Monday, June 13, 2022

ADUHAI AH 46

 

ADUHAI AH  46

(Tien Kumalasari)

 

Sita masih tertegun, melihat laki-laki muda yang memiliki mata tajam dan menatapnya tak berkedip.

“Bolehkah saya duduk?” tanya laki-laki itu kemudian.

“Oh … eh … tentu. Mm … silakan.” Katanya gugup, tapi kemudian ia mempersilakan tamunya untuk duduk di teras kecil depan kamarnya.

“Terima kasih,” kata laki-laki itu sambil tersenyum, kemudian duduk di kursi dengan nyaman.

“Aan … Anda siapa ya?”

“Saya, nama saya Lukito. Mbak Sita boleh memanggil saya Luki.”

“Oo, iya. Maksud saya, ada apa Anda ingin menemui saya? Bukankah kita belum pernah bertemu, apalagi berkenalan?”

“Tentu. Ini pertemuan kita yang pertama. Senang, mbak Sita menerima saya dengan baik.”

“Asalkan anda bermaksud baik,” kata Sita sedikit ketus karena masih mencurigai kedatangan laki-laki yang belum pernah dikenalnya itu.

Luki tersenyum. Dan Sita merasa laki-laki itu terlalu genit dengan mengumbar senyuman sejak kedatangannya. Apa dia sadar bahwa senyumnya kelewat manis? Upps, Sita memaki dirinya sendiri saat menyadari bahwa dia diam-diam memujinya, walau dalam hati.

Luki berdehem. Sita sedikit kesal, karena Luki tidak segera mengatakan maksud kedatangannya.

Ia malah membuka tas kulit besar yang dibawanya, seperti mengeluarkan sesuatu. Sita mengacuhkannya.

“Mbak Sita, apakah Mbak Sita temannya mbak Hesti? Hesti Nurani,” akhirnya dia berkata juga, batin Sita. Tapi mengapa dengan Hesti? Apa Hesti yang menyuruhnya kemari?”

“Ya, teman satu kost sih, bukan teman kuliah. Saya sudah bekerja.”

“Oh begitu, tapi kenal dekat kan?”

“Sangat dekat.”

“Bagus kalau begitu. Mbak Sita kenal dengan ibunya mbak Hesti?”

Eh, nanti dulu. Kenapa laki-laki bernama Lukito ini bertanya yang aneh-aneh?

“Oh ya, saya ini sebenarnya pengacara yang ditunjuk oleh mbak Hesti untuk menangani  kasusnya,” katanya lagi-lagi dengan senyuman. Lalu Sita segera mengerti. Tapi dia tidak begitu jelas kasusnya itu apa. Mengapa ada hubungannya dengan ibunya Hesti juga? Eh, ibu tirinya, bukan?”

“Oh, iya,” hanya itu yang dikatakan Sita.

“Apakah ketika ibu Sriani, ibunya mbak Hesti datang kemari, Mbak Sita juga tahu?”

Sita tampak berpikir.

“Saya kira saya hanya melihatnya tiga kali, eh  tapi yang pertama saya tidak melihatnya, Hesti hanya bercerita kalau ibunya datang. Tapi yang ke dua dan ke tiga saya melihatnya, karena saya sedang berbincang sama dia saat ibunya datang.”

“Berapa lama ibunya berada di sini?”

“Tidak lama, hanya sebentar.”

“Satu jam?”

“Ah, tidak. Barangkali hanya lima menit, kurang lebih.”

“Lima menit? Sebentar sekali.”

“Mbak Sita tahu apa yang dibicarakan?” lanjut Luki.

“Tidak, tapi Hesti mengatakan kalau ibunya memaksanya untuk menanda tangani sebuah surat.”

“Surat apa itu?”

“Saya tidak tahu, Hesti pun bilang tidak tahu isi surat itu. Saya bahkan memarahinya, mengapa menanda tangani surat yang dia tidak tahu isinya? Tapi ibunya saat itu tergesa-gesa, katanya. Karena ditunggu taksi.”

Luki tampak mengangguk-angguk, Sita mengalihkan pandangan ke arah lain, karena lagi-lagi Luki memperlihatkan senyumnya. Sebenarnya Luki hanya ingin bersikap ramah saja, tapi Sita merasa kesal karena senyum itu mengganggunya. Mengganggu perasaannya, maksudnya. Ehem.

“Baiklah Mbak Sita, terima kasih atas semuanya. Dan saya minta maaf karena telah mengganggu.”

Sita terpaksa membalasnya dengan senyum, masa sih orang hanya bertanya harus di cemberuti?

“Terima kasih kembali, Pak Luki.”

“Aduh, jangan ‘pak’ dong. Bagaimana kalau ‘mas’ atau ‘Luki’ saja?”

“Iih, manja,” kata hati Sita. Bukankah ‘pak’ itu panggilan menghormati seseorang? Tapi yang terjadi adalah Sita mengangguk dan lagi-lagi tersenyum.

“Ya, baiklah.”

“Oh ya, satu lagi, kalau sewaktu-waktu Mbak Sita dipanggil untuk menjadi saksi di pengadilan, mau kan?”

Sita tampak ragu.

“Ini demi teman Mbak.”

“Oh, baiklah, pak .. mm Mas.”

Luki berdiri, meninggalkan senyuman yang membuat Sita kesal-kesal gemas, gitu.

***

Sarman sedang berada di kamarnya ketika ponselnya berdering sore itu. Dari Sita? Sebenarnya Sarman enggan mengangkatnya, karena ia tahu bahwa Sita seringkali menelpon hanya untuk menyapa saja, dan Sarman sedikit meraba perasaan Sita terhadapnya. Bukan karena sombong, tapi hanya berharap agar Sita tidak salah menerima sikapnya. Tapi karena ada perasaan tidak tega, Sarman mengangkatnya juga.

“Ya, Sita?”

“Mas, saya mau ketemu Hesti, bisa minta alamatnya?”

“Oh belum tahu ya?”

“Belum, takutnya ke sasar. Aku mau bilang kalau tadi ada pengacara dia bernama Lukito yang menemui aku.”

Sarman jadi teringat bahwa dia sudah berbicara banyak dengan pengacara yang akan membantu Hesti sehubungan dengan laporan yang diajukannya. Tentu saja pengacara itu menemui Sita, barangkali ada yang ingin diketahuinya dari gadis itu.

“Aku juga mau ke sana sih, kalau mau bareng, ke rumah aku dulu saja.”

“Begitu ya. Nggak apa-apa, saya segera kesana ya Mas.”

“Sekarang ya, jangan sampai kemalaman nanti pulangnya.”

“Sekarang Mas, aku sudah siap kok.”

“Baiklah, aku tunggu.”

Sarman segera menutup ponselnya. Kasus sudah berjalan, dan memang segala sesuatunya harus disiapkan. Ia tidak bisa membiarkan Hesti berjalan sendiri.

Ketika ia sedang bersiap-siap, Haryo mengetuk pintu kamarnya.

“Man,” katanya setelah Sarman membuka pintunya.

“Ya Pak.”

“Kamu mau pergi ke mana?”

“Mau ke_”

“O, kencan ya? Tuh sudah di samperin. Kamu bilang katanya nggak suka. Hayo, ngaku. Tapi gadis itu cantik kok,” kata Haryo panjang lebar, membuat Sarman tersenyum sedikit kesal. Ia tahu, yang datang pasti Sita.

“Bukan kencan Pak, dia mau ketemu Hesti, belum tahu tempatnya, jadi nyamperin ke sini dulu.”

“Oh, gitu rupanya?”

“Bapak tuh, salah sangka terus,” kesal Sarman. Tapi Haryo hanya tersenyum.

“Tapi dia itu cantik lhoh,” Haryo masih melanjutkan ledekannya. Ia lupa bahwa Sarman itu bukan dirinya, yang gampang terpikat wajah cantik.

“Sarman pergi dulu ya Pak,” katanya sambil mencium tangan ayahnya.

“Hati-hati. Kamu mencari siapa? Ibumu sedang mandi,” kata Haryo ketika melihat Sarman tampak celingukan ke sana kemari.

“Oh, ya sudah, Bapak saja yang mamitin ya,” kata Sarman sambil berlalu.

Diluar Sita sedang menunggu.

“Mau naik mobil bapak saja Man?” Haryo ternyata membuntuti sampai ke depan.

“Tidak usah Pak, naik sepeda motor saja.”

“Memangnya lebih enak berboncengan ya?” Haryo masih ingin menggoda anaknya.

“Bukan Pak, saat seperti ini lalu lintas padat, kalau naik mobil kelamaan,” terang Sarman.

“Oh iya, benar.”

“Saya permisi dulu Pak,” kata Sita.

“Hati-hati Nak,” pesan Haryo yang merasa heran, karena Sarman dan Sita naik sepeda motor sendiri-sendiri.

“Kok nggak mau boncengan saja,” gumamnya sambil menatap keduanya sampai menghilang di balik pagar. Sekali lagi Sarman bukan Haryo, kalau Haryo … dulu … dulu lhoh, waktu masih muda, ya lebih baik boncengan, kan bisa duduk empet-empetan. Eit, nggak baik ya mengingatkan masa yang sudah lewat, kan Haryo sudah menjadi suami yang baik, yang santun dan sangat menyayangi istri dan anak-anaknya.

***

Hari itu pak RT memanggil yu Sukini, bekas pembantu bu Mintarsih. Ia sudah tahu kalau bu Sriani dilaporkan, sebelum mengganti sertifikat atas nama bu Mintarsih menjadi milik dirinya. Pak RT bersyukur Hesti berani melakukannya, sementara dulu waktu datang, dia tampak ketakutan menatap ibunya.

“Ada apa pak RT?” tanya yu Sukini.

“Ini akan menjadi kasus Yu, dan banyak kemungkinan kita akan menjadi saksi dalam persidangan nanti.”

“Waduh, kenapa saya diikut sertakan juga Pak RT? Saya kan orang luar, tidak tahu apa-apa lho Pak.”

“Benar, aku dan sampeyan itu orang luar, tapi kan sampeyan banyak tahu tentang keseharian bu Mintarsih. Bahwa bu Mintarsih punya banyak perhiasan di almarinya, kemudian ketika nak Hesti datang ternyata tidak ada barang berharga di almari itu. Ya kan?”

“Iya sih. Saya tahu benar Pak, bu Mintarsih punya perhiasan yang disimpan di dalam almarinya. Kalau pergi kondangan kan selalu dipakai, terkadang saya disuruh memasangkan bros nya, mencarikan cincin yang cocok dengan giwangnya. Kalung juga ada, tapi jarang dipakai. Katanya sudah tua nggak pantas pakai yang terlalu menyolok.”

“Nah, itu nanti bisa dijadikan bukti kecurangan bu Sriani. Secara kasarnya, bu Sriani bisa dituduh mencuri lho Yu.”

“Sudah jelas barang-barang itu dicuri Pak. Wong waktu nak Hesti melihatnya sudah tidak ada sama sekali lho barang-barang itu. Satu kotak, warna kotaknya saya masih ingat, berbalut kain beludru berwarna merah tua.. Saya ingat, dulu bu Mintarsih pernah bilang kalau barang-barang itu akan diberikan kepada cucunya. Lha cucunya itu kan hanya nak Hesti? Ya kan Pak?”

“Iya Yu, karena bu Sriani itu tidak punya anak kandung.”

“Heran saya, kok ada orang seserakah itu, padahal kehidupan bu Sriani itu bisa dibilang berkecukupan. Kan suaminya meninggalkan rumah bagus, besar. Dan dia juga punya usaha, nggak tahu usaha apa, tapi ada karyawannya juga. Saya pernah ikut bu Mintarsih ke sana, saat putranya masih ada.”

“Dan pastinya dapat pensiun juga, kan putra bu Mintarsih itu pegawai negri, dan punya jabatan lho.”

“Makanya Pak, amit-amit bu Sriani itu, kok ya serakahnya sampai seperti itu. Tega menipu anak kecil juga.”

“Itu sebabnya Yu, sampeyan saya suruh datang kemari itu supaya bersiap-siap, karena kemungkinan besar akan dipanggil  untuk menjadi saksi. Nak Sarman sudah menelpon saya, mungkin dalam sehari dua hari ini pengacaranya akan menemui kita.”

“Tapi saya sebenarnya takut tuh Pak,” kata yu Sukini ragu.

“Mengapa takut Yu, kita hanya ditanya, dan wajib mengatakan apa yang kita ketahui. Nggak usah takut. Katakan saja apa yang sampeyan ketahui.”

“Tapi nanti kan ada pak RT juga ya?”

“Iya Yu, sampeyan tidak akan sendiri.”

***

Ternyata Sarman dan Sita harus menunggu agak lama, karena Hesti harus melayani pasien yang datang untuk berobat, baik kepada dokter Danarto maupun kepada dokter Desy. Tapi Sita bisa bicara sepotong demi sepotong tentang kedatangan pengacara yang kaya senyum itu, sore harinya, di sela-sela  Hesti melayani pendaftaran pasien-pasien itu.

“Maaf ya, pasien agak banyak hari ini,” kata Hesti.

“Tidak apa-apa,"

"Aku sudah tahu kalau pengacara itu akan membutuhkan kamu. Tapi kamu mau kan menolong aku? Sebenarnya aku juga takut menghadapi sidang, hanya saja aku harus memperjuangkan hak aku. Itu kata mas Sarman ini, juga yang lainnya,” kata Hesti sambil menunjuk mas Sarman yang duduk di sampingnya.

“Kamu harus melakukannya Hesti, kalau tidak, kamu akan kehilangan harta itu dengan sia-sia, karena jatuh ke tangan orang jahat,” kata Sarman.

“Iya Hes, mas Sarman benar, dan kamu tidak perlu khawatir juga, karena ada pengacara yang akan membantu kamu. Tapi ngomong-ngomong, pengacara itu ganteng lho,” kata Sita berbisik di telinga Hesti.”

“Yah, kamu suka?” kata Hesti sambil tertawa, tapi suaranya tidak sepelan Sita, sehingga Sarman bisa mendengarnya.

“Ih, kamu nih, kok berteriak sih,” kesal Sita.

“Katanya kamu sukanya sama mas Sarman,” Hesti masih menggoda, dan itu membuat Sita kemudian mencubitnya lalu tertunduk malu. Sarman pura-pura tak mendengar.

“Mas Lukito itu masih bujangan lho,” kata Sarman tiba-tiba.

“Waah, kebetulan nih, semoga berjodoh,” kata Hesti lagi.

“Ngawur kamu Hes, aku ini siapa, hanya pegawai toko, mana ada yang mau sama aku.”

“Lhoh, apa salahnya pegawai toko? Kamu juga perempuan kan? Nah kalau kamu laki-laki, itu baru salah kalau dia mau sama kamu.”

“Apa sih, ngaco kamu.”

Tiba-tiba ada seorang wanita datang mendaftar.

“Mau periksa mbak, pasiennya masih banyak ya?”  tanya wanita itu.

“Masih ada dua mbak, ke dokter Desy kan?Mau menunggu?”

“Baiklah, saya mau daftar.”

“Namanya siapa Mbak?”

“Sarwendah,”

“Alamat?”

“Gang Srigading nomor empat.”

“Keluhannya apa?”

“Sakit perut.”

Baiklah, nah itu pasien satu sudah keluar. Ibu Sunarti,” Hesti memanggil pasien untuk Desy.

Pasien yang di panggil masuk, masih ada satu pasien lagi, dan wanita bernama Sarwendah, yang kemudian duduk agak di pojok. Tiba-tiba Hesti seperti mengenali pendaftar terakhir yang tadi belum sempat diamatinya. Wanita itu memakai cadar, dan Hesti tiba-tiba mengingatnya.

“Dia kah?” gumamnya pelan.

“Mbak Endah ya?” sapanya.

Wanita itu terkejut. Tadi dia  mengenali Hesti, tapi pura-pura tidak tahu.

Sekarang ia tak bisa mengelak, Hesti mengenalinya.

***

Besok lagi ya.




 

 

43 comments:

  1. Replies
    1. Yessssss.....!!!!!
      ADUHAI AH Eps_46 sdh hadir.
      Pengin mengikuti persidangan perdana Sriati yang serakah.

      Terima kasih bunda.... Semoga bunda selalu sehat & dalam keberkahan. Aamiin.

      Delete
    2. Selamat buat jeng dosen Iyeng Juara 1, karena mau mendampingi Hesti dalam Sidang Perdana kasus penggelapan harta nenek Mintarsih

      Delete
    3. Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, semoga Bunda sehat selalu Aamiin ya Allah ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

      Delete
    4. Horeee mb Rinta udh hadiir..
      Salam sehat selalu yaa..

      Delete
  2. Matur nuwun, bu Tien. Bisa masuk 10 besar ga ya ?

    ReplyDelete
  3. Yess ketinggalan lagi, matur nuwun Bunda

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Syukron Mbak Tien...
    Kebalap sama bu Nani☺️๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ...trimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah ADUHAI-AH 46 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Ehh..Endah muncul lagi, sudah hampir selesai cerbungnya.
    Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  8. Wah hadir mas Lukito sang pengacara ganteng...sdh jadian sama Sita aja deh, biar ndak merebut Sarman...๐Ÿคญ

    Matur nuwun bunda Tien AA 46 telah tayang dengan menghadirkan tokoh² baru..oya y ada lagi..siapa itu mbak Endah?
    hii sabar menanti besok lgi ya..๐Ÿ˜

    ReplyDelete
  9. Yesss..... Semua orang jahat sudah muncul untuk dieksekusi, ๐Ÿ’ƒ๐Ÿ’ƒ๐Ÿ’ƒ๐Ÿ’ƒ
    Ah, senangnya hatiku..

    Makasih cerita nya Bu, moga selalu sehat.
    Salam aduhai dari Bandung.

    ReplyDelete
  10. Terimakasih bunda Tien..
    Salam sehat selalu..
    Selamat malam dan selamat beristirahat
    Bsk lg ah... sabar menunggu hsl persidangan bu sriani yg serakah..

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah ADUHAI AH~46 sudah hadir... maturnuwun dan salam sehat kagem bu Tien ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  12. Endah mau ngapain datang ke tempat praktek dokter? Jadi makin heboh, aduhai.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, semoga sehat selalu. Aamiin

    ReplyDelete
  14. Alhamdullilah AA 46 sdh tayang, terima kasih mbak Tien, sehat selalu dan selamat berbahagia bersama keluarga

    ReplyDelete
  15. Wah sarwendah masih berani ketemu desy padahal dulu membencinya

    ReplyDelete
  16. ๐Œ๐š๐ญ๐ฎ๐ซ ๐ฌ๐ฎ๐ฐ๐ฎ๐ง ๐›๐ฎ ๐“๐ข๐ž๐ง ๐ž๐ฉ๐ฌ 46 ๐ฌ๐๐ก ๐ญ๐š๐ฒ๐š๐ง๐  ...๐Ÿ™๐Ÿ™
    ๐€๐ฉ๐š๐ค๐š๐ก ๐„๐ง๐๐š๐ก ๐ฆ๐š๐ฎ ๐›๐ž๐ซ๐จ๐›๐š๐ญ ๐ค๐ž ๐ƒ๐ž๐ฌ๐ฒ ๐š๐ญ๐š๐ฎ ๐ฆ๐ž๐ง๐ ๐ฎ๐œ๐š๐ฉ๐ค๐š๐ง ๐ฌ๐ž๐ฅ๐š๐ฆ๐š๐ญ ๐š๐ญ๐š๐ฌ ๐ฉ๐ž๐ซ๐ค๐š๐ฐ๐ข๐ง๐š๐ง ๐ƒ๐ž๐ฌ๐ข ๐๐ ๐ง ๐ƒ๐š๐ง๐š๐ซ๐ญ๐จ...๐ก๐ž..๐ก๐ž๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚..
    ๐Š๐ข๐ญ๐š ๐ญ๐ฎ๐ง๐ ๐ ๐ฎ ๐ฌ๐š๐ฃ๐š ๐ค๐ž๐ฅ๐š๐ง๐ฃ๐ฎ๐ญ๐š๐ง๐ง๐ฒ๐š ๐›๐ž๐ฌ๐ฎ๐ค ๐ฅ๐š๐ ๐ข ๐ฒ๐š..

    ๐’๐š๐ฅ๐š๐ฆ ๐ฌ๐ž๐ก๐š๐ญ ๐ฎ๐ง๐ญ๐ฎ๐ค ๐›๐ฎ ๐“๐ข๐ž๐ง ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  17. Terima kasih Mbak Tien ... AA 46 sdh tayang ... smg Mbak Tien & kelg sll sehat n bahagia ... Salam Aduhai .

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah .....
    Terima kasih bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  19. Trims Bu Tien...,dan sehat selalu

    ReplyDelete
  20. Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  21. Waw dua gadis sampul yang saling tuding, bisa tertukar nantinya, bagaimana tidak; didepan Sarman, Hesti ngelรจdรจkin Sita agar dekat dengan Sarman, sekalian ngetรจst ada hati nggak sami sareng seniornya.
    Tapi saat dirumah Haryo gantian Sarman seolah disegerakan memilih diantara dua gadis sampul itu.
    Namanya orang tuwa takut nggak kebagian momong cucu.

    Ada pasien terakhir seorang yang pernah memberi kursus kilat, juga pernah berperan sebagai Sriani artis donk;
    iya, jadi penelpon berperan sebagai Sriani dia bilang kalau Hesty sudah dijodohkan sama Danarto, waktu itu ke Desy.
    Wo iya terus Desy mutung kesarung ya, ya ngambeg gitu. Kebetulan ada Bunga yang ngegemesin, berpipi bakpao gitu.

    Gantian Danarto sewot, gimana enggak bapaknya Bunga cakep dupan lagi, apalagi anak-anak nya lรจngkรจt sama Desy hmm tambah asyik.
    Terus Danarto
    Yรฅ njรชthatut รจlik buanget kaรฉ, nah bar kuwi mulai Hesty klumbrak klumbruk kรฅyรฅ suwal, kok ibu mecat aku, saiki aku dudu anakรฉ. Pikiranรฉ mumpluk kรฅyรฅ sabun ngebaki ubun-ubun nganti raisรฅ mikir kepinginรฉ mung nglalu waรฉ.
    Desy ngleremakรฉ Danarto gampang anggรชr di sotho wis adhem.

    Mudah mudahan enggak bikin ulah, bakul gorengan laporan sakit kok mules.
    Kaya enggak bersih gitu



    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke emat puluh enam sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Aduhaii Ah,,,bikin penasran mau apa tuh tuh Endah,,,

    Salam sehat wal'afiat bu Tien sekeluarga,,Aamiin

    ReplyDelete
  24. Wah wah Sita ma Lukita SH deh jgn ma Sarman.ma Hesti..waduh nih pasti rame ..lo Endah si Anak pelakor kasian pasti di bantu ma Desy nih ..widih untung gak ke Danarto hahahahah wajahnya jd jelek

    ReplyDelete
  25. Tunggu lanjutan aduhai ah
    Kok belum ada ya

    ReplyDelete