Saturday, July 9, 2022

KEMBANG CANTIKKU 16

 

KEMBANG CANTIKKU  16

(Tien Kumalasari)

 

Nano terpaku dan tangannya gemetar begitu meletakkan ponsel itu kembali. Lalu terdengar lagi dering panggilan.

“Bu Qila? Aku tidak salah baca kan? Aku tidak salah lihat kan? Itu bu Qila, istri pak Wisnu, menantu pak Kartiko?” gumamnya berkali-kali.

Nano ingin pergi ke kamar Wahyudi, tapi di urungkannya.

“Wahyudi pasti juga bingung, dan tak ada jalan keluar yang bisa kami lakukan saat ini. Semua menunggu besok. Kalau begitu aku biarkan saja dering itu.”

Lalu Nano membaringkan tubuhnya. Kantuk yang semula menyergapnya, lenyap seketika, berganti dengan pemikiran-pemikiran yang membuatnya pusing.

“Ada apa dengan bu Qila? Dia yang memberi ponsel itu pastinya. Dan memanggilnya sayang pada Wahyudi? Ini keterlaluan. Tak mungkin Wahyudi menyukai bu Qila. Dan mengapa bu Qila seperti tergila-gila pada Wahyudi? Memberi ponsel mahal, mengirimi pesan singkat yang penuh kata-kata ‘sayang’, menelpon di malam seperti ini? Bagaimana tiba-tiba bu Qila sangat memperhatikan Wahyudi, bahkan tampaknya dia suka? Toh Wahyudi tidak pernah menemui atau mendekatinya. Mana mungkin dia berani? Ooh, ya dulu kan pernah tiba-tiba diajaknya keluar, lalu menemaninya makan. Apakah itu awal mulanya? Bukankah Wahyudi tak pernah bereaksi apapun? Wahyudi suka sama bu Qila? Tidak mungkin. Wahyudi orang baik, melihat wanita secantik bu Qila tak akan membuatnya tergiur karena dia adalah istri orang.”

Nano terus memikirkannya, dan tak berhasil memejamkan matanya, sampai pagi menjelang. Ia bangkit ketika pintu diketuk dari luar. Ia melihat jam dinding yang terpampang di depannya. Jam setengah enam?

Nano melompat keluar dan menemui Wahyudi sudah rapi.

“Apa-apaan kamu ini? Baru bangun?” tegur Wahyudi.

Nano tak menjawab, ia lari ke kamar mandi dan berwudhu.

Wahyudi duduk di kursi di luar kamarnya, dan menikmati secangkir kopi yang sudah disiapkan simbok.

Ia heran Nano baru bangun dan kelihatan gugup.

Ketika kemudian Nano setengah berlari dari kamar mandi, Wahyudi hanya menatapnya tak mengerti. Nano langsung masuk ke kamarnya dan pastinya sedang shalat subuh yang sudah begitu terlambat.

Wahyudi hanya menunggu. Saat dia menghirup kopi terakhirnya, Nano baru keluar sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

“Ada apa?”

“Aku hampir tak tidur semalaman.”

“Kenapa? Memikirkan Murti yang baru besok Minggu bisa kamu temui?” canda Wahyudi.

“Bukan. Terganggu oleh ponsel baru kamu itu,” omelnya sambil menghirup kopinya yang sudah menghangat.

“Apa?”

“Semalam terus menerus berdering. Bukan pesan singkat, tapi dia menelpon.”

“Kenapa tidak kamu jawab dan kamu tanyakan sekalian, siapa dia sebenarnya?”

“Kamu tidak tahu siapa dia? Sekarang aku sudah tahu karena dia sudah memasang foto profilnya saat menelpon.”

“Kamu mengenalnya?”

“Lebih dari mengenal. Kamupun juga kenal. Sekarang ada hubungan apa kamu sama bu Qila?” tanya Nano tiba-tiba.

“Apa maksudmu?” tanya Wahyudi sambil menautkan kedua alis matanya.

“Dia bu Qila.”

Wahyudi terkejut. Kalau saja kursi yang didudukinya tidak bersandaran, pasti dia sudah jatuh terjengkang.

“Mak … maksudmu … yang menelpon itu bu Qila?”

“Yang menelpon, yang mengirimi pesan-pesan singkat, bahkan yang memberi kamu ponsel baru yang sangat mahal.”

“Kamu tidak bercanda kan?”

“Mana mungkin aku bercanda? Biar aku ambil dulu ponselnya. Eh tidak, ayo masuk ke kamarku saja, kalau di luar dan berbincang tentang dia, bisa-bisa bu Kartiko mendengarnya, dan kacau semuanya,” kata Nano sambil beranjak masuk ke kamar, diikuti Wahyudi yang berdebar cemas. Kalau seorang gadis tiba-tiba menyukainya, dia hanya akan bersikap biasa saja, tinggal menanyakan pada hatinya, suka atau tidak. Tapi ini … bu Qila, istri pak Wisnu, menantu pak Kartiko. Wahyudi menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, lalu menerima ponsel yang diulurkan Nano.

Beberapa pesan singkat, beberapa panggilan telpon, sekarang ada namanya. Aqila. Wahyudi tak ingin membukanya. Ia meletakkan ponsel di meja, dan terduduk lemas.

“Ini tak mungkin … “ keluhnya pelan.

“Kamu pernah bicara apa sama dia?”

“Aku tidak pernah bicara apapun. Bertemu saja hanya sekilas, saat dia menjemput Mila. Kapan aku bicara?” sergah Wahyudi.

“Barangkali waktu kamu diajaknya makan siang itu.”

“Makan siang? Sepanjang aku duduk menemaninya, aku hanya meminta agar segera pulang karena saatnya menyiapkan obat untuk pak Kartiko.”

“Dia tidak bicara apa-apa?”

“Hanya memaksa makan … tapi ….”

“Tapi apa?”

“Aku benci cara dia memandangi aku.”

“Oh ya? Bagaimana cara dia memandangi kamu?”

“Aku tidak bisa membayangkannya. Saat itu yang terpikirkan oleh aku hanyalah, bahwa dia cantik, tapi matanya tampak liar.”

“Wouww..”

“Sejak itu aku selalu menghindar setiap kali bertatapan dengan dia.”

“Berarti dia suka sama kamu.”

“Seperti wanita rendahan saja … eh, maaf ... tak sadar aku sampai berkata kasar,” gumamnya.

“Aku bisa mengerti. Pasti kamu kesal, bukannya berbunga-bunga merasa dicintai wanita cantik,” Nano menggodanya.

“Apa aku sudah gila?”

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Akan aku kembalikan ponsel itu. Biar aku hapus semua pesan dan panggilan yang ada,” kata Wahyudi sambil meraih ponsel itu lagi, dan menghapus semuanya.”

“Tapi itu tidak mudah. Bagaimana kamu bisa melakukannya sedangkan dia tak pernah menemui kamu dan  berduaan? Barangkali, kalau saja panggilan semalam itu berhasil, dia akan memintamu untuk menemuinya, atau entah apa yang ingin dilakukannya. Apakah kamu akan mengembalikannya saat mereka makan siang?”

“Pasti akan terjadi perang di rumah ini.”

"Dan akan meruntuhkan bangunan rumah ini.”

“Betapapun buruknya aku, aku masih ingin menjaganya. Aku akan mengembalikannya saat hanya ada dia saja. Jangan sampai ada yang tahu.”

“Semoga kesempatan itu ada. Atau, kamu menuliskan pesan di ponsel itu saja agar dia menemui kamu?”

“Susah ya … memintanya menemui di mana? Nanti aku dikira mengencaninya, bagaimana?”

“Ya memang kamu harus mengencaninya, supaya kamu bisa mengembalikan ponsel itu.”

“Dimana aku mengatakan tempat untuk bertemu itu?”

“Katakan saja di mana, gitu. Dia pasti punya akal untuk melakukannya.”

Pembicaraan itu berhenti, ketika tiba-tiba simbok muncul di luar pintu.

“Mas Wahyudi, dipanggil bapak,” kata simbok.

“Oh ya, baiklah, aku segera ke sana.”

***

“Ada apa sih ini, kenapa tidak mau membalas, ketika aku kirim pesan, dan tidak mau mengangkat ketika aku menelpon? Hiiih, bodoh … bodoh … bodoh. Ini aku, sayang, jawab. Kita akan senang nanti. Ya ampuun, jangan-jangan dia tidak tahu bagaimana caranya membuka ponsel,” gerutu Qila pagi itu, sambil terus mengotak-atik ponselnya. Lalu dituliskannya lagi sebuah pesan singkat.

“Wahyudi sayang, jangan takut, jawab aku, tak akan ada yang tahu, kecuali kita berdua. Aku ingin bicara empat mata dan mari saling mengeluarkan isi hati.”

“Qila …” panggil Wisnu sambil mendekat.

Qila menutup ponselnya, menatap suaminya dengan pandangan kesal.

“Ada apa sih Mas?”

“Kamu tuh ngapain, sudah siang malah mainan ponsel terus.”

“Jam berapa sih ini?”

“Sudah siang nih, jam tujuh lebih. Kita sarapan tidak?”

“Sarapan di kantor saja ya Mas, atau di rumah Ibu, sambil nganterin Mila.”

“Nggak, kelamaan. Kamu tadi lagi ngomelin siapa, ponsel diomelin?”

“Itu, teman aku kuliah dulu, ngajakin reunian,” bohong Qila.

“Ya sudah, kamu juga belum siap-siap, ada meeting pagi ini. Kamu lupa ya ini akhir bulan?”

“Iya, aku siap-siap sekarang. Tapi permintaanku tetap berlaku lho Mas.”

“Permintaan apa?”

“Cari sekretaris baru, aku ingin berhenti,” kata Qila yang ingin sekali bisa lepas dari suaminya yang dianggapnya selalu mengungkungnya di tempat kerja, sehingga ingin bertemu Wahyudi saja susahnya bukan main.

“Qila, kamu pikirkan  dulu. Nanti setelah kita jalan-jalan, kita pikirkan lagi. Kamu hanya jenuh.”

“Aku bilang lelah ya lelah. Aku ingin di rumah saja,” kata Qila sambil masuk ke kamarnya.

“Heran aku, ada apa dia … tiba-tiba ingin berhenti bekerja.”

“Bapaaaak, ayo … angkaaat …” teriak Mila sambil lari mendekati ayahnya.

“Baiklah, kita segera berangkat. Mila sudah maem?”

“Udah … Ayooo … bapaaak …”

“Iya, iya … tunggu ibu dulu ya, ayo ke depan dulu, sama Tinah ya.”

***

Pak Kartiko ternyata ingin berjalan-jalan bersama Wahyudi sampai keluar rumah. Senang hatinya bisa melihat hiruk pikuk lalu lintas di pagi hari.

“Wahyudi, sebenarnya aku ingin bicara sama kamu.”

“Ya Pak, ada apa?”

“Besok Minggu itu, Wahyu ingin mengajak kita jalan-jalan ke luar kota. Mungkin menginap. Tapi aku ingat, kamu kan pamit mau ketemu … siapa itu … yang pernah menolong kamu itu?”

“Pak Tukiyo?”

“Nah, itu. Jadi bagaimana enaknya? Aku tidak ingin menghalangi kamu pergi ke rumah Tukiyo, tapi kalau aku bersedia jalan-jalan bersama Wahyu, aku tidak mau kalau kamu tidak ikut serta.”

Wahyudi diam. Memang sih, ke rumah pak Tukiyo itu bisa kapan saja, tapi kalau ikut pergi bersama keluarga Wisnu, berarti dia akan bertemu Qila, dan itu membuatnya tidak suka.

“Apa aku harus membatalkan keinginan aku jalan-jalan ya. Atau aku suruh mundur minggu depan saja, jalan-jalannya.”

Wahyudi merasa tidak enak. Hanya karena kepentingannya, pak Kartiko ingin membatalkan acara jalan-jalan? Lalu dia teringat, bahwa dia harus ketemu Qila untuk mengembalikan ponsel itu. Barangkali di suatu tempat nanti kesempatan itu ada.

“Pak, Bapak tidak usah membatalkan acara jalan-jalan itu. Sayalah yang akan membatalkan acara saya menemui pak Tukiyo.”

“Benarkah?”

“Saya bisa ke sana di hari lain.”

“Baiklah kalau begitu, ayo jalan pulang, siapa tahu Wisnu sedang mengantarkan anaknya dan aku bisa bicara.”

Wahyudi memutar kursi rodanya, dan mendorongnya ke arah rumah.

Ketika mereka memasuki halaman, kebetulan Wisnu baru saja menurunkan Mila, dan  mobilnya sudah menuju keluar halaman. Wisnu berhenti melihat ayahnya.

“Bapak dari mana?”

“Jalan-jalan saja. Oh ya, aku mau ngomong. Baiklah kalau besok Minggu kamu mau mengajak kami jalan-jalan. Aku suka.”

“Benarkah?”

Pak Kartiko mengangguk.

“Baiklah, nanti saya menelpon ibu lagi, supaya bersiap-siap.”

Qila terus menatap Wahyudi, berharap Wahyudi juga menatapnya. Tapi tidak. Wajah ganteng itu tampak dingin beku, dan tak sedikitpun memandang ke arahnya. Dan Qilapun tetap mengira bahwa Wahyudi takut. Ia masih mencoba tersenyum ke arah pria ganteng itu sampai suaminya membawa mobilnya menjauh.

***

Bu Kartiko senang ketika tahu bahwa suaminya bersedia berangkat bersama-sama.

“Bapak kan memang butuh rekreasi, melihat yang indah-indah, menghirup udara segar, ya kan? Sudah lama sekali kita tidak kemana-mana.”

“Iya, aku sedih dengan keadaanku ini.”

“Kalau Bapak selalu senang, tidak terbebani oleh apapun, maka Bapak bisa pulih kok.”

“Benarkah?”

“Dokter yang mengatakannya. Apa Bapak lupa?”

“Iya, aku ingat. Dan aku senang kok sekarang ini. Wahyudi pintar menyenangkan aku, melayani dengan wajah yang selalu cerah, seperti ikhlas, begitu. Tidak seperti perawat-perawat yang dulu, wajahnya terkadang cemberut, memperlihatkan kalau dia lelah. Bahkan aku juga tidak ingin mengajaknya jalan seperti yang aku lakukan bersama Wahyudi.”

“Syukurlah, semoga dengan begitu Bapak bisa segera pulih.”

“Aamiin.”

***

Hari itu keluarga Kartiko jadi berangkat keluar kota dengan mengendarai dua mobil. Mereka menuju ke Tawangmangu atas permintaan bu Kartiko.

“Jangan jauh-jauh, takutnya bapakmu kecapekan,” katanya sebelum berangkat.

Mereka menyewa sebuah villa yang lumayan besar dan tentu saja bagus.

Nano dan Wahyudi sedang beristirahat di kamar belakang, ketika semua keluarga sedang santai di teras depan.

“Semoga ini kesempatan bagus untukku,” kata Wahyudi.

“Ya, pasti kesempatan itu ada. Nih, bawa saja oleh kamu sekalian, sudah ada pesan baru tuh, dari kemarin kamu belum membacanya.”

“Nggak usah, langsung hapus saja. Membaca malah membuat kepalaku pusing saja.”

“Nih, hapus saja oleh kamu sendiri,” kata Nano sambil mengulurkan ponselnya.

Lalu Wahyudi menghapus semua pesan tanpa membacanya.

“Masukkan saja ke saku celana kamu, karena kesempatan itu bisa saja tiba-tiba ada, jadi kamu tak usah mengambilnya karena sudah siap di saku kamu.”

Tapi ternyata kesempatan itu belum juga ada, karena mereka masih selalu bersama-sama.

“Barangkali besok pagi, karena mereka berencana mau keluar.”

Tapi siang itu, sepertinya kesempatan itu ada.

“Aku lihat pak Wisnu sedang beristirahat di kamar. Kamu kirim pesan saja sekarang, agar bu Qila keluar.”

“Baiklah. Tapi aku kok deg-degan ya.”

“Mau tidak mau kamu harus mengirimkan pesan agar dia segera mencari jalan untuk bertemu kamu. Kalau tidak, kamu akan selalu terbebani dengan adanya ponsel itu. Lagi pula supaya dia segera menghentikan kelakuan memalukan itu,” kata Nano.

“Baiklah.”

Lalu Wahyudi mengirimkan pesan singkat.

Bu Qila, saya ingin bertemu, saya menunggu di luar halaman villa.”

Pesan itu terkirim, sayangnya Qila sedang ada di kamar mandi, dan Wisnu yang melihat ponsel istrinya bergerak-gerak karena bergetar, lalu mengambilnya. Ia curiga atas nomor tak bernama yang mengirimnya, lalu membukanya.

***

Besok lagi ya.

36 comments:

  1. Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Alhamdulillah KaCe eps 16, sudah tayang,. Terima kasih bunda, salam SEROJA dan tetap ADUHAI menghibur para penyemangaynya.

      Selamat buat jeng Nani yang malam ini mblatune paling buanter..... dadi Juara 1 dech. ๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ’ช๐Ÿผ๐Ÿ’ช๐Ÿผ

      Delete
  2. Alhamdulilah...*Kembang Cantikku* sdh tayang..
    Terimakasih bunda Tien ku..
    Salam Aduhai..
    Semoga sehat dan bahagia selalu ya bundaa..

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Gpp eyang uti Yanik.. Tandanya kangeen berat sm bunda Tien hehe.. Nanti kita ketemu di malang yaa dg bunda Tien.. Di Reuni pctk
      Salam sehat selalu yangti Yanik.. Tks

      Delete
  4. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ...
    Ikut deg-deg-an nunggu besok .☺️..
    Syukron nggih Mbak Tien ๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 16 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kembang Cantikku sudah berkunjung.
    Waduhhh...akan ada salah pengertian, gimana ya Wahyudi yang baik akan mendapat masalah lagi.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah ... Terima kasih Bu Tien semoha sehat selalu.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh muncul.
    Terima kasih bu Tien
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  11. Wooowww ... besok ada perang ketahuan gak yaa

    ReplyDelete
  12. Bandung July 09,2022, Terima kasih bunda Tien untuk tayangan KC ke 16, malam ini saya sudah membacanya....... seru ya! Salam sehat selalu bunda!

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Waduh piye iki,,,bisa2 Wahyudi diusir nih,,penasaran,,,,,
    .Selamat Idul Adha bu Tien , sehat wal'afiat selalu ๐Ÿค—๐Ÿฅฐ

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 16 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah KC 16 sudah datang, matursuwun bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  16. Terima kasih bunda Tien, kasihan Wahyudi semoga ada salah paham dan tidak diusir dari rumah pak Kartiko. Selamat Hari Raya Iedul Adha utk bunda Tien dan Keluarga ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜Š

    ReplyDelete
  17. Haduh bisa perang ini padahal yg keganjenan si qila,....trims Bu tien

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah KC 16 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia bersama keluarga.
    Selamat Hari Raya Iedul Adha 1443 H,
    mohon maaf lahir dan batin๐Ÿ™

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, terima kasih bu Tien. Selamat Idul Adha 1443 H dan u Umat Islam khususnya...semangat

    ReplyDelete
  20. Jangan sampai Wahyudi kena getahnya. Kasihan.
    Makasih mba Tien

    ReplyDelete
  21. Agaknya Wahyudi nih yang disalahkan...tapi Nano bisa jadi saksi yg baik. Tinggal berani atau tidak mengungkapkan? Hehe...msmun seruuu

    ReplyDelete
  22. Malam ini akan dilanjut nggak yaaaa

    ReplyDelete
  23. Mbak Tien memang hebat...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete