Friday, June 17, 2022

ADUHAI AH 50

 

ADUHAI AH  50

(Tien Kumalasari)

 

Hakim mengetukkan palunya tiga kali.

“Mohon terdakwa bisa mengendalikan diri,” titahnya.

Pengacara yang duduk di sebelah Sriani mencoba menenangkannya.

“Keberatan yang mulia, pertanyaan mengarah ke dalam situasi yang tidak benar.”

“Keberatan di tolak,” seru hakim.

Hesti sudah merasa letih. Sejak diambil sumpahnya sampai menjawab sekian banyak pertanyaan, dia merasa seperti terhimpit oleh sesuatu yang berat. Semoga semuanya segera berakhir, pikirnya.

Tiba-tiba dia terkejut, ketika pengacara di sebelah ibu tirinya sudah berdiri di hadapannya.

“Saudari Hesti Nurani, apakah saudari mengenali semua perhiasan dari almarhumah ibu Mintarsih?”

“Tidak.”

“Apakah saudari pernah mendapat amanah dari almarhumah bahwa saudari akan diberikan warisan berupa barang perhiasan?”

“Tidak,” jawab Hesti lagi.

Hesti melirik ke arah ibu tirinya, yang menatapnya sambil tersenyum bengis. Tiba-tiba hatinya menjadi miris.

Lalu entah kapan datangnya, laki-laki setengah tua pengacara ibunya itu sudah berdiri di hadapannya.

“Saudari Hesti Nurani, bukankah ketika menanda tangani surat, anda sudah membacanya?”

“Tidak,” jawab Hesti sambil melirik ke arah ibu tirinya. Tatapan matanya selalu membuatnya ketakutan, lalu dia menyesal telah menatapnya.

“Tapi anda pernah mengakui di hadapan ibu Sriani tentang surat itu, bukan?”

“Ti .. tidak,” kali ini Hesti tampak ragu. Ia teringat ketika ibu tirinya berada di rumah neneknya, lalu dia menanyakannya kemudian mengangguk.

“Bohong! Dia mengetahuinya, dia membacanya!” teriaknya histeris.

Hakim kembali mengetukkan palu tiga kali.

“Saudara terdakwa, berlakulah sopan di persidangan.”

Pengacara setengah tua itu sudah kembali duduk. Hesti memegang kepalanya yang terasa seperti berputar.

Lalu tampak Sita maju dan duduk di kursi saksi, dan Luki sudah berdiri di hadapannya.

“Saudari saksi, apakah anda pernah melihat wanita yang ternyata adalah ibu tiri saudari Hesti?”

“Pernah.”

“Kapan?”

“Pada suatu sore, ketika saya sedang berbincang dengan Hesti.”

“Apakah saudari Hesti pernah mengatakan apa yang dilakukan wanita itu?”

“Hesti mengatakan bahwa ibu tirinya minta agar dia menanda tangani sebuah surat, yang dia tidak tahu isinya.”

“Berapa lama ibu tirinya berada di sana?”

“Hanya sebentar, tidak ada lima menit, karena ditunggu taksi.”

Lalu Lukito kembali duduk.

Hesti terus memijit kepalanya.

Entah kapan dimulainya, tiba-tiba di sebelahnya muncul yu Sukini, dan Lukito  sudah berdiri di depannya.

“Ibu Sukini, apakah Ibu pernah melihat bahwa almarhumah Ibu Mintarsih memiliki barang-barang perhiasan?”

“Pernah Pak.”

“Apa saja bentuk perhiasan itu?”

“Banyak Pak, ada kalung, gelang, giwang, bros berlian.”

“Dimana barang-barang itu di simpan?”

“Sebuah kotak beludru, berwarna merah.”

“Dimana kotak itu di simpan?”

“Di sebuah almari di dalam kamarnya.”

Lalu Hesti menutup telinganya, karena setiap pertanyaan selalu menyiratkan bahwa ibu tirinya adalah bersalah.

Ia melihat pengacara setengah tua itu kembali menghadapi yu Sukini.

“Saudara saksi, anda hanya seorang pembantu. Bagaimana anda bisa tahu begitu detail tentang perhiasan majikan anda?”

“Tentu saja saya tahu, karena saya sering membantunya berdandan setiap hendak bepergian.”

“Bukankah perhiasan itu juga sangat menarik bagi anda?”

Sukini tampak bingung mendengar pertanyaan laki-laki setengah tua itu.

“Polisi menemukan sidik jari anda di almari itu.”

“Apakah Bapak menuduh saya mencuri? Saya mengabdi sudah puluhan tahun dan tidak pernah sekalipun menyentuh barang-barang milik majikan saya tanpa di suruh.”

Hesti sangat kesal pada laki-laki setengah tua itu. Ia heran Luki membiarkan saat yu Sukini seperti menjadi tertuduh. Hesti benar-benar lelah, kepalanya terasa sangat pusing.

Tiba-tiba dilihatnya yu Sukini maju ke depan. Hakim menunjukkan sesuatu. Ada dua buah kotak merah berlapis beludru di depan hakim.

“Saudara saksi, yang mana kotak perhiasan milik majikan anda?”

Yu Sukini tidak ragu, menunjuk ke arah salah satu kotak itu dengan yakin. Lalu hakim menunjukkan sebuah kertas.

“Apa saksi tahu, ini tulisan siapa?”

“Itu tulisan almarhumah majikan saya.”

“Bagaimana saksi tahu bahwa ini tulisan majikan anda?”

“Saya sering di suruh belanja, dan bu Mintarsih menuliskan catatan di sebuah kertas, tentang apa yang harus saya beli. Itu tulisannya.”

Hesti heran, tulisan apa yang tertulis dan ditunjukkan pada yu Sukini. Ia merasa semakin pusing, dan kepalanya kembali berputar. Wajahnya sangat pucat. Sarman mendekatinya.

“Kamu kenapa?”

“Kepalaku pusing sekali,” rintihnya.

Sarman memapahnya, kemudian mengajaknya minggir. Pak RT memberikan botol minuman, dan menyuruh agar Sarman meminumkannya.

Entah berapa lama persidangan itu berlangsung, Hesti tak tahu. Ia merasa lemas, keringat dingin membasahi wajah dan tubuhnya.

***

Hesti tersadar ketika sudah berada di rumah pak RT.

Bu RT dan Sita memijit-mijit kaki tangannya yang terasa dingin.

“Di mana aku? Bagaimana persidangan itu?”

“Sudah selesai. Kamu hampir pingsan, lalu kami membawanya ke rumah pak RT,” kata Sita.

“Bagaimana akhirnya?”

“Entahlah, kata mas Luki masih akan ada persidangan lagi.”

“Aku tak mau lagi datang, aku tak mau.”

“Nak Hesti sabar ya? Jangan memikirkan itu semua, biar pengacara mengurusnya,” kata bu RT yang kemudian mengambilkan bubur yang sudah disiapkannya di atas nakas.

“Nak Hesti makan dulu ya. Ini bubur. Biar terasa lebih segar.”

“Aku suapin ya Hes?” kata Sita.

“Tidak, aku makan sendiri, mengapa aku diperlakukan seperti orang sakit?” katanya sambil bangkit. Tapi kemudian ia kembali merebahkan tubuhnya karena kepalanya terasa sangat berat.

“Ya Tuhan, kepalaku …”

“Kamu sakit, selalu begitu kalau merasa tertekan. Sekarang makanlah, semuanya sudah selesai,” kata Sarman yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

“Sudah selesai? Lalu bagaimana? Aku tak mau rumah itu, sungguh aku tak mau,” rintihnya sambil memegangi kepalanya.

“Baiklah, kamu tidak usah memikirkannya. Mas Lukito akan menyelesaikan semuanya. Sekarang makanlah, bu RT sudah susah-susah memasak bubur untuk kamu, kamu harus memakannya, lalu minum obat ya, biar aku belikan obat pusing. Kalau tidak sembuh juga ya terpaksa membawa kamu ke rumah sakit,” kata Sarman lagi.

“Di dalam tas ku masih ada sisa obat, sepertinya yang dulu diberikan mas Danarto,” kata Hesti sambil memegangi kepalanya. Bu RT memijitnya pelan.

“Baiklah, biar aku ambilkan mana tasnya? Ini ya. Ya sudah, makan dulu baru diminum obatnya. Setelah kamu baikan, kita pulang.”

“Biar aku suapin,” kata Sita.

Sarman keluar, untuk menemui Lukito yang berbincang dengan pak RT di ruang tamu, setelah menemukan obat di dalam tas Hesti.

Hesti menurut, menelan bubur yang sesuap demi sesuap masuk ke dalam perutnya.

***

“Sebenarnya surat apa yang tadi ditunjukkan kepada yu Sukini?” tanya pak RT.

“Polisi menemukan sebuah surat di dalam almari, yang rupanya Sriani tidak menemukannya.”

“Bagaimana mungkin tidak menemukannya, kalau surat itu ada di dalam almari?”

“Surat itu terselip di bawah kertas yang dipergunakan untuk mengalasi almari bagian atas.”

“Apa isi surat itu?”

“Bahwa perhiasan yang di dalam kotak akan diberikannya kepada Hesti.”

“Yaaah, sudah jelas semuanya. Harusnya hakim segera mengetukkan lagi palunya. Palu untuk memvonis wanita jahat itu,” seru pak RT.

“Hakim sudah mencatat semua kebenaran yang diucapkan saksi-saksi. Ia sudah tahu apa yang dilakukannya.”

“Masih ada sidang lagi berarti?”

“Ya, sidang pembuktian dan vonis.”

“Semoga semuanya segera selesai.”

“Bagaimana keadaan mbak Hesti?”

“Baru makan, dan sudah saya siapkan obat, semoga segera membaik.”

“Mengapa ya, tiba-tiba mbak Hesti seperti itu?” tanya pak RT.

“Dia selalu begitu kalau tertekan. Semoga segera membaik, lalu kami bisa kembali hari ini juga,” kata Sarman.

***

“Apa? Hesti sakit lagi?” teriak Desy ketika Sarman menelponnya.

“Tadinya baik-baik saja, dan bisa menjawab semua pertanyaan dengan lancar, tapi tampaknya ia kemudian merasa pusing.”

“Mas membawanya ke rumah sakit?”

“Tidak, aku bawa ke rumah pak RT, sekarang sudah baikan.”

“Syukurlah, anak itu sangat rapuh. Mas belikan obat apa?”

“Hesti masih menyimpan dua butir obat di dalam tasnya. Obat yang diberikan mas Danarto waktu itu.”

“Oh, syukurlah. Bagaimana sidangnya?”

“Baik, kami membawa bukti dan saksi yang cukup. Polisi yang menggeledah rumah Sriani dan memeriksa di rumah bu Mintarsih juga menemukan bukti baru.”

“Jadi sudah selesai?”

“Untuk memeriksa saksi-saksi sudah cukup. Mungkin dua kali sidang lagi, termasuk vonis. Belum tahu kapan, saya mengajak Hesti ke rumah pak RT saat sidang masih berlangsung.

"Ya sudah. Semoga semuanya baik-baik saja. Kapan Mas pulang?”

“Kalau Hesti udah bisa tidur.”

“Syukurlah. Hati-hati ya Mas.”

“Ya Des. Kamu masih di rumah sakit?”

“Tadi, sebentar, lalu aku pulang, karena aku agak nggak enak badan.”

“Kenapa?”

“Nanti saja kalau Mas pulang, aku beri tahu. Jaga Hesti baik-baik, kasihan anak itu.”

***

Desy memang pulang lebih awal. Ia sudah periksa ke laborat, dan hasilnya positip. Danarto segera menyuruh Desy untuk beristirahat dengan mengantarkannya pulang.

“Lebih baik kamu beristirahat dulu, mungkin dua tiga hari di rumah saja. Jaga anak kita dengan baik,” kata Danarto saat mengantarkannya pulang.

“Iya, tentu aku menjaganya. Tapi aku ingin ke rumah ibu.”

“Gimana sih kamu, disuruh istirahat kok malah ke rumah ibu?”

“Ibu sama bapak harus diberi tahu, supaya senang mau punya cucu lagi.”

“Iya, tapi nanti saja, tunggu aku, jangan kamu sendiri.”

“Baiklah, begitu kamu pulang, kita langsung ke sana ya?”

“Iya, sayang.”

“Ah …”

“Hm, kalau bilangnya di rumah sudah aku kasih hadiah kamu,” kata Danarto yang selalu gemas mendengar desah itu dari mulut isterinya.

“Ah …”

“Jangan meledekku, awas kamu ya.”

Lalu Danarto meninggalkannya di rumah, karena ia harus menyelesaikan tugasnya.

Desy membaringkan tubuhnya. Bermacam buah diletakkan Danarto di atas nakas. Ia tahu isterinya sedikit mual, dan rasa buah yang agak masam akan menenangkan perutnya.

***

“Horeee, aku senang sekali, Nara mau punya adik,” teriak Tutut ketika mendengar bahwa Desy hamil. Diciuminya perut kakaknya dengan senyum bahagia.

“Kok Nara sih yang disebut? Bukannya Narend?” tanya Desy gemas.

Tutut tersipu.

“Iya, aku tahu, maksudnya kan yang dekat itu Nara. Kalau Narend ya sudah jelas ini tuh adiknya,” kata Tutut masih mengelus perut kakaknya lembut.

“Hiih, Tutut, geli….” Kata Desy sambil memindahkan tangan Tutut dari perutnya.

Haryo dan Tindy tak kurang bahagianya mendengar Desy sudah mengandung.

“Berapa bulan Des?”

“Sudah tujuh minggu Bu.”

“Kamu harus hati-hati, hamil muda itu kan masih rawan.”

“Benar kata ibumu Des. Biarpun kamu itu dokter, suami kamu juga dokter, tapi soal mengandung kan ibumu lebih berpengalaman?”

“Iya Bu.”

“Kamu tidak muntah-muntah?” tanya Haryo.

“Tidak Pak, hanya kadang terasa mual, lalu akan hilang sendiri ketika Desy makan buah yang agak masam.”

“Syukurlah, memang setiap wanita mengandung itu berbeda-beda. Ada yang ngidam sampai nggak bisa bangun karena begitu bangun pasti muntah, ada yang malah sangat suka makan.”

“Mbak Desy termasuk yang mana? Jangan bilang termasuk yang sangat suka makan ya,” ejek Tutut.

“Tidak. Makan tetep doyan, walau tidak banyak, tapi makan buah, terus.”

“Nggak apa-apa, tapi tetep harus hati-hati, jangan mengangkat yang berat-berat, dan di awal kehamilan harus banyak istirahat. Kalau nanti sudah kuat ya tidak apa-apa, olah raga sedikit, banyak jalan, supaya nanti lahirnya gampang,” kata Tindy.

“Dengar tuh, nasehat ibu,” kata Danarto yang sejak tadi diam.

“Iya, aku tahu.”

“Kok Sarman belum pulang ya?” kata Haryo tiba-tiba.

“Hesti sakit, tadi dia menelpon.”

“Hesti sakit?” kata yang lain, hampir bersamaan.

“Hesti tuh begitu, kalau tertekan, atau perasaannya terganggu, lalu jatuh sakit,” kata Desy.

“Dibawa ke rumah sakit?” tanya Tindy.

“Tidak Bu, dia masih membawa obat yang pernah diberikan mas Danarto. Kata mas Sarman sudah bisa tidur, dan kalau keadaannya membaik akan pulang hari ini.”

“Ternyata anak itu sakit-sakitan,” gumam Haryo.

“Bukan sakit-sakitan pak, saat ini kan dia sedang tertekan karena perlakuan ibu tirinya itu. Kalau keadaan tubuhnya baik-baik saja kok,” kata Desy.

“Rupanya Bapak takut kalau calon menantunya benar-benar sakit-sakitan,” seloroh Tutut.

Haryo tertawa sambil mengacak rambut Tutut.

“Apa benar, Sarman suka sama gadis itu?” tanya Haryo.

“Sepertinya begitu,” kata Tutut seenaknya.

“Ya tidak apa-apa kalau suka, Hesti itu baik kok, tapi sebaiknya biar dia melanjutkan kuliahnya dulu.”

“Horeee, akan ada pengantin lagi,” sorak Tutut.

“Pengantinnya kamu?” ledek Desy.

“Eeh, kok aku?”

“Aku kan Cuma bertanya? Tuh, kamu tinggal ujian, siap dilamar kan?” lanjut Desy.

“Ehemm,” Danarto berdehem.

“Hiih, apaan sih ini, ada yang berdehem juga,” kata Tutut sambil cemberut.

“Memangnya siapa yang akan melamar Tutut?” tanya Haryo.

“Bapak belum tahu ya?” kata Desy sambil tersenyum ke arah adiknya.

“Bapak jangan percaya sama provokator-provokator itu ya," kata Tutut sambil menggandeng ayahnya masuk ke ruang lain, membuat semuanya tertawa geli.

Tiba-tiba Desy merintih perlahan. Danarto terkejut.

“Desy, ada apa?”

“Perutku, tiba-tiba sakit sekali,” rintihnya sambil memegangi perutnya. Danarto panik.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

34 comments:

  1. Alhamdulillah, suwun Bu Tien....
    Salam sehat selalu....😊🙏

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, salam sehat mbak Tien salam ADUHAI....

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ADUHAI AH~50 sudah hadir... maturnuwun dan salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  4. Terima ksih bunda Tien ..AA 50 nya..slmt mlmdan slmt istrht..slm sayang dan slm sht 🙏🌹🥰

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .

    ReplyDelete
  6. Mtr nwn mb Tien upnya ...slm seroja sll🤲🙏

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
    Tampaknya Hesti memang tidak berminat terhadap barang warisan apalagi menjadi sengketa. Apakah akan diberikan saja atau dibagi ...
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  8. Terima kasih mbak Tien. Semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah AA 50 sdh tayang, terima kasih mbak Tien, sehat selalu dan selamat berbahagia bersama keluarga

    ReplyDelete
  10. Lho.... Yang sakit perut siapa?
    Desy atau Tutut... 🤨🤨🤨

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah ADUHAI-AH 50 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, suwun bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah AA 50 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat wal'afiat dan bahagia selalu
    Aamiin Yaa Allah

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah ... Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah , makasih dan selalu sehat Aamiin

    ReplyDelete
  16. Desi kenapa ya? Mudah²an kandungan Desi baik² saja.
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu.
    Aduhai ...ah

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah
    Terimakasih bu Tien semoga sehat selalu. Aamiin 🤲

    ReplyDelete
  18. Trims Bu Tien sehat terus Bu tien

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Desy sabaaar ya,,,
    Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah ,hadir AA 50
    Terimakasih bunda Tien

    ReplyDelete
  21. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono

    ReplyDelete
  22. Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
    ADUHAI.....

    ReplyDelete