Saturday, December 7, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 32

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  32

(Tien Kumalasari)

 

Bachtiar keluar dari ruangan, untuk menjawab telpon dari sang ibu. Wajahnya muram karena merasa yakin bahwa sang ibu pasti akan bicara tentang Luki. Dan itu benar.

“Tiar, kamu di mana?”

“Ibu, ada apa?”

“Orang tua Luki akan membawa Luki ke rumah sakit Jakarta besok.”

“Itu bagus, barangkali di sana lebih dekat dengan orang tua, dan pastinya dirawat di rumah sakit terbaik.”

“Kamu harus menemui mereka.”

“Nanti kalau sudah selesai urusan Bachtiar, Bu.”

“Tiar, kamu jangan menyepelekan orang yang menjadi sahabat baik ibumu. Kamu harus segera ke rumah sakit, supaya bisa berbincang lebih lama.”

“Baik, setelah urusan Tiar selesai ya Bu.”

“Urusan apa sih, sore-sore begini? Kamu sudah di rumah kan?”

“Bachtiar sedang melamar.”

“Apa maksudmu?”

“Tadi Bachtiar sudah bilang sama Ibu, bahwa akan segera melamar Arumi. Bachtiar sedang bicara dengan orang tuanya.”

“Dasar anak tak tahu diuntung kamu itu. Nekat menerjang larangan orang tua, demi seorang gadis desa yang miskin dan entah apa lagi kekurangannya yang pasti akan membuat malu keluarga.”

“Dia gadis yang baik, Ibu harus percaya.”

“Ibu tidak mau tahu, jangan lanjutkan keinginan kamu itu.”

”Bachtiar sudah terlanjur bicara Bu, tidak bisa seenaknya mengurungkan niat itu. Bachtiar janji akan segera ke rumah sakit setelah ini selesai.”

“Anak kurangajar!”

Bu Wirawan langsung menutup ponselnya dengan marah. Bachtiar menghela napas panjang, kemudian langsung kembali masuk ke rumah.

“Ada berita penting. Nak?” tanya pak Truno.

“Tidak terlalu penting. Baiklah, saya ingin melanjutkan pembicaraan ini. Saya sudah setuju menikah, kapan saja pak Truno selesai mempersiapkan segalanya. Tapi saya berjanji untuk membiarkan Arumi tetap melanjutkan sekolah, dan menunggu dia menyelesaikannya, sebelum mengajaknya hidup di rumah saya, sebagai istri yang benar-benar istri.”

“Jadi nak Bachtiar sudah benar-benar yakin dengan keputusan itu? Tidak akan menyesal dikemudian hari?” tanya pak Truno menegaskan.

“Saya yakin apa yang saya lakukan. Kalau tidak ada halangan, saya akan membawa orang tua saya datang kemari.”

“Aduuh, bagaimana kami bisa menyambut di rumah yang buruk dan sangat tidak pantas ini?”

“Tidak apa-apa Pak, kalau saya sudah memilih, berarti ini yang terbaik. Jangan memikirkan rumah ataupun apa yang Bapak anggap tidak pantas. Semuanya pantas buat saya.”

Bachtiar pulang dengan perasaan lega. Tapi tidak demikian dengan keluarga pak Truno. Semuanya terasa seperti mimpi, karena begitu tiba-tiba.

“Apa ini benar?”

“Lalu apa yang harus kita persiapkan? Aduh, kita tidak punya apa-apa.”

“Belilah baju yang bagus, aku punya uang enam puluh ribu rupiah. Yang penting bersih dan pantas,” kata pak Truno.

“Apa benar, orang tua mas Tiar mau datang kemari? Rasanya tidak mungkin orang kota yang kaya raya mau berdekatan dengan orang seperti kita.”

“Entahlah, nak Tiar begitu yakin,” sambung  mbok Truno.

“Kalau orang tua mas Tiar tidak mau datang kemari, rasanya aku keberatan. Bagaimana mungkin menjadi menantu orang yang tidak suka pada menantunya?”

“Kita lihat saja nanti. Kita lihat bagaimana kesungguhan hati nak Tiar.”

***

Bachtiar tidak langsung pergi ke rumah sakit. Ia ke rumah orang tuanya, yang ketika dia datang, didengarnya sang ibu sedang berdebat dengan ayahnya.

“Terserah kalau Bapak setuju, aku tidak. Sekali tidak, tetap tidak,” teriak sang ibu sambil keluar dari ruang tengah, dan berpapasan dengan Bachtiar yang bersiap masuk ke dalam.

“Ini anaknya. Bocah kurangajar yang berani menentang orang tua,” pekik ibunya, yang kemudian mengibaskan tangan Bachtiar yang berusaha mencium tangannya.

“Bachtiar, kamu baru datang, bapak sudah dari pagi pulang.”

“Bachtiar belum lama tahu kalau Bapak sudah pulang. Bapak mau pergi?”

“Ibumu mengajak ke rumah sakit untuk menjenguk Luki. Katanya besok pagi sudah mau dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta.”

“Syukurlah, semoga di sana mendapat perawatan yang lebih baik.”

“Kamu harus ikut,” sentak sang ibu.

“Baiklah, Bachtiar juga mau ikut,” katanya sambil mendahului ke arah depan.

“Jangan kasar begitu Bu,” tegur sang ayah.

“Ibu kesal sama dia. Masa tiba-tiba melamar. Apa orang tuanya sudah mati?”

“Mungkin baru pendekatan, atau silaturochim, belum benar-benar melamar.”

“Tapi sudah bicara, dia bilang tidak bisa membatalkannya.”

“Sudah, ayo berangkat, bapak juga ingin segera beristirahat, jadi nanti jangan lama-lama. Dan ingat, jangan membicarakan hal perjodohan. Bukan saatnya, nanti malah ramai di sana. Tidak pantas didengar orang.”

“Pakai mobil Bachtiar saja ya,” kata Bachtiar yang sudah mempersiapkan mobilnya di depan.

Tanpa menjawab Bu Wirawan langsung masuk ke dalam mobil, di belakang. Bachtiar membukakan pintu depan untuk sang ayah, kemudian membawa mereka menuju rumah sakit.

***

Pak Johan menyalami pak Wirawan dengan akrab. Demikian juga bu Nuke. Bachtiar mendekati Luki, hanya sekedar menanyakan kabarnya.

“Aku baik, Tiar. Pantas kemarin kepalaku terasa ditusuk-tusuk, ternyata ada kaca yang menancap dan waktu itu belum ketahuan.”

“Kamu bilang baik-baik saja, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Apa kamu ada sedikit saja rasa khawatir?”

“Sebagai teman, Ya.”

“Kita hanya berteman, bukan?”

“Berteman itu lebih baik, karena bisa saling menjaga, tanpa didasari perasaan apa-apa.”

“Aku menyesal tidak bisa mendekati kamu.”

“Kita sudah dekat, bukan?”

“Sebagai teman.”

Tak lama kemudian Bachtiar sudah nimbrung bersama kedua orang tuanya dan juga orang tua Luki, yang berbincang akrab.

“Semoga di Jakarta mendapat perawatan yang lebih baik, sehingga cepat pulih,” kata Bachtiar.

“Kamu mau mengantarkan sampai ke Jakarta, Tiar?” tanya bu Nuke.

“Maaf Tante, saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan."

“Benar kata ibu kamu, bahwa kamu itu gila kerja.”

“Mumpung masih muda," sambung pak Wirawan membela anaknya.

Mereka tidak lama berada di rumah sakit, karena pak Wirawan mengeluh lelah. Tak ada pembicaraan tentang perjodohan, dan tampak sangat gembira sudah bertemu. Tapi bu Wirawan masih menyimpan perasaan kesal kepada sang anak.

“Besok pagi saya mau bicara tentang hal penting, Bapak jangan ke kantor dulu ya?”

“Hal penting? Hal apa?”

“Besok saja Bachtiar mengatakannya. Sekarang kan Bapak sudah lelah, dan harus segera istirahat.”

“Iya, benar. Aku akan ke kantor setelah kamu datang dan bicara.”

“Terima kasih, Pak. Ibu kok diam saja, sudah mengantuk ya Bu?” kata Bachtiar menyapa sang ibu yang duduk di belakang, dan memang dilihat dari kaca spion, sang ibu menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Ia tak menjawab, dan Bachtiar kemudian fokus mengemudi, mengantarkan kedua orang tuanya sampai kerumah, sebelum dia sendiri menuju pulang.

***

Pagi hari itu, sebelum pak Truno berangkat ke sawah, ia memberikan sejumlah uang kepada istrinya.

“Ini, pergilah ke pasar bersama Arumi, beli baju yang pantas. Jangan sampai kalau benar keluarga nak Bachtiar datang, kalian memakai baju lusuh seperti yang sehari-hari kalian pakai.”

“Nanti saja gampang Pak, belum tentu juga,” kata Arumi.

“Jangan membantah, jadi atau tidak, beli baju juga tidak ada salahnya kan? Sudah lama sekali kalian tidak membeli baju. Tapi ya itu, hanya enam puluh ribu uangku, nanti untuk beli baju berdua.”

“Ya, nanti gampang.”

“Pergilah bersama Arumi, sekalian membawa dagangan. Sementara nanti saat istirahat aku mau ketemu pak Lurah, ingin tahu persaratan menikah.”

“Iih, Bapak … malu dong.”

“Kok malu? Orang menikah itu urusannya ya dengan kelurahan …”

“Nanti semua orang tahu.”

Pak Truno dan istrinya tertawa.

“Namanya menikah ya harus banyak orang tahu. Nanti kalau kamu pergi berdua-duaan, dikira berbuat yang tidak benar. Sudah, aku berangkat dulu. Ingat Mbokne, segera ikut ke pasar.”

“Iya. Tenang saja,” kata mbok Truno yang segera masuk ke kamar untuk berganti pakaian bersih.

“Bapak bersemangat sekali,” gerutu Arumi.

“Sebenarnya, ketika anak gadisnya dilamar seseorang, orang tua pasti merasa senang,” sahut mbok Truno dari dalam biliknya.

Arumi menyiapkan dagangan yang akan dibawanya ke pasar, sambil menunggu simboknya. Dalam hati masih seperti mimpi, ketika mendengar ungkapan cinta dari seseorang, yang sesungguhnya sejak lama dikaguminya. Kagum, apakah sama dengan cinta? Arumi belum pernah merasakannya, tapi dia bahagia, walau masih ragu akan kenyataan yang akan dihadapinya.

***

Bachtiar sudah duduk di hadapan kedua orang tuanya, di pagi hari sebelum sang ayah berangkat ke kantor. Ia dengan terus terang mengatakan bahwa sudah berbicara dengan orang tua Arumi, dan ingin segera menikahinya.

“Saya mohon Bapak beserta Ibu, entah kapan, mau menemani Bachtiar untuk melamar secara resmi,” kata Bachtiar hati-hati.

“Apa?” teriak bu Wirawan.

“Kamu mengajak bapak sama ibumu melamar gadis desa itu? Jangan mimpi!” lanjutnya.

“Bu, jangan berteriak begitu,” tegur pak Wirawan.

“Ibu ini marah, sangat marah. Masa harus bicara lembut? Ibu tidak mau.”

“Kapan kamu mau ke sana?”

“Kalau Bapak sama Ibu senggang.”

“Tidak ada waktu senggang,” sentak sang ibu.

“Bu, Bachtiar sudah bicara baik. Dia sudah menentukan pilihannya. Kita harus mendukungnya.”

“Tidak!!”

“Arumi gadis yang baik, Ibu akan menyukainya.”

“Mimpi kamu ya? Mana mungkin aku suka pada gadis dusun yang pasti kotor dan bau. Tidak. Ibu tidak mau.”

“Ya sudah, Tiar. Tentukan kapan kamu mau melamar, nanti bapak akan ikut bersamamu.”

“Bapak mau ke sana?” teriak bu Wirawan.

Bachtiar bangkit, lalu bersimpuh di depan itunya, menjatuhkan kepala dipangkuannya.

“Bu, restuilah Tiar ya Bu,” kata Bachtiar pelan, memelas, seperti merintih.

Bergetar hati bu Wirawan melihat anaknya menjatuhkan kepala di pangkuannya. Ada tangis tertahan. Bu Wirawan menahan air mata yang nyaris tumpah. Bagaimanapun Bachtiar adalah anak yang dilahirkannya. Sakit dan lukanya adalah derita bagi sang ibu. Tapi kemudian hati yang luluh itu kembali mengeras, manakala ingat bahwa sang anak menangis demi gadis dusun yang tidak disukainya.

“Bu, Bachtiar anak kita, dia sudah memohon dengan baik, tolong pikirkan kebahagiaannya,” bujuk sang suami  lembut.

Bu Wirawan mendorong tubuh Bachtiar pelan, kemudian berdiri dan beranjak ke kamarnya.

“Bu,” rintih Bachtiar.

“Lakukan saja kalau itu keinginan kamu. Tapi biar bapakmu saja yang ikut bersamamu menemui keluarganya. Aku tidak,” katanya di depan pintu kamar, kemudian masuk dan menutupnya  rapat.

Pak Wirawan menarik tubuh Bachtiar yang masih bersimpuh, memintanya berdiri dan kembali duduk.

“Ya sudah, bapak yang mau ikut bersama kamu. Pada saatnya nanti bapak akan mencoba membujuknya. Kapan rencana mau ke sana? Membawa apa? Lakukan saja, bapak kan tidak tahu bagaimana cara melamar.”

“Terima kasih Pak,” kata Bachtiar sambil memeluk sang ayah erat. Tak urung ia meneteskan air matanya di pundak sang ayah, yang kemudian mengelus kepalanya lembut.

***

Sudah malam ketika Bachtiar sampai di rumahnya sendiri. Setelah memasukkan mobil ke garasi, dia segera masuk ke kamar dan mandi. Sejak pagi dia belum mandi.

Tapi ketika ia berganti pakaian, ia teringat ponsel Luki yang di cas sejak kemarin. Ia bahkan lupa membawanya, apalagi mengabarinya bahwa ponselnya dia bawa.

Bachtiar mencopot ponselnya, kemudian bermaksud mengabari Luki yang pastinya sudah berada di rumah sakit di Jakarta.

Ia segera mengambil ponselnya sendiri.

“Ini sudah malam, apa sebaiknya besok pagi saja ya.”

Bachtiar meletakkan lagi ponselnya, meletakkannye berjejer dengan ponsel Luki. Tapi ketika dia akan membaringkan tubuhnya, ada dering pesan masuk. Bukan dari ponselnya, tapi di ponsel Luki.

Bachtiar heran, pesan masuk itu dari pak Carik? Kapan Luki kenal dengan pak Carik? Urusan apa?”

***

Besok lagi ya.

56 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah....
      Episode 32 sdh tayang.....
      Terima kasih Bu Tien..... πŸ₯°πŸŒΉ

      Delete
  2. Matur suwun, bu Tien cantiik... sehat2 selalu, yaaπŸ’•

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat πŸ€²πŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, sehat2 sllu bunda Tien

    ReplyDelete
  5. Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endang

      Delete
  6. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  7. Alaah ...Luki akan ketahuan julidnya se mm Oga ibunya Bahtiar luluh ketika diketahui busuknya Luki ke arumi

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  9. Rame nih ceritanya , pak Carik & Luki kl sampai mulai ketahuan culasnya terhadap Arumi...menang banyak nih Bachtiar 😁😁🀭

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya
    Makin Aduhaiii πŸ€—πŸ₯°πŸ’–

    ReplyDelete
  10. Kelihatannya Pak Carik kepengin punya mantu si Luki.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga sll sehat dan bahagia aamiin yra... salam hangat dan aduhai aduhai bun❤️❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai

      Delete
  12. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ... in Sya Alloh Happy End Aamiin.🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  13. Kalau pak Carik menelpon bisa ketahuan yang menerima bukan Luki, bila Bachtiar mengangkatnya. Ditulis saja ya.. pak.
    Sebaiknya Bachtiar merehab dulu rumah pak Truno biar tidak terlalu 'ketinggalan'.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete

  14. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 32* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  15. Terima kasih Bunda Tien...
    Selamat malam salam Aduhai

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun ibu πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien selalu sehat² n tetap semangat

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  19. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 32 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Met berakhir pekan Bunda.

    Bu Wirawan...produk manusia jaman dulu, kolot, otoriter, suka memaksakan kehendak, skrng bukan jaman nya lagi. Tapi jaman nya Kebo Nusu Gudel...😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  20. Knp Arumi tdk home schooling sj? ... Slm seroja utk mb Tien...

    ReplyDelete
  21. Aduh, kasihan sekali ya...uang 60rb untuk beli baju 2 orang?😰

    Terima kasih, ibu Tien...salam sehat.πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  22. Selamat pagii bunda..terima ksih cerbungnya...slm sht sll unk bunda sekeluargaπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ

    ReplyDelete