CINTAKU BUKAN EMPEDU
11
(Tien Kumalasari)
Mata Alfian terbelalak. Ia mengamati pergelangan
tangan Aliyah dengan seksama. Berharap itu adalah buatan. Tapi tidak. Warna
kebiruan yang samar itu asli dari kulitnya.
“Lepaskan tanganku!” Aliyah berteriak.
Tiba-tiba Alfian melepaskan tangan Aliyah dengan
lemas. Pandangan matanya terasa kabur. Karena matanya tiba-tiba basah oleh air
mata yang merebak.
“Tuan, biarkan saya mengobati luka Non Narita terlebih
dulu,” kata Farah yang tiba-tiba datang, membawa baskom berisi air hangat dan kotak
obat yang dikempit di ketiaknya karena susah membawanya.
Alfian membalikkan tubuhnya tanpa menjawab apa-apa,
lalu bergegas keluar dari kamar itu.
Farah heran, karena sempat melihat air mata menitik
dan mengalir tipis di pipi majikannya. Tapi dia tak mengucapkan apa-apa. Ia
segera bersimpuh di depan Aliyah yang terus menerus meringis menahan sakit.
“Non tenanglah, luka ini harus dibersihkan,” kata
Farah yang dengan cekatan membersihkan luka Aliyah dengan air hangat, kemudian
membasuhnya dengan alkohol.
Aliyah memekik ketika rasa perih menyengat.
“Hanya sebentar Non, kalau tidak dibersihkan, nanti
kaki Non ini bisa infeksi.
Farah memang hanya pembantu, tapi majikannya
menyekolahkannya sampai lulus SMA. Dia juga banyak belajar tentang pengobatan
luka-luka kecil, misalnya terkena pisau di dapur, atau luka karena terjatuh.
Banyak hal yang diketahuinya, dari cara memasak dan menata ruangan, menata meja
makan, karena majikannya memberinya pendidikan yang luas tentang banyak hal,
Itu sebabnya Alfian juga menyayanginya, walau suka membentak-bentaknya apabila
Farah melakukan hal yang tidak sesuai dengan maksudnya.
Ia sudah selesai membubuhkan obat di kaki Aliyah yang
terluka, lalu membebatnya dengan perban.
“Sudah Non, selesai. Sekarang Non berbaring saja dulu,
saya akan membersihkan darah yang berceceran itu. Sudah tidak begitu perih kan
Non?”
“Jangan panggil aku Non,” lirihnya.
“Tidak apa-apa, saya sudah terlanjur memanggil Non,
jadi biarkan saja, susah merubahnya.”
“Kalian keliru. Salah orang,” Aliyah masih mencoba
menerangkan, tapi Farah terus saja membawa peralatannya keluar dari kamar, dan
lagi-lagi Aliyah mendengar kunci diputar.
“Ya Tuhan, ada apa semua ini? Mengapa aku terjebak di
sini, dan dianggap sebagai orang lain yang sama sekali tidak aku kenal. Apakah
wajahku sangat mirip dengan gadis bernama Narita itu? Sungguh aneh kalau ada wajah
begitu serupa, kecuali kalau dia kembar. Kembar? Apakah aku punya saudara
kembar? Rasanya tidak. Nenek tidak pernah bercerita bahwa aku punya saudara
kembar,” gumam Aliyah sambil membaringkan tubuhnya di atas kasur yang disediakan
oleh Farah.
Tubuhnya terasa sakit semua. Tadi dia berhasil
menerobos keluar ketika Farah membuka pintu, tapi rumah itu ternyata terlalu
besar dan membingungkan. Susah menemukan pintu keluar, yang akhirnya membuat
dirinya kembali tertangkap.
Tapi kemudian dia heran melihat sikap Alfian yang tadi
masuk ke kamar itu. Wajahnya yang garang tiba-tiba luruh. Ia bahkan memegang
tangannya, kemudian melepaskannya dengan halus.
“Pasti karena ada Farah. Tapi masa sih, majikan takut
sama pembantunya?”
Lalu pintu itu terbuka lagi. Ia melihat Farah membawa
alat pel dan obat pembersih lantai. Darah berceceran yang menimbulkan bau amis
itu dibilasnya, sehingga bersih. Tanpa mengucap apapun, Farah kembali keluar,
dan tak pernah lupa kembali mengunci pintunya. Aliyah merasa menjadi pesakitan
yang harus siap menerima hukuman. Tapi apa dosa Aliyah?
“Mengapa aku harus dihukum? Disekap dan di siksa di
sini? Neneeeek, tolong aku, Nek,” rintihnya dan kembali Aliyah mengucurkan air
mata.
Ketika kemudian Farah kembali datang, Aliyah melihat
gadis itu membawa nampan. Ada gelas dan piring serta mangkuk diatasnya. Farah
meletakkannya di lantai. Aroma sup yang masih mengebul menusuk hidungnya. Tapi
Aliyah memalingkan wajahnya.
“Non, makanlah.”
“Aku hanya ingin pulang,” isaknya.
“Jangan begitu Non. Non harus menunggu sampai tuan
Alfi mengijinkan. Saya kira Non harus segera mengatakan semuanya pada tuan
Alfi.”
“Apa yang harus aku katakan? Aku tidak tahu apa-apa!
Tidak tahu apa yang kalian katakaaaan!” kali ini Aliyah berteriak. Kesabarannya
sudah habis.
“Non, aduh Non, pelan-pelan saja bicaranya.”
“Aku tidak mau di sini, aku mau pergiii, aku bukan
orang yang kalian maksud.”
“Baiklah Non, nanti kalau tuan datang kemari, Non boleh
mengatakan semuanya, lebih baik sekarang Non makan dulu saja. Tidak ada gunanya
menahan lapar karena Non marah. Nanti Non jatuh sakit, lemas, tidak punya
tenaga, bagaimana?” Farah masih mencoba membujuk.
Aliyah diam. Ia tahu Farah hanya pembantu. Tugasnya
hanya memberi makan dan minum, tidak bisa membantunya walau dia berteriak
sekeras geledeg di musim hujan.
Farah sudah keluar, sambil sekali lagi mengatakan
bahwa dirinya harus makan.
Aliyah masih berbaring. Kakinya yang luka terasa
nyeri. Sesekali ia menoleh ke samping, dimana nampan berisi makanan itu diletakkan
Farah. Ia memang lapar, tapi sungguh dia tak mau makan. Aroma sup sudah tak
lagi menusuk. Pasti sudah berangsur dingin. Tapi kemudian perutnya tersa
melilit. Ada nyanyian terdengar dari sana. Berkeruyuk menyebalkan.
Aliyah terpaksa bangkit, meraih gelas berisi minuman,
meneguknya pelan.
Ada sepotong ayam goreng dan perkedel, lalu ada
semangkuk sup yang sudah dingin. Aliyah meraih sup itu, lalu tiba-tiba ingatan
akan Pinto melintas. Bukankah sup itu enak kalau dimakan panas-panas? Aliyah
tersenyum tipis, walau matanya sembab oleh tangisan. Pinto adalah sahabat yang menyenangkan.
Baru beberapa hari kenal, mereka sudah akrab seperti saudara.
“Mas Pinto, tak ada pemanas di sini, aku menyantap sup
ini. Sudah dingin. Tapi aku lapar, nanti kalau aku sudah bisa pulang, aku akan
memanaskan setiap sup yang akan aku makan,” ujarnya pelan.
Dalam suasana hati yang sedih dan tersiksa, makanan
apapun tak terasa nikmat. Aliyah hanya makan supaya dirinya tidak lemas. Dia
berharap tetap punya kekuatan, seandainya kesempatan kabur itu ada.
***
Di sebuah rumah mewah, sepasang suami istri sedang
berbincang di ruang tengah. Wajahnya tidak begitu cerah, karena tampaknya
mereka sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius, tapi kurang
menyenangkan. Mereka adalah pak Candra dan istrinya, ayah dan ibu Alfian.
Seminggu sebelum hari pernikahan itu, Narita kabur. Membuat keluarga Candra kalang kabut.
“Mengapa Bapak tidak membatalkan semua undangan itu?
Hari yang ditentukan kurang tiga hari lagi, dan kita tidak menemukan titik
terang.”
“Aku masih berharap, Narita kembali.”
“Sudah berhari-hari, nyatanya dia tidak kembali. Gadis
itu memang penjahat. Dia merayu Alfian hanya untuk menguras hartanya.”
“Sebetulnya kalau dipikir-pikir, seandainya harta itu
yang Narita inginkan, dia bisa saja tetap menjadi istri Alfian. Bukankah dia
bisa lebih banyak meraup keuntungan, karena sebagai istri dia bisa menguasai
seluruh keuangan suaminya,” kata pak Candra.
“Bapak tidak tahu ya? Menurut Alfian, Narita punya
kekasih.”
“Benarkah?”
“Iya. Kekasihnya tidak mau kalau Narita punya suami.
Jadi disuruhnya lari sambil membawa uang dan perhiasan yang bisa dibawanya.”
“Kurangajar sekali dia.”
“Lalu apa sekarang yang harus kita lakukan? Aku malu
sekali Pak, seandainya perhelatan itu batal. Mau ditaruh di mana muka kita?”
“Aku kemarin sudah bicara sama Alfian. Katanya dia
sedang mencari keberadaan Narita, tapi belum ketemu.”
“Namanya kabur, pasti susah.”
“Alfian punya banyak anak buah yang akan membantu.”
“Tapi kurang tiga hari lagi, aku sangat cemas.”
“Bagaimana kalau seandainya Narita tidak bisa
ditemukan, lalu Farah di suruh menggantikan?” usul pak Candra.
“Apa? Farah itu kan pembantu.”
“Hanya pura-pura, setelah itu kita suruh Alfian
menceraikannya. Yang penting, saat pernikahan itu, pengantin wanitanya ada.”
Bu Candra tampak diam. Ada rasa kurang senang
mempergunakan Farah sebagai pengganti Narita.
“Farah kurang cantik,” gumam bu Candra.
“Apa itu yang terbaik?”
“Daripada membatalkan undangan yang sudah dibuat, apa
tidak lebih malu lagi Bu? Aku kira ini jalan terbaik. Aku akan menelpon Alfian
sekarang. Dia juga kebingungan. Ketika aku menelpon, dia mengatakan tak bisa
berpikir apapun.”
“Lebih baik besok pagi saja kita ke sana Pak, ini
masalah penting. Belum tentu Alfian langsung setuju, jadi harus ada pembicaraan
yang lebih dekat. Alfian itu tidak gampang diajak bicara.”
“Baiklah, aku setuju. Besok pagi-pagi kita ke sana.
Jangan terlalu siang, keburu dia pergi ke kantor.”
***
Alfian keluar dari kamarnya. Malam sudah larut. Ia
merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya. Dia salah orang. Sungguh-sungguh
salah orang. Gadis yang ditangkap dan disiksaya bukan Narita, dan dia tak
pernah mau mendengar apa yang dikatakannya. Bahkan dengan suara memelas. Bahkan
dengan tangis yang mengharu-biru. Alfian terus saja menyiksanya, menyakitinya,
memaki-makinya.
Tapi tanda lahir yang ada di pergelangan gadis itu,
membuat kemarahannya runtuh. Penyesalan membuat dadanya sesak, dan berkali-kali
ia memukuli dadanya karena kesalahan itu. Hari hampir pagi. Rasa senyap
menyergapnya. Pasti semua penghuni rumah sudah tidur. Farah, Kirman. Tak
terdengar suara mereka mengobrol seperti biasanya.
Perlahan Alfian melangkah ke arah kamar kosong itu, di
mana Aliyah disekap. Ia membuka pintunya perlahan, teriris hatinya ketika
melihat Aliyah tergolek di atas kasur, lelap dengan mata sembab.
“Ya Tuhan, aku telah berdosa dengan menyakiti gadis
itu. Wajahnya yang lugu, memang bukan wajah Narita. Tapi bagaimana bisa ada
wajah semirip itu? Apakah mereka kembar? Rasanya tidak. Tampaknya mereka tak
mengenal satu sama lain.”
Alfian bahkan berbohong kepada kedua orang tuanya
tentang penemuannya yang ternyata keliru. Ia tak mau mengatakan telah menemukan
‘Narita’, sebelum ia berhasil mengorek pengakuannya. Setelah itu barulah dia
akan mengatakan kepada ayah ibunya.
Ternyata semuanya sia-sia. Dia malah berbuat dosa
dengan menyiksa orang yang tak tahu apa-apa.
Alfian melangkah perlahan, mendekati tempat di mana
Aliyah berbaring. Wajah yang kuyu dan penuh derita terpampang di hadapannya,
membuatnya trenyuh.
“Maafkan aku,” bisiknya perlahan. Tapi Alfian tak mau
mengganggu tidur gadis itu, yang pastinya bisa tertidur karena kelelahan.
Perlahan Alfian membalikkan tubuhnya, dan keluar dari
ruangan, tapi dia tak mengunci pintunya lagi.
***
Dipagi yang masih buta itu, Farah sudah membuat
minuman untuk majikannya. Ia membawanya ke ruang tengah, dan heran melihat sang
majikan sudah terjaga.
“Tumben Tuan bangun pagi-pagi sekali?” katanya sambil
meletakkan gelas minumnya ke atas meja.
“Aku bukannya bangun pagi sekali. Aku bahkan belum
tidur semalaman.”
“Waduh, memangnya kenapa Tuan? Tuan sangat kesal
karena Non belum juga mau mengaku?”
“Buatkan juga minuman hangat untuk dia, dan beri dia
roti untuk sarapan.”
Farah melongo. Tak percaya apa yang dikatakan majikan
gantengnya.
“Hei, kenapa kamu?”
“Saya, harus membuatkan dia minuman hangat, dan menyajikan
roti untuk dia? Maksud Tuan, Non Narita kan?”
“Roti bakar, aku juga mau. Selai kacang ya.”
“Untuk Non, juga?”
“Kenapa kamu begitu bodoh Farah? Bodoh, atau sekarang
kamu tuli? Apa aku harus mengulang setiap perintah yang aku berikan untuk kamu?”
“Baik … baiklah …” jawab Farah sambil melangkah ke
belakang.
“Pasti Non Narita sudah mau mengakui perbuatannya, dan
mengatakan di mana harta Tuan disembunyikan,” gumam Farah.
Iapun membuat roti bakar dengan lapis selai kacang
seperti perintah tuannya. Untuk tuannya, dan untuk ‘Non Narita’.
“Suruh dia mandi setelahnya, berikan baju pantas untuk
dia, dan biarkan pintu itu tidak terkunci,” pertintahnya kemudian, ketika Farah
meletakkan roti bakar ke hadapan sang majikan.
Farah tak berani membantah. Dia tidak tuli, dan dia
sudah mendengar apa yang diperintahkan. Ia melakukannya, agar tidak kembali
didampratnya.
Ketika memasuki ‘kamar Aliyah’, Farah melihat ‘Narita’
duduk diatas kasurnya, sambil merapikan rambutnya.
“Baru beberapa hari Non pergi, rambutnya sudah lebih
panjang sih?” tanya Farah sok tahu.
“Aku selalu bingung, mendengar kata-kata yang tak
pernah aku mengerti,” katanya pelan.
“Ini minum untuk Non, dan roti ini juga. Minum dan
makanlah, saya akan mengambilkan baju ganti untuk Non.”
Aliyah tak menjawab. Ia melakukan apa yang diminta
Farah. Minum, makan roti, mandi. Semua sudah dikerjakan. Tapi dia heran ketika
Farah keluar, dia tidak mendengar kunci diputar. Apa Farah lupa?”
Begitu selesai menyisir rambutnya, dia mencoba membuka
pintu kamar itu, dan berhasil. Aliyah hampir bersorak ketika ia sudah tiba di
luar pintu. Tapi ia bingung harus melangkah ke mana, agar bisa menemukan pintu
keluar.
“Aliyah,” sebuah panggilan mengejutkannya. Ia merasa
seperti mimpi ketika melihat siapa yang memanggilnya. Si tuan kejam itu? Benarkah?
Aliyah masih terpaku, ketika terdengar Farah datang
dari arah depan, mengiringkan sepasang laki-laki dan perempuan setengah tua,
yang kemudian terbelalak menatapnya.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn mbak
ReplyDeleteSelamat jeng Mimiet juara 1
DeleteMana ya bu Iyeng? Masih di Cimahi ??
Matur nuwun bu Tien, CeBeE_11 sampun tayang.
Sehat trus nggih, Bun. Salam seger kwarasan lan TETEP ADUHAI......
Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~11 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..π
ReplyDeleteMatur suwun
ReplyDeleteAlhamdulillah..matur nueun mbak Tien..sehat selalu
ReplyDeleteAlhmdllh...terima kasih....
ReplyDeleteMatursuwun
ReplyDeleteSuwun....
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien CBE 11 sdh tayang
ReplyDeleteSadarkah Alfian bahwa wanita yg disekap itu bukan Narita
Yuk kita mojok bersama.Aduhai
Maturnuwun Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Alhamdulillah masih bisa nyempetin ya bu... Makasih banyak...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Alhamdulilah.. tayang gasik...
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Aliyah sdh tdk disiksa lg spt pesakitan.
Semoga kebaikan segera menghampirinya..
Salam sehat selalu utk bunda..
Aamiin.. πππΉ
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah tsyang lebih awal..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien π
Salam Sehat Selalu dari kota Malang..
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal'afiat dan bahagia selalu bu Tien ..
ReplyDeleteDuh siap yg panggil Aliyah ,,penasaran π€π₯°
Terimakasih Bunda salam SEROJA
ReplyDeleteTerima lsih bunda CBE nya sdh tayang..slm sht sll dan tetap aduhaai sll unk bundaquπππΉ❤️
ReplyDeleteBaru nyadar dan mau mengakui kalau itu bukan Narita, suara pegangan pintu terbuka itu, bos mandan waras teriak, bersamaan Candra ortunya yang mengunjungi rumah Alfian anaknya, minta penjelasan mencari pengganti orang, yang begitu terkejut mendengar namanya dipanggil (nunggu antrian ngkali), laen keterkejutan dua orang tua ini, betapa miripnya ini dengan Narita ,walaupun bos mandan waras sudah mengakui kalau dia Aliyah. Telinganya sudah tidak terganggu ndean, bapakΓ© ini yang ngarep; ini bisa buat stungirl, sebagai penganten perempuan pengganti.
ReplyDeleteTapi begitu tahu Alfian mengajarnya; bapak ini marah, kenapa beraninya sama perempuan. Cèmèn.
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke sebelas sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Matur nuwun mbak Tien-ku, CBE sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSdh datang
Matur nuwun bu
Semoga sehat selalu
Alhamdulillah.... mtr nuwun bu Tien
ReplyDeleteNah... pengantin pengganti sudah ada, cuma mau apa tidak ya, Aliyah...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terima kasih bu tien.... alhamdulilah CBE sdh tayang ... waduuh jadi deh di nikahkan dg aliyah ...makin seruuu
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun...
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu buncan Tien sayang ❤❤❤
Alhamdulillah CBE-11 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, semoga bunda sehat selalu.
Aamiin
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeletematurnuwun
ReplyDelete〰️πππ¦ππ〰️
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 11 sdh
hadir. Matur nuwun
Bu Tien. Sehat selalu
& tetap smangaats.
Salam Aduhai...
〰️πππ¦ππ〰️
Oh ortu Alfian kenal Aliyah?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu
Terima kasih Bu Tien, ceritanya semakin menarik. Semoga Ibu sekeluarga senantiasa sehat penuh berkah, aamiin.
ReplyDeleteMenarik. Apa Aliyah sebagai pengantin pengganti ?
ReplyDeleteMakasih mba Tien .
Sehat selalu dan tetap semangat
Alhamdulillah, semakin seru dan bikin penasaran
ReplyDelete