Thursday, March 17, 2022

BUKAN MILIKKU 15

 

BUKAN MILIKKU 15

(Tien Kumalasari)

 

Wahyudi menatap pria itu lekat, demikian juga sang pria yang ternyata adalah Budiono. Merasa pernah saling melihat, Budiono justru mendekati Wahyudi.

“Mm_mas … Wahyudi?”

“Ya, ya … bagaimana mengenal nama saya?”

“Mbak Retno mengatakannya.”

“Oh … “ kata Wahyudi yang heran mengapa suaminya memanggil isterinya dengan sebutan ‘mbak’, tapi kemudian dipikirnya bahwa karena belum lama kenal sebelumnya jadi masih canggung untuk memanggil namanya begitu saja.

“Retno … sakit?” tanya Wahyudi hati-hati, khawatir ‘suami’ Retno curiga karena kelihatannya tahu bahwa ada hubungan cinta dengan dirinya sebelum menjadi isterinya.

“Ya. Barusan kami ke dokter, karena dia panas.”

“Sakit apa?”

“Tadinya agak demam, tapi kata dokter tidak apa-apa. Dia hanya perlu istirahat saja. Siapa yang sakit Mas?”

“Ini … ibunya teman saya ini,” katanya sambil menunjuk ke arah Wuri, yang kemudian tersenyum sambil mengangguk setelah sebelumnya marah-marah.

“O, sakit apa?” tanya Budi sambil menatap ke arah Wuri.

“Tidak apa-apa, hanya kecapekan saja.”

“Syukurlah. Tapi itu, Mbak Retno ada di mobil sama Ibu saya, barangkali Mas Wahyudi mau ketemu.”

“Tidak … tidak … sampaikan saja salam saya,” kata Wahyudi cepat-cepat. Sungguh ia tak ingin mengganggu hubungan pengantin baru itu.

“Baiklah, kalau begitu saya permisi. Nanti salamnya akan saya sampaikan,” kata Budi ramah, kemudian berlalu setelah mengangguk juga kepada Wuri.

“Suaminya Retno?”

“Iya, yang dulu datang ke rumah,” jawab Wahyudi sambil kembali duduk. Ada perasaan nyeri yang kembali mengiris dadanya. Tapi ada yang sedikit menghibur, ketika mengetahui bahwa suami Retno sangat baik dan santun. Seandainya Wahyudi tahu.

“Suaminya ganteng, dan baik,” gumam Wuri sambil duduk kembali di samping Wahyudi.

Wahyudi tak menjawab. Diam dan mencoba mengikis rasa perih yang kembali melandanya.

“Mas Yudi sedih ya?”

Wahyudi tersenyum tipis, menggeleng pelan.

“Pasti pertemuan dengan suami Retno itu membuat Mas jadi teringat kembali sama dia. Aku tahu, pasti sakit. Tapi kan Mas sudah pernah bilang bahwa akan melupakannya?”

Wahyudi mengangguk.

"Tapi aneh ya, masa sih memanggil isterinya dengan sebutan ‘mbak’. Santun sekali suami Retno itu.

“Ya sudah, jangan dibicarakan lagi. Ngomong yang lainnya saja,” sergah Wahyudi yang enggan membicarakan Retno lagi.

“Kalau begitu jangan sedih dong. Tahu nggak, kalau Mas sedih begitu, wajahnya kelihatan kucel, jelek, gantengnya hilang deh,” goda Wuri yang kumat cerewetnya.

Dipancing godaan seperti itu, mau tak mau Wahyudi tersenyum.

“Berarti aku ini aslinya ganteng dong.”

“Eh, siapa bilang?”

“Kamu kan?”

“Kapan aku bilang bahwa Mas ganteng, nggak deh.”

“Baru saja kamu bilang, sudah mengelak.”

“Aku bilang ganteng, gitu? Mimpi ‘kali.”

“Lha tadi bilang, kalau aku sedih, wajahku jadi kucel, gantengnya hilang, berarti aslinya aku ini ganteng dong.”

“Waaah, salah ngomong berarti aku,” kata Wuri seenaknya, dan tak urung membuat Wahyudi tertawa. Hm, hanya sepatah dua patah kata, Wuri selalu bisa menghapus duka walau tak sepenuhnya hilang. Paling tidak,  ada sedikit kesedihan yang hilang.

“Kamu tahu, ucapan itu seperti anak panah melesat dari busurnya.”

“Eh, apa tuh artinya?”

“Ya kalau sudah terucap, tidak bisa dicabut kembali. Makanya hati-hati mengucapkan kata-kata. Apalagi kalau akhirnya akan diingkari.”

“Oh, baiklah. Tapi namanya kelepasan bicara, mau apa lagi.”

“Ya seperti kataku tadi, sudah terlepas, mana bisa kembali.”

“Di ralat dong.”

“Hm … sudah terlanjur dicatat tuh.”

“Ee, kesenangan ya, dibilang ganteng.”

“Memangnya tidak?”

“Ibu Sumantri,” suara petugas apotek terdengar, dan pertengkaran itu terhenti.

***

Retno duduk bersandar dengan mata terpejam. Budiono menatapnya khawatir,.

“Masih berasa sakit?”

Retno menggeleng.

“Nanti sesampai di rumah obatnya langsung diminum ya Ret.”

“Iya Bu.”

“Untunglah tadi tidak terlalu lama menunggu di apotek. Kalau lama akan Ibu suruh pulang dulu dan minta obatnya dikirim.”

“Obatnya tidak harus diracik, jadi cepat jadi. Oh ya, ada salam dari Mas Wahyudi.”

Retno mengangkat kepalanya, melupakan rasa pusing yang semula membebaninya.

“Apa?”

“Ketemu Mas Wahyudi waktu di apotek tadi.”

“Dia sakit?”

“Bukan, mengantar temannya yang sedang mengambil obat untuk ibunya.”

“Teman wanita?”

“Ya.”

Retno terdiam. Ia sudah bisa membayangkan siapa wanita itu. Pasti yang dilihatnya sedang bersama Wahyudi ketika dia datang ke rumah.

“Siapa Wahyudi?” tanya Bu Siswanto tiba-tiba.

“O, itu … temannya Mbak Retno,” jawab Budi yang tak ingin mengatakan apa adanya. Takut pertanyaan ibunya akan bertambah panjang.

“Kamu kenal?”

“Ya … pernah ketemu saja, waktu Budi mengantarkan Mbak Retno.”

“O …” untunglah hanya itu yang dikatakan bu Siswanto. Retno kembali menyandarkan kepalanya. Iapun merasakan nyeri yang menggigit mendengar penuturan Budi.

“Tadi aku suruh untuk ketemu Mbak Retno, tapi dia menolak,” lanjut Budi.

Retno tak menjawab. Bukankah lebih baik untuk tidak ketemu? Pertemuan hanya akan saling menyakiti. Retno berusaha menghilangkan bayangan Wahyudi tapi ternyata tak mudah menghapusnya. Retno kembali memejamkan matanya, dan menahan titik air matanya.

***

“Asih, tolong ambilkan makan untuk Bu Retno. Bawa ke kamarnya,” kata bu Siswanto begitu sampai di rumah, dan menyuruh Retno segera beristirahat.

“Baik Bu.”

“Bawa obatnya, suruh dia minum sekalian. Kalau aku yang memberikan obatnya, nanti dia sungkan.”

“Ya bu, nanti saya minta agar segera diminum setelah makan.”

“Ada dua macam yu, yang satu hanya sore saja, satunya tiga kali sehari,” sambung Budi.

“Iya Mas Budi.”

“Kamu bisa membaca kan Yu?”

“Bisa Mas, ini sudah ada tulisannya. Sekarang diminum dua-duanya, tapi besok yang satu ini hanya diminum sore atau malam, ya kan?”

“Pinter, Yu Asih. Ya sudah, segera bawa ke kamar, supaya bisa segera diminum.”

Asih membawa nampan berisi makanan dan obat untuk Retno.

“Apakah kakakmu harus Ibu beri tahu ya Bud?”

“Tentang apa Bu?”

“Bahwa Retno sakit.”

“Tidak usah Bu, kan tidak sakit berat. Nanti mbak Kori mendengar, malah jadi rame.”

“Ya sudah kalau begitu. Ibu mau ganti pakaian dulu.”

***

“Bu Retno, ini ca brokoli udang, sama keripik paru, makan banyak ya?” kata Asih begitu sudah menata makanan di nakas.

“Aku makan nanti saja Yu,” kata Retno lemah.

“Tidak bisa Bu. Bu Retno harus makan sekarang, karena obatnya harus diminum. Nih, tulisannya sesudah makan semua.”

Retno memejamkan matanya.

“Bu Retno sudah tidak begitu panas lagi. Tidak demam kan?”

“Hanya sedikit pusing. Entah mengapa, badanku rasanya sakit semua.”

“Bu Retno kecapekan karena kemarin ikut membantu Yu Asih di dapur. Jadi badannya sakit semua.”

“Entahlah.”

“Ya sudah, Yu Asih suapin saja. Soalnya obatnya harus segra diminum. Bu Retno kan tidak mau kalau sakit dan tidak sembuh-sembuh. Padahal tadi sebenarnya Yu Asih mendengar kalau Ibu mau mengajak Bu Retno jalan-jalan.”

Retno tersenyum tipis, tapi kemudian tidak menolak ketika Yu Asih menyuapinya.

“Sebenarnya aku bisa makan sendiri. Tapi badanku rasanya sakit semua Yu.”

“Namanya lagi sakit Bu, biar Yu Asih yang nyuapin. Nanti kalau sudah enak, bisa makan sendiri. Ya kan.”

***

“Nak Yudi, terima kasih banyak,” kata bu Sumantri, ibunya Wuri ketika mereka datang setelah dari apotek.

“Sama-sama Bu. Semoga Ibu cepat sehat ya.”

“Ibu agak kecapekan, kemarin mendapat pesanan nasi kotak. Cuma seratus sih, tapi kebetulan pembantu tidak masuk, jadi hanya Wuri yang membantu.”

“Lain kali Ibu tidak boleh terlalu capek. Kalau perlu saya bisa membantu lho Bu.”

“Nak Yudi ada-ada saja. Memasak kan pekerjaan perempuan. Lagi pula nak Yudi  setiap hari bekerja, mana bisa membantu.”

“Siapa tahu bisa Bu.”

“Sudah, sekarang Ibu mau beristirahat dulu, supaya besok bisa bangun pagi-pagi dengan tubuh lebih sehat.”

“Iya Bu, sebaiknya Ibu segera beristirahat. Sekarang saya mohon pamit.”

“Sekali lagi terima kasih lho nak. Wuri sih, harusnya bisa sendiri, kenapa ngrepotin nak Yudi.”

“Motor Wuri kan agak rewel Bu, nanti kalau mogok dijalan bagaimana," protes Wuri.

“Tidak apa-apa kok bu. Lagian saya juga sedang tidak ada pekerjaan.”

“Mas Yudi bagaimana sih, aku buatkan minum, kok malah mau pulang?”

“Lha rumahku kan hanya beberapa langkah dari sini, seperti tamu saja, dibuatkan minum segala.”

“Ya tidak apa-apa Mas, Mas Yudi kan pastinya haus setelah mengantarkan aku ke apotek.”

“Ya sudah. Aku minum ya,” kata Wahyudi yang kembali duduk karena takut diomelin Wuri yang sudah cemberut melihat dirinya berpamitan.

“Terima kasih. Tehnya manis sekali.”

“Iya lah mas, sesuai dengan yang membuat,” kata Wuri kemayu.

Wahyudi tertawa.

“Iya benar, kamu itu manis dan ayu.”

“Benarkah?” kata Wuri dengan mata berbinar.”

“Kalau aku tuh jujur. Beda dengan kamu, mau bilang aku ganteng saja malu.”

“Eh, masih ingat juga?”

“Ingat dong. Namanya orang dipuji itu pasti nggak akan melupakannya. Kamu juga nanti pasti nggak akan bisa tidur karena aku bilang manis dan ayu.”

“Bisa lah, itu kan sudah biasa.”

“Eh, sombong ya. Padahal aku kan cuma asal ngomong, dan itu belum tentu benar lho,” goda Wahyudi.

“Oh ya?” Wuri cemberut, membuat Wahyudi tertawa.

“Apalagi kalau cemberut,” kata Wahyudi sambil berdiri, takut kena cubit rupanya,  karena Wuri kalau mencubit sakit sekali.

“Sudah ah, aku mau pulang. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.”

“Tunggu dulu, tadi aku menggoreng pisang. Nih, bawa pulang dan buat cemilan supaya tidak mengantuk saat bekerja,” kata Wuri sambil memberikan beberapa potong pisang goreng diatas piring kecil.

“Wah, ini kesukaan aku. Kalau begitu kamu benar-benar cantik deh,” goda Wahyudi sambil berlalu, membiarkan Wuri yang menatapnya tetap dengan wajah cemberut.  Tapi benar kok, Wuri memang manis. Itulah yang dipikirkan Wahyudi akhir-akhir ini.

***

Sudah sebulan lebih Sapto kembali ke Jakarta bersama isterinya, dan melakukan tugasnya sebagai pemimpin perusahaan mebel milik ayahnya, yang memiliki cabang dimana-mana. Kori tak pernah mengomel atau mencelanya karena Sapto tetap berada di sisinya.

Tapi sore itu Kori merasa kesal, karena Sapto mengatakan bahwa akan pergi ke Jepara atas perintah ayahnya.

“Mengapa Bapak selalu menyuruh Mas Sapto? Mengapa bukan Budi saja? Bukankah tugas Mas disini sudah berat?” protes Kori.

“Budi punya tugas yang lain. Dan mengapa kamu sekarang peduli sama tugas-tugas aku?”

“Aku hanya tak ingin Mas pergi terlalu lama.”

“Kamu harus mengerti, Bapak sedang membangun cabang yang baru, dan Bapak ingin pulang dulu ke Solo. Aku hanya akan kesana untuk berbicara dengan ahli ukir yang akan bekerja bersama kita.”

“Mengapa bukannya dia saja yang disuruh datang ke mari?”

“Aku harus melihat bagaimana pekerjaannya. Hei, kenapa kamu ini? Pergilah bersenang-senang bersama teman-teman kamu dan jangan ikut mengurusi tugas aku,” kesal Sapto sambil meninggalkan Kori sendirian di teras.

Tapi kemudian Kori menyusulnya.

“Berapa hari Mas akan ke sana?”

“Beberapa hari, tidak akan lama.”

“Apa Mas akan mampir ke Solo juga?” Kori menatapnya curiga.

“Apa kamu mau ikut? Aku akan naik mobil bersama sopir.”

“Nggak usah, aku sudah janji akan ke pantai dua hari lagi.”

“Nah, lakukan apa yang kamu suka,” kata Sapto yang mulai kesal terhadap isterinya.

***

Hari terus berjalan, dan Retno sudah merasa sehat. Dia sedikit tenang karena Sapto sudah berada jauh di Jakarta. Entah mengapa dia merasa tak nyaman berada di dekatnya. Lebih-lebih setelah malam itu, dimana dia terpaksa harus melayaninya, bahkan sambil berurai air mata.

“Memang sih dia suami aku, tapi aku sama sekali tidak bisa mencintainya. Aku benci melihat matanya, yang dingin dan terkesan sangat pemaksa,” gumam Retno yang bahkan setiap hari dia merasakannya.

“Retno, maukah hari ini menemani Ibu belanja?” tanya bu Sis sore itu.

“Iya bu, sekarang?”

“Iya, kita bersiap dulu, sambil menunggu Budi pulang dari kantor. Dia akan mengantarkan kita. Ibu sudah siap nih.”

“Baiklah Bu, saya hanya akan berganti pakaian.”

“Selama di sini kamu juga belum pernah belanja pakaian. Nanti kita beli sekalian.”

“Tidak usah Bu, yang ada masih cukup.”

“Jangan begitu. Sapto mengatakan telah memberikan ATM nya yang setiap bulan selalu akan diisinya. Kamu harus mempergunakannya untuk belanja apapun yang kamu suka.”

“Tapi Retno sudah merasa cukup Bu.”

“Retno, kamu juga boleh memberikan sebagian uang kamu untuk orang tua kamu.”

Retno terdiam. Kadang-kadang dia ingin memberi ibunya uang, tapi segan karena ayahnya pasti akan memanfaatkannya.

“Tidak apa-apa kamu memberikannya, aku tahu orang tua kamu juga butuh bersenang senang dengan belanja atau makan makanan enak,” kata bu Sis lagi.

“Iya Bu, nanti. Lain kali Retno akan pulang sebentar.”

“Bagus. Kamu juga harus menengok orang tua kamu. Jangan sampai mereka mengira kami melarang kamu menemui orang tua.”

“Baiklah Bu.”

“Sekarang bersiaplah, Budi sebentar lagi akan sampai di rumah.”

Retno masuk ke dalam kamarnya, untuk berganti pakaian. Sementara saat itu Budi sudah pulang dari kantornya.

“Ibu sudah siap rupanya?” kata Budi begitu turun dari mobil.

“Iya, Retno juga sedang berganti pakaian. Apa kamu mau mandi dulu?”

“Tidak usah Bu, nanti saja sepulang belanja Budi baru mandi, ini masih wangi kok,” candanya sambil mencium baju di bagian lengannya.

“Baiklah. Nah itu Retno sudah siap.” Bu Sis melihat Retno keluar. Tapi ia tak melihat bahwa Retno tampak lesu. Entah mengapa, tiba-tiba badannya terasa kurang enak.

“Jadi kita berangkat sekarang?”

“Ya, sekarang saja, supaya tidak kemalaman pulangnya.”

Budi menuju ke arah mobilnya, diikuti Bu Sis dan Retno.

“Retno di depan saja, menemani Budi,”

Lalu Budi membukakan pintu untuk ibunya, kemudian untuk Retno, sebelum dia masuk ke dalamnya.

Tapi tiba-tiba terdengar mobil memasuki halaman. Budi masih memegangi pintu mobil, ketika melihat Sapto turun, dan mendekatinya.

“Mau kemana?”

“Mengantar Ibu belanja, kok Mas naik mobil?”

“Ya, dari Jepara, langsung kemari.”

“Kamu bersama Kori Sap?” tanya bu Sis tanpa turun dari mobil.”

“Tidak Bu, hanya bersama sopir.”

“Ibu pergi sebentar ya, kamu istirahat saja dulu.”

“Biar aku saja yang mengantar Ibu, kata Sapto yang kemudian menutup pintu setelah Retno masuk, lalu dia sendiri kemudian duduk di belakang kemudi.

“Bud, bilang sama yu Asih, suruh buatkan minum untuk sopir,” perintahnya kepada Budi.

Budi mengangguk dengan masygul.

Wajah Retno muram seketika, dan tiba-tiba dia merasa mual. Mobil sudah berjalan ketika tiba-tiba Retno berteriak.

“Tolong hentikan.”

Sapto menghentikan mobilnya.

“Ada apa?”

“Aku mau muntah,” katanya sambil membuka pintu dan turun, lalu muntah disamping mobil karena tak bisa menahannya.

***

Beaok lagi ya.

 

 

73 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah, bukan milkku sdh hadir, sehat terus ya bunda 😍

      Delete
  2. Alhamdulillah, BM15 telah hadir,
    Trm ksh mbak Tien, sehat selalu dan bahagia bersama keluarga. Salam aduhai

    ReplyDelete
  3. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan,

    ReplyDelete
  4. Bu Tien, dan sahabat² blogger tienkumalasari22.blogspot yang kami sayangi dan banggakan.
    Di malam Nisfu Sya'ban 1443-H ini saya sekeluarga mohon maaf lahir batin. Semoga Allah mengampuni dosa² kita dan mengijabah doa² kita.

    Terima kasih bu Tien BM_15 sudah hadir menghibur kita semua.
    Salam ADUHAI dari Bandung.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
    Sehat selalu bunda ..

    ReplyDelete
  6. BM, dah dateng
    Apa Retno hamil?
    Maturnuwun mb Tien
    Salam manis nan aduhai
    Yuli Suryo

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Gasik
    Matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah BM15 sdh bisa dinikmati, teroma kasih bunda Tien, salam Aduhai

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah sdh hadir..
    Terima kasih Ibu Tien..
    Semoga sehat selalu.
    Salam *ADUHAI*

    ReplyDelete
  10. Terimakasih mbak Tien .. Salam Aduhai .. semangat sehat bahagia .. saya bacanya marathon ..

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah....BM 15 sdh tayang....matur nuwun bunda Tien

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah BuMil dah tayang ..
    Syukron nggih Mbak Tien .. semoga tetep sehat Aamiin🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah bukan Milikku sudah hadir
    Terimakasih bunda Tien
    Salam sehat dan aduhai

    ReplyDelete
  14. Terima kasih bu
    Tken salamsehat dan salam aduhai...waah retno sdh mulai hamil kah????

    ReplyDelete
  15. Trima kasih jeng Tien,,kok masih sepi ya kemana ini,,,Aku prihatin sama Retno ,,mudah² an bisa berbahagia,,,tapi kok kasihan kalo sama Sapto,,apalagi Sapto sudah punya istri ,,galak lagi,,,

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah... terima kasih mbu Tien...
    Makin terngiang trs, Retno dkk.... asyiik bacanya.... sehat² Mbu Tien....

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien... Selamat malam selamat beristirahat semoga Bu Tien selalu sehat... Salam aduhai... 🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  18. Aamiin YRA🤲🙏 trmksh mb Tien bm 15nya.. apakah Retno muntah mual tanda hamil? wah Sapto berhsl akan menjd seorang ayah😘... akankah Retno bahagia? hanya mb Tien ygv ahu jln crtnya🙏 slm seroja selalu utk mb Tien dan para pctk🤗

    ReplyDelete
  19. Hamilkah Retno ?
    Terimakasih bu Tien.
    Ceritanya bikin penasaran saja.

    ReplyDelete
  20. Aduhai bu Tien. Karipan kabeh kie😄😄😄

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien untuk BMnya
    Retno hamil kah,,,
    Wah Aduhaaii nih

    Salam sehat wal'afiat semua bu Tien
    Selamat beristirahat 🙏🤗💖

    ReplyDelete
  22. Retno hamil, kusah seru baru dimulai.
    Terima kasih mbak tien. salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  23. Terimakasih bu Tien,,, tambah penasaran dgn lanjutan ceritanya
    Ditunggu kelanjutannya
    Semangat dan sehat selalu
    Salam Aduhaiii

    ReplyDelete
  24. 𝐖𝐀𝐃𝐔𝐇 𝐑𝐄𝐓𝐍𝐎 𝐌𝐔𝐍𝐓𝐀𝐇 𝐊𝐀𝐑𝐄𝐍𝐀 𝐇𝐀𝐌𝐈𝐋 𝐀𝐓𝐀𝐔 𝐌𝐔𝐀𝐊 𝐌𝐄𝐋𝐈𝐇𝐀𝐓 𝐒𝐄𝐏𝐓𝐎 𝐘𝐀...🤩🤩🤩
    𝐌𝐀𝐓𝐔𝐑 𝐒𝐔𝐖𝐔𝐍 𝐁𝐔 𝐓𝐈𝐄𝐍 𝐄𝐏𝐒 𝐁𝐌 15 𝐒𝐃𝐇 𝐓𝐀𝐘𝐀𝐍𝐆..𝐒𝐀𝐋𝐀𝐌 𝐒𝐄𝐇𝐀𝐓 𝐒𝐄𝐋𝐀𝐋𝐔 𝐔𝐓𝐊 𝐁𝐔 𝐓𝐈𝐄𝐍 𝐃𝐀𝐍 𝐊𝐄𝐋𝐔𝐀𝐑𝐆𝐀...🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  25. Wadhuh.. sptnya Retno hamil ya mbak Tien
    Aduhai cepetnya

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah BM 15 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  27. Wouw Retno mulai hamil rupanya.
    Anaknya nanti untuk Sapto bersama Cory.
    Lalu Retno akan dicerai.

    Mungkinkah yg bilang bukan milikku adalah Retno karena anaknya untuk Sapto dan Cory?

    Semoga dgn berjalannya waktu hubungan Retno, Cory dan Sapto membaik...

    Monggo ibu Tien,dilanjut aja penasaran terus...
    Matur nuwun, Berkah Dalem.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi bu Tien tuh paling pinter kalau disuruh, ngaduk-aduk (koyo semen wae) perasaan pembaca, hahaha (gemes-2 piye gitu loh) ya nggak3x

      Delete
  28. Matur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang.
    Sudah punya sendiri " tidak usah mikirin milik orang lain. He he he... tidak jadi cerita kalau semua 'baik-baik saja ' tanpa masalah.
    Salam sehat dari Sragentina mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  29. Matursuwun bu Tien,salam sehat dari Yk.aduhai....

    ReplyDelete
  30. Maturnuwun bu Tien BM15nya..

    Salam sehat selalu dan aduhaiii..🙏💟🌷

    ReplyDelete
  31. Terimakasih mbak Tien BM15 dah tayang...
    lg hamil kali ya mb Retnonya...
    Sehat2 selalu mbak Tien,
    Salam aduhaiii

    ReplyDelete
  32. Alhamdulillah Bukan Miliku sdh hadir. Trm ksh bu Tien. Smg selalu sehat.

    ReplyDelete
  33. 𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...

    ReplyDelete
  34. Alhamdulilah bisa lebih awal untuk mengikuti kisah Retno dan Sapto.
    Matur nuwun M Tien. semoga Alloh memberikan ampunan dan keberkahan bulan Sya'ban dan dipertemukan dengan Bulan Romadhon untuk M Tien sklrg dan kita semua. Aamiin

    ReplyDelete
  35. Terima kasih bu Tien
    Salam sehat, salam aduhai...

    ReplyDelete
  36. Waduh sicantik Retno muntah2 di depan Sapto n Bu Sis ... tanda2 hamilkah ... or muak melihat Sapto ya.??
    Atau Retno pura2 muntah agar Bu Sis dan Sapto yakin dia sudah hamil. Dgn demikian Sapto tidak perlu lagi 'menidurinya dan langsung balik ke Jakarta.

    Bu Tien, silahkan dilanjut cerita nya yg bikin penasaran terus nih...
    Terimakasih Bu Tien, semoga selalu sehat walafiat dan semangat berkarya.
    🙏

    ReplyDelete
  37. Mtr suwun bu tien...sehat selalu njih bu...

    ReplyDelete
  38. Wah...Retno hamil ya...
    Bahagiakan Retno ya mba.
    Makasih mba Tien .
    Salam hangat selalu mba

    ReplyDelete
  39. Ini juga jadi pemikiran seandainya Retno hamil bisakah ia memiliki anak yg dikandungya karena sesuai perjanjian setelah melahirkan anak bisa saja Retno bercerai dg Sapto dan anaknya diamvil Sapto dan Kori kasihan Retno.

    ReplyDelete
  40. Salam kenal bu Tien saya bu Lis Yuni dari Purwokerto Jawa Tengah.

    ReplyDelete
  41. Alhamdulillah BM 15 sdh ada, matursuwun bu Tien yang *Aduhai* . Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  42. Critane diperkosa suami sah nya sendiri.....😂

    ReplyDelete
  43. Alhamdulillah iseng iseng bisa nomer satu..Wah sepertinya Retno hamil..nanti swtelah melahirkan biaa minta cerai dari Sapto..tapi apakah Sapto mau...sepertinya sudah mulai tertarik kepada Retno. Lha Budiono bagaimana ya..Bu Tien yang tahu. Matur nuwun bu Tien..jadi penasaran .

    ReplyDelete
  44. Bundaaaaaa.. Matur nuwun bund.. Shtsll y.. Muuaacchh.. Salamsht sll🙏🌹🌹🥰🥰

    ReplyDelete