CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 47
(Tien Kumalasari)
Tumenggung Ranu tercengang. Tongkat penyangga tubuhnya masih mengambang di udara, siap dihantamkan pada putranya yang dianggap mbalela. Ada sepasang mata manatapnya penuh teguran.
“Kamu, Dimas?”
“Turunkan dulu pentungan itu, kalau benar-benar mengenai tubuh anak Kangmas, maka Kangmas pasti akan menyesal.”
“Adisoma, apa maksudmu?”
Adisoma mendekat ke arah Ranu, menurunkan tongkat yang diacungkannya.
“Maaf kalau aku mengganggu, Kangmas. Boleh aku duduk?”
“Duduklah.”
“Aku tidak melihat mbakyu ….”
“Dia tidak ingin melihat bagaimana aku ingin menghajar anaknya karena kelakuannya yang tidak benar itu. Dia bersembunyi di kamar. Biarkan saja.”
Listyo yang semula duduk sambil menunduk, kemudian bangkit dan menghampiri Adisoma, kemudian mencium tangannya dengan penuh hormat.
“Mohon Paman memaafkan saya,” katanya pelan.
Ranu yang kemudian ikut duduk masih menampakkan wajah yang merah padam, sebagai pertanda bahwa kemarahan masih menyelimutinya.
“Mau apa kamu datang kemari, Dimas?”
“Satu, aku kangen bertemu Kangmas. Setelah kegagalan kita berbesan, kita sama sekali tidak pernah bertegur sapa.”
“Itu benar.”
“Jadi aku tidak hanya ingin saling bertegur melalui sambungan telpon. Karena itulah aku datang kemari.”
“Pasti bukan hanya karena itu, sehingga kamu memutus kemarahan yang aku tumpahkan kepada anak bodoh itu.”
“Memang bukan hanya karena itu. Aku ingin meralat apa yang aku katakan kemarin.”
“Apa maksudmu meralat?”
“Mmm, bukan meralat. Aku salah bicara. Sebenarnya tidak seharusnya aku kemarin menelpon Kangmas dan memanas-manasi Kangmas tentang Listyo yang akan memperistri bekas selirku.”
“Itu benar kan?”
“Aku meralat tentang keinginanku yang bermaksud membuat Kangmas memarahi Listyo.”
“Kamu bicara tidak jelas, berputar-putar dan aku sama sekali tidak mengerti.”
“Ketika aku menelpon Kangmas kemarin, sebenarnya aku punya maksud yang tidak baik. Tidak baiknya ialah, agar Kangmas memarahi Listyo yang membuat hatiku panas. Maaf. Tapi itu hanya panas sesaat, kemudian aku menyadarinya, bahwa tindakanku, perasaanku itu salah. Aku menyesal, itu sebabnya aku datang kemari untuk meminta maaf.”
“Kamu tidak melakukan kesalahan. Kamu sudah membantu aku agar aku meluruskan yang tidak lurus, kamu sudah melakukan hal yang benar. Adanya perempuan bekas selir kamu itu lebih meyakinkan aku bahwa benar-benar Listyo melakukan hal yang salah. Aku akan membuatnya lurus. Dia harus mengurungkan niat yang tidak semestinya itu. Jadi kamu tidak usah minta maaf.”
“Tidak Kangmas, saya sekarang mendukung Listyo untuk melakukan apa yang diinginkannya.”
“Apa maksudmu?” teriakan Ranu membuat sang istri yang semula bersembunyi di kamar kemudian keluar, setelah ia mendengar uraian Adisoma yang panjang lebar.
“Arum, wanita itu, adalah wanita baik-baik. Karena dia baik maka aku kemudian jatuh cinta padanya, setelah sebelumnya aku hanya ingin membuatnya sebagai mainan yang menyenangkan. Sekarang aku menyesalinya. Arum sudah menemukan laki-laki baik seperti Listyo, ijinkan Listyo melakukannya.”
Listyo menatap Adisoma dengan pandangan penuh rasa terima kasih. Laki-laki setengah tua yang kemarin menghajarnya dan membuat Arum pingsan, sekarang bisa mengucapkan hal yang sangat bijak. Tapi tidak demikian dengan Ranu, sang ayah. Kemarahan yang ditahannya sejak kemarin masih membakar seluruh aliran darahnya. Ia tetap tidak terima kalau anak laki-laki satu-satunya menikah dengan perempuan rendahan, janda pula.
“Tidak mau!! Aku tetap tidak mau,” teriaknya, yang membuat sang istri kemudian mengelus punggungnya untuk membuatnya tenang.
“Mohon maaf, Kanjeng Rama, saya sangat mencintai Arum, saya tidak ingin berpisah dengannya.”
“Apa katamu? Jadi kamu akan tetap menentang kedua orang tuamu demi wanita yang tidak punya derajat itu?”
“Mohon, Kanjeng Rama memaafkan saya.”
“Kalau begitu lebih baik kamu pergi dan jangan mengakui aku sebagai ayahandamu!”
“Kangmas! Jangan begitu. Endapkan amarah Kangmas. Kita hanya punya Listyo, kebahagiaannya adalah sesuatu yang akan membuat kita bahagia juga.”
“Kamu sudah berubah pikiran, Diajeng? Kamu sekarang mendukung niat yang merusak tatanan kita?”
“Mana yang lebih penting bagi Kangmas, mengabaikan segala tatanan, atau kehilangan putra kita satu-satunya?” kata den ayu Ranu sambil mulai terisak. Tak terbayangkan bagaimana sedihnya kehilangan anak semata wayangnya.
Melihat sang istri menangis suhu yang menggelegak pada darahnya perlahan turun. Ada kebenaran di dalam kata-katanya, tapi harga dirinya, lagi-lagi harga diri sulit sekali dikendorkan.
“Aku sudah pernah merasakan kehilangan anak, ketika Dewi menolak lamaran Kangmas, sangat sakit, dan membuat Saraswati limbung. Jangan sampai Kangmas mengulanginya,” sambung Adisoma yang kemudian juga sudah bisa berpikir lebih waras gara-gara ucapan gedibal terkasihnya yang menggelitik jiwanya.
“Kangmas, endapkan amarah Kangmas. Kita hanya punya Listyo. Jangan menyuruhnya pergi, Kangmas, kalau dia pergi lebih baik aku mati,” tangis sang istri semakin terasa meremas perasaannya.
Tumenggung Ranu menatap sang istri dengan iba, diusapnya air mata yang membasah dipipinya itu dengan telapak tangannya.
“Sudah … sudah, jangan menangis lagi … mengapa bicara tentang mati? Kalau kamu mati, ke mana aku akan mencari istri seperti kamu, Diajeng?”
“Kalau begitu jangan marah lagi pada Listyo, biarkan dia memilih apa yang terbaik untuk hidupnya.”
“Hm… bagaimana ini? Bagaimana ? Istri yang tadinya mendukungku, mengapa berbalik melawanku? Adisoma yang semula mendukungku, sekarang juga menentangku,” keluhnya sambil mengacak-acak rambutnya, sementara tongkat penyangga tubuhnya dibiarkan tergeletak di lantai.”
“Listyo, ayahandamu menyuruh kamu pergi, ibundamu ini akan mati.”
Listyo merangkul kaki ibunya, sang ibu mengelus kepalanya lembut.
“Maafkan Listyo Kanjeng Ibu.”
“Apakah perempuan itu cantik? Maksud ibunda, cantik lahir dan batinnya?”
“Dia bukan hanya cantik wajahnya, tapi juga hatinya.”
“Tunjukkan pada ibunda, seperti apa dia, sebelum ibundamu ini mati.”
“Mengapa masih saja bicara tentang mati? Tidak … tidak, istriku tidak akan mati. Bagaimana kamu ini, Diajeng?”
“Itu yang terbaik, daripada kehilangan anak, satu-satunya, harta tak terhingga yang aku miliki.”
“Ya sudah … ya sudah, menikahlah dengan siapapun yang kamu sukai, aku tidak akan menghalangi,” kata Ranu, tapi masih ada nada tidak iklas dalam suaranya.
“Kangmas tidak bersungguh-sungguh,” kata den ayu Ranu sambil mengusap air matanya.
Tumenggung Ranu menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan istrinya.
“Aku sudah mengatakannya, berarti aku memang menginginkan itu. Kamu jangan meragukan aku.”
“Kalau Kangmas sudah setuju, aku mohon pamit. Jangan lupa nanti malam masih ada pertemuan di keraton, untuk membahas perayaan satu Asyura yang akan datang,” kata Adisoma sambil berdiri.
“Tunggu dulu.”
Adisoma menghentikan langkahnya.
“Kamu sudah menyaksikan drama yang luar biasa hari ini di rumah ini bukan? Besok kalau Listyo menikah, kamu yang akan mewakili aku, aku tidak akan hadir.”
“Kalau begitu berarti Kangmas belum sepenuhnya merestui.”
“Jangan ngarang, aku memintamu datang, bukan karena aku tidak merestui. Sudah, kalau mau pulang silakan pulang, aku mau bicara tentang kapan rencana Listyo mau menikah."
“Kangmas, Dimas Adisoma belum disuguhi apa-apa, jangan boleh pulang dulu.”
“Terima kasih Mbakyu, aku masih ada urusan,” kata Adisoma yang langsung meninggalkan ruangan, tapi kemudian Listyo mengejarnya, mengantarkannya sampai ke mobil.
***
Di perjalanan pulang ke rumah, Tangkil melihat wajah sang bendoro berseri-seri. Tadi ketika meminta dia agar mengantarnya, dia mengatakan bahwa akan melakukan hal terbaik, sesuai dengan anjuran dirinya, dan rupanya sang bendoro sudah melakukannya.
Tangkil ikut tersenyum, dan senyuman itu tak luput dari pengawasan Adisoma.
“Mengapa kamu senyum-senyum begitu?”
“Saya senang, karena Den Mas juga terlihat seperti sedang senang hati.”
“Entah mengapa, aku merasa senang sekali hari ini.”
“Sebuah perbuatan baik akan memancar pada wajah dan pandangan mata. Itu akan tampak dan terasa sekali. Saya yakin Den Mas pasti sedang merasa senang dan puas telah melakukan sesuatu yang sangat baik.”
“Akhirnya bencana itu tak terjadi. Kangmas Ranu hampir menghajar anaknya dengan tongkat penyangga tubuhnya, padahal tongkat itu tidak hanya terbuat dari kayu ukir, tapi juga ada sambungan besi di ujungnya. Kalau dipukulkan entah apa jadinya anak itu. Tapi aku jadi teringat, kemarin juga sempat menghajarnya. Beruntung dia tidak mendendam.
“Karena rasa cemburu yang membakar, ya kan Den Mas?”
“Aku tidak mengingkarinya, ada cemburu, ada emosi, tapi itu cuma sesaat. Kamu telah memadamkannya. Aku harus berterima kasih padamu. Kamu gedibal yang sudah seperti saudara bagiku."
Tangkil terkejut. Gedibal yang seperti saudara? Apakah dirinya bermimpi? Bendoro arogan yang suka mengatakan hal yang merendahkan dirinya menganggap dirinya seperti saudara?
“Mengapa senyummu menghilang, Tangkil?”
“Apa? Apa yang telah saya lakukan? Mengapa Den Mas merasa bahwa saya seperti saudara bagi Den Mas?”
“Karena aku tak mau kehilangan kamu, Tangkil. Kamu adalah tongkat di mana aku membutuhkan pegangan untuk melangkah. Kamu selalu ada untuk aku.”
Tangkil menarik napas panjang. Dalam dua hari sikap sang bendoro terhadapnya telah berubah. Dari yang suka memaki-maki, kemudian sikap itu berubah manis. Tapi Tangkil juga merasa, kemarin karena ada rasa kesal kepada sang bendoro, maka ia sedikit berani berkata-kata, dan kata-kata yang ada benarnya itu termakan oleh Adisoma, yang kemudian juga merasakan adanya kebenaran dalam kata-kata itu.
Tangkil hanya mengulaskan senyuman tipis, senyuman yang tidak membuatnya manis karena bibirnya yang sudah mulai keriput.
“Katakan sekarang apa yang harus aku lakukan, Tangkil?”
“Pulang dan istirahatlah, Den Mas.”
***
Dewi sedang bercanda dengan Aryo, yang terkekeh-kekeh karena Dewi mengajaknya lari mengitari taman, sementara Saraswati duduk di tepi kolam bersama Arum, yang masih sungkan karena Saraswati tidak lagi menganggapnya abdi, tapi tamu, sehingga ia harus dilayani juga seperti den ayu dan den ajeng.
Ketika dudukpun Arum tadinya ingin duduk dibawah agar tidak sejajar dengan Saraswati, tapi Saraswati memaksa agar Arum duduk bersama seperti saudara.
“Arum, kamu itu tidak usah sungkan, sebentar lagi kamu akan menjadi istri Listyo, jadi bersikaplah wajar karena aku adalah bibinya Listyo.”
“Tapi saya belum begitu yakin, Den Ayu, mengingat keluarga mas Listyo pasti akan menentang pernikahan kami. Saya harus tahu diri, dan tidak apa-apa seandainya saya tidak menjadi istrinya. Perhiasan pemberian Den Ayu bisa menjadi modal bagi saya untuk bekerja, agar bisa menghidupi anak-anak saya.”
“Jangan dulu patah semangat, Arum. Bagaimanapun Listyo pasti akan memperjuangkan cintanya. Kamu harus mendukungnya, paling tidak dengan doa.”
“Saya hanya ingin hidup saya tenteram. Hidup diantara orang yang tidak menyukai saya pasti akan membuat hidup saya tidak tenteram.”
“Kamu harus percaya pada setiap doa yang kita panjatkan. Semoga hidup kamu akan lebih baik dan menemukan ketenteraman seperti yang kamu inginkan.”
Ketika itu ponsel Saraswati berdering, ternyata dari Listyo. Saraswati mengangkatnya, lalu senyumnya mengembang. Ia menepuk-nepuk bahu Arum yang tidak mengerti apa maksudnya.
“Ya Listyo, bagus sekali. Senang aku mendengarnya. Kamu mau datang hari ini juga? Baiklah. Menginaplah sehari lagi, Dewi sedang gembira mendapatkan adik-adiknya.”
Hanya sebentar Saraswati menelpon, lalu ia kembali menepuk bahu Arum.
“Ada berita baik, orang tua Listyo sudah mengijinkan.”
“Benarkah?” wajah Arum berbinar. Berita itu sungguh tidak disangkanya.
***
Hari itu Satria agak gelisah, karena Dewi tidak masuk kuliah, dan ponselnya juga tidak aktif. Rasa khawatir membuatnya ingin singgah ke rumah untuk menemuinya. Kuliah sudah usai, hari masih siang.
Bermaksud membeli oleh-oleh cemilan, Satria berhenti di depan sebuah toko roti.
Di bawah sebuah pohon di depan toko roti itu, Satria melihat seorang pedagang batik sedang melayani pembeli.
“Ini batik yang berbeda bu, dari Solo, bukan dari Jogya sini. Ibu mau selendangnya juga? Silakan dipilih Bu, semuanya bagus. Saya tidak mengambil untung banyak, yang penting ada sisa untuk beli sesuap nasi.”
Penjual itu begitu pintar menawarkan dagangannya, dan Satria merasa mengenal suara itu. Tapi ia tak memperhatikannya, karena buru-buru ingin ketemu Dewi. Bergegas ia masuk ke toko roti itu, tapi seseorang memanggilnya.
“Satria!!”
***
Besok lagi ya.