KEMBANG CANTIKKU
16
(Tien Kumalasari)
Nano terpaku dan tangannya gemetar begitu meletakkan
ponsel itu kembali. Lalu terdengar lagi dering panggilan.
“Bu Qila? Aku tidak salah baca kan? Aku tidak salah
lihat kan? Itu bu Qila, istri pak Wisnu, menantu pak Kartiko?” gumamnya
berkali-kali.
Nano ingin pergi ke kamar Wahyudi, tapi di
urungkannya.
“Wahyudi pasti juga bingung, dan tak ada jalan keluar
yang bisa kami lakukan saat ini. Semua menunggu besok. Kalau begitu aku biarkan
saja dering itu.”
Lalu Nano membaringkan tubuhnya. Kantuk yang semula
menyergapnya, lenyap seketika, berganti dengan pemikiran-pemikiran yang
membuatnya pusing.
“Ada apa dengan bu Qila? Dia yang memberi ponsel itu
pastinya. Dan memanggilnya sayang pada Wahyudi? Ini keterlaluan. Tak mungkin
Wahyudi menyukai bu Qila. Dan mengapa bu Qila seperti tergila-gila pada
Wahyudi? Memberi ponsel mahal, mengirimi pesan singkat yang penuh kata-kata ‘sayang’,
menelpon di malam seperti ini? Bagaimana tiba-tiba bu Qila sangat memperhatikan
Wahyudi, bahkan tampaknya dia suka? Toh Wahyudi tidak pernah menemui atau
mendekatinya. Mana mungkin dia berani? Ooh, ya dulu kan pernah tiba-tiba
diajaknya keluar, lalu menemaninya makan. Apakah itu awal mulanya? Bukankah Wahyudi
tak pernah bereaksi apapun? Wahyudi suka sama bu Qila? Tidak mungkin. Wahyudi
orang baik, melihat wanita secantik bu Qila tak akan membuatnya tergiur karena
dia adalah istri orang.”
Nano terus memikirkannya, dan tak berhasil memejamkan
matanya, sampai pagi menjelang. Ia bangkit ketika pintu diketuk dari luar. Ia
melihat jam dinding yang terpampang di depannya. Jam setengah enam?
Nano melompat keluar dan menemui Wahyudi sudah rapi.
“Apa-apaan kamu ini? Baru bangun?” tegur Wahyudi.
Nano tak menjawab, ia lari ke kamar mandi dan
berwudhu.
Wahyudi duduk di kursi di luar kamarnya, dan menikmati
secangkir kopi yang sudah disiapkan simbok.
Ia heran Nano baru bangun dan kelihatan gugup.
Ketika kemudian Nano setengah berlari dari kamar
mandi, Wahyudi hanya menatapnya tak mengerti. Nano langsung masuk ke kamarnya
dan pastinya sedang shalat subuh yang sudah begitu terlambat.
Wahyudi hanya menunggu. Saat dia menghirup kopi
terakhirnya, Nano baru keluar sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
“Ada apa?”
“Aku hampir tak tidur semalaman.”
“Kenapa? Memikirkan Murti yang baru besok Minggu bisa kamu
temui?” canda Wahyudi.
“Bukan. Terganggu oleh ponsel baru kamu itu,” omelnya sambil
menghirup kopinya yang sudah menghangat.
“Apa?”
“Semalam terus menerus berdering. Bukan pesan singkat,
tapi dia menelpon.”
“Kenapa tidak kamu jawab dan kamu tanyakan sekalian,
siapa dia sebenarnya?”
“Kamu tidak tahu siapa dia? Sekarang aku sudah tahu
karena dia sudah memasang foto profilnya saat menelpon.”
“Kamu mengenalnya?”
“Lebih dari mengenal. Kamupun juga kenal. Sekarang ada
hubungan apa kamu sama bu Qila?” tanya Nano tiba-tiba.
“Apa maksudmu?” tanya Wahyudi sambil menautkan kedua
alis matanya.
“Dia bu Qila.”
Wahyudi terkejut. Kalau saja kursi yang didudukinya
tidak bersandaran, pasti dia sudah jatuh terjengkang.
“Mak … maksudmu … yang menelpon itu bu Qila?”
“Yang menelpon, yang mengirimi pesan-pesan singkat,
bahkan yang memberi kamu ponsel baru yang sangat mahal.”
“Kamu tidak bercanda kan?”
“Mana mungkin aku bercanda? Biar aku ambil dulu
ponselnya. Eh tidak, ayo masuk ke kamarku saja, kalau di luar dan berbincang
tentang dia, bisa-bisa bu Kartiko mendengarnya, dan kacau semuanya,” kata Nano
sambil beranjak masuk ke kamar, diikuti Wahyudi yang berdebar cemas. Kalau
seorang gadis tiba-tiba menyukainya, dia hanya akan bersikap biasa saja,
tinggal menanyakan pada hatinya, suka atau tidak. Tapi ini … bu Qila, istri pak
Wisnu, menantu pak Kartiko. Wahyudi menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, lalu
menerima ponsel yang diulurkan Nano.
Beberapa pesan singkat, beberapa panggilan telpon,
sekarang ada namanya. Aqila. Wahyudi tak ingin membukanya. Ia meletakkan ponsel
di meja, dan terduduk lemas.
“Ini tak mungkin … “ keluhnya pelan.
“Kamu pernah bicara apa sama dia?”
“Aku tidak pernah bicara apapun. Bertemu saja hanya
sekilas, saat dia menjemput Mila. Kapan aku bicara?” sergah Wahyudi.
“Barangkali waktu kamu diajaknya makan siang itu.”
“Makan siang? Sepanjang aku duduk menemaninya, aku
hanya meminta agar segera pulang karena saatnya menyiapkan obat untuk pak
Kartiko.”
“Dia tidak bicara apa-apa?”
“Hanya memaksa makan … tapi ….”
“Tapi apa?”
“Aku benci cara dia memandangi aku.”
“Oh ya? Bagaimana cara dia memandangi kamu?”
“Aku tidak bisa membayangkannya. Saat itu yang
terpikirkan oleh aku hanyalah, bahwa dia cantik, tapi matanya tampak liar.”
“Wouww..”
“Sejak itu aku selalu menghindar setiap kali
bertatapan dengan dia.”
“Berarti dia suka sama kamu.”
“Seperti wanita rendahan saja … eh, maaf ... tak sadar
aku sampai berkata kasar,” gumamnya.
“Aku bisa mengerti. Pasti kamu kesal, bukannya berbunga-bunga
merasa dicintai wanita cantik,” Nano menggodanya.
“Apa aku sudah gila?”
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Akan aku kembalikan ponsel itu. Biar aku hapus semua
pesan dan panggilan yang ada,” kata Wahyudi sambil meraih ponsel itu lagi, dan
menghapus semuanya.”
“Tapi itu tidak mudah. Bagaimana kamu bisa
melakukannya sedangkan dia tak pernah menemui kamu dan berduaan? Barangkali, kalau
saja panggilan semalam itu berhasil, dia akan memintamu untuk menemuinya, atau
entah apa yang ingin dilakukannya. Apakah kamu akan mengembalikannya saat
mereka makan siang?”
“Pasti akan terjadi perang di rumah ini.”
"Dan akan meruntuhkan bangunan rumah ini.”
“Betapapun buruknya aku, aku masih ingin menjaganya.
Aku akan mengembalikannya saat hanya ada dia saja. Jangan sampai ada yang tahu.”
“Semoga kesempatan itu ada. Atau, kamu menuliskan
pesan di ponsel itu saja agar dia menemui kamu?”
“Susah ya … memintanya menemui di mana? Nanti aku
dikira mengencaninya, bagaimana?”
“Ya memang kamu harus mengencaninya, supaya kamu bisa
mengembalikan ponsel itu.”
“Dimana aku mengatakan tempat untuk bertemu itu?”
“Katakan saja di mana, gitu. Dia pasti punya akal
untuk melakukannya.”
Pembicaraan itu berhenti, ketika tiba-tiba simbok
muncul di luar pintu.
“Mas Wahyudi, dipanggil bapak,” kata simbok.
“Oh ya, baiklah, aku segera ke sana.”
***
“Ada apa sih ini, kenapa tidak mau membalas, ketika
aku kirim pesan, dan tidak mau mengangkat ketika aku menelpon? Hiiih, bodoh …
bodoh … bodoh. Ini aku, sayang, jawab. Kita akan senang nanti. Ya ampuun,
jangan-jangan dia tidak tahu bagaimana caranya membuka ponsel,” gerutu Qila
pagi itu, sambil terus mengotak-atik ponselnya. Lalu dituliskannya lagi sebuah
pesan singkat.
“Wahyudi sayang, jangan takut, jawab aku, tak akan ada
yang tahu, kecuali kita berdua. Aku ingin bicara empat mata dan mari saling
mengeluarkan isi hati.”
“Qila …” panggil Wisnu sambil mendekat.
Qila menutup ponselnya, menatap suaminya dengan
pandangan kesal.
“Ada apa sih Mas?”
“Kamu tuh ngapain, sudah siang malah mainan ponsel
terus.”
“Jam berapa sih ini?”
“Sudah siang nih, jam tujuh lebih. Kita sarapan tidak?”
“Sarapan di kantor saja ya Mas, atau di rumah Ibu,
sambil nganterin Mila.”
“Nggak, kelamaan. Kamu tadi lagi ngomelin siapa, ponsel
diomelin?”
“Itu, teman aku kuliah dulu, ngajakin reunian,” bohong
Qila.
“Ya sudah, kamu juga belum siap-siap, ada meeting pagi
ini. Kamu lupa ya ini akhir bulan?”
“Iya, aku siap-siap sekarang. Tapi permintaanku tetap
berlaku lho Mas.”
“Permintaan apa?”
“Cari sekretaris baru, aku ingin berhenti,” kata Qila
yang ingin sekali bisa lepas dari suaminya yang dianggapnya selalu
mengungkungnya di tempat kerja, sehingga ingin bertemu Wahyudi saja susahnya
bukan main.
“Qila, kamu pikirkan dulu. Nanti setelah kita
jalan-jalan, kita pikirkan lagi. Kamu hanya jenuh.”
“Aku bilang lelah ya lelah. Aku ingin di rumah saja,”
kata Qila sambil masuk ke kamarnya.
“Heran aku, ada apa dia … tiba-tiba ingin berhenti
bekerja.”
“Bapaaaak, ayo … angkaaat …” teriak Mila sambil lari
mendekati ayahnya.
“Baiklah, kita segera berangkat. Mila sudah maem?”
“Udah … Ayooo … bapaaak …”
“Iya, iya … tunggu ibu dulu ya, ayo ke depan dulu,
sama Tinah ya.”
***
Pak Kartiko ternyata ingin berjalan-jalan bersama
Wahyudi sampai keluar rumah. Senang hatinya bisa melihat hiruk pikuk lalu
lintas di pagi hari.
“Wahyudi, sebenarnya aku ingin bicara sama kamu.”
“Ya Pak, ada apa?”
“Besok Minggu itu, Wahyu ingin mengajak kita
jalan-jalan ke luar kota. Mungkin menginap. Tapi aku ingat, kamu kan pamit mau
ketemu … siapa itu … yang pernah menolong kamu itu?”
“Pak Tukiyo?”
“Nah, itu. Jadi bagaimana enaknya? Aku tidak ingin
menghalangi kamu pergi ke rumah Tukiyo, tapi kalau aku bersedia jalan-jalan
bersama Wahyu, aku tidak mau kalau kamu tidak ikut serta.”
Wahyudi diam. Memang sih, ke rumah pak Tukiyo itu bisa
kapan saja, tapi kalau ikut pergi bersama keluarga Wisnu, berarti dia akan
bertemu Qila, dan itu membuatnya tidak suka.
“Apa aku harus membatalkan keinginan aku jalan-jalan
ya. Atau aku suruh mundur minggu depan saja, jalan-jalannya.”
Wahyudi merasa tidak enak. Hanya karena
kepentingannya, pak Kartiko ingin membatalkan acara jalan-jalan? Lalu dia teringat,
bahwa dia harus ketemu Qila untuk mengembalikan ponsel itu. Barangkali di suatu
tempat nanti kesempatan itu ada.
“Pak, Bapak tidak usah membatalkan acara jalan-jalan
itu. Sayalah yang akan membatalkan acara saya menemui pak Tukiyo.”
“Benarkah?”
“Saya bisa ke sana di hari lain.”
“Baiklah kalau begitu, ayo jalan pulang, siapa tahu
Wisnu sedang mengantarkan anaknya dan aku bisa bicara.”
Wahyudi memutar kursi rodanya, dan mendorongnya ke
arah rumah.
Ketika mereka memasuki halaman, kebetulan Wisnu baru
saja menurunkan Mila, dan mobilnya sudah menuju keluar halaman. Wisnu
berhenti melihat ayahnya.
“Bapak dari mana?”
“Jalan-jalan saja. Oh ya, aku mau ngomong. Baiklah
kalau besok Minggu kamu mau mengajak kami jalan-jalan. Aku suka.”
“Benarkah?”
Pak Kartiko mengangguk.
“Baiklah, nanti saya menelpon ibu lagi, supaya
bersiap-siap.”
Qila terus menatap Wahyudi, berharap Wahyudi juga
menatapnya. Tapi tidak. Wajah ganteng itu tampak dingin beku, dan tak
sedikitpun memandang ke arahnya. Dan Qilapun tetap mengira bahwa Wahyudi takut.
Ia masih mencoba tersenyum ke arah pria ganteng itu sampai suaminya membawa
mobilnya menjauh.
***
Bu Kartiko senang ketika tahu bahwa suaminya bersedia
berangkat bersama-sama.
“Bapak kan memang butuh rekreasi, melihat yang indah-indah,
menghirup udara segar, ya kan? Sudah lama sekali kita tidak kemana-mana.”
“Iya, aku sedih dengan keadaanku ini.”
“Kalau Bapak selalu senang, tidak terbebani oleh
apapun, maka Bapak bisa pulih kok.”
“Benarkah?”
“Dokter yang mengatakannya. Apa Bapak lupa?”
“Iya, aku ingat. Dan aku senang kok sekarang ini.
Wahyudi pintar menyenangkan aku, melayani dengan wajah yang selalu cerah,
seperti ikhlas, begitu. Tidak seperti perawat-perawat yang dulu, wajahnya
terkadang cemberut, memperlihatkan kalau dia lelah. Bahkan aku juga tidak ingin
mengajaknya jalan seperti yang aku lakukan bersama Wahyudi.”
“Syukurlah, semoga dengan begitu Bapak bisa segera pulih.”
“Aamiin.”
***
Hari itu keluarga Kartiko jadi berangkat keluar kota
dengan mengendarai dua mobil. Mereka menuju ke Tawangmangu atas permintaan bu
Kartiko.
“Jangan jauh-jauh, takutnya bapakmu kecapekan,” katanya
sebelum berangkat.
Mereka menyewa sebuah villa yang lumayan besar dan
tentu saja bagus.
Nano dan Wahyudi sedang beristirahat di kamar
belakang, ketika semua keluarga sedang santai di teras depan.
“Semoga ini kesempatan bagus untukku,” kata Wahyudi.
“Ya, pasti kesempatan itu ada. Nih, bawa saja oleh
kamu sekalian, sudah ada pesan baru tuh, dari kemarin kamu belum membacanya.”
“Nggak usah, langsung hapus saja. Membaca malah
membuat kepalaku pusing saja.”
“Nih, hapus saja oleh kamu sendiri,” kata Nano sambil
mengulurkan ponselnya.
Lalu Wahyudi menghapus semua pesan tanpa membacanya.
“Masukkan saja ke saku celana kamu, karena kesempatan
itu bisa saja tiba-tiba ada, jadi kamu tak usah mengambilnya karena sudah siap
di saku kamu.”
Tapi ternyata kesempatan itu belum juga ada, karena
mereka masih selalu bersama-sama.
“Barangkali besok pagi, karena mereka berencana mau
keluar.”
Tapi siang itu, sepertinya kesempatan itu ada.
“Aku lihat pak Wisnu sedang beristirahat di kamar.
Kamu kirim pesan saja sekarang, agar bu Qila keluar.”
“Baiklah. Tapi aku kok deg-degan ya.”
“Mau tidak mau kamu harus mengirimkan pesan agar dia
segera mencari jalan untuk bertemu kamu. Kalau tidak, kamu akan selalu
terbebani dengan adanya ponsel itu. Lagi pula supaya dia segera menghentikan
kelakuan memalukan itu,” kata Nano.
“Baiklah.”
Lalu Wahyudi mengirimkan pesan singkat.
“Bu Qila, saya ingin bertemu, saya menunggu di luar
halaman villa.”
Pesan itu terkirim, sayangnya Qila sedang ada di kamar
mandi, dan Wisnu yang melihat ponsel istrinya bergerak-gerak karena bergetar,
lalu mengambilnya. Ia curiga atas nomor tak bernama yang mengirimnya, lalu
membukanya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
This comment has been removed by the author.
DeleteAlhamdulillah KaCe eps 16, sudah tayang,. Terima kasih bunda, salam SEROJA dan tetap ADUHAI menghibur para penyemangaynya.
DeleteSelamat buat jeng Nani yang malam ini mblatune paling buanter..... dadi Juara 1 dech. ๐๐๐ช๐ผ๐ช๐ผ
Asyik sdh tayang
ReplyDeleteKomen ku kon ilang yaa
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteAlhamdulilah...*Kembang Cantikku* sdh tayang..
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien ku..
Salam Aduhai..
Semoga sehat dan bahagia selalu ya bundaa..
Eee muncul lagi komenku
ReplyDeleteGpp eyang uti Yanik.. Tandanya kangeen berat sm bunda Tien hehe.. Nanti kita ketemu di malang yaa dg bunda Tien.. Di Reuni pctk
DeleteSalam sehat selalu yangti Yanik.. Tks
Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah ...
ReplyDeleteIkut deg-deg-an nunggu besok .☺️..
Syukron nggih Mbak Tien ๐น๐น๐น๐น๐น
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 16 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun, bu Tien. Salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah matur nuwun bu Tien
ReplyDeletealhamdulillah๐
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Kembang Cantikku sudah berkunjung.
ReplyDeleteWaduhhh...akan ada salah pengertian, gimana ya Wahyudi yang baik akan mendapat masalah lagi.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillah ... Terima kasih Bu Tien semoha sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Terima kasih bu Tien
Semoga sehat selalu..
Wooowww ... besok ada perang ketahuan gak yaa
ReplyDeleteBandung July 09,2022, Terima kasih bunda Tien untuk tayangan KC ke 16, malam ini saya sudah membacanya....... seru ya! Salam sehat selalu bunda!
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteWaduh piye iki,,,bisa2 Wahyudi diusir nih,,penasaran,,,,,
.Selamat Idul Adha bu Tien , sehat wal'afiat selalu ๐ค๐ฅฐ
Alhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 16 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
ReplyDeleteAlhamdulillah KC 16 sudah datang, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Terima kasih bunda Tien, kasihan Wahyudi semoga ada salah paham dan tidak diusir dari rumah pak Kartiko. Selamat Hari Raya Iedul Adha utk bunda Tien dan Keluarga ๐๐๐๐
ReplyDeleteWhaduuuh...
ReplyDeleteHaduh bisa perang ini padahal yg keganjenan si qila,....trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KC 16 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia bersama keluarga.
Selamat Hari Raya Iedul Adha 1443 H,
mohon maaf lahir dan batin๐
Alhamdulillah, terima kasih bu Tien. Selamat Idul Adha 1443 H dan u Umat Islam khususnya...semangat
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
ReplyDeleteJangan sampai Wahyudi kena getahnya. Kasihan.
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Agaknya Wahyudi nih yang disalahkan...tapi Nano bisa jadi saksi yg baik. Tinggal berani atau tidak mengungkapkan? Hehe...msmun seruuu
ReplyDeleteMakin seru...typo
DeleteMaturnuwun
ReplyDeleteMalam ini akan dilanjut nggak yaaaa
ReplyDeleteMbak Tien memang hebat...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...