Thursday, June 5, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 29

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  29

(Tien Kumalasari)

 

Arum menyelesaikan administrasi dengan segera. Peringatan bahwa dia harus beristirahat dulu sehari lagi tidak digubrisnya. Ia ingin segera pulang, karena merasa sudah sehat. Ia juga bisa merawat bayi kecilnya, jadi tak ada yang bisa menahannya.

“Apakah ibu benar-benar sehat?” tanya sang pembantu dalam perjalanan naik becak. Bayi merah itu terlelap, berselimut rapat dari ujung kaki sampai kepala. Arum sama sekali tak menghawatirkannya. Anakku haruslah seseorang yang kuat.

“Tentu saja aku sehat,” jawabnya sambil terus menerus mendekap anaknya di dada.

“Kalau memang harus menjemput mas Aryo, Ibu kan bisa menyuruh saya.”

“Enak saja kamu bicara. Kamu kira gampang berbicara dengan orang semacam dia? Tak mungkin Aryo diberikan hanya karena permintaan kamu.”

“Ibu kan bisa menelpon dia dulu, mengatakan bahwa akan menyuruh saya mengambil mas Aryo,” kata sang pembantu yang tidak begitu mengerti permasalahannya.

“Tidak gampang. Sekarang kamu diamlah, jangan banyak pertanyaan dan jangan membantah.”

Pembantu itu diam. Ia harus patuh pada perintah majikan.

“Ini sebenarnya mau ke mana Den?” tanya si pengemudi becak.

“Kamu belum mengatakannya tadi?” tanya Arum kepada pembantunya.

“Saya kan tidak tahu ke mana Ibu akan menjemput mas Aryo?”

Arum baru sadar bahwa dia belum mengatakan tujuannya tadi.

“Baluwarti Pak,” katanya kemudian pada tukang becak.

“Baik, Den.”

Arum mendekap erat anaknya. Udara pagi yang semula dingin, mulai menghangat karena matahari yang semula mengintip di balik segumpal awan mulai menghilang ditiup angin. Ia harus cepat, karena bisa-bisa sebelum sore hujan mulai datang. Ia bisa kuat, tapi anaknya yang masih bayi tak akan bisa menahannya. Ia baru berumur dua hari.

Ia membetulkan selimut yang menutupi anaknya, berharap segera sampai di rumah Adisoma.

***

Ketika Adisoma terbangun di hari yang lumayan siang itu, ia segera mandi. Ia bersiap ke klinik untuk mengurus administrasi kelahiran anaknya. Menurut dokter, Arum boleh pulang keesokan harinya.

Di ruang tengah ia mendengar celoteh Aryo. Ada sang istri duduk di kursi, dan mbok Manis sedang menyuapi Aryo.

Melihat ayahnya lewat, Aryo berteriak.

“Taaaa…. taaaa.”

Aryo menghampiri sebentar, mengangkatnya tinggi, membuat Aryo terkekeh.

“Den Mas, Den Aryo sedang makan, nanti tersedak,” kata mbok Manis mengingatkan.

Adisoma meletakkan Aryo di tempatnya semula, di sebuah bangku kecil, di hadapan mbok Manis.

“Diajeng sudah mandi?” tanyanya kepada sang istri, seperti hanya sekedar basa basi.

“Sudah,” jawab Saraswati tanpa menatap wajah sang suami. Ia melihat ke arah Aryo yang makan dengan lahap.

Adisoma langsung menghilang ke kamarnya.

Mbok Manis merasa sangat prihatin melihat suasana yang sangat tidak mengenakkan setiap harinya. Sungguh ia berharap kedua bendoronya berbaikan kembali. Tapi melihat sikap den ayu yang semakin dingin, harapan itu sangat tipis. Di kamar sudah ada dua kopor besar menunggu di angkut ke tempat lain. Entah kapan den ayu melaksanakan keinginannya. Apakah kehadiran Aryo bisa mengurungkan niatnya? Apa benar, Arum akan membiarkan anaknya berada di sini? Tapi bukankah den mas Adisoma menghendaki Arum juga akan berada di sini nantinya? Bersama bayi yang baru saja dilahirkannya?

“Haaaaakkk,” teriak Aryo.

Mbok Manis terkejut. Ia melamun dan lupa menyuapkan makanan ke mulut Aryo. Ia segera menyuapinya lagi.

“Kamu melamunkan apa, Mbok?” tanya Saraswati yang sedari tadi tidak bersuara.

“Banyak, Den Ayu.”

“Banyak ya? Kalau aku … hanya melamunkan satu hal. Kapan bisa pergi dari sini,” katanya pelan.

Mbok Manis mengangkat wajahnya, menatap wajah yang sudah tidak lagi muda yang masih kelihatan cantik, tapi kecantikan itu pudar oleh aura suram yang meliputinya.

“Den Ayu harus memikirkan lagi masak-masak.”

“Aku sudah memikirkannya sangat masak. Sekarang ini sedang terhambat adanya Aryo. Aku menunggu kangmas membawanya pergi.”

“Den Ayu tidak lagi menyayanginya?”

“Menyukai sesuatu yang bukan miliknya itu perbuatan yang tidak terpuji, bukan?”

“Haaaak,” Aryo berteriak lagi.

“Eh, ya ampuun … maaf Den … “ mbok Manis terkekeh kemudian menyuapkannya. Tinggal satu suapan lagi sudah akan habis.

Ketika Adisoma keluar dari kamar dengan pakaian rapi, Saraswati tidak menyapanya. Kebiasaan yang dulu manis, sudah lenyap ditelan hari-hari buruk yang menyemburkan suasana panas.

“Diajeng, aku mau keluar sebentar,” kata Adisoma yang tetap menyapa seperti hari-hari biasa.

“Titip jagain Aryo,” katanya sebelum menghilang di balik pintu.

Saraswati hanya mengangguk, sambil terus mengawasi Aryo yang sedang berjalan mengitari ruangan dengan gembira.

“Jangan ke sana ya Den, banyak bolo pecah, nanti kalau den Aryo nubruk bagaimana?” kata mbok Manis yang kemudian mengangkat Aryo, dibawanya ke dekat Saraswati.

“Saya ke belakang dulu, Den Ayu.”

“Biarkan Aryo di sini mbok,” kata Saraswati sambil menarik Aryo lalu dipangkunya. Tapi Aryo kemudian merosot turun. Ia berjalan-jalan lagi. Saraswati terpaksa bangkit untuk mengawasinya agar Aryo tidak menabrak tatanan keramik yang berjajar di atas meja antik.

***

Becak yang ditumpangi Arum berhenti di depan regol. Ia tidak melalui pintu belakang yang rumit karena harus melewati taman dan halaman yang lumayan luas.

“Kamu tunggu di becak saja, aku turun sendiri,” kata Arum. Sang pembantu mengangguk, dan tetap duduk di atas becak.

Ketika membuka regol, Tangkil yang sedang membersihkan halaman melihatnya. Ia segera mendekat.

“Den Arum mau ketemu den mas Adisoma?”

“Aku mau menjemput Aryo, Man,” jawab Arum.

“Oo,” Tangkil hanya melongo sampai membiarkan Arum terus berjalan memasuki istana kecil dari samping.

“Den mas sedang keluar, sendirian, entah pergi ke mana,” katanya sebelum Arum menghilang dibalik pepohonan. Arum hanya diam. Tidak ada Adisoma tidak membuat Arum kecewa. Ia butuh Aryo.

Sampai di pintu, sayup Arum mendengar celoteh dan tawa Aryo yang tampak gembira. Hati Arum bagai tertusuk duri. Sesungguhnya Aryo dulu pernah menjadi anak kesayangan den ayu Saraswati. Pasti den ayu sangat senang dengan kehadiran Aryo. Kemarahan yang ada di dalam benak Arum sebenarnya tertuju pada Adisoma. Dan ketika menyadari Adisoma pergi, lalu ia harus berhadapan dengan Saraswati, tiba-tiba hatinya menjadi ciut. Ia mengerti, Saraswati sangat baik. Bukan hanya baik, ia juga penuh kasih sayang. Ia sungguh wanita berbudi yang membuat Arum merasa kecil. Apalagi dia merasa berdosa kepadanya.

“Bukan maksudku mengkhianati kasih sayang den ayu,” bisiknya lirih. Agak lama ia berdiri di luar pintu, tak seorangpun mengetahui kedatangannya. Begitu masuk, dia akan sampai di ruang tengah. Tampaknya di ruangan itu den ayu berada. Debar di dada Arum menjadi semakin kencang.

Penuh keraguan ia melangkah, sehingga hanya berdiri tegak dengan perasaan yang tak menentu. Tapi ketika kemudian bayi yang digendongnya merengek, lalu mengejutkan mbok Manis dan Saraswati yang berada di dalam sana.

“Mbok, apa telingaku salah dengar? Ada suara bayi?”

“Iya, Den Ayu benar, suara bayi. Biar saya keluar untuk melihatnya.”

Mbok Manis bergegas ke arah pintu samping, dimana suara bayi itu terdengar. Ia terpaku di pintu ketika melihat Arum menggendong bayinya.

“Den Arum?” kata mbok Manis begitu ingat bahwa Arum sudah menjadi istri Adisoma.

Bayi di gendongan Arum menangis keras. Arum kebingungan antara mau masuk dan keharusan menyusui bayinya.

“Den, masuklah. Bayimu butuh ASI,” kata mbok Manis sambil mempersilakan Arum masuk.

Saraswati menatap ke arah Arum. Ada wajah sendu yang terlihat pada bekas abdinya itu.

“Den Ayu, saya mohon maaf,” kata Arum tiba-tiba sambil bersujud di kaki Saraswati. Bayinya menangis keras.

“Bayimu membutuhkan air susu ibunya. Beri dulu dia,” kata Saraswati lembut. Tak tampak nada kemarahan pada ucapannya itu. Sedikit banyak ia sudah tahu tentang Arum yang terpaksa menjadi selir suaminya. Meskipun ia belum yakin kebenarannya, tapi rasa iba itu tiba-tiba ada.

“Mohon maaf, saya memberi minum anak saya dulu.”

“Duduklah di atas, lantainya sangat dingin,” kata Saraswati sambil menunjuk kursi di depannya.

Mbok Manis membantu Arum berdiri, lalu menyuruhnya duduk, di depan Saraswati, sesuai yang ditunjukkan olehnya.

“Mohon maaf,” berkali-kali ia mohon maaf, sambil bersiap memberi minum bayinya.

Bayi itu terdiam. Hati Arum bagai terkoyak mendengar suara lembut Saraswati.

“Den Ayu, saya mohon maaf,” kata Arum sambil menutupi kepala bayinya dengan selendang. Maksudnya agar tak kelihatan ia sedang menyusui anaknya.

Aryo yang semula berlarian, kemudian berteriak-teriak melihat ada ibu kandungnya.

“Taa … tatataa … “

Arum menyambut gapai tangan anaknya, diciumnya berkali-kali.

“Kamu tidak nakal, Aryo?”

“Tataaa …. “

Lalu ia kembali berlarian, mbok Manis menjaga di dekatnya.

“Saya merasa berdosa kepada Den Ayu, tapi ini bukan kemauan saya,” suara Arum diiringi isak.

Saraswati hanya menatapnya, belum memberikan tanggapan.

“Den Ayu percaya atau tidak, ini sungguh bukan kemauan saya. Saya terpaksa, saya lemah dan tidak berdaya, kemudian terpuruk dalam suasana yang membuat saya pasrah. Mohon Den Ayu memaafkan saya.” pecah tangis Arum tak lagi bisa ditahannya.

“Jangan menyusui sambil menangis, anakmu akan ikut merasakan kesedihanmu,” kata Saraswati.

Arum mengusap air matanya.

“Den Ayu, maafkanlah saya. Tapi saya sudah mengatakan kepada den mas, bahwa setelah melahirkan saya minta cerai.”

Saraswati mengangguk pelan. Sesuai seperti apa yang pernah dikatakan mbok Manis. Rupanya Arum bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Mengapa kamu memilih meminta cerai? Bukankah dengan menjadi istri Adisoma hidupmu dan anakmu akan mulia dan terhormat?”

“Kemuliaan dan kehormatan itu tak akan pernah ada dalam hati saya, karena ketenangan jiwa saya bukan terletak kepada kemuliaan dan kehormatan itu. Rasa berdosa saya kepada Den Ayu selalu menjadi beban yang menyakitkan bagi saya. Saya merasa telah berkhianat pada keluhuran budi Den Ayu.”

“Bukankah Adisoma menginginkan kamu dan kedua anakmu tinggal di rumah ini?”

“Tidak Den Ayu. Saya akan pergi. Mohon maaf saya akan membawa Aryo juga. Saya tidak ingin dengan adanya Aryo di sini lalu membuat den mas Adisoma merasa masih bisa menghubungi saya dengan banyak alasan tentang Aryo. Saya harap Den Ayu mengerti. Saya ingin pergi dari kehidupan den mas Adisoma, kehidupan yang saya rasa sangat gelap.”

Saraswati mengerti. Arum bukan sejahat yang dibayangkan. Arum telah memilih jalan terbaik untuk kehidupannya.

“Den Ayu, sekali lagi saya mohon maaf,” kata Arum yang telah selesai menyusui, kemudian kembali bersimpuh di hadapan Saraswati.

Saraswati mengelus kepala Sekar yang sudah terlelap dan masih berada dalam dekapan ibunya.

“Anakmu cantik, kelak dia akan secantik Dewi, anakku yang entah kapan akan kembalinya,” gumam den ayu Saraswati.

“Saya tidak bisa lebih lama di sini, saya tidak ingin lagi bertemu den mas Adisoma,” kata Arum sambil membetulkan letak selendang anaknya.

“Tunggu sebentar,” kata Saraswati sambil berdiri.

Sebelum masuk ke kamarnya ia memerintahkan kepada mbok Manis agar menggantikan baju Aryo, dan membawakan semua baju Aryo yang masih tertinggal. Mbok Manis menjalankannya dengan perasaan tak menentu. Rupanya Arum akan mengajak Aryo pergi.

Ia juga membawakan sisa susu Aryo, dimasukkan semuanya ke dalam sebuah tas.

Saraswati kembali dengan membawa sebuah kotak.

“Kamu akan pergi ke mana?”

“Saya belum tahu, tapi kemungkinan akan keluar dari kota ini.”

“Aku bisa mengerti bagaimana perasaanmu. Aku tidak bisa menghalangimu. Tapi aku punya sesuatu di dalam kotak ini. Tidak seberapa, tapi kamu bisa menjualnya kalau kamu kehabisan uang. Terimalah.”

Gemetar tangan Arum ketika Saraswati memberikan kotak itu. Bukan kotak biasa, tapi berisi perhiasan yang entah apa.

“Jangan Den Ayu, saya tidak bisa menerimanya,” kata Arum sambil beringsut mundur.

“Kamu jangan menolaknya. Pada suatu hari nanti kamu akan membutuhkannya. Kecuali itu ada sedikit uang dalam amplop ini. Terimalah, jangan menolaknya.”

Arum menangis mengguguk ketika Saraswati memaksa memasukkan kotak dan amplop ke dalam tas yang dibawanya.

Mbok Manis sudah selesai menyiapkan Aryo dan barang-barang yang akan dibawakannya.

“Kamu panggil Tangkil, agar mengantarkan Arum dengan kereta saja.”

“Den Ayu, saya membawa becak, dia sedang menunggu.”

“Oh, begitu, baiklah. Mbok antarkan mereka sampai naik becak.”

“Terima kasih Den Ayu, saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Den Ayu,” kata Arum sambil mencium lutut Saraswati.

“Jangan begini, berdirilah.”

Saraswati meraih tubuh Aryo yang digendong mbok Manis. Ia menekan tangisnya, mencium Aryo berkali-kali.

“Bbwwuuuu,” dengan kedua tangan kecilnya Aryo memegangi kedua pipi Saraswati. Mbok Manis mengusap air matanya, kemudian bergegas mengejar Arum yang sudah keluar lebih dulu.

Tangis Saraswati pecah melihat punggung mbok Manis, sementara Aryo menatapnya dari atas bahunya dengan tatapan tak mengerti.

***

Besok lagi ya.

60 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku, Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang.

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 29 "sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  4. 🌷☘️🌷☘️🌷☘️🌷☘️
    Alhamdulillah 🙏🧡
    Cerbung CJDPS_29
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat terus, banyak berkah
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🤲. Salam seroja😍
    🌷☘️🌷☘️🌷☘️🌷☘️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari

      Delete
  5. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Cerbung Cintaku jauh di Pulau Seberang 29 sudah tayang
    Semoga bunda dan Pak Tom Widayat sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  6. Bundaaa..alhamdullilah cerbungnya sdh tayang..slmt mlm dan slm sht sll y bunda bersama bpk..aamiin..🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Farida

      Delete
  7. Bunda Tien, matur nuwun, semoga bersama Pak Tom, selalu sehat ya Bunda

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Yulian

      Delete
  8. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 29" sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sediiiih banget semoga arum dan anak2nya mendapat perlndungan Allah dan bu saraswati bisa segera tenang

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  9. Terima kasih mbu Tien... semakin menarik trs.... semoga sehat bersama keluarga trcnta

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Zimi

      Delete
  10. Aku kok ikut nangis....hiks..hiks...

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, mtnw mbakyu.. Sehat selalu, Sugeng Riyadi Qurban... Sedaya kalepatan kulo... 🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  12. Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 29..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin

    Membaca episode ke 29 iki aku kok dadi melu sedih ya. Kenapa sih semua nya pada memegang Ego nya sendiri, yang punya bayi, juga tak memikirkan masa depan nya bagaimana nanti. Mau nya hanya ingin mbalelo, he...he...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  13. Alhamdulilah..CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~29 sudah tayang, maturnuwun Bu Tien..🙏🙏🙏
    Semoga bu Tien sekalian beserta keluarga tetap sehat dan bahagia senantiasa, serta selalu dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA 🤲🤲🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  14. Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien, ceritanya bagus dan menarik

    ReplyDelete
  15. Semoga Bu Tien sehat dan bahagia agar bisa menulis terus cerbung ygdpt menghibur pembaca setia.....🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Tatik

      Delete
  16. Hemmm... Alangkah mulia hati Saraswati. Saya pikir akan ada perang Srikandi-Mustokoweni, ternyata....
    Terus akan kemana Arum, ke timur 30 km sampai Sragen. Kami siap jadi Yangkung Yangti-nya Aryo dan Sekar.
    Salam Sukses mbak Tien yang Aduhai, semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief
      Lama tidak komen panjang

      Delete
  17. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  18. Alhamdulillah .... ceritanya semakin seru, terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Yati

      Delete
  19. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Mugi tansah pinaringan sehat nggih Bu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Umi

      Delete
  20. Sedih banget....😭 Ditinggal pergi
    Bgm perasaan Adisoma ya...

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya 🙏🤗🥰💖
    Semoga pak Tom Widayat semakin membaik & sehat wal'afiat, Aamiin

    Selamat Idul Adha 1446H, semakin sabar dan ikhlas menerima ketentuan Allaah Subhaanahu wata'ala ,🙏

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun Bu Tien, semoga sehat wal'afiat dan bahagia selalu

    ReplyDelete
  22. Terimakasih bunda Tien, Selamat Hari Raya Idul adha, bahagia berkumpul bersama keluarga tercinta... Aduhaaiii

    ReplyDelete
  23. Kok suasananya haru sekali ..
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  24. Alhamdulilah... Suwun bu Tien. Smg sehat selalu bersama kelg.

    ReplyDelete