pintu.
“Kok sepi Man?”
“Den Ajeng, banyak kejadian yang terjadi di sini beberapa waktu ini.”
“Kejadian apa? Biar aku bertemu kanjeng ibu dulu.”
“Den Ayu sudah tidak ada di sini,” kata Tangkil dengan raut muka sedih.
“Apa katamu? Lalu kanjeng rama di mana?”
“Setiap hari keluar dengan mobil, pulang setelah malam. Bahkan sering tidak pulang. Den ayu pulang ke Jogya."
Dewi berhenti melangkah ke dalam. Ia duduk di salah satu kursi yang ada di pendopo itu.
“Apa yang terjadi Man?” tanya Dewi pelan. Perasaannya mulai tidak nyaman.
Lalu secara singkat, Tangkil menceritakan semua yang terjadi. Ia tak ingin menutup-nutupi karena Dewi adalah putri mereka dan berhak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Dewi sangat terkejut. Air matanya berlinang tanpa terasa, yang kemudian menjadi tangis yang menjadi-jadi.
Mbok Randu berlari ke belakang untuk mengambilkan air minum. Tak banyak abdi di rumah itu, hanya ada Tangkil dan dua orang wanita yang sedang bersih-bersih ruangan. Apakah den mas Adisoma sudah memecatnya?
Tanpa banyak bertanya mbok Randu mengambilkan air putih yang ada di dapur, lalu dibawanya ke pendopo.
“Den Ajeng, minumlah dulu agar lebih tenang,” katanya sambil mengulurkan gelas berisi air. Ia bahkan lupa untuk melepaskan panggilan den ajeng karena Tangkil juga menyebutnya begitu. Dan karena kesedihannya, Dewi juga tak menegurnya.
“Mbok, ayo kita ke Jogya.”
“Ini sudah sore. Apa tidak lebih baik besok pagi saja?” kata Tangkil.
“Benar Den Ajeng, kita akan berangkat pagi-pagi,” sambung mbok Randu.
Dewi mengangguk, karena memang hari menjelang senja ketika itu.
“Baiklah, kita akan naik bis pagi-pagi sekali.”
“Kamar den ayu setiap hari dibersihkan, Den Ajeng bisa beristirahat dulu di situ,” kata Tangkil.
“Kalau begitu biarkan kopor dan tas itu, supaya besok kita tinggal membawanya. Siapkan baju hanya yang untuk pergi besok pagi saja Mbok,” perintahnya kepada mbok Randu.
Dan Adisoma memang tidak pulang malam itu. Rupanya ia masih terus mencari keberadaan Arum dan anak-anaknya yang entah dimana, Adisoma sama sekali tidak mengetahuinya.
***
Ketika Dewi dan mbok Randu sampai di Jogya dan langsung menuju ke rumah leluhurnya, ia juga mendapatkan rumah itu sepi. Tapi Dewi merasa lega, karena mendapat keterangan bahwa sang ibu hanya sedang berjalan-jalan dengan mbok Manis.
“Mbok, aku merasa lelah sekali, aku mau rebahan dulu sambil menunggu kepulangan kanjeng ibu.
“Baiklah, saya akan membawa barang-barang itu ke belakang dulu.”
“Ini ada kamar yang sudah dibersihkan, aku tiduran di sini dulu ya Mbok.”
“Silakan Den Ajeng, istirahatlah.”
Sambil berbaring itu Dewi sedang membayangkan kehancuran rumah tangga orang tuanya sepeninggalnya. Ia sedih bukan alang kepalang. Akhirnya karena terus menerus memikirkan keadaan orang tuanya, Dewi tak mampu memejamkan matanya.
Tiba-tiba Dewi terkejut, ketika pintu tiba-tiba terbuka, lalu sesosok laki-laki berdiri di tengah pintu.
Karena terkejut, Dewi tak mampu berteriak, kecuali hanya menuding-nudingkan jarinya ke arah pintu.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 36 "sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteNah akhirnya ketemu Listyo dirumah ibunya di Jogya.
DeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 36" sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra π€²π€²
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun π©·π©·
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sti
Aduhai2x
Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku jauh di Pulau Seberang tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Isti
DeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Tdk ketemu di bandara ketemu di rumah....
ReplyDeleteMakin asiik....
Terima kasih mbu Tien... sehat sllu bersama keluarga trcnta
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Matur nwn bu Tien salam sehat dari mBantul π€²
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam dari Solo
Matur nuwun Bunda Tien, barokalloh... Do'a semoga tetap sehat dari Semarang .
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan pak Tom Widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulillah.... CeJeDePeeS_36 sudah tayang. Terima kasih bu Tien.
ReplyDeleteSemoga bu Tien dan pa Widayat selalu dlm keadaan sehat wa'afiat. Wabuil khusus pa Widayat segera pulih kesehatannya, shg makan dan minum penuh selera.
Aamiin....
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteSalam sehat, semoga pak Tom Widayat serta ibu Tien dikaruniai kondisi sehat.....aamiin...
ReplyDeleteLah .....Dewi ketemu Listyo .....!!!
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Hadi.
Tumben komen
Seneng aku
πͺ΄ππͺ΄ππͺ΄ππͺ΄π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung CJDPS_36
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai ππ¦
πͺ΄ππͺ΄ππͺ΄ππͺ΄π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 36...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Dewi....jangan takut ya Listyo sdh jinak kok..ππ
Dia sdh ngrumangsani cinta nya di tolak..
Nah skrng dia lagi kesengsem janda muda punya anak dua..ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Kocak selalu komennya
Alhamdulillaah CJDPS- 36 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda dan Pak Tom sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Dewi ketemu Sulistyo ya... Semoga tidak salah faham saja.
ReplyDeleteSatria jadi ke Solo? Wah kecelik kalau begitu. Jadi hubungi dulu supaya tidak kembali ke Solo.
Salam sukses mbak Tien yang Aduhai, semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillaah tayang, makasih bunda cerbungnya makin seru, salam bahagia bersama bapak
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteSalam bahagia juga
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah,sudah tayang epsd 36, seruuuu,Listyo ketemu Dewi, semoga Bu Tien menulis Dewi tetap bersama Satria,...dan Listyo bersama Arum,π
ReplyDeleteHehee..
DeleteSehat dan bahagia selalu Bu Tien, maturnuwun π
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Alhamdulillah, sehat selalu nggih Bu Tien ππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah.... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selaly.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Djodhi
Listyo masuk kamar Dewi eh kamar Listyo..
ReplyDeleteMbak Tien memang pandai memutar cerita....
Terimakasih Mbak Tien...
Terima ksih bundaqu cerbungnya..slm sht sll unk bunda sekeluargaππ₯°❤️πΉ
ReplyDeleteWah, seru kalau Dewi sempat bertemu Listyo di bandara ya...tapi nanti ceritanya jadi pendek...π€
ReplyDeleteBtw, jadi penasaran...di seberang pulau itu di mana ya? Tidak adakah penerbangan langsung ke Solo?π€
Terima kasih, ibu Tien...maaf slow respon, baru sempat baca ini.ππ»π