Thursday, June 26, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 47

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  47

(Tien Kumalasari)

 

Tumenggung Ranu tercengang. Tongkat penyangga tubuhnya masih mengambang di udara, siap dihantamkan pada putranya yang dianggap mbalela. Ada sepasang mata manatapnya penuh teguran.

“Kamu, Dimas?”

“Turunkan dulu pentungan itu, kalau benar-benar mengenai tubuh anak Kangmas, maka Kangmas pasti akan menyesal.”

“Adisoma, apa maksudmu?”

Adisoma mendekat ke arah Ranu, menurunkan tongkat yang diacungkannya.

“Maaf kalau aku mengganggu, Kangmas. Boleh aku duduk?”

“Duduklah.”

“Aku tidak melihat mbakyu ….”

“Dia tidak ingin melihat bagaimana aku ingin menghajar anaknya karena kelakuannya yang tidak benar itu. Dia bersembunyi di kamar. Biarkan saja.”

Listyo yang semula duduk sambil menunduk, kemudian bangkit dan menghampiri Adisoma, kemudian mencium tangannya dengan penuh hormat.

“Mohon Paman memaafkan saya,” katanya pelan.

Ranu yang kemudian ikut duduk masih menampakkan wajah yang merah padam, sebagai pertanda bahwa kemarahan masih menyelimutinya.

“Mau apa kamu datang kemari, Dimas?”

“Satu, aku kangen bertemu Kangmas. Setelah kegagalan kita berbesan, kita sama sekali tidak pernah bertegur sapa.”

“Itu benar.”

“Jadi aku tidak hanya ingin saling bertegur melalui sambungan telpon. Karena itulah aku datang kemari.”

“Pasti bukan hanya karena itu, sehingga kamu memutus kemarahan yang aku tumpahkan kepada anak bodoh itu.”

“Memang bukan hanya karena itu. Aku ingin meralat apa yang aku katakan kemarin.”

“Apa maksudmu meralat?”

“Mmm, bukan meralat. Aku salah bicara. Sebenarnya tidak seharusnya aku kemarin menelpon Kangmas dan memanas-manasi Kangmas tentang Listyo yang akan memperistri bekas selirku.”

“Itu benar kan?”

“Aku meralat tentang keinginanku yang bermaksud membuat Kangmas memarahi Listyo.”

“Kamu bicara tidak jelas, berputar-putar dan aku sama sekali tidak mengerti.”

“Ketika aku menelpon Kangmas kemarin, sebenarnya aku punya maksud yang tidak baik. Tidak baiknya ialah, agar Kangmas memarahi Listyo yang membuat hatiku panas. Maaf. Tapi itu hanya panas sesaat, kemudian aku menyadarinya, bahwa tindakanku, perasaanku itu salah. Aku menyesal, itu sebabnya aku datang kemari untuk meminta maaf.”

“Kamu tidak melakukan kesalahan. Kamu sudah membantu aku agar aku meluruskan yang tidak lurus, kamu sudah melakukan hal yang benar. Adanya perempuan bekas selir kamu itu lebih meyakinkan aku bahwa benar-benar Listyo melakukan hal yang salah. Aku akan membuatnya lurus. Dia harus mengurungkan niat yang tidak semestinya itu. Jadi kamu tidak usah minta maaf.”

“Tidak Kangmas, saya sekarang mendukung Listyo untuk melakukan apa yang diinginkannya.”

“Apa maksudmu?” teriakan Ranu membuat sang istri yang semula bersembunyi di kamar kemudian keluar, setelah ia mendengar uraian Adisoma yang panjang lebar.

“Arum, wanita itu, adalah wanita baik-baik. Karena dia baik maka aku kemudian jatuh cinta padanya, setelah sebelumnya aku hanya ingin membuatnya sebagai mainan yang menyenangkan. Sekarang aku menyesalinya. Arum sudah menemukan laki-laki baik seperti Listyo, ijinkan Listyo melakukannya.”

Listyo menatap Adisoma dengan pandangan penuh rasa terima kasih. Laki-laki setengah tua yang kemarin menghajarnya dan membuat Arum pingsan, sekarang bisa mengucapkan hal yang sangat bijak. Tapi tidak demikian dengan Ranu, sang ayah. Kemarahan yang ditahannya sejak kemarin masih membakar seluruh aliran darahnya. Ia tetap tidak terima kalau anak laki-laki satu-satunya menikah dengan perempuan rendahan, janda pula.

“Tidak mau!! Aku tetap tidak mau,” teriaknya, yang membuat sang istri kemudian mengelus punggungnya untuk membuatnya tenang.

“Mohon maaf, Kanjeng Rama, saya sangat mencintai Arum, saya tidak ingin berpisah dengannya.”

“Apa katamu? Jadi kamu akan tetap menentang kedua orang tuamu demi wanita yang tidak punya derajat itu?”

“Mohon, Kanjeng Rama memaafkan saya.”

“Kalau begitu lebih baik kamu pergi dan jangan mengakui aku sebagai ayahandamu!”

“Kangmas! Jangan begitu. Endapkan amarah Kangmas. Kita hanya punya Listyo, kebahagiaannya adalah sesuatu yang akan membuat kita bahagia juga.”

“Kamu sudah berubah pikiran, Diajeng? Kamu sekarang mendukung niat yang merusak tatanan kita?”

“Mana yang lebih penting bagi Kangmas, mengabaikan segala tatanan, atau kehilangan putra kita satu-satunya?” kata den ayu Ranu sambil mulai terisak. Tak terbayangkan bagaimana sedihnya kehilangan anak semata wayangnya.

Melihat sang istri menangis suhu yang menggelegak pada darahnya perlahan turun. Ada kebenaran di dalam kata-katanya, tapi harga dirinya, lagi-lagi harga diri sulit sekali dikendorkan.

“Aku sudah pernah merasakan kehilangan anak, ketika Dewi menolak lamaran Kangmas, sangat sakit, dan membuat Saraswati limbung. Jangan sampai Kangmas mengulanginya,” sambung Adisoma yang kemudian juga sudah bisa berpikir lebih waras gara-gara ucapan gedibal terkasihnya yang menggelitik jiwanya.

“Kangmas, endapkan amarah Kangmas. Kita hanya punya Listyo. Jangan menyuruhnya pergi, Kangmas, kalau dia pergi lebih baik aku mati,” tangis sang istri semakin terasa meremas perasaannya.

Tumenggung Ranu menatap sang istri dengan iba, diusapnya air mata yang membasah dipipinya itu dengan telapak tangannya.

“Sudah … sudah, jangan menangis lagi … mengapa bicara tentang mati? Kalau kamu mati, ke mana aku akan mencari istri seperti kamu, Diajeng?”

“Kalau begitu jangan marah lagi pada Listyo, biarkan dia memilih apa yang terbaik untuk hidupnya.”

“Hm… bagaimana ini? Bagaimana ? Istri yang tadinya mendukungku, mengapa berbalik melawanku? Adisoma yang semula mendukungku, sekarang juga menentangku,” keluhnya sambil mengacak-acak rambutnya, sementara tongkat penyangga tubuhnya dibiarkan tergeletak di lantai.”

“Listyo, ayahandamu menyuruh kamu pergi, ibundamu ini akan mati.”

Listyo merangkul kaki ibunya, sang ibu mengelus kepalanya lembut.

“Maafkan Listyo Kanjeng Ibu.”

“Apakah perempuan itu cantik? Maksud ibunda, cantik lahir dan batinnya?”

“Dia bukan hanya cantik wajahnya, tapi juga hatinya.”

“Tunjukkan pada ibunda, seperti apa dia, sebelum ibundamu ini mati.”

“Mengapa masih saja bicara tentang mati? Tidak … tidak, istriku tidak akan mati. Bagaimana kamu ini, Diajeng?”

“Itu yang terbaik, daripada kehilangan anak, satu-satunya, harta tak terhingga  yang aku miliki.”

“Ya sudah … ya sudah, menikahlah dengan siapapun yang kamu sukai, aku tidak akan menghalangi,” kata Ranu, tapi masih ada nada tidak iklas dalam suaranya.

“Kangmas tidak bersungguh-sungguh,” kata den ayu Ranu sambil mengusap air matanya.

Tumenggung Ranu menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan istrinya.

“Aku sudah mengatakannya, berarti aku memang menginginkan itu. Kamu jangan meragukan aku.”

“Kalau Kangmas sudah setuju, aku mohon pamit. Jangan lupa nanti malam masih ada pertemuan di keraton, untuk membahas perayaan satu Asyura yang akan datang,” kata Adisoma sambil berdiri.

“Tunggu dulu.”

Adisoma menghentikan langkahnya.

“Kamu sudah menyaksikan drama yang luar biasa hari ini di rumah ini bukan? Besok kalau Listyo menikah, kamu yang akan mewakili aku, aku tidak akan hadir.”

“Kalau begitu berarti Kangmas belum sepenuhnya merestui.”

“Jangan ngarang, aku memintamu datang, bukan karena aku tidak merestui. Sudah, kalau mau pulang silakan pulang, aku mau bicara tentang kapan rencana Listyo mau menikah."

“Kangmas, Dimas Adisoma belum disuguhi apa-apa, jangan boleh pulang dulu.”

“Terima kasih Mbakyu, aku masih ada urusan,” kata Adisoma yang langsung meninggalkan ruangan, tapi kemudian Listyo mengejarnya, mengantarkannya sampai ke mobil.

***

Di perjalanan pulang ke rumah, Tangkil melihat wajah sang bendoro berseri-seri. Tadi ketika meminta dia agar mengantarnya, dia mengatakan bahwa akan melakukan hal terbaik, sesuai dengan anjuran dirinya, dan rupanya sang bendoro sudah melakukannya.

Tangkil ikut tersenyum, dan senyuman itu tak luput dari pengawasan Adisoma.

“Mengapa kamu senyum-senyum begitu?”

“Saya senang, karena Den Mas juga terlihat seperti sedang senang hati.”

“Entah mengapa, aku merasa senang sekali hari ini.”

“Sebuah perbuatan baik akan memancar pada wajah dan pandangan mata. Itu akan tampak dan terasa sekali. Saya yakin Den Mas pasti sedang merasa senang dan puas telah melakukan sesuatu yang sangat baik.”

“Akhirnya bencana itu tak terjadi. Kangmas Ranu hampir menghajar anaknya dengan tongkat penyangga tubuhnya, padahal tongkat itu tidak hanya terbuat dari kayu ukir, tapi juga ada sambungan besi di ujungnya. Kalau dipukulkan entah apa jadinya anak itu. Tapi aku jadi teringat, kemarin juga sempat menghajarnya. Beruntung dia tidak mendendam.

“Karena rasa cemburu yang membakar, ya kan Den Mas?”

“Aku tidak mengingkarinya, ada cemburu, ada emosi, tapi itu cuma sesaat. Kamu telah memadamkannya. Aku harus berterima kasih padamu. Kamu gedibal yang sudah seperti saudara bagiku."

Tangkil terkejut. Gedibal yang seperti saudara? Apakah dirinya bermimpi? Bendoro arogan yang suka mengatakan hal yang merendahkan dirinya menganggap dirinya seperti saudara?

“Mengapa senyummu menghilang, Tangkil?”

“Apa? Apa yang telah saya lakukan? Mengapa Den Mas merasa bahwa saya seperti saudara bagi Den Mas?”

“Karena aku tak mau kehilangan kamu, Tangkil. Kamu adalah tongkat di mana aku membutuhkan pegangan untuk melangkah. Kamu selalu ada untuk aku.”

Tangkil menarik napas panjang. Dalam dua hari sikap sang bendoro terhadapnya telah berubah. Dari yang suka memaki-maki, kemudian sikap itu berubah manis. Tapi Tangkil juga merasa, kemarin karena ada rasa kesal kepada sang bendoro, maka ia sedikit berani berkata-kata, dan kata-kata yang ada benarnya itu termakan oleh Adisoma, yang kemudian juga merasakan adanya kebenaran dalam kata-kata itu.

Tangkil hanya mengulaskan senyuman tipis, senyuman yang tidak membuatnya manis karena bibirnya yang sudah mulai keriput.

“Katakan sekarang apa yang harus aku lakukan, Tangkil?”

“Pulang dan istirahatlah, Den Mas.”

***

Dewi sedang bercanda dengan Aryo, yang terkekeh-kekeh karena Dewi mengajaknya lari mengitari taman, sementara Saraswati duduk di tepi kolam bersama Arum, yang masih sungkan karena Saraswati tidak lagi menganggapnya abdi, tapi tamu, sehingga ia harus dilayani juga seperti den ayu dan den ajeng.

Ketika dudukpun Arum tadinya ingin  duduk dibawah agar tidak sejajar dengan Saraswati, tapi Saraswati memaksa agar Arum duduk bersama seperti saudara.

“Arum, kamu itu tidak usah sungkan, sebentar lagi kamu akan menjadi istri Listyo, jadi bersikaplah wajar karena aku adalah bibinya Listyo.”

“Tapi saya belum begitu yakin, Den Ayu, mengingat keluarga mas Listyo pasti akan menentang pernikahan kami. Saya harus tahu diri, dan tidak apa-apa seandainya saya tidak menjadi istrinya. Perhiasan pemberian Den Ayu bisa menjadi modal bagi saya untuk bekerja, agar bisa menghidupi anak-anak saya.”

“Jangan dulu patah semangat, Arum. Bagaimanapun Listyo pasti akan memperjuangkan cintanya. Kamu harus mendukungnya, paling tidak dengan doa.”

“Saya hanya ingin hidup saya tenteram. Hidup diantara orang yang tidak menyukai saya pasti akan membuat hidup saya tidak tenteram.”

“Kamu harus percaya pada setiap doa yang kita panjatkan. Semoga hidup kamu akan lebih baik dan menemukan ketenteraman seperti yang kamu inginkan.”

Ketika itu ponsel Saraswati berdering, ternyata dari Listyo. Saraswati mengangkatnya, lalu senyumnya mengembang. Ia menepuk-nepuk bahu Arum yang tidak mengerti apa maksudnya.

“Ya Listyo, bagus sekali. Senang aku mendengarnya. Kamu mau datang hari ini juga? Baiklah. Menginaplah sehari lagi, Dewi sedang gembira mendapatkan adik-adiknya.”

Hanya sebentar Saraswati menelpon, lalu ia kembali menepuk bahu Arum.

“Ada berita baik, orang tua Listyo sudah mengijinkan.”

“Benarkah?” wajah Arum berbinar. Berita itu sungguh tidak disangkanya.

***

Hari itu Satria agak gelisah, karena Dewi tidak masuk kuliah, dan ponselnya juga tidak aktif. Rasa khawatir membuatnya ingin singgah ke rumah untuk menemuinya. Kuliah sudah usai, hari masih siang.

Bermaksud membeli oleh-oleh cemilan, Satria berhenti di depan sebuah toko roti.

Di bawah sebuah pohon di depan toko roti itu, Satria melihat seorang pedagang batik sedang melayani pembeli.

“Ini batik yang berbeda bu, dari Solo, bukan dari Jogya sini. Ibu mau selendangnya juga? Silakan dipilih Bu, semuanya bagus. Saya tidak mengambil untung banyak, yang penting ada sisa untuk beli sesuap nasi.”

Penjual itu begitu pintar menawarkan dagangannya, dan Satria merasa mengenal suara itu. Tapi ia tak memperhatikannya, karena buru-buru ingin ketemu Dewi. Bergegas ia masuk ke toko roti itu, tapi seseorang memanggilnya.

“Satria!!”

***

Besok lagi ya.

 

 

Wednesday, June 25, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 46

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  46

(Tien Kumalasari)

 

Tangkil hanya mendengarkan sang bendoro yang asyik menelpon.

“Ada yang ingin aku katakan, Kangmas.”

“Ada apa? Sejak keluarga kamu mengecewakan aku, aku belum pernah berhubungan lagi dengan kamu. Ketemu di keratonpun kamu juga mengacuhkan aku, kan?”

“Sebenarnya bukan aku mengacuhkan, Kangmas, aku hanya sungkan karena mengecewakanmu.”

“Ya sudah, semuanya sudah lama berlalu. Ada apa menelpon?”

“Aku ingin bicara tentang Listyo.”

“Bicara apa lagi? Anakmu sudah menolak. Istrimu mengatakan kalau Dewi sudah pulang dan tetap akan menolak Listyo. Kalau dipaksakan lagi nanti pasti kabur lagi. Dasar gadis tak tahu adat. Bisa-bisanya anak priyayi kabur entah ke mana.”

“Maaf Kangmas, bukankah Kangmas sendiri mengatakan kalau semua sudah berlalu dan kita harus bisa menerimanya dengan legowo?”

“Tapi bukan berarti kamu bisa kembali menjodohkan Listyo dengan anakmu.”

“Bukan itu, bukankah Listyo sudah menemukan perempuan yang akan dijadikannya istri? Apa Kangmas sudah tahu tentang hal itu?”

“Kamu malah sudah tahu? Aku marah pada dia. Anak tak tahu diuntung Listyo itu. Apa kamu sudah tahu perempuan mana yang sudah janda dan punya anak dua, lalu anakku tergila-gila padanya? Aku yakin perempuan itu pasti memakai guna-guna agar Listyo jatuh cinta pada dia.”

“Aku bahkan sudah mengenal perempuan itu. Sangat mengenalnya.”

“Bagaimana kamu bisa mengenalnya? Jangan-jangan kamu juga pernah dipelet olehnya.”

“Kangmas tidak tahu ya, perempuan itu bekas selirku.”

“Apa?” teriakan Ranu membuat Adisoma sampai menjauhkan ponsel dari kupingnya karena tumenggung Ranu berteriak sangat keras.

“Itu benar.”

“Perempuan itu bekas selirmu?” kata Ranu, masih berteriak.

“Benar, dua orang anaknya adalah darah dagingku.”

“Ini gila. Benar-benar Listyo sudah gila. Pasti perempuan itu telah mengguna-gunai anakku.”

“Perempuan itu memang cantik, dan menarik. Tak perlu guna-guna untuk jatuh cinta pada dia.”

“Ya sudah, hentikan. Aku akan memanggilnya pulang. Kelakuan yang memalukan ini tidak bisa diteruskan. Aku tidak sudi memiliki menantu bekas selirmu.”

Ranu segera menutup ponselnya, pasti dengan amarah yang memuncak.

Adisoma menyimpan kembali ponselnya, bibirnya tersenyum puas. Ia yakin Listyo tak akan mendapat restu orang tuanya.

“Mohon maaf Den Mas, apakah Den Mas menceritakan tentang den Arum kepada den mas Ranu?”

“Tentu saja. Kamu kan sudah tahu bagaimana tadi kejadiannya. Gara-gara Arum, Listyo seperti tidak menghargaiku. Sama sekali tak ada hormat-hormatnya padaku yang masih terhitung pamannya. Biarpun yang kerabat kangmas Ranu itu istriku, tapi kan sama saja, aku ini tetap saja pamannya?”

“Sebenarnya memanas-manaskan suasana itu kan tidak akan membuat semuanya menjadi tenang. Maaf Den Mas, saya mengatakan karena saya sangat berharap Den Mas menjadi priyayi yang memegang teguh sifat ksatria. Menerima apa yang sudah menjadi takdir, dan_”

“Tangkil, apa kamu ingin aku memecatmu?”

“Mohon maaf.”

“Kamu itu hanya abdi. Abdi itu gedibal. Tidak punya hak untuk bersuara.”

“Den Mas …”

“Diaamm!”

“Saya melakukannya karena saya adalah abdi dan gedibal yang sangat menjaga kehormatan dan martabat bendoro saya.”

“Omong kosong apa kamu itu.”

“Apa Den Mas lupa bahwa saya selalu menjaga Den Mas? Ketika sabuk Den Mas tertinggal di kamar den Arum, ketika Den Mas secara sembunyi-sembunyi mencarikan rumah untuk den Arum, ketika Den Mas memukuli saya karena mengira saya berkhianat, dan saya tetap mengabdi. Apakah itu semua tidak menunjukkan bahwa saya sangat peduli kepada Den Mas? Tapi kalau memang semua itu tidak ada artinya bagi Den Mas, dan Den mas ingin memecat saya, saya pasrah. Mulai besok saya akan keluar dari ndalem Adisoma.”

Adisoma terkejut, Tangkil benar-benar akan meninggalkannya? Bukankah tadi dia hanya mengancam saja? Masa dia akan membiarkan Tangkil pergi, dimana Tangkil adalah abdi setia yang selalu membelanya? Dan apa yang diucapkannya dengan mencela tindakannya kepada tumenggung Ranu juga adalah ujud kepeduliannya kepadanya?

Adisoma menyandarkan tubuh dan kepalanya pada sandaran mobil. Ia yakin bahwa tak akan sanggup ditinggalkan Tangkil yang sudah berpuluh tahun mengabdi kepadanya dengan segala pengabdian dan kesetiaannya.

“Aku hanya bingung,” gumamnya pelan.

Tangkil hanya diam. Takut ucapannya akan menambah murka sang bendoro.

“Mengapa kamu diam Kil?”

Tangkil menoleh ke arah sang bendoro.

“Saya harus bagaimana Den Mas? Tadi Den Mas menyuruh saya diam …”

“Kamu mengejek aku kan? Karena kegagalanku? Iya kan?” bicara Adisoma semakin aneh menurut Tangkil. Tapi dia mana berani berkomentar?

“Kenapa diam? Aku menyuruh kamu bicara sekarang.”

“Den Mas itu sebenarnya gagal dalam hal apa? Maksud saya, menurut Den Mas sendiri, yang gagal itu dibagian mana?” Tangkil agak berani bicara.

“Entahlah. Aku merasa semuanya tidak baik-baik saja. Barangkali aku gagal dalam memelihara rumah tanggaku, hidupku. Kamu tahu, aku merasa hidupku ini seperti melayang tanpa pegangan. Kacau. Apa yang harus aku lakukan Tangkil? Katakan, aku menyuruhmu bicara.”

“Maaf Den Mas, menurut saya, Den Mas harus melakukan sesuatu yang pasti.”

“Pasti itu apa?”

“Pasti yang saya maksud adalah sesuatu yang seharusnya.”

“Aku tidak mengerti.”

“Yang seharusnya Den Mas lakukan sekarang adalah memperbaiki rumah tangga yang rusak, yang tercerai berai.”

“Aku laki-laki Kil, masa aku harus mengemis belas kasihan istriku? Aku sudah mengatakan kalau aku tak akan menceraikannya. Apakah itu tidak cukup?”

“Untuk sebuah keinginan yang mulia, jangan lagi mengingat harga diri. Jangan berpegang pada kesombongan, mentang-mentang Den Mas adalah seorang laki-laki. Segala sesuatu yang ingin dicapai harus melalui sebuah pengorbanan.”

“Aku harus berkorban apa?”

“Korban perasaan.”

“Apa maksudmu?”

“Jangan Den Mas merasa tinggi, merasa menjadi laki-laki. Hilangkan rasa itu, demi terwujudnya sebuah keadaan yang baik, yang menciptakan ketenteraman dalam hidup. Kalau semua berpegang pada ke ‘aku’an, semua itu tidak akan terwujud.”

Adisoma terdiam. Sang abdi yang disebutnya sebagai gedibal itu bisa bicara sebagus itu? Hal yang tak pernah terpikirkan, sekarang diucapkan oleh seorang gedibal. Adisoma tidak membungkamnya dengan menyuruhnya diam. Justru dialah yang sekarang diam, mencoba merenung tentang kebenaran dari ucapan sang gedibal.

***

Mbok Manis masih menggendong Sekar. Untunglah Arum juga membawa bekal susu dalam kaleng dan botol, sehingga Sekar tidak rewel karena kelaparan. Bayi mungil itu sedang terlelap kekenyangan, sedangkan Aryo sudah beberapa saat lalu tidur di ranjang Saraswati.

Ketika mbok Manis akan menidurkan Sekar, Dewi memasuki ruangan, diikuti oleh Arum dan Listyo.

Dewi segera mendekati mbok Manis.

“Mbok, bayi ini adikku, bukan?” tanyanya sambil mengelus lembut pipi Sekar.

“Benar Den Ajeng, ini adik Den Ajeng.”

“Dia cantik.”

“Wajahnya mirip Den Ajeng.”

Dewi mencium pipinya, tapi kemudian ditegur oleh mbok Manis.

“Sebaiknya Den Ajeng cuci kaki tangan dulu, baru bisa menjamah bayi.”

“Harus begitu?”

Mbok Manis mengangguk, Dewi setengah berlari pergi ke kamar mandi.

“Mbok, Sekar tidak rewel?” tanya Arum.

“Tidak Den, sudah dua kali saya buatkan susu yang den Arum bawa.”

“Saya cuci kaki tangan dulu.”

“Den Arum tidak apa-apa?”

“Saya baik-baik saja,” katanya sambil berlalu.

“Saya akan menidurkannya di dekat den Aryo.”

Arum hanya mengangguk.

“Bibi mana?” tanya Listyo.

“Ada di kamar, sambil menidurkan den Sekar saya akan memberi tahu kalau den Listyo sudah datang.”

“Baiklah, aku tunggu di sini. Ini minuman utuh? Boleh aku minum?” tanya Listyo sambil meraih cangkir berisi minuman di atas meja.

“Masih utuh Den, nanti saya buatkan lagi setelah menidurkannya,” kata mbok Manis sambil berlalu.

***

Saraswati duduk di hadapan Listyo dan Arum, ketika Dewi menunggui Aryo dan Sekar yang terlelap di tempat tidurnya.

“Dewi senang sekali punya adik yang lucu-lucu, tampan dan cantik pula,” kata Saraswati dengan wajah berseri.

“Paman sudah pulang?”

“Pulang begitu saja, entah apa yang dipikirkannya. Tampaknya dia tak rela Arum bakal menjadi istri kamu.”

“Arum sudah bercerai.”

“Aku tahu, pamanmu juga tahu. Semoga ada yang bisa mengendapkan hatinya. Bagaimana keadaan Arum?”

“Saya baik, Den Ayu. Setelah infus habis saya minta pulang.”

“Kamu tidak boleh menyembunyikan rasa sakitmu, hanya karena memikirkan anak-anakmu.”

“Saya benar-benar baik, Den Ayu.”

“Itu, wajah Listyo juga masih sembab.”

“Tidak apa-apa Bibi, tadi sudah diolesi obat, nanti bengkaknya juga pasti hilang. Yang penting Arum baik-baik saja.”

“Maafkan pamanmu yang sedang gelap mata.”

“Saya bisa mengerti, Bibi.”

Tiba-tiba ponsel Listyo berdering.

“Dari kanjeng rama,” katanya sambil mengangkat ponsel.

“Ya, Kanjeng Rama … baiklah, besok saya pulang, ini masih di Jogya. Ini sedang di rumah bibi Saraswati. Baiklah.”

Rupanya Ranu ingin bicara dengan Saraswati, jadi Listyo segera mengulurkan ponselnya kepada bibinya.

“Ya, Kangmas,” sapa Saraswati sambil berdiri, dan menjauh dari Listyo dan Arum untuk menghindari perasaan tidak enak karena ia yakin sang kangmas Ranu akan bicara tentang hubungan Listyo dan Arum.

“Aku langsung ke pokok permasalahan saja ya. Beberapa waktu yang lalu aku kan nitip pesan sama kamu. Ini tentang Listyo. Kan aku sudah bilang, Listyo itu tergila-gila pada seorang janda, orang yang tidak punya derajat, dan punya dua anak pula. Itu kan tidak benar, itu kan melanggar tatanan yang ada pada keluarga kita? Karena itu aku kan minta pada kamu, supaya kamu mengingatkan Listyo, agar dia sadar bahwa jalan yang ditempuhnya itu salah. Oh ya, satu lagi … bukankah dia juga bekas selir suami kamu? Lalu apa jawabmu sekarang  Diajeng?”

Saraswati diam, dia sedang berpikir, darimana Ranu tahu bahwa Arum adalah bekas selir Adisoma? Oo, ya … pasti Adisoma sendiri yang mengatakannya. Dia masih tidak terima bekas selirnya menjadi istri laki-laki yang masih terhitung keponakannya. Tiba-tiba rasa kesal kepada suaminya muncul kembali, setelah beberapa saat sebelumnya ia merasa iba melihat keadaannya yang seperti orang linglung.

“Rupanya kangmas Adisoma sudah mengatakan semuanya kepada Kangmas?”

“Suamimu mengerti apa yang harus dilakukannya. Dia juga pasti tidak terima kalau bekas selirnya menjadi istri keponakannya. Ini kan tidak benar, Diajeng. Kamu tahu kan maksudku? Bukan hanya karena perempuan itu bekas selir suami kamu, tapi juga karena dia itu perempuan yang tidak punya derajat. Aku emoh punya menantu orang kebanyakan, Diajeng.”

“Kangmas, aku mohon maaf. Cara berpikir Kangmas dan aku sekarang sudah berbeda. Bahwa derajat seseorang bukan terletak pada dari mana dia dilahirkan, tapi dari budi luhur dan hati mulia yang dimilikinya.”

“Kamu itu sedang ngelindur? Mengigau?”

“Aku bicara dari hatiku yang paling dalam. Perjalanan hidup yang aku lalui mengajarkan aku tentang banyak hal.”

“Jadi maksudnya kamu menyetujui hubungan Listyo dengan perempuan pidak pedarakan itu?”

“Cinta itu suci. Cinta itu tidak memilih. Aku hanya melihat bahwa dia wanita yang baik, dan pasti tidak akan mengecewakan, karena aku tahu semenjak dia mengabdi di rumahku kala itu. Kangmas Adisoma merusaknya, membuatnya menderita.”

“Sekali lagi aku akan bertanya kepadamu, apakah kamu mendukung hubungan yang memalukan itu?”

“Maaf Kangmas, kalau boleh aku bicara. Putra Kangmas hanya satu. Harapan orang tua adalah melihat anaknya bahagia, bukankah begitu?”

“Tentu saja. Kamu tidak usah menggurui aku.”

“Kalau begitu biarkanlah dia memilih jalan hidupnya, karena hanya itu yang membuatnya bahagia.”

“Saraswati! Kamu tidak berpihak kepadaku!” Ranu berteriak.

“Kalau Kangmas ingin Listyo bahagia, biarkanlah dia memilih jalan hidupnya. Listyo bukan anak kecil, dia tahu mana yang harus dilakukannya.”

Lalu Saraswati menutup ponselnya, membiarkan tumenggung Ranu yang pastinya mencak-mencak karena kata-katanya.

***

Arum dan anak-anaknya diminta oleh Saraswati agar menginap sehari lagi, mengingat Dewi yang begitu senang bercanda dengan dua anak kecil yang adalah adik-adiknya satu ayah.

Listyo kembali ke Solo seorang diri, karena ia harus menemui sang ayah yang memanggilnya untuk menghadap.

***

Listyo sudah siap jawaban tentang keinginannya memperistri Arum. Ia tak akan mundur, bukan karena tak menghormati sang ayahanda dan ibundanya, tapi karena dia ingin memperjuangkan cintanya.

“Kamu benar-benar bodoh! Kamu tidak bertindak dengan akal warasmu dengan melupakan semua tatanan yang ada. Kamu ingin mempermalukan keluarga. Iya kan?”

“Mohon Kanjeng Rama memaafkan Listyo. Ini adalah pilihan hidup Listyo.”

“Kamu itu terkena guna-guna! Perempuan rendahan itu telah mempergunakan kekuatan setan untuk meluluhkan hatimu!”

“Kanjeng Rama jangan menuduh yang bukan-bukan. Arum perempuan baik-baik. Dia tidak perlu memakai guna-guna untuk menundukkan setiap pria.”

“Kamu benar-benar kurangajar! Kamu berani menentang ayahandamu ini, kalau begitu lebih baik ….”

Tumenggung Ranu sudah mengangkat tongkat penopang tubuhnya untuk menghajar sang putra, tapi tiba-tiba terdengar teriakan.

“Hentikan!!”

***

Besok lagi ya.

 

 

Tuesday, June 24, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 45

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  45

(Tien Kumalasari)

 

Beberapa saat lamanya semuanya terdiam. Semuanya serba tak terduga. Bahkan Adisoma tak mampu mengucapkan apapun. Perempuan yang dicarinya selama berbulan-bulan ternyata ada bersama istrinya? Dia menginginkan mereka berkumpul di rumahnya dan tak ada yang mendukungnya, lalu sekarang mereka benar-benar berkumpul di sini tanpa dirinya?

“Mengapa Kangmas datang kemari?” yang lebih dulu membuka suara adalah Saraswati. Tapi Adisoma masih menatap Arum yang menundukkan wajahnya. Aryo yang berdiri di dekat Saraswati sama sekali tak bereaksi melihat kedatangan sang ayah kandung. Ia bahkan menepuk pangkuan Saraswati berkali-kali, menunggu sang ibu angkat melanjutkan menyuapinya.

“Mammmm … mammmm … “ pekiknya.

Saraswati buru-buru menyuapi lagi Aryo yang tampaknya merasa kelamaan menunggu.

“Kamu ada di sini?” menggelegar kemudian suara Adisoma setelah terdiam beberapa saat lamanya, bukannya menjawab sapaan istrinya, justru menatap Arum dengan mata menyala. Ada marah di sana.

“Ya, saya di sini,” jawab Arum pelan. Tapi tak ada rasa takut melihat amarah terpancar dari mata Adisoma.

“Kamu ini benar-benar keras kepala, dan bertindak semau kamu sendiri. Apa maksudmu sebenarnya?” suara Adisoma lumayan keras.

“Bukankah sejak awal aku sudah bilang bahwa setelah melahirkan aku minta cerai? Sekarang sudah terjadi. Kita sudah bercerai dan kamu bukan siapa-siapa lagi bagiku,” suara Arum tandas, membuat Saraswati kagum pada keberaniannya. Diam-diam Saraswati merasa bahwa Arum memiliki karakter yang sama dengan dirinya. Keras dan berani.

“Itu anakku.”

“Lalu apa? Dia terlahir karena hawa nafsumu yang tak terkendali.”

“Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku akan bertanggung jawab?”

“Aku tidak butuh semuanya.”

“Sekarang dia akan menjadi tanggung jawab saya,” tiba-tiba sebuah suara datang setelah seseorang masuk dari pintu samping.

Adisoma menoleh, dan dengan heran melihat Listyo yang mengatakan bahwa Arum adalah tanggung jawabnya? Dengan mata menyala dia menghadapi Listyo.

“Apa maksudmu?” teriaknya marah.

“Arum adalah calon istri saya, Paman, jangan lagi mengusiknya,” kata Listyo tandas.

“Kamu benar-benar anak kurang ajar!”

Tiba-tiba Adisoma maju dan langsung mengayunkan tangannya untuk memukul wajah Listyo. Listyo yang tak siap menerima serangan terpaksa menerima pukulan itu, yang membuat kepalanya berdenyut. Saraswati dan Arum, juga Dewi yang datang bersama Listyo menjerit keras.

“Hentikaaan!” teriak Saraswati. Tapi Adisoma bukannya berhenti, dia mengulangi gerakannya, dan kembali menghantam kepala Listyo yang membuatnya terhuyung.

Arum melompat ke depan, persis ketika Adisoma melayangkan pukulan selanjutnya. Pukulan itu mengenai kepala Arum yang kemudian membuatnya terjatuh sambil memekik kesakitan.

Listyo marah bukan alang kepalang. Ia memburu Arum yang terjerembab di lantai, dan merangkulnya. Adisoma terpana. Ia ahli berkelahi sejak muda. Pukulannya bukan sembarang pukulan. Ada tenaga tersembunyi yang membuat orang biasa jatuh pingsan, dan sekarang Arum tergolek diam. Ia melihat Listyo menggendongnya dan meletakkannya di sebuah kursi panjang.

“Arum, sadar Arum, mengapa kamu nekat tadi?” pekik Listyo.

Saraswati menggendong Aryo dan memberikannya kepada mbok Randu, yang kemudian membawanya ke belakang sambil mulutnya nyerocos menghibur.

“Kita lihat ayam ya, lihat ayam di belakang … ayuk …”

“Bwwuuuu …” teriakan Aryo lenyap di balik pintu, dan barangkali mbok Randu berhasil membuatnya terhibur karena sudah tak lagi terdengar teriakan Aryo.

Saraswati marah bukan alang kepalang. Ia berlari ke kamar untuk mengambil minyak gosok, lalu membalurkannya ke tubuh Arum.

Adisoma menatapnya seperti orang linglung. Ia tak menyangka Arum berbuat senekat itu, demi melindungi Listyo. Rasa cemburu membakar jiwanya. Gemetar tangannya yang ingin kembali melayangkan pukulan terhadap Listyo, tapi sekarang Saraswati berdiri menghadapinya.

“Apa yang Kangmas lakukan? Ini rumahku, dan tidak seorangpun bisa membuat kegaduhan di sini.”

Adisoma tak mampu mengatakan apa-apa. Hatinya diliputi oleh rasa sesal dan marah tak terkira. Tapi kemudian dia merasa lemas. Semuanya seperti mimpi. Kemudian ia melihat Listyo menggendong Arum, dibawanya keluar.

“Bibi, saya akan membawanya ke rumah sakit,” katanya sambil terus berlalu. Dewi yang sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi, mengikuti Listyo ke arah mobil. Lalu terdengar mobil keluar dari halaman.

Adisoma terduduk di kursi dengan tubuh lunglai. Ia mengusap  kasar wajahnya, tanpa mampu mengatakan apa-apa.

“Kalau sampai terjadi apa-apa pada Arum, Kangmas akan menerima akibatnya.”

Sesungguhnya kedatangannya ke rumah Saraswati hanyalah akan mempertanyakan keinginan cerai dari istrinya itu. Ia dengan segala kecongkakannya, tadinya enggan mengalah, dan akan membiarkan saja proses perceraian itu, tapi Tangkil membujuknya agar Adisoma mau mendekati kembali Saraswati, dan membujuknya agar mengurungkan niatnya. Tapi apa hendak dikata, di rumah sang istri dia mendapati Arum, bahkan akan menjadi istri Listyo? Adisoma benar-benar tak mengerti, bagaimana semua ini bisa terjadi.

Rasa marah membakarnya, serasa tak terima Arum menjadi milik orang lain, padahal Arum sudah menceraikannya.

“Bagaimana semua ini bisa terjadi?”

“Mengapa Kangmas marah-marah?”

“Bagaimana ini semua bisa terjadi?” Adisoma mengulang kata-katanya. Kejadian yang tak terduga membuatnya seperti orang linglung. Benar-benar linglung. Melihat keadaannya, Saraswati diam-diam merasa iba. Ia meraih cangkir minuman yang tadi disajikan oleh salah seorang abdi, lalu diberikannya kepada Adisoma.

“Minumlah dulu, biar hatimu tenang.”

Suara lembut yang sudah lama tak pernah didengarnya itu tiba-tiba mengusik perasaannya. Ditatapnya Saraswati dengan pandangan lebih teduh, lalu diterimanya cangkir yang diulurkannya, dicecapnya sampai habis, tandas.

Saraswati menerima cangkir yang sudah kosong itu, meletakkannya di meja, lalu duduk di depannya.

“Listyo menemukan Arum yang terlunta-lunta, lalu memberinya tempat tinggal. Hari-hari yang berjalan, kemudian membuat keduanya saling jatuh cinta. Listyo datang kemari untuk meminta pendapatku tentang wanita yang akan dinikahinya. Aku juga terkejut karena wanita itu adalah Arum. Tapi aku mendukungnya karena Arum adalah wanita yang baik. Entah bagaimana nanti sikap kangmas Ranu, yang jelas Listyo sudah mantap akan memperistrinya. Kangmas cemburu? Kangmas masih mengharapkan dia, sementara dia sudah tak mau lagi menjadi istri Kangmas?”

Saraswati bercerita panjang lebar mengenai hubungan Listyo dan Arum, Adisoma mendengarnya tanpa memotong sepatah katapun, seperti anak kecil mendengarkan sang ibu mendongeng tentang seorang putri dan pangeran berkuda putih, yang membawanya terbang menembus langit biru.

Adisoma meraih cangkirnya lagi, dan Saraswati mengambilkan cangkir lainnya yang masih utuh karena belum pada sempat meminumnya. Adisoma kembali meneguknya habis,

Wajah yang semula merah padam dibakar amarah itu kemudian tampak kuyu memprihatinkan, membuat Saraswati semakin iba. Apakah masih ada cinta yang tersisa dihati Saraswati kepada sang suami? Nyatanya melihatnya lusuh, hatinya masih saja terusik.

“Apakah Kangmas mau kita makan bersama? Mbok Randu sudah mempersiapkan semuanya di ruang makan. Tadi baru Aryo yang makan, aku yang menyuapinya.”

Mendengar kata Aryo, mata Adisoma mencari-cari.

“Aryo sedang melihat ayam di kandang belakang. Sekar ada di depan bersama mbok Manis.”

“Aku ingin melihat Aryo dan Sekar,” katanya lirih. Bagaimanapun mereka adalah darah  dagingnya. Melihat tak ada lagi kemarahan di hati Adisoma, Saraswati segera mengutus salah seorang abdi untuk memanggil mbok Randu dan mbok Manis yang sedang membawa anak-anak Arum.

Tapi begitu dekat, yang diteriaki Aryo adalah Saraswati.

“Bwuuuu …. Bwwuuuu ….”

Saraswati mengambil Aryo dari gendongan mbok Randu.

“Itu bapak … kamu lupa?”

“Tatataaaa … tataaaa …tat…”

Adisoma meraihnya, tapi Aryo merangkul leher Saraswati dengan erat.”

“Dia masih lupa, ayo Kangmas makan dulu saja, aku mau menelpon Listyo, menanyakan bagaimana keadaan Arum.”

***

Walau merasa khawatir ketika Arum sedang dalam penanganan, Listyo bisa menceritakan semuanya yang terjadi, membuat Dewi terheran-heran.

“Jadi Arum itu selir ayahku? Lalu kamu jatuh cinta padanya?”

“Entah bagaimana, tapi rasa cinta itu kan bisa datang kapan saja. Semenjak kamu lari dari aku, aku tak pernah jatuh cinta. Kali ini aku menyadari, bahwa aku benar-benar mencintai Arum, dan aku tak mau kehilangan untuk kedua kalinya.”

“Itu sebabnya tadi ayahanda marah?”

“Arum sudah menceraikannya. Sejak kelahiran anaknya yang kecil, Arum sudah mengatakan bahwa dia minta diceraikan.”

"Sungguh aneh.”

Ketika berbincang itu tiba-tiba ponsel Listyo berdering, ternyata dari Saraswati yang menanyakan keadaan Arum.

“Masih ditangani, Bi. Katanya sih tadi tidak berbahaya. Saya belum bisa bertemu dia.”

“Semoga Arum baik-baik saja.”

“Apakah paman masih di situ?”

“Sedang makan, tampaknya dia sudah bisa mengerti.”

“Tidak marah lagi?”

“Maafkanlah dia, dia juga sangat terkejut dan tidak menduga bisa bertemu Arum di rumah bibi ini.”

”Baiklah. Sebentar Bibi, sepertinya saya dipanggil masuk,” kata Listyo yang kemudian menutup ponselnya, lalu bergegas menghampiri perawat yang memanggilnya.

“Ibu Arum sudah siuman, silakan kalau mau menemuinya.”

Listyo melambaikan tangan ke arah Dewi, diajaknya masuk.

Arum masih terbaring, dengan selang infus terhubung di tangannya. Ia tersenyum ketika melihat Listyo.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Aku sudah tidak pusing, aku mau pulang.”

“Nanti dulu, harus mendapat ijin dari dokternya. Lagipula kamu masih diinfus.”

Arum tiba-tiba melihat Dewi datang mendekat.

“Ini Dewi, putri bibiku.”

“Oo, selamat bertemu, Den Ajeng,” sapa Arum sambil tersenyum.

“Mengapa den ajeng? Namaku Dewi.”

“Saya sudah sering mendengar cerita tentang Den Ajeng.”

“Dewi, bukan den ajeng.”

“Tapi den ajeng kan putri den ayu Saraswati.”

“Tapi aku bukan den ajeng, panggil namaku saja. Sebentar lagi mbak Arum kan jadi kakakku?” goda Dewi, membuat Arum tersenyum.

“Entahlah, semuanya kan belum pasti. Hanya Tuhan yang bisa memberikan saya jodoh yang baik.”

“Mas Listyo ini laki-laki yang baik lhoh.”

“Kalau baik, mengapa dulu jeng Dewi meninggalkannya?” kata Arum yang mengubah panggilannya.

“Karena bukan jodohku.”

“Dewi ini sudah punya pacar. Dia Satria, mahasiswaku yang baik dan pintar.”

“Benarkah? Aku ikut senang.”

“Kalau kamu masih belum merasa baik, rawat inap adalah pilihan yang tepat, agar dokter bisa memantau sakitmu.”

“Aku merasa baik. Jangan sampai aku dirawat, bagaimana dengan anak-anakku? Lagi pula mas Listyo tadi juga kena pukulan, lihat, wajahmu sedikit bengkak.”

“Tidak apa-apa, aku merasa baik. Yang penting itu kamu.”

“Aku hanya memikirkan anak-anakku.”

“Anak-anak dirawat oleh bibi dengan baik.”

“Tapi aku tidak bisa meninggalkannya, aku harus pulang.”

“Baiklah, aku akan bicara dengan dokternya dulu.”

***

Akhirnya Aryo mau digendong Adisoma. Sungguh mengherankan karena dengan Saraswati Aryo dengan mudah mengingatnya, tapi terhadap Adisoma membutuhkan waktu untuk bisa ‘berdamai’ kembali.

Saraswati merasa lega, setelah Listyo menelponnya dan mengatakan bahwa Arum baik-baik saja.

“Baru saja Listyo menelpon, katanya Arum baik-baik saja, dan kemungkinan hari ini dia bisa keluar dari rumah sakit.”

“Hm …” hanya itu jawaban Adisoma. Ia merasa belum bisa menerima keadaan yang dilihatnya hari itu di rumah Saraswati.

Tak lama setelah berbincang, Adisoma berpamit kepada istrinya.

“Aku harus pulang siang ini. Nanti malam masih ada acara di keraton.”

“Sebenarnya apa maksud kedatangan Kangmas kemari?”

“Aku ingin membicarakan tentang surat dari kantor urusan agama tentang kamu yang menggugat cerai.”

“Bukankah itu yang terbaik?”

“Tidak, pikirkan baik-baik keinginanmu itu. Sementara aku pulang dulu, kamu bisa memikirkannya. Kamu harus tahu bahwa aku tak ingin bercerai darimu.”

Adisoma pergi begitu saja, tanpa menunggu Arum yang kembali dari rumah sakit.

***

Di perjalanan pulang, Adisoma tak banyak bicara.

“Saya kira Den Mas akan menginap,” tanya Tangkil yang menjadi sopir sejak keberangkatan mereka.

“Tidak, aku butuh menenangkan diri.”

“Apakah terjadi sesuatu tentang den Arum?”

“Tidak. Diamlah, aku akan menelpon seseorang,” kata Adisoma yang kemudian mengambil ponselnya.

“Hallo, ya ini aku, Kangmas Ranu, Adisoma. Ada yang ingin aku katakan.”

Ternyata Adisoma menelpon tumenggung Ranu, ayahanda Listyo.

***

Besok lagi ya.

 

Monday, June 23, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 44

 CINTAKU JAUH DIPULAU SEBERANG  44

(Tien Kumalasari}

 

Ketiga orang saling menatap dengan perasaan yang berbeda-beda. Mereka juga terkejut, dengan pertanyaan yang berbeda-beda juga. Saraswati merasa heran karena melihat Listyo datang bersama Arum dan anak-anaknya. Arum heran karena bibi Listyo adalah den ayu Saraswati, dan Listyo heran melihat Aryo langsung merosot turun dari gendongannya, berlari tertatih mendekati sang bibi.

“Bbwwuuu … Bwwuuuuu … ,” pekiknya sambil merangkul kaki Saraswati. Walau belum hilang rasa terkejutnya, Saraswati segera mengangkat tubuh Aryo, yang kemudian dengan kedua tangan kecilnya menepuk-nepuk pipi Saraswati.

“Aryo, kamu datang untuk ibu?”

“Bwwuuu …. bwwuuu …,” celotehnya sambil terkekeh senang.

Saraswati menciumi pipi Aryo dengan gemas.

Sementara itu Arum menatap Listyo dengan tatapan tajam. Ia tak menyangka bahwa Listyo masih kerabat den ayu Saraswati.

“Bibi, apakah kedatangan saya mengejutkan Bibi?” tanya Listyo pada akhirnya.

Saraswati menatap Listyo, sementara Aryo masih menepuk-nepuk pipinya.

“Kamu mengenal mereka ini?”

“Ini Arum, wanita yang ingin Listyo nikahi,” kata Listyo pelan.

“Dia?” tanya Saraswati terkejut.

“Benar, Bibi. Walaupun dia janda beranak dua, tapi saya mencintainya.”

Arum langsung marangkapkan kedua tangannya kearah Saraswati.

“Mohon Den Ayu memaafkan saya, saya sama sekali tidak menduga kalau ….”

“Listyo mencintai kamu … apakah kamu pernah mengatakan siapa ayah dari anak-anakmu ini?”

Arum menggelengkan kepalanya pelan. Perasaan takut menyelimutinya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa Listyo adalah kerabat Adisoma.

“Listyo, apa kamu tahu bahwa Arum adalah selir dari pamanmu Adisoma?”

Listyo terkejut. Ia menatap Arum yang kemudian mengangguk pelan.

“Begitu ya? Tapi bukankah Arum sudah membatalkan pernikahan siri dengan paman Adisoma?”

Listyo sudah mendengar perjalanan hidup Arum yang sudah menceritakannya dengan gamblang. Sejak bertemu dengan laki-laki yang tidak lagi muda, yang memberinya perhatian penuh, lalu Arumpun jatuh cinta, kemudian setelah Arum hamil lalu laki-laki itu kabur, dan bertemu lagi ketika ia mengabdi pada sebuah keluarga yang ternyata laki-laki di keluarga itu adalah laki-laki yang telah meninggalkannya, dan semuanya Arum sudah mengatakannya. Listyo sudah tau, hanya saja Arum tidak menyebut nama. Tak ada nama disebutkan, dan Listyo tidak pernah mendesak untuk menanyakannya. Ia terkejut ketika mendengar bahwa ayah dari Aryo dan Sekar adalah Adisoma. Tapi hal itu tak membuat Listyo mundur. Ia tak pernah jatuh cinta lagi setelah Dewi meninggalkannya, dan sekarang, ketika ada cinta menghampirinya, maka ia tak ingin melepaskannya. Walau sulit, cinta itu harus diperjuangkan.

“Mas Listyo, biarkan saya pergi,” kata Arum lirih. Ia merasa dunia begitu sempit. Betapapun ia ingin menghindar dari kehidupan Adisoma, ternyata ia kembali menemukannya. Pasti akan bertemu, karena Listyo masih kerabatnya.

“Tidak Arum, kamu adalah calon istri aku. Kamu harus selalu bersama aku.”

Saraswati menatapnya bingung. Begitu besar cinta Listyo kepada Arum, tanpa peduli bahwa Arum adalah bekas selir Adisoma. Masalah besar sedang menanti Listyo. Bagaimana menghadapi Adisoma nanti, dan bagaimana menghadapi orang tuanya yang sudah jelas menentang hubungannya dengan perempuan biasa, bahkan yang sudah beranak dua.

“Listyo, kamu sudah memikirkan semuanya masak-masak?”

“Saya datang kemari agar Bibi mengenal wanita yang menjadi pilihan saya. Apakah Bibi juga akan menentang hubungan kami ini?”

“Mas Listyo, biarkan saya pergi.”

“Tidak. Apa kamu takut? Ada aku yang akan selalu melindungi kamu. Kamu tidak akan menjalani hidup kamu seorang diri. Aku akan selalu ada untuk kamu.”

Saraswati tersenyum tulus. Ia tahu Arum adalah wanita yang baik. Apa yang menimpanya adalah takdir yang harus dijalaninya. Ia berhak bahagia. Ia berhak mendapatkan laki-laki yang bisa menjadi pelindungnya.

“Arum, kamu mendapatkan laki-laki yang mencintai kamu dengan tulus. Jangan lagi lari dari kehidupan baik yang menunggu kamu. Sudah saatnya kamu menemukan hidup tenang dan bahagia,” kata Saraswati sambil berdiri, membiarkan Aryo merangkul lehernya, kemudian terkulai di pundaknya. Aryo mengantuk. Saraswati mengelus punggungnya.

“Apakah itu berarti bahwa Bibi mendukung keinginan Listyo?”

“Kalau kamu ingin menjalani kehidupan yang baik, kenapa tidak? Aku tahu Arum wanita yang tidak akan mengecewakan kamu. Hanya saja kamu akan banyak menghadapi rintangan. Apa kamu sadar?”

“Saya mengerti, Bibi. Tapi tekad saya sudah bulat. Saya tidak akan mundur selangkahpun demi cinta saya ini.”

Arum menghapus air matanya. Ia melihat orang-orang baik didekatnya. Ada haru menyelimuti ketika melihat Aryo tidur di pundak Saraswati. Dulu pernah menjadi anak angkatnya, dialah yang memisahkan mereka sementara ikatan diantara keduanya sudah terjalin, sejak Aryo masih bayi.

Mbok Manis yang keluar untuk menghidangkan minuman, sedikit banyak mendengar perbincangan mereka. Ada rasa senang ketika mendengar Listyo ingin memperistri Arum. Ia melihat kedekatan Aryo dan den ayu Saraswati, dan itu membuatnya terharu. Entah dengan cara apa, bahagia bisa saja tercipta kapan saja.

“Silakan diminum,” kata mbok Manis sambil meletakkan beberapa cangkir berisi minuman di atas meja, sambil tersenyum menatap Arum.

“Den Aryo tidurnya enak sekali, apa harus saya tidurkan di kamar, Den Ayu?” kata mbok Manis sambil mengulurkan tangannya ke arah Aryo yang terlelap dalam gendongan Saraswati.

“Biar saya pangku saja, nanti dia malah terbangun.” kata Saraswati sambil duduk.

“Biar saya yang memangkunya, Bibi,” kata Listyo menawarkan diri.

“Tidak apa-apa. Aryo sedang kangen sama ibunya,” kata Saraswati sambil mendekap punggung Aryo.

Listyo terharu, ternyata sudah begitu dekat sang bibi dengan Aryo. Benar kata Arum, bahwa ibu angkatnya memang sangat menyayangi Aryo.

“Bibi, saya mau mengajar sebentar, bolehkah saya menitipkan Arum dan anak-anaknya di sini dulu? Sebenarnya saya hanya ingin mengenalkan Arum kepada Bibi, tidak tahunya ternyata mereka sudah sangat mengenal dekat. Saya tidak mengira, wanita sangat baik dan penuh kasih sayang yang diceritakan Arum adalah Bibi saya ini,” kata Listyo sambil mendekat ke arah Saraswati.

“Arum mengatakan itu?”

“Iya. Dia juga masih menyimpan perhiasan pemberian Bibi.”

“Oh, ya ampuun, apa kamu tidak mempergunakannya untuk mencukupi kebutuhan anak-anakmu, Arum?”

“Selama ini kami hidup berhemat. Saya hampir menjual kalung saya ini untuk modal berdagang, ketika tiba-tiba mas Listyo melamar saya dan melarang saya menjualnya.”

“Bagaimana ceritanya, sehingga kalian bisa bertemu? Memang barangkali semua ini sudah kehendak Yang Maha Kuasa.”

“Nanti biar Arum yang menceritakannya, Bibi. Saya akan mengajar sebentar. Paling-paling dua jam saya sudah kembali.”

“Baiklah, hati-hati.”

“Arum, kamu di sini dulu ya. Aku tidak akan lama.”

Arum hanya mengangguk lalu menundukkan wajahnya.

“Mbok, tidurkan saja anak Arum yang kecil ini di kamar, tapi jangan kamu tinggalkan. Tampaknya dia sudah bisa bergerak banyak, nanti kalau bangun dan tidak ketahuan, bisa-bisa terjatuh.”

“Baiklah, mana den Arum, biar saya tidurkan di kamar.”

“Panggil saya Arum, tidak usah pakai den ya Mbok, saya masih seperti dulu.”

“Den Arum akan menjadi istri den Listyo juga, mana bisa saya hanya memanggil nama?”

“Saya merasa tidak enak.”

“Nggak apa-apa, mana … saya tidurkan den kecil di kamar, saya akan menungguinya sampai dia terbangun,” kata mbok Manis sambil meraih Sekar yang masih ada di gendongan Arum.

“Terima kasih Mbok, terima kasih, Den Ayu.”

“Jangan sungkan, Arum. Oh iya Mbok, bilang sama mbok Randu agar menyiapkan makan siang untuk kami. Listyo akan kembali tidak lama lagi.”

“Baik, sambil ke kamar saya akan menyampaikan pesan Den Ayu.”

***

Arum sudah menceritakan semuanya. Bagaimana polahnya ketika ingin pergi dari kota Solo, lalu ketemu Listyo yang melarangnya pergi karena waktu itu baru dua hari dirinya melahirkan Sekar. Lalu Listyo memintanya tinggal di pavilyun rumahnya, dan akhirnya dia melamarnya.

“Sebuah perjalanan hidup kamu yang sangat memprihatinkan, Arum. Semoga setelah ini kalian hidup berbahagia.”

“Aamiin, terima kasih Den Ayu.”

“Panggil saya bibi.”

“Tidak berani, Den Ayu. Biarlah seperti biasanya saja.”

“Ya sudah, terserah kamu saja, dengan berjalannya waktu, kita bisa menempatkan diri kita, dan bagaimana seharusnya kita bersikap.”

“Sesungguhnya saya takut menjalani hidup bersama mas Listyo. Saya ini siapa, dan mas Listyo ini siapa. Biarpun saya belum tahu bahwa mas Listyo adalah keturunan priyayi luhur, tapi sudah jelas kami tidak sepadan. Saya hanya perempuan kampung yang bodoh, tanpa pendidikan, sudah janda, punya dua anak pula. Tapi mas Listyo meyakinkan saya bahwa ini adalah jalan hidup kami yang harus kami jalani dengan penuh keyakinan. Saya hanya bisa pasrah, entah akan menjadi baik, atau menjadi buruk, saya akan menerimanya sebagai takdir yang tidak bisa saya hindari.”

“Kamu wanita yang baik, aku percaya bahwa kamu akan menemukan yang terbaik untuk hidup kamu.”

“Aamiin, terima kasih karena telah membesarkan hati saya.”

“Minumlah, kalian baru saja melakukan perjalanan jauh, pasti haus. Sebentar lagi kita makan. Mbok Randu baru menyiapkan makan siang, sebentar lagi Listyo datang.”

“Biar Aryo saya gendong, Den Ayu. Pasti Den Ayu akan capek.”

“Tidak. Biar begini. Aku tidak capek, kan hanya memangku saja.”

***

Seperti biasa, disaat kosong, Dewi dan Satria selalu bercengkerema bersama di kampus. Entah sedang duduk berdua di bawah pohon beringin, atau sedang menikmati es kelapa muda di kantin.

Walau tidak melakukan hal-hal yang melewati batas pertemanan, tapi kebersamaan mereka sangat tampak dan semua orang tahu bahwa mereka tidak sekedar berteman.

Siang hari itu keduanya sedang menikmati segarnya angin siang dibawah sebuah pohon rindang. Ada canda, ada pembicaraan serius, yang selalu saja ada ketika mereka sedang berdua. Mereka berpisah ketika Satria ada kelas, dan Dewi masih harus menunggu.

“Aku nanti pulang sore, jadi tidak bisa mengantar kamu,” kata Satria sambil berdiri.

“Tidak apa-apa, aku setelah ini pulang, sampai ketemu besok pagi. Akan aku bawakan kamu jambu dersana. Nanti aku akan mengambilnya di kebun.”

“Iya, ingat pak Listyo yang berkali-kali mengingatkan jambu dersana, saya belum jadi main ke sana.”

“Mas Listyo juga jarang pulang ke rumah, lebih suka pulang ke Solo walau selesai mengajar sampai menjelang malam. Sepertinya tadi sedang mengajar, aku tadi melihatnya.”

“Iya benar, tapi tadi bilang akan segera pulang, katanya mau ke rumah bibinya.”

“Oh ya? Bisa numpang dong, kalau bisa sama-sama pulang,” kata Dewi.

Saling melambaikan tangan adalah cara berpisah mereka sebelum esok hari bertemu lagi.

***

Arum masih berbincang dengan Saraswati, ketika Aryo sudah terbangun tapi masih menggelendot pada Saraswati. Tampaknya dia benar-benar kangen pada ibu angkatnya.

“Apakah Aryo masih makan bubur?”

“Tidak, makan nasi sudah biasa.”

“Ayo diambilkan dulu, di meja makan sepertinya sudah siap. Aku atau mbok Randu tidak tahu apa yang disukai Aryo,” kata Saraswati sambil berdiri, dan berjalan dengan menggendong Aryo.

Arum sebenarnya sungkan, Aryo sangat bergantung pada Saraswati, bahkan mengabaikan ibunya sendiri. Sekarang dia merosot turun, mengikuti langkah Saraswati menuju ke ruang makan.

“Aryo jangan nakal ya,” kata Arum.

“Bwwuu… bwuuu…”

“Aryo mau makan apa?”

Arum segera mengambilkan nasi dan sayur, yang kebetulan ada sup ayam. Tapi ketika disuapi oleh Arum, Ario melengos …

“Bwwuuu… “ tangan kecilnya menunjuk ke arah Saraswati.

“Aryo, nggak boleh nakal ya, sini, makan dulu …”

“Bwuuu… “

Saraswati tersenyum, ia segera mengambil mangkuk berisi nasi sup dari tangan Arum, lalu ditunjukkannya kepada Aryo, Aryo mendekati Saraswati dan menurut ketika Saraswati menyuapinya, membuat Saraswati tertawa senang.

“Anak pintar, ayo makan tapi harus duduk ya,” katanya sambil mendudukkan Aryo di sebuah kursi.

Arum geleng-geleng kepala. Ia tak mengira Aryo sedekat itu dengan ibu angkatnya.

Ia baru saja selesai menyusui Sekar yang kemudian digendong mbok Manis ke serambi depan.

Tiba-tiba terdengar mobil memasuki halaman.

“Mbok, sepertinya Listyo sudah datang. Meja makan sudah siap?”

“Sudah, Den Ayu, semuanya masih hangat.”

Tapi ketika terdengar langkah-langkah kaki, yang muncul adalah Adisoma. Arum sangat terkejut. Ia ingin lari tapi tak sempat lagi, karena Adisoma sudah melihatnya.

***

Besok lagi ya.