Monday, April 3, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 11

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  11

(Tien Kumalasari)

 

Mata Alfian terbelalak. Ia mengamati pergelangan tangan Aliyah dengan seksama. Berharap itu adalah buatan. Tapi tidak. Warna kebiruan yang samar itu asli dari kulitnya.

“Lepaskan tanganku!” Aliyah berteriak.

Tiba-tiba Alfian melepaskan tangan Aliyah dengan lemas. Pandangan matanya terasa kabur. Karena matanya tiba-tiba basah oleh air mata yang merebak.

“Tuan, biarkan saya mengobati luka Non Narita terlebih dulu,” kata Farah yang tiba-tiba datang, membawa baskom berisi air hangat dan kotak obat yang dikempit di ketiaknya karena susah membawanya.

Alfian membalikkan tubuhnya tanpa menjawab apa-apa, lalu bergegas keluar dari kamar itu.

Farah heran, karena sempat melihat air mata menitik dan mengalir tipis di pipi majikannya. Tapi dia tak mengucapkan apa-apa. Ia segera bersimpuh di depan Aliyah yang terus menerus meringis menahan sakit.

“Non tenanglah, luka ini harus dibersihkan,” kata Farah yang dengan cekatan membersihkan luka Aliyah dengan air hangat, kemudian membasuhnya dengan alkohol.

Aliyah memekik ketika rasa perih menyengat.

“Hanya sebentar Non, kalau tidak dibersihkan, nanti kaki Non ini bisa infeksi.

Farah memang hanya pembantu, tapi majikannya menyekolahkannya sampai lulus SMA. Dia juga banyak belajar tentang pengobatan luka-luka kecil, misalnya terkena pisau di dapur, atau luka karena terjatuh. Banyak hal yang diketahuinya, dari cara memasak dan menata ruangan, menata meja makan, karena majikannya memberinya pendidikan yang luas tentang banyak hal, Itu sebabnya Alfian juga menyayanginya, walau suka membentak-bentaknya apabila Farah melakukan hal yang tidak sesuai dengan maksudnya.

Ia sudah selesai membubuhkan obat di kaki Aliyah yang terluka, lalu membebatnya dengan perban.

“Sudah Non, selesai. Sekarang Non berbaring saja dulu, saya akan membersihkan darah yang berceceran itu. Sudah tidak begitu perih kan Non?”

“Jangan panggil aku Non,” lirihnya.

“Tidak apa-apa, saya sudah terlanjur memanggil Non, jadi biarkan saja, susah merubahnya.”

“Kalian keliru. Salah orang,” Aliyah masih mencoba menerangkan, tapi Farah terus saja membawa peralatannya keluar dari kamar, dan lagi-lagi Aliyah mendengar kunci diputar.

“Ya Tuhan, ada apa semua ini? Mengapa aku terjebak di sini, dan dianggap sebagai orang lain yang sama sekali tidak aku kenal. Apakah wajahku sangat mirip dengan gadis bernama Narita itu? Sungguh aneh kalau ada wajah begitu serupa, kecuali kalau dia kembar. Kembar? Apakah aku punya saudara kembar? Rasanya tidak. Nenek tidak pernah bercerita bahwa aku punya saudara kembar,” gumam Aliyah sambil membaringkan tubuhnya di atas kasur yang disediakan oleh Farah.

Tubuhnya terasa sakit semua. Tadi dia berhasil menerobos keluar ketika Farah membuka pintu, tapi rumah itu ternyata terlalu besar dan membingungkan. Susah menemukan pintu keluar, yang akhirnya membuat dirinya kembali tertangkap.

Tapi kemudian dia heran melihat sikap Alfian yang tadi masuk ke kamar itu. Wajahnya yang garang tiba-tiba luruh. Ia bahkan memegang tangannya, kemudian melepaskannya dengan halus.

“Pasti karena ada Farah. Tapi masa sih, majikan takut sama pembantunya?”

Lalu pintu itu terbuka lagi. Ia melihat Farah membawa alat pel dan obat pembersih lantai. Darah berceceran yang menimbulkan bau amis itu dibilasnya, sehingga bersih. Tanpa mengucap apapun, Farah kembali keluar, dan tak pernah lupa kembali mengunci pintunya. Aliyah merasa menjadi pesakitan yang harus siap menerima hukuman. Tapi apa dosa Aliyah?

“Mengapa aku harus dihukum? Disekap dan di siksa di sini? Neneeeek, tolong aku, Nek,” rintihnya dan kembali Aliyah mengucurkan air mata.

Ketika kemudian Farah kembali datang, Aliyah melihat gadis itu membawa nampan. Ada gelas dan piring serta mangkuk diatasnya. Farah meletakkannya di lantai. Aroma sup yang masih mengebul menusuk hidungnya. Tapi Aliyah memalingkan wajahnya.

“Non, makanlah.”

“Aku hanya ingin pulang,” isaknya.

“Jangan begitu Non. Non harus menunggu sampai tuan Alfi mengijinkan. Saya kira Non harus segera mengatakan semuanya pada tuan Alfi.”

“Apa yang harus aku katakan? Aku tidak tahu apa-apa! Tidak tahu apa yang kalian katakaaaan!” kali ini Aliyah berteriak. Kesabarannya sudah habis.

“Non, aduh Non, pelan-pelan saja bicaranya.”

“Aku tidak mau di sini, aku mau pergiii, aku bukan orang yang kalian maksud.”

“Baiklah Non, nanti kalau tuan datang kemari, Non boleh mengatakan semuanya, lebih baik sekarang Non makan dulu saja. Tidak ada gunanya menahan lapar karena Non marah. Nanti Non jatuh sakit, lemas, tidak punya tenaga, bagaimana?” Farah masih mencoba membujuk.

Aliyah diam. Ia tahu Farah hanya pembantu. Tugasnya hanya memberi makan dan minum, tidak bisa membantunya walau dia berteriak sekeras geledeg di musim hujan.

Farah sudah keluar, sambil sekali lagi mengatakan bahwa dirinya harus makan.

Aliyah masih berbaring. Kakinya yang luka terasa nyeri. Sesekali ia menoleh ke samping, dimana nampan berisi makanan itu diletakkan Farah. Ia memang lapar, tapi sungguh dia tak mau makan. Aroma sup sudah tak lagi menusuk. Pasti sudah berangsur dingin. Tapi kemudian perutnya tersa melilit. Ada nyanyian terdengar dari sana. Berkeruyuk menyebalkan.

Aliyah terpaksa bangkit, meraih gelas berisi minuman, meneguknya pelan.

Ada sepotong ayam goreng dan perkedel, lalu ada semangkuk sup yang sudah dingin. Aliyah meraih sup itu, lalu tiba-tiba ingatan akan Pinto melintas. Bukankah sup itu enak kalau dimakan panas-panas? Aliyah tersenyum tipis, walau matanya sembab oleh tangisan. Pinto adalah sahabat yang menyenangkan. Baru beberapa hari kenal, mereka sudah akrab seperti saudara.

“Mas Pinto, tak ada pemanas di sini, aku menyantap sup ini. Sudah dingin. Tapi aku lapar, nanti kalau aku sudah bisa pulang, aku akan memanaskan setiap sup yang akan aku makan,” ujarnya pelan.

Dalam suasana hati yang sedih dan tersiksa, makanan apapun tak terasa nikmat. Aliyah hanya makan supaya dirinya tidak lemas. Dia berharap tetap punya kekuatan, seandainya kesempatan kabur itu ada.

***

Di sebuah rumah mewah, sepasang suami istri sedang berbincang di ruang tengah. Wajahnya tidak begitu cerah, karena tampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius, tapi kurang menyenangkan. Mereka adalah pak Candra dan istrinya, ayah dan ibu Alfian. Seminggu sebelum hari pernikahan itu, Narita kabur. Membuat keluarga Candra kalang kabut.

“Mengapa Bapak tidak membatalkan semua undangan itu? Hari yang ditentukan kurang tiga hari lagi, dan kita tidak menemukan titik terang.”

“Aku masih berharap, Narita kembali.”

“Sudah berhari-hari, nyatanya dia tidak kembali. Gadis itu memang penjahat. Dia merayu Alfian hanya untuk menguras hartanya.”

“Sebetulnya kalau dipikir-pikir, seandainya harta itu yang Narita inginkan, dia bisa saja tetap menjadi istri Alfian. Bukankah dia bisa lebih banyak meraup keuntungan, karena sebagai istri dia bisa menguasai seluruh keuangan suaminya,” kata pak Candra.

“Bapak tidak tahu ya? Menurut Alfian, Narita punya kekasih.”

“Benarkah?”

“Iya. Kekasihnya tidak mau kalau Narita punya suami. Jadi disuruhnya lari sambil membawa uang dan perhiasan yang bisa dibawanya.”

“Kurangajar sekali dia.”

“Lalu apa sekarang yang harus kita lakukan? Aku malu sekali Pak, seandainya perhelatan itu batal. Mau ditaruh di mana muka kita?”

“Aku kemarin sudah bicara sama Alfian. Katanya dia sedang mencari keberadaan Narita, tapi belum ketemu.”

“Namanya kabur, pasti susah.”

“Alfian punya banyak anak buah yang akan membantu.”

“Tapi kurang tiga hari lagi, aku sangat cemas.”

“Bagaimana kalau seandainya Narita tidak bisa ditemukan, lalu Farah di suruh menggantikan?” usul pak Candra.

“Apa? Farah itu kan pembantu.”

“Hanya pura-pura, setelah itu kita suruh Alfian menceraikannya. Yang penting, saat pernikahan itu, pengantin wanitanya ada.”

Bu Candra tampak diam. Ada rasa kurang senang mempergunakan Farah sebagai pengganti Narita.

“Farah kurang cantik,” gumam bu Candra.

 “Lalu mau cari ganti siapa Bu. Kalaupun Farah kurang cantik, tapi kalau didandanin pasti juga bisa kelihatan cantik. Kalau tubuhnya, tinggi besarnya, sama Narita nggak ada bedanya. Itu kan hanya untuk pengganti Narita saja, setelah itu Alfian bisa menceraikannya.

“Apa itu yang terbaik?”

“Daripada membatalkan undangan yang sudah dibuat, apa tidak lebih malu lagi Bu? Aku kira ini jalan terbaik. Aku akan menelpon Alfian sekarang. Dia juga kebingungan. Ketika aku menelpon, dia mengatakan tak bisa berpikir apapun.”

“Lebih baik besok pagi saja kita ke sana Pak, ini masalah penting. Belum tentu Alfian langsung setuju, jadi harus ada pembicaraan yang lebih dekat. Alfian itu tidak gampang diajak bicara.”

“Baiklah, aku setuju. Besok pagi-pagi kita ke sana. Jangan terlalu siang, keburu dia pergi ke kantor.”

***

Alfian keluar dari kamarnya. Malam sudah larut. Ia merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya. Dia salah orang. Sungguh-sungguh salah orang. Gadis yang ditangkap dan disiksaya bukan Narita, dan dia tak pernah mau mendengar apa yang dikatakannya. Bahkan dengan suara memelas. Bahkan dengan tangis yang mengharu-biru. Alfian terus saja menyiksanya, menyakitinya, memaki-makinya.

Tapi tanda lahir yang ada di pergelangan gadis itu, membuat kemarahannya runtuh. Penyesalan membuat dadanya sesak, dan berkali-kali ia memukuli dadanya karena kesalahan itu. Hari hampir pagi. Rasa senyap menyergapnya. Pasti semua penghuni rumah sudah tidur. Farah, Kirman. Tak terdengar suara mereka mengobrol seperti biasanya.

Perlahan Alfian melangkah ke arah kamar kosong itu, di mana Aliyah disekap. Ia membuka pintunya perlahan, teriris hatinya ketika melihat Aliyah tergolek di atas kasur, lelap dengan mata sembab.

“Ya Tuhan, aku telah berdosa dengan menyakiti gadis itu. Wajahnya yang lugu, memang bukan wajah Narita. Tapi bagaimana bisa ada wajah semirip itu? Apakah mereka kembar? Rasanya tidak. Tampaknya mereka tak mengenal satu sama lain.”

Alfian bahkan berbohong kepada kedua orang tuanya tentang penemuannya yang ternyata keliru. Ia tak mau mengatakan telah menemukan ‘Narita’, sebelum ia berhasil mengorek pengakuannya. Setelah itu barulah dia akan mengatakan kepada ayah ibunya.

Ternyata semuanya sia-sia. Dia malah berbuat dosa dengan menyiksa orang yang tak tahu apa-apa.

Alfian melangkah perlahan, mendekati tempat di mana Aliyah berbaring. Wajah yang kuyu dan penuh derita terpampang di hadapannya, membuatnya trenyuh.

“Maafkan aku,” bisiknya perlahan. Tapi Alfian tak mau mengganggu tidur gadis itu, yang pastinya bisa tertidur karena kelelahan.

Perlahan Alfian membalikkan tubuhnya, dan keluar dari ruangan, tapi dia tak mengunci pintunya lagi.

***

Dipagi yang masih buta itu, Farah sudah membuat minuman untuk majikannya. Ia membawanya ke ruang tengah, dan heran melihat sang majikan sudah terjaga.

“Tumben Tuan bangun pagi-pagi sekali?” katanya sambil meletakkan gelas minumnya ke atas meja.

“Aku bukannya bangun pagi sekali. Aku bahkan belum tidur semalaman.”

“Waduh, memangnya kenapa Tuan? Tuan sangat kesal karena Non belum juga mau mengaku?”

“Buatkan juga minuman hangat untuk dia, dan beri dia roti untuk sarapan.”

Farah melongo. Tak percaya apa yang dikatakan majikan gantengnya.

“Hei, kenapa kamu?”

“Saya, harus membuatkan dia minuman hangat, dan menyajikan roti untuk dia? Maksud Tuan, Non Narita kan?”

“Roti bakar, aku juga mau. Selai kacang ya.”

“Untuk Non, juga?”

“Kenapa kamu begitu bodoh Farah? Bodoh, atau sekarang kamu tuli? Apa aku harus mengulang setiap perintah yang aku berikan untuk kamu?”

“Baik … baiklah …” jawab Farah sambil melangkah ke belakang.

“Pasti Non Narita sudah mau mengakui perbuatannya, dan mengatakan di mana harta Tuan disembunyikan,” gumam Farah.

Iapun membuat roti bakar dengan lapis selai kacang seperti perintah tuannya. Untuk tuannya, dan untuk ‘Non Narita’.

“Suruh dia mandi setelahnya, berikan baju pantas untuk dia, dan biarkan pintu itu tidak terkunci,” pertintahnya kemudian, ketika Farah meletakkan roti bakar ke hadapan sang majikan.

Farah tak berani membantah. Dia tidak tuli, dan dia sudah mendengar apa yang diperintahkan. Ia melakukannya, agar tidak kembali didampratnya.

Ketika memasuki ‘kamar Aliyah’, Farah melihat ‘Narita’ duduk diatas kasurnya, sambil merapikan rambutnya.

“Baru beberapa hari Non pergi, rambutnya sudah lebih panjang sih?” tanya Farah sok tahu.

“Aku selalu bingung, mendengar kata-kata yang tak pernah aku mengerti,” katanya pelan.

“Ini minum untuk Non, dan roti ini juga. Minum dan makanlah, saya akan mengambilkan baju ganti untuk Non.”

Aliyah tak menjawab. Ia melakukan apa yang diminta Farah. Minum, makan roti, mandi. Semua sudah dikerjakan. Tapi dia heran ketika Farah keluar, dia tidak mendengar kunci diputar. Apa Farah lupa?”

Begitu selesai menyisir rambutnya, dia mencoba membuka pintu kamar itu, dan berhasil. Aliyah hampir bersorak ketika ia sudah tiba di luar pintu. Tapi ia bingung harus melangkah ke mana, agar bisa menemukan pintu keluar.

“Aliyah,” sebuah panggilan mengejutkannya. Ia merasa seperti mimpi ketika melihat siapa yang memanggilnya. Si tuan kejam itu? Benarkah?

Aliyah masih terpaku, ketika terdengar Farah datang dari arah depan, mengiringkan sepasang laki-laki dan perempuan setengah tua, yang kemudian terbelalak menatapnya.

***

Besok lagi ya.

 

36 comments:

  1. Replies
    1. Selamat jeng Mimiet juara 1
      Mana ya bu Iyeng? Masih di Cimahi ??

      Matur nuwun bu Tien, CeBeE_11 sampun tayang.
      Sehat trus nggih, Bun. Salam seger kwarasan lan TETEP ADUHAI......

      Delete
  2. Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~11 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..πŸ™

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah..matur nueun mbak Tien..sehat selalu

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun bu Tien CBE 11 sdh tayang
    Sadarkah Alfian bahwa wanita yg disekap itu bukan Narita
    Yuk kita mojok bersama.Aduhai

    ReplyDelete
  5. Maturnuwun Bu Tien...
    πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah masih bisa nyempetin ya bu... Makasih banyak...

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah.. tayang gasik...
    Tks banyak bunda Tien..
    Aliyah sdh tdk disiksa lg spt pesakitan.
    Semoga kebaikan segera menghampirinya..
    Salam sehat selalu utk bunda..
    Aamiin.. πŸ™πŸ™πŸŒΉ

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah tsyang lebih awal..
    Matur nuwun bunda Tien πŸ™
    Salam Sehat Selalu dari kota Malang..

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal'afiat dan bahagia selalu bu Tien ..

    Duh siap yg panggil Aliyah ,,penasaran πŸ€—πŸ₯°

    ReplyDelete
  13. Terima lsih bunda CBE nya sdh tayang..slm sht sll dan tetap aduhaai sll unk bundaquπŸ™πŸ˜˜πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  14. Baru nyadar dan mau mengakui kalau itu bukan Narita, suara pegangan pintu terbuka itu, bos mandan waras teriak, bersamaan Candra ortunya yang mengunjungi rumah Alfian anaknya, minta penjelasan mencari pengganti orang, yang begitu terkejut mendengar namanya dipanggil (nunggu antrian ngkali), laen keterkejutan dua orang tua ini, betapa miripnya ini dengan Narita ,walaupun bos mandan waras sudah mengakui kalau dia Aliyah. Telinganya sudah tidak terganggu ndean, bapakΓ© ini yang ngarep; ini bisa buat stungirl, sebagai penganten perempuan pengganti.
    Tapi begitu tahu Alfian mengajarnya; bapak ini marah, kenapa beraninya sama perempuan. Cèmèn.

    Terimakasih Bu Tien
    Cintaku bukan empedu yang ke sebelas sudah tayang
    Sehat sehat selalu
    Sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun mbak Tien-ku, CBE sudah tayang.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Sdh datang
    Matur nuwun bu
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah.... mtr nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  18. Nah... pengantin pengganti sudah ada, cuma mau apa tidak ya, Aliyah...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  19. Terima kasih bu tien.... alhamdulilah CBE sdh tayang ... waduuh jadi deh di nikahkan dg aliyah ...makin seruuu

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matur nuwun...
    Sehat dan bahagia selalu buncan Tien sayang ❤❤❤

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah CBE-11 sdh hadir
    Terima kasih Bunda, semoga bunda sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  22. 〰️πŸƒπŸ’πŸ¦‹πŸ’πŸƒ〰️
    Alhamdulillah CBE 11 sdh
    hadir. Matur nuwun
    Bu Tien. Sehat selalu
    & tetap smangaats.
    Salam Aduhai...
    〰️πŸƒπŸ’πŸ¦‹πŸ’πŸƒ〰️

    ReplyDelete
  23. Oh ortu Alfian kenal Aliyah?
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah
    Terimakasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  25. Terima kasih Bu Tien, ceritanya semakin menarik. Semoga Ibu sekeluarga senantiasa sehat penuh berkah, aamiin.

    ReplyDelete
  26. Menarik. Apa Aliyah sebagai pengantin pengganti ?
    Makasih mba Tien .
    Sehat selalu dan tetap semangat

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah, semakin seru dan bikin penasaran

    ReplyDelete