Tuesday, June 14, 2022

ADUHAI AH 47

 

ADUHAI AH  47

(Tien Kumalasari)

 

“Kamu Mbak Endah bukan?” Hesti mengulangi panggilannya. Sita dan Sarman hanya mengawasi mereka bergantian, sementara Sarman mengingat-ingat, Nama itu seperti pernah didengarnya..

“Ngapain kamu ke sini?”

“Aku sakit, kamu tidak dengar tadi?”

“Kamu nanti ketemu sama dokter Desy. Kamu mau berbuat apa?”

“Dia kan dokter, dan aku orang sakit, perlukah kamu bertanya?”

Sementara pasien yang tadi sudah keluar. Hesti memanggil pasien berikutnya.

“Ibu Kartika.”

Seorang pasien masuk.

“Habis ini kamu, dia hanya akan menyerahkan hasil lab nya,” kata Hesti kepada Endah.

Endah tak menjawab. Ia sebenarnya ragu dan tadi terlanjur datang. Ia tak mengira bahwa akan bertemu Hesti, dan dokter yang disambanginya adalah dokter Desy yang pernah difitnahnya. Ia sedang bingung, dan masuk begitu saja saat tahu bahwa ditempat itu ada dokter praktek.  Ia ingin mundur, tapi diurungkannya. Ia ingat sebuah ancaman tentang pencemaran nama baik. Tiba-tiba dia merasa takut. Ia berdiri dan bermaksud pergi, tapi Hesti menahannya.

“Mau ke mana?”

“Mau keluar sebentar, sambil menunggu pasien tadi.”

Tapi pasien yang baru saja masuk sudah keluar.

“Giliran kamu. Kata Hesti sambil menarik lengan Endah, diajaknya masuk.”

Kemudian Sarman teringat nama itu, nama yang pernah menjelekkan nama Desy. Ia bersiap di luar pintu, kalau nanti terjadi apa-apa.

“Kenapa dia?” tanya Desy heran, karena Hesti seperti memaksa pasien itu masuk.

“Ini orang yang telah menjerumuskan aku Mbak. Juga memfitnah Mbak Desy."

“Apa maksudmu?” tanya Desy sambil menatap pasien  bercadar itu lekat.

“Ini penjual gorengan itu."

Desy menatapnya, tapi terhalang oleh cadar yang menutupi wajahnya. Kepalang tanggung, Endah duduk di kursi di depan Desy.

“Aku minta maaf,” katanya pelan.

Desy masih menatap wajah bercadar itu.

“Aku melakukan banyak kesalahan sama dokter. Aku menyesal, dan sungguh minta maaf.”

“Hesti, bisa meninggalkan kami?” tiba-tiba Desy berkata. Hesti ingin menolak, tapi Desy mengisyaratkan dengan tangannya, agar Hesti harus keluar.

Hesti melangkah keluar dan menutup pintunya.

“Kamu melakukan apa, sehingga harus minta maaf sama aku?”

“Dokter, saya pernah memfitnah dokter. Saya pernah sangat membenci dokter.”

“Karena apa?”

“Saya sangat jahat, saya merasa berdosa. Saya dulu pernah menyukai dokter Danarto.”

“Kamu bisa membuka cadar kamu itu?”

Endah perlahan membuka cadarnya, ada sedikit ngeri melihat wajah penuh parut itu.

“Apakah itu aku yang melakukannya?” teringat kata Hesti dulu itu.

Endah terdiam.

“Saya minta maaf, saya banyak dosa. Dan Tuhan telah menghukum saya. Tolong maafkanlah saya.”

“Baiklah, semoga permintaan maaf itu tulus adanya.”

“Sungguh saya minta maaf.”

“Sudah aku maafkan.”

“Terima kasih.”

“Apakah kamu pura-pura mau periksa, hanya untuk minta maaf?”

“Saya bahkan tidak tahu bahwa yang praktek adalah dokter Desy.”

“Kamu tidak membaca papan nama di depan itu?”

“Saya tidak mengira, saya memasuki tempat ini hanya tahu ada dokter berpraktek disini, tapi tidak tahu bahwa dokter Desy adalah dokter yang saya kenal, dan saya pernah melakukan hal jahat kepadanya,” kata Endah sambil menunduk.

“Jadi kamu sebenarnya sakit?”

“Saya ingin minta tolong.”

“Baiklah, kamu sakit apa?”

“Saya hamil.”

“Apa? Mengapa periksa ke sini? Aku bukan dokter kandungan.”

“Saya minta tolong, berikan obat untuk menggugurkan kandungan.”

“Apa?” Desy membelalakkan matanya.

“Saya ke apotik, mau beli obat terlambat datang bulan, mereka menanyakan apa ada resepnya. Tolong dokter, saya baru terlambat dua bulan ini.”

“Kamu punya suami? Suami kamu yang menyuruhnya?”

“Tidak.”

“Tidak apa?”

“Tidak punya suami.”

“Ya Tuhan. Kamu sudah melakukan dosa, lalu ingin menambah dosa yang lain lagi?”

“Tolonglah, saya harus bekerja. Saya hidup sendiri.”

“Dimana orang tua kamu?”

Tiba-tiba Endah menangis terisak.

“Ibu dan adik saya … sudah meninggal karena kecelakaan.”

“Innalillahi …”

“Sudah lama, dan saya hidup sendiri.”

“Siapa menghamili kamu? Mengapa tidak minta agar dia bertanggung jawab?”

“Seorang lelaki iseng, saya diperkosa.”

Desy menutup mulutnya. Dia tahu siapa Endah, siapa ibunya dan siapa adiknya. Karena mereka lah  ayahnya hampir melupakan ibunya dan anak-anaknya. Dan Allah telah memberi pelajaran atas dosa mereka. Apakah ibu dan anak itu meninggal setelah sempat bertobat? Desy menyayangkannya. Dan seorang yang tersisa dari mereka melakukan lagi dosa yang lain. Memfitnah orang, dan sekarang ingin menggugurkan kandungan.

“Bertobatlah Endah, nanti akan ada jalan terbaik untuk hidup kamu.”

“Bagaimana saya mengandung tanpa suami?”

“Bayi yang kamu kandung tidak berdosa. Jangan menambah dosa lagi dengan akan menghabisinya.”

“Jadi, dokter tidak akan memberikan resepnya?”

“Maaf. Aku tidak bisa. Rawat janin itu, apapun caranya. Satu lagi, bertobatlah. Barangkali apa yang kamu terima saat ini adalah peringatan dari Allah.”

Endah berdiri, dan mengusap air matanya, kemudian keluar dari ruangan itu. Sarman menyerobot masuk, menghawatirkan adiknya.

“Desy, kamu tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa Mas. Memangnya kenapa?”

“Bukankah dia wanita jahat yang_”

“Dia hanya datang untuk meminta maaf,” jawabnya sambil berdiri.

“Sungguh?”

"Iya, ayo masuklah, makan malam di sini ya?” kata Desy, tapi dia tersenyum ketika melihat Sita ada diluar, duduk di samping Hesti.

“Sita? Bagus kalau begitu, ayo makan di rumah aku rame-rame,” ajak Desy ramah.

“Tadi Sita hanya ingin ketemu Hesti, menceritakan tentang pengacara yang sudah menemuinya tadi," kata Sarman.

“Oh, baguslah. Bagaimanapun akan banyak yang bisa menjadi saksi. Hesti, di dalam masih ada pasien?”

“Tinggal satu, dan tampaknya hampir selesai.”

“Baiklah, ayo masuk ke dalam semuanya. Kalian belum pernah makan disini bukan? Aku masak enak tadi sore.”

“Kalian masuk saja, aku akan membereskan ruangan dulu,” kata Hesti.

***

“Aku heran, bagaimana Endah berani datang padahal dia pernah berbuat jahat sama Mbak Desy,” kata Hesti saat mereka makan.

“Dia sebelumnya tidak tahu bahwa aku yang praktek.”

“Bagaimana mungkin? Aku sudah bilang tadi.”

“Itu sebabnya tadi dia ingin kabur,” sambung Sarman.

“Orang aneh. Sakit apa dia Mbak?”

“Dia hanya minta resep.”

“Kok minta resep? Bagaimana maksudnya?” tanya Danarto.

“Resep untuk obat terlambat datang bulan,” jawab Desy.

“Apa? Dia hamil?”

Desy mengangguk.

“Ya Tuhan,” seru Hesti.

“Kasihan juga dia. Ibu sama adiknya meninggal karena kecelakaan.”

“Haaa?”

“Ya sudah, memang begitu jalan hidup yang harus mereka jalani. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.”

“Mbak berikan resepnya?”

“Ya enggak lah, masa aku mau ikut memikul dosa itu.”

“Kemana laki-laki yang melakukannya?” tanya Danarto.

“Tidak tahu, dia diperkosa.”

Hesti menutup mulutnya.

“Bagaimana masakanku? Enakkah?”

Sarman mengacungkan jempolnya.

“Setiap hari aku makan masakan mbak Desy, selalu enak,” puji Hesti.

“Iya lah, isteriku …” kata Danarto sambil menatap isterinya mesra.

“Ah …”

***

Hari terus berjalan.  Polisi sudah menyita semua barang-barang yang diperlukan dari  rumah Sriani, untuk dijadikan barang bukti di saat persidangan nanti. Sriani menangis siang dan malam di dalam ruang tahanan, tapi siapa yang peduli?

Sarman sedang mengurus kelanjutan pendidikannya, yang akan dilakukan di sebuah perguruan tinggi negri di kota itu, dimana dulu Tindy mengajar. Ia bersungguh-sungguh ingin menekuninya, dan setelah itu akan mencari pekerjaan, lalu melamar seorang gadis, seperti yang diinginkan ayahnya. Sarman selalu tertawa mengingat pesan ayahnya itu. Cari pekerjaan kemudian menikahlah. Begitu mudahnya ayahnya mengatakannya.

Menikah belum terbayang di dalam benaknya, walaupun ada rasa suka di hatinya terhadap seseorang.

Siang itu dia mampir ke rumah Danarto, karena Hesti tidak kuliah siang itu. Ia hanya akan membicarakan masalah persidangan nanti, apabila tiba saatnya. Tapi sesampai di sana, dia mendapati Hesti sedang melamun di dapur.

“Hei …” sapanya.

“Mas Sarman?”

“Dapur itu tempat orang memasak, bukan melamun, tahu.”

Hesti tersenyum.

“Sebenarnya aku mau memasak, tapi aku kepikiran ibu terus.”

“Kepikiran bagaimana sih?” tanya Sarman heran.

“Aku ingin menjenguk ibu, bolehkah ?”

“Apa?”

“Ibu pasti sedih. Dikurung di dalam tahanan, tidak bisa ke mana-mana.”

“Kamu masih memikirkan ibu kamu, sementara ibu kamu itu telah melakukan hal jahat kepadamu.”

“Hanya kasihan saja. Membayangkan,  dia pasti sedih, tidak bisa kemana-mana.”

“Yang namanya ditahan itu ya tidak akan bisa ke mana-mana. Semua itu karena dia telah melakukan kejahatan. Mencuri barang-barang nenek kamu, meminta tanda tangan kamu, dan itu namanya menipu, menguasai hak yang bukan miliknya.”

“Tapi aku kasihan sama ibu. Dia sudah merawatku dari kecil, dan menganggap aku sebagai anaknya.”

“Lalu mengapa dia kemudian berbuat jahat sama kamu? Seorang ibu tidak akan melakukannya. Kalau kamu mengatakan bahwa dia merawatmu seperti kepada anaknya sendiri, aku yakin itu tidak benar-benar tulus. Ia melakukan itu ketika ayah kamu masih ada.”

“Iya sih, aku merasakan sikapnya yang agak berbeda setelah bapak meninggal. Dia sedikit keras, dan suka memaksa. Tapi aku tidak merasakan hal itu sebagai sikap yang berbeda, karena menurut aku, dia adalah ibu kandungku.”

“Ya sudah, jangan dipikirkan lagi, Semoga masalah ini segera selesai.”

“Bolehkah aku menemuinya, walau sebentar saja?” Hesti masih nekat dengan keinginannya.

“Hesti ?”

“Aku akan ke sana, sebentar saja.”

“Hesti?”

“Besok aku ke Surabaya ya.”

Sarman menghela napas. Bagaimanapun ia tidak tega membiarkan Hesti pergi seorang diri.

***

Dan esok hari itu, Hesti benar-benar menemui ibunya di tempat di mana dia ditahan.

Hesti hampir menangis melihat ibunya tampak kurus dan matanya cekung. Tapi ia menatap tajam ketika melihat Hesti di depannya.

“Apa kamu datang kemari untuk membebaskan aku?”

“Ibu, aku ingin melihat Ibu.”

“Ingin melihatku? Bertepuk tangan melihat penderitaan orang yang telah merawat kamu sejak bayi? Inikah pembalasanmu? Kamu manusia tak kenal budi!” hardiknya.

“Bukan begitu Bu, aku kasihan sama Ibu.”

“Kasihan apa maksudmu? Kamu menjebloskan aku ke tempat ini, dan kamu masih bicara tentang ‘kasihan’?”

“Sebenarnya aku tak ingin harta nenek.”

“Omong kosong apa itu? Tidak ingin, tapi kamu melaporkan aku. Membuat aku ditangkap polisi, dipermalukan di depan anak buahku.”

“Ibu melakukannya dengan buruk. Kalau kita bicara baik-baik, pasti bukan begini ini akhirnya.”

Sarman yang duduk agak jauh merasa kesal dengan sikap Hesti. Gadis itu merasa kasihan karena mengingat kasih sayang ibu tirinya, tapI si ibu tiri malah menghardiknya dan menyemburnya dengan kata-kata kotor.

”Diam kamu. Kamu tidak usah berpura-pura baik. Pergilah kalau kedatangan kamu hanya untuk mengejek aku.”

“Bu, sungguh aku_”

“Hesti, sudahlah, ayo kita pulang,” kata Sarman sambil menarik tangan Hesti.

“Nah, ini kan penghasutnya?” kata Sriani sambil menuding ke arah wajah Sarman. Sarman tidak menanggapi, kemudian menarik tangan Hesti untuk pergi.

Polisi membawa Sriani kembali ke dalam, dengan sumpah serapah yang membuat merinding siapapun yang mendengarnya.

***

Hesti merasa menyesal karena telah mengasihani ibu tirinya, sementara ibu tirinya malah menghardiknya dan mengeluarkan kata-kata kasar.

“Bukankah aku sudah mengatakan bahwa kamu tidak usah menemuinya?”

“Aku sebenarnya kasihan sama dia.”

“Hatimu terlalu baik. Tapi kamu kan sekarang mengerti, bahwa ibumu sama sekali tidak menyayangi kamu? Sudah, jangan lagi menangisinya. Apa tidak sakit hati kamu mendengarkan kata-kata kasarnya?”

Setelah mampir sebentar ke rumah pak RT, yang ternyata sudah ditemui juga oleh Luki sang pengacara, Sarman mengajak Hesti kembali.

***

Saat itu Tutut sedang mengerjakan skripsi sehingga tidak bisa setiap hari ke rumah Danis untuk bermain bersama Nara. Tapi hari itu Tutut menyisihkan sedikit waktunya, karena sudah sangat rindu pada Nara.

Nara yang melihat kedatangan Tutut melonjak-lonjak kegirangan. Rupanya dia juga sudah kangen sama ‘teman mainnya’ yang satu itu.

“Buuu..bbuuu … teriaknya.”

“Hiih, kenapa kamu nekat ba bu ba bu sama aku hee? Siapa mengajari kamu, sayang? ” kata Tutut gemas sambil mendekap dan menciumi Nara.

“Dia tahu Mbak, bahwa Mbak  Tutut pantas menjadi ibunya,” goda suster Murni.

“Iih, suster Murni ikut-ikutan sih?”

“Itu memang benar. Saya ambilkan minum ya?”

“Tidak usah sus, aku hanya sebentar.”

“Mbak Tutut lama tidak kemari. Sibuk ya?”

“Aku sedang mengerjakan skripsi, jadi jarang keluar. Nanti nggak selesai-selesai. Tapi hari ini nggak tahan lagi, kangen banget sama Nara.”

“O iya Mbak, semoga cepat selesai ya Mbak.”

“Terima kasih sus.”

“Bbu… buuh..”

“Hei, panggil aku tante.”

“Bbuuu…” kata Nara sambil menepuk wajah Tutut dengan tangan kecilnya.”

Tutut akhirnya tertawa geli melihat ulah Nara.

Tapi memang dia tak bisa lama-lama. Hanya kira-kira satu jam kemudian dia pamit. Agak heran juga sudah sesore itu Danis belum juga pulang. Ada sedikit rasa kecewa yang kemudian ditepiskannya.

“Ngapain kalau tidak ketemu? Kan niatnya hanya ingin main sama Nara sebentar saja?”

Tutut sudah masuk ke dalam mobilnya ketika dilihatnya mobil Danis memasuki halaman.

“Hei, mengapa pulang?” kata Danis ketika turun dari mobilnya dan mendekati Tutut.

“Aku hanya kangen sama Nara.”

“Bukan kangen sama bapaknya Nara.”

“Nggak tuh.” Kata Tutut sambil memeletkan lidahnya.

“Aduh, sayang sekali baru bisa pulang.”

“Tumben sore pulangnya?”

“Ada pasien harus dioperasi.”

“Oh, sakit apa?”

“Ingin menggugurkan kandungan dengan membayar tukang pijit, rahimnya luka dan harus diangkat.”

“Ya ampun…”

***
besok lagi ya.

 

 

40 comments:

  1. Replies
    1. Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, salam sehat dari jauh, semoga Bundaku sukses selalu Aamiin ya Allah 🙏🙏🙏

      Delete
    2. Hore Juara, 👍👍👍👍

      Delete
  2. Replies
    1. Alhamdulillah......
      Lho rak tenan yang duduk di barisan depan sdh ngantri...ikut mensupport Hesti.....

      Yuk kita support Hesti dengan ikut menghadiri sidang perdana....
      Tuh bu Iyeng sdh duduk dideretan depan...... Didampingi jeng Wiwik dan jeng Iin, terus diblkgnya ada jeng Nani....pa Latief,by Ira dll

      Delete
    2. Iya..... mendampingi admin WAG PCTK....

      Delete
    3. Yeiy om kakek aku pendukung Tutut. Bu Tien jadiin Tutut ma Danis ya!

      Delete
  3. Alhamdulillah.maturnuwun Mbak Tien

    ReplyDelete
  4. akhirnya yg ditunggu hadir....suwun bunda Tien...smg sehat sll..

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh muncul.
    Terima kasih bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah ADUHAI-AH 47 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Mendekati akhir cerita rasanya, semua makin jelas nasibnya.
    Mbak Iin, mbak Ira, sambalnya mau diapain...
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  8. Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah AA 47@ sdh tayang, terima kasih mbak Tien, sehat selalu dan selamat berbahagia bersama keluarga

    ReplyDelete
  10. Terimakasih Bunda Tien
    Apakah Endah yg habis dioperasi...
    sehat2 selalu Bunda Tien...salam aduhaiii

    ReplyDelete
  11. "Desy menutup mulut nya. Dia tahu siapa desy dan siapa ibu dan adik nya.. "

    Bunda... Kalimat "dia tahu siapa desy" tuh apa bukan nya endah ya seharusny?? Maksudnya, apakah kalimatnya tidak salah??
    "Desy menutup mulutnya. Dia tahu siapa endah dan siapa ibu dan adiknya."
    Apa kalimatnya tidak seperti ini ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar. Terima kasih koreksinya.
      Salam hangat buat ibu Iphee.

      Delete
  12. Terinakasih cerbungnya bunda Tien Semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta aamiin

    ReplyDelete
  13. 𝐖𝐚𝐝𝐮𝐡 𝐭𝐞𝐫𝐧𝐲𝐚𝐭𝐚 𝐄𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮𝐠𝐮𝐫𝐥𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮𝐢 𝐝𝐮𝐤𝐮𝐧...?? 𝐃𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐩𝐚𝐤𝐬𝐚 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐤𝐞 𝐑𝐒 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐞𝐧𝐭𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐚𝐫𝐚𝐡𝐚𝐧...𝐤𝐞𝐛𝐞𝐭𝐮𝐥𝐚𝐧 𝐃𝐚𝐧𝐢𝐬 𝐬𝐞𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐭𝐮𝐠𝐚𝐬 𝐬𝐞𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐡𝐫𝐬 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐨𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭 𝐫𝐚𝐡𝐢𝐦𝐧𝐲𝐚 𝐠𝐮𝐧𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐞𝐧𝐭𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐝𝐚𝐫𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐭𝐬𝐛..𝐀𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐨𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥..?? 𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐭𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐤𝐞𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐭𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐬𝐨𝐤..

    𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐮𝐭𝐤 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧..🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah AA 47 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu selalu sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin

    ReplyDelete
  15. Aduh, Endah nekat...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  16. Trims Bu Tien,..sehat selalu Bu tien

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matursuwun buTien yg makin ADUHAI
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .
    Sll sehat dan bahagia . .

    ReplyDelete
  19. Semakin penasaran nunggu lanjutannya.
    Makasih mba Tien
    Salam sehat selalu.
    Aduhai.. Ah

    ReplyDelete
  20. Wah wah ..Endah kali ya ..yg mau menggugurkan ...terima kasih bu Tien..sehat selalu

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah matur nuwun bu Tien
    Memang Aduhai Ah bu Tien jd penasaran

    Salam sehat wal'afiat ya bu Tien

    ReplyDelete
  22. Terima ksih bunda..slm sht sll🙏🌹🌹

    ReplyDelete