ADUHAI AH 39
(Tien Kumalasari)
Danis tertegun, ia mendorong tubuh Nungki perlahan.
“Kenapa kamu ini?” tegurnya tak suka, walau dilihatnya
Nungki menangis terisak memilukan.
Nungki mundur, lalu kembali duduk di kursi teras,
sambil terus mengusap air matanya.
“Dengar Nung, kita sudah bukan apa-apa lagi. Tak ada
ikatan apapun diantara kita. Jadi jangan sampai kamu memberi aku sebuah permasalahan,
walau permasalahan yang sedikit pun.”
Nungki masih terus menangis. Ingin Danis mengusirnya,
tapi tak sampai hati. Dia duduk di depannya, menatapnya dengan kesal. Teringat
oleh Danis ketika Nungki dengan entengnya mengatakan bahwa dia tidak
mencintainya, dan ingin kembali kepada kekasih lamanya.
“Maafkan aku Mas, aku sebenarnya tidak mencintai Mas.
Aku sudah bertemu dengan Widi, dan ternyata dia masih mencintai aku. Dia juga
tidak ingkar bahwa bayi yang aku lahirkan adalah darah dagingnya, jadi
lepaskanlah aku, aku ingin kembali padanya,” katanya waktu itu, tanpa ada
hambatan apapun karena semua dikatakannya dengan sangat lancar, dan tanpa ada
sesal sedikitpun di wajahnya.”
Hati Danis teramat sakit. Oh, bukan sakit. Sungguh dia
marah. Marah karena kebaikannya tak dihargai. Perempuan di hadapannya bahkan tidak
mengucapkan terima kasih atas apa yang dilakukannya.
“Bagus. Aku lega, karena segala kepura-puraan kita
selama ini akan segera berakhir. Dan kamu juga perlu tahu, bahwa aku juga tak
pernah mencintai kamu. Jadi silakan kamu pergi kapanpun kamu inginkan. Akan aku
urus perceraian itu segera.”
Dan saat itu memang Nungki pergi dari rumah. Danis
memberikan mobil dan sejumlah uang dan mengatakan bahwa ia tak berhak menuntut
apapun juga.
Nungki masih terisak.
“Aku minta maaf. Sudah aku katakan bahwa tak ada
apa-apa lagi diantara kita, dan jangan memberi aku sebuah permasalahan pun.”
“Mas, aku menyesal.”
“Bagus kalau seseorang bisa menyesali kesalahannya,”
kata Danis datar, tanpa ingin tahu mengapa dia menyesal.
“Widi tidak sungguh-sungguh mencintai aku.”
“Kasihan sekali kamu Nung. Tapi itu harus kamu terima.
Kepalsuan akan dibalas dengan kepalsuan. Aku doakan kamu bisa mendapatkan pria
baik yang mencintai kamu.”
“Ijinkan aku kembali ke rumah ini.”
“Apa? Ini tidak mungkin. Aku seorang duda, dan kamu
seorang janda atau entah apalah, mungkin juga sudah menjadi isteri orang. Mana
mungkin kamu kembali ke rumah ini”
“Rumah yang kata Widi adalah miliknya, ternyata hanya
rumah kontrakan.”
“Nungki, aku sudah mengatakannya, jangan membawa
persoalan ke hadapan aku. Aku tidak mau mendengarnya.”
“Apa kamu tidak kasihan kepada anak kita Mas?’
“Anak kita? Bukan, itu anak kamu dan laki-laki yang
entah siapa. Aku tidak pernah menyentuh kamu selama kamu hamil dan sampai saat kita
berpisah. Kamu ingat kan?”
“Tapi_”
“Aku sangat letih, dan ingin beristirahat, jadi aku
mohon pergilah.”
“Mas …” Nungki menangis semakin keras.
Danis menguatkan hatinya, walau sebenarnya dia merasa
iba.
“Aku harus pulang kemana?”
“Bukankah kamu aku beri uang lumayan banyak dan bisa
kamu pergunakan untuk membeli rumah kecil-kecilan? Ya tentunya jangan ditengah
kota, aku kira itu cukup.”
“Uang itu sudah habis.”
“Oh, baguslah kalau kamu pintar menghabiskannya.”
“Widi membawa pergi semua uangku, bahkan surat mobil
itu ternyata juga dibawanya, dan dia sudah menjualnya.”
“Ya Tuhan, aku ingin merasa kasihan sama kamu. Tapi
tidak Nungki, pergilah, aku akan memberikan kamu sedikit uang untuk kamu mengontrak
rumah. Besok aku kirimkan ke rekening kamu. Tapi ini yang terakhir. Ingat,
jangan menggangguku lagi. Kalau kamu nekat, aku tak segan untuk menyeret kamu
pergi dari hadapanku. Dan sekarang pergilah.”
“Mas …”
“Aku mohon … jangan menggangguku lagi.
Danis membuka pintu rumahnya, lalu masuk dan
menguncinya dari dalam setelah mengatakan satu lagi sebuah kalimat.
“Aku sudah punya calon.”
***
Hari terus berjalan, Hesti sudah merasa lebih tenang,
karena menemukan keluarga baru yang amat memperhatikannya.
“Kamu tidak ingin kuliah?” tanya Desy pada suatu pagi.
“Kuliah? Aku belum bisa membayar kuliah aku sebelum
bekerja.’
“Berangkatlah kuliah, sebentar lagi kamu akan bekerja.”
“Kapan Mbak, aku harus benar-benar bekerja dulu,
jangan sampai aku terlalu membebani keluarga ini.”
“Tidak ada yang terbebani. Nanti, tidak lama setelah
aku menikah, kamu akan segera bisa mulai bekerja.”
“Benarkah? Baiklah, aku akan kuliah nanti setelah
benar-benar bekerja.”
“Hesti, kamu bandel ya?”
Hesti terdiam mendengar kata Desy yang agak keras.
“Pekerjaan itu sudah pasti ada, tinggal menunggu
waktu. Kamu jangan membuang-buang waktumu, supaya kamu segera bisa
menyelesaikannya.”
“Baiklah, aku akan ke kampus nanti.”
“Bagus. Aku senang mendengarnya,” kata Desy yang
kemudian berlalu, bersiap untuk pergi bertugas.
“Hesti, aku dengar kamu mau ke kampus?” tanya Tutut.
“Ya Mbak.”
“Mau bareng aku?”
“Tidak, aku mau naik sepeda motor saja.”
“Baiklah, hati-hati ya.”
Hari itu Hesti mau ke kampus dengan hati masih ragu,
karena pekerjaan itu masih belum bisa dijalaninya. Tapi atas dorongan Desy yang
selalu memberinya semangat, akhirnya dia berangkat juga.
Hesti mau masuk ke dalam kamarnya setelah sarapan
bersama keluarga Haryo, tapi dilihatnya di meja ruang tengah ada setumpuk
undangan yang belum siap dikirimkan. Ada catatan siapa-siapa yang akan diundang
di dekat tumpukan itu.
Hesti duduk di dekat meja.
“Hesti, katanya mau ke kampus?” tanya Tindy dari arah ruang
makan.
“Nanti agak siang Bu. Sekarang, bolehkah saya membantu
menuliskan nama-nama yang diundang dan alamatnya?”
“Kamu bisa?”
“Tentu saja bisa Bu.”
“Baiklah, di lap top itu sudah di format untuk tulisan
nama yang diundang dan alamatnya. Kamu tinggal menulis dan kemudian di print di
kertas label itu.”
“Iya Bu, saya mengerti.”
“Semampunya saja, kan masih sebulan lagi, belum
terlalu terburu-buru. Nanti kalau kamu mau ke kampus, kamu tinggal saja di
situ. Sarman akan melanjutkannya. Itu juga Sarman kemarin yang sudah
memulainya.”
“Baiklah Bu. Nanti saya ke kampus agak siang.
Pulangnya mau ketemu teman kost saya. Dan saya juga belum pamit sama ibu kost
saya.”
“Ya sudah. Itu catatannya sudah ada semua, kalau masih
ada yang terlupa nanti menyusul.”
“Ya Bu.”
Hesti senang sekali ketika diperbolehkan membantu.
Walau sedikit, tapi ia bisa melakukan sesuatu untuk keluarga yang telah
menolongnya.
***
“Danar, aku sudah melunasi rumah yang akan aku beli
itu, kemarin,” kata Danis disela-sela saat tugasnya.
“Baguslah, kamu bisa langsung pindah setiap saat.”
“Segera, karena rumahku juga sudah dibayar. Pagi tadi
aku sudah berkemas. Aku juga sudah memesan mobil pengangkut barang. Aku nanti
mau pulang awal, dan mungkin besok aku ijin tidak bertugas. Semuanya harus
selesai besok.”
“Sepertinya tergesa-gesa sih Danis? Memangnya pembeli
rumah kamu sudah mengusir kamu?”
“Bukan, sebenarnya aku masih diberi waktu sebulan
untuk berkemas, tapi aku ingin sehari besok sudah selesai.”
“Iya. Mengapa sepertinya terburu-buru?”
“Semalam Nungki datang ke rumah.”
“Masih mencari BPKB mobilnya?”
“Sudah jelas BPKB itu hilang, sebentar lagi mobilnya.”
“Lhoh.”
“Pacar Nungki, atau mungkin sudah menjadi suaminya,
entahlah, hanya seorang penipu.”
“Waduh, kasihan bener Nungki.”
“Uang yang aku berikan sudah dihabiskan olehnya, dan
rumah yang ditempati hanya ngontrak, trus BPKB mobil diambil, mungkin dijual.
Entahlah, semalam dia minta tinggal di rumah aku. Mana aku mau?”
“Kok bisa begitu?”
“Mungkin dia tak mau lagi dengan laki-laki itu.”
“Ingin balikan sama kamu?”
“Entahlah, tapi aku bilang bahwa aku sudah punya calon.”
“Kamu bohongin dia?”
“Itu bukan bohong, Calon itu memang sudah ada, tinggal
menunggu dia mau atau tidak menikah sama duda keren kayak aku.”
Danarto tertawa. Tentu dia tahu siapa yang dimaksud.
“Belum tentu mau sudah dibilang calon.”
“Ya calon lah, kalau sudah pasti namanya bukan calon,
Maksudku calon pacar,” katanya sambil nyengir.
“Semoga berhasil,” kata Danarto sambil menepuk bahu
sahabatnya.
***
“Mana Danis?” tanya Desy saat mereka makan di kantin.
“Danis sudah pulang sejak tadi,” jawab Danarto.
“Kenapa? Sakit?”
“Bukan, dia siap-siap mau pindah rumah hari ini.
Mungkin besok juga dia masih belum selesai.”
“Pindah? Kok buru-buru?”
“Ketakutan dia.”
“Takut apa?”
“Bekas istrinya semalam datang, mengeluh macam-macam,
Danis mungkin merasa lebih baik menghindar.”
“Mengeluh masalah apa? Sudah bersama orang yang
dicintai, kok masih mengeluh juga?”
“Dikiranya semua bisa dengan mudah dijalani, ternyata
orang itu penipu. Ya nasib lah namanya, meninggalkan Danis yang sudah begitu
baik menolongnya, sekarang apa …”
“Penipu?”
“Uang pemberian Danis dihabiskan. BPKB dicolong.
Mungkin mobilnya sudah dijual oleh dia.”
“Yaah, kasihan bener. Danis nggak mau menerima dia
lagi?”
“Ya nggak mau lah, mereka kan sudah resmi bercerai.”
“Itulah, kalau cara berpikir tidak waras. Sekarang apa
yang akan dilakukannya?”
“Entahlah, mungkin kembali kepada orang tuanya. Itu yang
terbaik, daripada mengemis belas kasihan bekas suami. Harusnya malu.”
“Kasihan juga ya Mas, semoga saja segera menemukan
yang terbaik untuk hidupnya.”
“Aamiin. Ini aku juga harus mulai bebenah.
Barang-barang aku sudah ada yang aku taruh di rumah baru.”
“Oh ya?”
“Supaya nanti tidak terlalu repot. Tapi kebanyakan
barang-barang baru, beberapa masih tertinggal di rumah lama.”
“Oh ya, kalau begitu coba Mas suruh Hesti bantu-bantu
bebenah. Aku yakin dia senang.”
“Sekarang?”
“Mungkin mulai besok, supaya dia yakin sudah mendapat
pekerjaan. Dia tadi tidak mau kuliah sebelum pekerjaan itu didapatkannya.
Tampaknya dia tak ingin lebih merepotkan orang lain, dan ingin meraih
cita-citanya dengan keringatnya sendiri.”
“Belum ada kabar dari bu Sriani yang katanya mau
memperkarakan masalah warisan itu?”
“Belum, menurut aku, kalau dia tidak segera
melakukannya, maka justru Hesti yang harus menuntutnya. Itu kan hak dia.
Tampaknya dia ketakutan berurusan dengan ibu tirinya, tapi kita harus
mendorongnya dan membantunya. Itu hak dia. Ya kan?”
“Ya, benar. Sebenarnya dia anak baik. Kasihan.”
“Tentang pekerjaan itu, nanti gajinya akan aku bayar
dimuka, biar dia senang.”
“Baguslah, besok pagi suruh saja ke rumah baru kita,
banyak yang bisa dia kerjakan. Menata kartu-kartu pendaftaran pasien yang sudah
aku siapkan, dan banyak lagi.”
“Terima kasih ya Mas.”
“Kok terima kasih sama aku, kamu yang berbuat lebih
banyak untuk dia.”
“Kebaikan itu walau sedikit, tapi nilainya sangat
besar, tergantung keikhlasan kita, tidak usah menimbang mana yang banyak dan
mana yang sedikit. Ya kan?”
“Benar, Ibu Danarto.”
“Ah …”
Danarto selalu terpana melihat senyum itu. Senyum dari
orang yang tak lama lagi akan menjadi miliknya. Dan bisikan ‘ah’ yang menggoda
akan selalu didengarnya setiap pagi, siang atau malamnya.”
***
Dari kampus hari sudah menjelang sore. Hesti mampir ke
rumah kost nya dan berpamitan kepada pemilik rumah kost itu, lalu dia menemui
Sita yang kebetulan sudah pulang dari bekerja.
“Hesti, kamu sendirian?”
“Seperti yang kamu lihat Sita, aku sendirian.”
“Kok tidak diantar mas Sarman?”
“Dia lagi sibuk, dokter Desy mau menikah, banyak yang
harus dikerjakannya. Lagipula masa aku harus selalu bergantung sama dia? Aku
kan bisa ke kampus sendiri dengan naik motor.”
Sita tampak kecewa mendengar jawaban Hesti.
“O, begitu ya. Terus kalau mas Sarman sudah lulus,
lalu tidak akan ke kampus lagi dong.”
“Sita, kamu suka sama mas Sarman?”
Sita terkejut. Apakah sikap dan kata-katanya
menunjukkan itu?
“Aap … pa maksudmu?”
“Kalau suka bilang saja suka, nanti aku ngomong sama
mas Sarman.”
“Eh, jangan gila. Nggak, ngapain ngomong segala. Malu
dong aku.”
“Nggak apa-apa, supaya mas Sarman juga tahu.”
“Jangan Hesti, aku cuma bertanya saja, kok kamu
mengira aku suka? Mas Sarman itu pantasnya sama kamu,” kata Sita mencoba
menyamarkan isi hatinya.
“Sama aku? Dia itu sudah seperti kakak aku. Mana
mungkin aku suka sama dia.”
“Siapa tahu, jodoh itu Allah yang mengaturnya.”
“Semoga menjadi jodoh kamu,” kata Hesti tulus.
“Semoga jodoh kamu,” kata Sita membalas kata-kata
Hesti.
“Ah, sudahlah, aku mau pulang dulu, ini sudah sore.”
“Kamu datangnya kan memang sudah sore.”
“Supaya bisa ketemu kamu, aku datang sore, sambil
pamit tadi sama ibu kost.”
Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu, dari kamar
sebelah.
“Ada tamu di kamar sebelah, padahal itu bekas kamar
kamu, dan masih kosong,” kata Sita yang kemudian turun dan melongok ke arah
bekas kamar Hesti. Hesti mengikutinya dari belakang, dan betapa terkejutnya
ketika ia melihat ibu tirinya berdiri disana. Hesti ingin bersembunyi, tapi bu
Sriani keburu menoleh ke arahnya. Hesti sedikit gugup, ketika wanita dengan
wajah bengis itu melambaikan tangannya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillahi.......
DeleteADUHAI... AH Eps. 39
Sudah tayang.
Terima kasih bu Tien, semoga sehat selalu & selalu sehat.
Dalam ADUHAI.....
mas kakek Bandung++
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Mbak Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang
ReplyDeleteAlhamdullilah..terima ksih AA 39 nya bunda..slmt mlm dan slm beristrhat..slm sayang dan sehat sll driSukabumi 🙏🙏🥰🥰🌹🌹
ReplyDeleteAlhamdulilah... Tks bunda Tien..
ReplyDeleteSemoga sehat dan bahagia selalu..
Salam sehat bunda..
Selamat beristirahat..
Aduhai.. Ah.. tambah seruuu..
Alhamdulillah. Makasih mbak Tien
ReplyDeletematur nuwun bu Tien Aduhai Ah 39 sudah tayang makin seru crita nya
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 39 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah
ReplyDeleteKebaikan itu walau sedikit tapi besar pengaruhnya ... Syukron ilmunya Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷
Salam aduhai...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Terima kasih bu Tien
Semoga sehat selalu
Ah.... Konfliknya makin menjadi nih, makin runyam juga.. 🤨🤨🤨
ReplyDeleteAduhai, bikin gemes yang baca.
AA dah tayang baca yaaa
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 39 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah. Suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah... Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteSriani datang lagi berarti masalah lagi.
Tunggu sampai selesai saja bagaimana maunya sang dalang.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhamdulillah
ReplyDeleteBuat Bu Sriani menyesali perbuatannya mba.
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
𝐌𝐚𝐮 𝐚𝐩𝐚 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐧𝐞𝐧𝐞𝐤 𝐒𝐫𝐢𝐚𝐧𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐞𝐦𝐮𝐢 𝐇𝐞𝐬𝐭𝐢..??? 𝐀𝐲𝐨 𝐬𝐢𝐤𝐚𝐭 𝐇𝐞𝐬𝐭𝐢..𝐡𝐞..𝐡𝐞.😄😄😄
ReplyDelete𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐮𝐭𝐤 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚..🙏🙏🙏🙏🙏
Yang pada takut karena ulahnya sendiri pada keluar semua;
ReplyDeleteWalau awalnya mentang² sok menang.
Nungki yang percaya diri tetap mau minta rujuk. Berdasarkan akte anaknya karena terlahir bapaknya tertulis nama Danis.
Itulah makanya ingin segera ngilang, menjauh dari Nungki.
Sriani kembali ngganggu Hesti, karena dia tahu selama ini dirusak percaya dirinya dan tidak berani menentang, selalu saja nurut apa kata Sriani.
Apakah Sita ikut ambil bagian dalam perlawanan Hesti pada Sriani, biar dapat simpati Sarman tentunya.
Desy yang berjanji masalah loker untuk Hesti; berniat mau menyampaikan gaji pertamanya.
Rupanya Sriani masih mengejar Hesti, buat sandera apaya dibawa mudik, duh kasihan, wuah ini kalau ketemu Desy bisa habis ini Sriani dilumat, semoga Sarman punya firasat, karena lama nggak pulang ke rumah.
Ya udah aku aja yang pulang mau tidur, sudah malam.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke tiga puluh sembilan sudah tayang,
Sehat, semangat, sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aduh duh Sriani oo ibu tiri bengis jg sendiri sama Sita dan jgn mau dtg u tt lagi .itu hak mu Hesti peertahankan hak mu ..teerima kasih Bu Tien sehat selalu .yanti Sby
ReplyDeletePenderitaan Hesti tak kunjung usai?
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah sdh ada Aduhai Ah nya.... Semoga diakhir critanya Hesti mendapatkan haknya. Kasihan
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien.......ga sabar nunggu undangannya dr. Desy nih......😊
ReplyDeleteSalam sehat selalu
.....🙏🙏
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteHesty yg sabar ya,,aduhaai ah
Salam sehat wa'afiat semua ya bu Tien 🤗🥰