Wednesday, February 12, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 35

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  35

(Tien Kumalasari)

 

Ardi heran. Harusnya dia pulang hari Sabtu kemarin. Dia tidak mau diajak bareng karena bawa mobil sendiri. Tapi mana?

“Kamu ketemu suamiku?”

“Ya, aku main ke rumahnya, lalu mengajaknya makan malam, lalu dia tidur di hotel bersama aku, ngobrol ke sana kemari. Tapi hari Sabtunya kami tidak bertemu. Aku sibuk dengan urusanku, lalu dia entahlah, apakah hari Sabtu dia juga dinas di rumah sakit?”

“Dinas, pagi harinya, tapi sorenya dia tidak praktek.”

“Kalau begitu harusnya dia pulang. Coba kamu telpon dia.”

“Kamu saja yang menelpon. Aku sedang bersama anakku, nanti dia terbangun.”

Ardi memutar nomor ponsel Guntur, tapi tidak tersambung. Tampaknya ponselnya mati.

“Tidak tersambung?”

“Ponselnya mati. Apa dia praktek Sabtu sore, dan karena itu dia baru pulang pagi ini?”

“Entahlah, biasanya tidak. Setiap Sabtu sore dia pulang ke rumah.”

“Ya sudah, kita tunggu saja dia, siapa tahu dia sedang dalam perjalanan dan mematikan ponselnya karena tidak mau diganggu saat menyetir.”

“Baiklah, ayo masuk. Aku tidurkan anakku dulu, lalu kita ngobrol.”

Ardi mengikuti Kinanti masuk ke dalam rumah. Dalam hati  dia bertanya-tanya, mengapa Guntur tidak pulang padahal tadinya sudah berjanji ketemuan pagi itu.

Ketika keluar, Kinanti membawa nampan berisi dua gelas kopi panas.

“Silakan diminum.”

“Terima kasih. Kamu sendirian di rumah ini?”

“Hanya bersama Emma, anak bayiku.”

“Kamu tidak cari pembantu?”

“Tidak. Aku bisa mengurus rumah sendirian.”

“Anakmu yang besar?”

“Bersama orang tuaku. Setelah aku melahirkan, ibuku membawanya ke rumah. Tidak tega melihat aku mengurus dua bocah kecil.”

“Ada baiknya kamu cari pembantu. Bagaimanapun bayi kecil butuh  perhatian ekstra.”

“Aku mencobanya dulu. Kalau memang tidak bisa, aku bawa bibik kemari. Bibik sudah ikut orang tuaku sejak aku masih kecil. Kesetiaannya tidak usah diragukan. Dia juga sudah tahu apa yang harus dilakukan.”

“Benar. Cari pembantu sekarang susah. Gajinya besar, belum tentu pekerjaannya benar. Ada juga yang pura-pura jadi pembantu, pada awalnya baik, lama-lama ketahuan mencuri.”

Kinanti tertawa.

“Tahu dari mana kamu tentang pembantu?”

“Dari ibuku.”

“Oh, iya, dari ibumu. Aku kira kamu sudah punya rumah sendiri, lalu mempunyai pembantu sendiri.”

“Enggak, lebih nyaman bersama orang tua.”

“Kecuali kamu sudah punya istri. Pasti kamu lebih nyaman bersama istri.”

“Ah, setiap ketemu, soal istri saja yang dibicarakan. Guntur kemarin juga begitu. Sebbbelll.”

“Memang sudah saatnya kan, kenapa harus sebel.”

“Nggak tahu kenapa, setiap kali ketemu orang selalu yang dibicarakan soal menikah. Padahal aku belum ingin.”

“Ya sudah, nggak usah sebel. Kopinya diminum dulu, sambil menunggu mas Guntur. Nanti sarapan di sini ya? Aku sudah menyiapkan makanan untuk kalian.”

“Kamu juga sempat masak?”

“Tidak, dikirim dari rumah ibu,” jawab Kinanti sambil tertawa.

“Oh, kirain,” kata Ardi sambil menyeruput kopinya.

***

Di rumah Wanda, sedang ada keramaian yang semarak. Wahyu ulang tahun, dan sang ibu mengijinkan dia mengundang teman-temannya.

Tapi yang lebih semarak adalah hati Wanda. Bagaimana tidak, dia berhasil membujuk Guntur agar mau datang ke pesta ulang tahun anaknya. Padahal sebenarnya Guntur ingin pulang pada hari Sabtunya.

Guntur duduk agak jauh dari arena keramaian anak-anak yang asyik bermain dan bernyanyi, sambil menikmati hidangan lezat yang disiapkan oleh Wanda. Guntur merasa terharu. Wahyu tidak pernah mengenal ayahnya, sedangkan ayah sambungnyapun tidak menjadi ayah yang baik untuknya.

Sementara itu, bu Wita yang ada di dalam rumah, melihat keluar, bukan hanya kegembiraan anak-anak yang tak henti-hentinya bernyanyi dan berteriak-teriak riang, tapi juga melihat rona bahagia di wajah anak perempuannya.

Ia merasa pernah melihat wajah teman Wanda, tapi lupa kapan dan di mana. Guntur sudah banyak berubah. Dia bukan lagi laki-laki muda yang kurus dan sederhana. Dia tampak gagah dan matang. Dalam hati bu Wita bertanya-tanya, siapakah laki-laki yang berhasil membuat wajah Wanda berbinar bahagia? Apakah dia laki-laki yang dipilihnya untuk menjadi pendamping hidupnya?

Selama ini Wanda belum pernah menceritakan tentang teman dekatnya. Tapi sepertinya sang anak sudah menemukan apa yang dicarinya,

“Benarkah laki-laki itu? Tampaknya baik dan berwibawa. Semoga benar menjadi jodohnya,” bisik bu Wita yang hanya melihatnya dari kejauhan.

Tapi Guntur tak bisa berlama-lama. Ia harus pulang siang hari itu, karena ketidak datangannya pasti menimbulkan banyak pertanyaan. Tapi ketika ia merogoh ponsel yang dikiranya ada di dalam saku, ternyata tidak ada.

“Aku lupa, meninggalkan ponselku di rumah,” gumamnya sambil berdiri.

“Guntur, kamu mau ke mana?”

“Aku mau pulang dulu untuk mengambil ponselku, lalu aku harus menemui anak istriku. Seharusnya aku pulang kemarin.”

“Guntur, kamu sudah hidup bahagia, apa salahnya memberikan kebahagiaan untuk aku dan anakku sedikit saja?”

“Iya, sudah aku lakukan, dengan memenuhi permintaan kamu bukan? Sekarang aku pamit dulu, kasihan Kinanti pasti menunggu.”

“Baiklah, pamit juga pada Wahyu ya, supaya nanti dia tidak bertanya-tanya. Tadi dia sudah senang sekali karena ‘pak dokter’ memberikan perhatian pada hari ulang tahunnya,” kata Wanda sambil menarik tangan Guntur, diajaknya menemui Wahyu yang masih bermain bersama teman-temannya.

“Wahyu, om dokter mau pulang nih,” teriak Wanda, yang membuat Wahyu kemudian menoleh dan berlari ke arahnya.

“Om dokter mau pulang?”

“Iya. Om dokter senang melihat kamu berbahagia,” katanya sambil menyalami Wahyu, yang kemudian mencium tangannya.

“Besok-besok main lagi kemari ya Om?”

“Baiklah. Kalau senggang, om akan datang kemari.”

Wahyu kembali berlari untuk menemui teman-temannya.

***

Ketika keramaian itu sudah bubar, bu Wita mendekati Wanda yang sedang merapikan mainan Wahyu yang berantakan.

“Wanda, siapa laki-laki yang bersama kamu tadi?”

“Dia … Guntur,” jawab Wanda sambil melanjutkan pekerjaannya.

“Guntur … dia Guntur teman kamu sewaktu SMA?”

“Dia sudah menjadi dokter, kebetulan praktek di kota ini.”

“Ah, iya … ibu ingat, wajah sederhana itu … yang sekarang sudah berbeda.”

“Dia sudah menjadi orang yang sukses.”

“Kamu … masih menyukai dia?” tanya bu Wita tanpa bertanya apakah Guntur sudah berkeluarga atau belum.

Wanda tersipu.

“Bukankah Ibu ingin mendapatkan menantu yang baik?”

“Tampaknya dia baik. Apakah kalian saling suka?”

“Sejak dulu Wanda menyukainya. Tapi Wanda belum tahu bagaimana perasaannya sekarang terhadap Wanda.”

“Kalau memang dia baik, ibu berharap kalian bisa melanjutkan hubungan kalian kejenjang yang lebih serius. Bukan saatnya kalian pacaran seperti anak-anak muda pada umumnya.”

“Iya Bu, Wanda tahu,” katanya sambil membawa kotak yang sudah berisi mainan Wahyu yang dirapikan.

“Apa Guntur belum berkeluarga?” akhirnya pertanyaan itu muncul, tapi Wanda hanya menoleh sekilas dan tersenyum.

Bu Wita tidak begitu tanggap akan arti senyuman anak perempuannya. Tapi sungguh dia berharap, Wanda akan menemui kebahagiaan.

***

Ardi pamit karena sudah hampir seharian berbincang bersama Kinanti. Ia juga sudah menghabiskan hidangan makan yang disiapkan Kinanti, yang sedianya akan dimakan bersama Guntur, tapi karena Kinanti keburu lapar, maka ditinggalkannya Guntur, lalu makan bersama Ardi.

“Kamu tidak pulang nanti, menunggu sampai mas Guntur datang?”

“Sampai kapan? Dia tidak pernah menjawab telpon kita, malah mematikan ponselnya. Aku juga heran apa yang terjadi pada dia. Sekarang ini aku lelah sekali. Aku pulang untuk beristirahat dulu. Kabari aku kalau Guntur datang. Kalau sudah hilang lelahku, aku kembali lagi setelah Guntur datang,” kata Ardi sambil melangkah keluar, menuju mobilnya.

Kinanti masuk ke dalam kamar anaknya, karena mendengar dia merengek.

“Sayang, sudah saatnya minum ASI ya? Ibu sudah makan kenyang, ASI sudah siap untuk kamu,” katanya sambil menggantikan popok sang anak, lalu menyusuinya.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Kinanti meraihnya yang untunglah si ponsel terletak di meja, tak jauh dari tempat dia menyusukan anaknya.

“Assalamu’alaikum,” sapanya ketika melihat bahwa suaminya yang menelpon.

“Wa’alaikumussalam. Maaf Kinan, aku baru bisa menghubungi kamu sekarang. Aku sudah di jalan, menuju pulang.”

“Mengapa baru pulang sekarang dan bukan kemarin seperti biasanya?”

“Mmm … hari Minggu ada undangan seorang teman …,” katanya tanpa menyebutkan si teman itu siapa.

“Undangan nikah?”

“Tidak, anaknya ulang tahun, tidak enak aku menolaknya.”

“Kalau begitu mengapa ponsel dimatikan dan tidak pernah menjawab pesan?”

“Maaf, aku ngecas ponsel di rumah, lalu ketinggalan. Ketika pulang aku baru melihat banyak panggilan telpon. Maaf ya.”

“Ardi menunggu kamu, baru saja dia pulang.”

“Ya Tuhan, memang kami janjian mau ketemuan di rumah. Mengapa tidak menunggu aku pulang?”

“Sudah sejak pagi dia di sini, lalu mengeluh lelah. Kasihan juga.”

“Nanti aku akan ke rumahnya dan minta maaf.”

“Kalau Mas sudah sampai di rumah, dia minta aku mengabari dia. Kalau lelahnya hilang dia mau datang, katanya.”

“Oh, baiklah.”

“Mas sampai di mana?”

“Masih di jalan, tapi tidak sampai sejam pasti aku sudah sampai di rumah.”

“Baiklah.”

“Apa kabar putri kecilku?”

“Ini sedang minum ASI.”

“Aku akan segera sampai dan menggendongnya. Tungguin.”

Kinanti menutup ponselnya dan tersenyum lega. Ternyata ponsel ketinggalan di rumah, sehingga tidak pernah menjawab panggilan Ardi maupun panggilannya sendiri.

Ia membungkukkan tubuhnya dan mencium pipi gembul anaknya, yang sedang menyedot minumnya dengan sangat lahap.

Lalu ia menelpon ibunya, agar mengantarkan Emmy ke rumah karena ayahnya mau datang.

***

Ardi mencak-mencak ketika datang pada malam harinya, melihat Guntur hanya tersenyum-senyum ketika ditegur tidak mengabari bahwa tidak bisa pulang hari Sabtu.

“Aku kan sudah bilang, ponsel ketinggalan di rumah. Mana aku tahu ada yang menelpon, dan mana bisa aku menelpon?”

“Jawaban kamu tidak masuk akal, tahu. Kamu berencana tidak pulang itu kan sejak awal sebelum kamu berpesta entah dengan siapa? Harusnya mengabari hari Sabtu itu bahwa kamu tidak bisa pulang Sabtu,” Ardi masih cemberut.

“Aku mendapat undangan mendadak di hari Sabtunya. Memang aku lupa memberi tahu, karena ponselku sedang di cas.”

“Alasan yang tidak masuk akal.”

“Sudah … sudah, jangan marah-marah lagi, Ardi. Yang penting mas Guntur sudah datang dengan selamat,” bujuk Kinanti sambil menyuguhkan minum dan cemilan untuk tamunya.

“Beruntung kamu memiliki istri yang sabar seperti Kinanti. Coba istrimu Wanda, sudah habis kamu dilumat olehnya.”

“Eh, mengapa membawa-bawa dia?” tegur Guntur tak senang.

“Memangnya masih pada ingat Wanda ya?”

“Jangan hiraukan dia mengoceh, mana anakku, biar aku pangku dia.”

Ardi ingin mengatakan tentang Wanda yang berobat ke dokter Guntur, tapi diurungkannya. Ia tak ingin Kinanti terluka, atau mempunyai pemikiran buruk terhadap suaminya. Tadi ia kelepasan bicara ketika menyebut nama Wanda. Untunglah Kinanti tidak begitu memperhatikannya.

***

Hari berjalan sangat cepat. Emma si bayi mungil sudah menjadi bayi montok berumur delapan bulan. Kinanti sudah harus bekerja kembali sejak Emma berumur tiga bulan, dan pengasuhan sepenuhnya dilakukan oleh sang ibu dan bibik, si pembantu setia.

Beberapa bulan yang lalu pak Bono meninggal dunia karena suatu penyakit. Karenanya bu Bono lebih sering bersama Kinanti dan anak-anaknya.

Kinanti sangat sehat, dan ASI nya juga bagus. Beberapa botol stok ASI ditinggalkan di freezer ketika dia bekerja, sehingga si kecil tidak pernah kekurangan minum.

Karena sayangnya kepada sang suami, mobil satu-satunya pemberian sang ayah dibiarkannya tetap dibawa Guntur, karena tempat tugas prakteknya yang jauh. Kinanti selalu naik angkutan umum, karena tempat tugasnya tidak begitu jauh.

Hari itu hari Sabtu. Kinanti senang karena saatnya suami pulang untuk bercanda bersama anak-anaknya.

Ia masih di dalam angkutan umum, ketika angkot itu berhenti untuk mengisi bahan bakar.

Tiba-tiba Kinanti melihat mobil suaminya ikut ngantri dibelakang angkot yang ditumpanginya. Hampir saja Kinanti turun untuk ikut mobil sang suami, ketika dilihatnya Guntur tidak sendiri. Ada seorang wanita cantik di sampingnya.

Mata Kinanti menyala. Ia tak akan melupakan wajah perempuan itu.

***

 Besok lagi ya.


57 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 35 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah JBBL~35 sudah hadir.. maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    Aamiin YRA🤲

    ReplyDelete
  4. Tur nuwun Bu Tien , JBBL nya

    Sehat sll Ibi ….🤝👍

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga Sehat selalu dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin

    ReplyDelete
  6. 🎋💝🎋💝🎋💝🎋💝
    Alhamdulillah 🙏🤩
    JeBeBeeL_35 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam seroja😍🦋
    🎋💝🎋💝🎋💝🎋💝

    ReplyDelete
  7. Alhamdullilah .terima ksih bundaqu..slmt mlm dan slnt istrht..slm sht sll dan aduhai unk bunda sekeluarga 🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Mugi tansah pinaringan sehat samudayanipun. Aamiin

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah...
    JeBeBeeL_35

    Terimakasih Bu Tien, semoga sehat selalu dan selalu sehat. Salam SEROJA

    ReplyDelete
  11. Besok akan ada perang dingin, ketahuan guntur bersama Wanda, dasar Wanda gatal hehehe... .kasih Bunda sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),35 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu selalu sehat wal'afiat...

    ReplyDelete
  14. Dokter masih muda, istri jauh, tentu banyak godaan.
    Apa Wanda ikut Guntur 'mudik' ya...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  15. Ya allaah Wanda tega2nya mengusik keluarga temannya sendiri ... Guntur hanya smp disitukah rasa cinta dan kesetiaanmu sm Kinanti? Jgn lht rumput tetangga lbh hijau? Mb Tien akankah sad ending kali ini cerbung mb Tien?

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah JBBL- 35 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin🤲
    Salam Aduhai 🙏🙏

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Wanda gigih merebut suami orang ya,

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah...
    Awas ta Guntur ...
    Syukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  19. Aduh, Mbak tien membuat susana tetap menyala eh membara...
    Terimakasih Mbak Tien..

    ReplyDelete
  20. Kesrimpet betulan nich, kan kelihatan laen; ibunya cantik, anaknya ganteng, diajak jalan juga nggak malu maluin.
    Apalagi emaknya taunya pria mapan, walau ingat waktu itu ditolak calon bapak mertua; masa depan suram
    Itu dulu
    Nyatanya entah bagaimana caranya, ada aja alasan untuk sekedar selalu bersanding berdua; ini kan buat iseng ikutan ke pingin mengenang sewaktu sma, melihat rumah simbah, perkembangan kota yang dulu pernah jadi penduduknya.
    Namanya juga ada maunya, kaya pejabat; meninjau.
    Hmm
    Mulai geram Kinanti tapi tetep aja nggak berani, langsung negur.
    Masing berkutat dirumusanya, ikut pakem, padaké dalang.
    Muter-muter dipikiran menjadikan tidak habis pikir, hanya pahit di hati yang mengering.
    Agak susah juga, tapi memang masa masa seperti itu biasanya sangat banyak pengganggu, bisa sampai menahun.
    Sinar itu mulai memudar kelihatan banyak beban.
    Ah andaikan ada sedikit bisa melepas kerumitan anganya, tentu tidak separah itu.
    Kan enak mobil warisan mertua, disamping ada orang cantik apalagi anaknya ngganteng, mbuh anaké såpå, kalaupun dihari biasa ada yang memperhatikan.
    Yå kan cara pandang; andai kalau menghadapi hidup kaya baca majalah lembar lembar halaman anggap aja halaman hidup kan asyik kadang ada iklan yang menarik di cermati, lihat ada artikel menarik dibaca.
    Selebihnya ya mungkin jalan hidup harus begitu, kita serahkan pada pemberi hidup, berusaha bikin hati selalu tentram, jadi nggak nambah meracuni diri.
    Huh kåyå begawan.
    Lho apa mau trus methunthung karo mecucu terus; iki ngadhepi anak di keseharian; apa nggak nanti mbingungaké buntuté.
    Ah andaikan itu bisa mungkin agak ringan rasanya, ketok'e..
    Lho tenan ora kuwi.
    Kåyå iyak iyakå, di iyaki waé luput.
    namanya usaha, kan boleh tå.

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tiga puluh lima sudah tayang.
    Sehat sehat selalu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  21. Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 35 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Kinanti melihat dengan mata kepala nya sendiri...Guntur duduk bersanding dengan wanita yang anggun dan keibuan..😁😁

    Hati Kinanti jadi teriris - iris Sembilu, melihat siapa wanita cantik tsb.

    Rupanya. .Guntur benar2 kena goda nih. Gara2 memberi perhatian dikit...eh Wanda malah tambah..saya..ndadra.

    ReplyDelete
  22. Ya ampuunn...gimana ceritanya Wanda bisa numpang di mobil Guntur? Bakalan geger nih besok...😁

    Terima kasih, ibu Tien...salam sayang.🙏🏻😘😘😀

    ReplyDelete