Thursday, March 19, 2020
SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 50
SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 50
(Tien Kumalasari)
Pak Broto dan Bu Broto terkejut. Galang mengangkat tubuh isterinya dan membawanya kedalam kamar. Putri tergolek lemah, bibirnya pucat... Galang menciumnya lembut. Putri bukannya tak sadar, mata indahnya mengerjap-kerjap. Dipandanginya wajah suaminya yang tampak khawatir.
"Kenapa dia?"
"Biar ibumu panggil dokter saja,"
Bu Broto dan suaminya ikut-ikutan panik. Tapi ketika melihat Putri sudah tersadar, mereka lega.
"Kenapa nduk?"
"Nggak apa-apa, hanya pusing," jawab Putri lemah.
"Bu, panggil dokter cepat," seru pak Broto ..
Bu Broto segera menelpon dokter langganannya, sementara simbok membawakan teh hangat sambil menggendong Adhit.
"Ya ampun Adhit, sini sama bapak, hati-hati mbok, itu kan air panas,: tegur Galang yang segera mengambil Adhit dari gendongan simbok.
"Ma'af pak, simbok panik begitu melihat jeng Putri pingsan. Diminum dulu tehnya jeng," kata simbok sambil mengangkat kepala Putri, supaya bisa minum dengan enak.
Putri meneguk tehnya.
"Aku nggak apa=apa. Mas, segera berangkat, nanti ketinggalan pesawat," kata Putri lirih.
"Masih dua jam an lagi, kamu tak apa-apa?"
"Pergilah, aku nggak apa-apa mas," kata Putri sambil memegang lengan suaminya.
"Jangan khawatir, aku akan segera menjemput kamu,"
Putri hanya mengangguk.Sesungguhnya ia tak mengerti mengapa suaminya kembali ke Jakarta begitu cepat. Hatinya bagai teriris ketika merasakan keraguan didalam sikap Galang terhadap dirinya.
"Banar, nanti kamu terlambat, ibumu sudah memanggil dokter, pasti semuanya baik-baik saja," kata pak Broto menimpali.
"Benar Galang, sini, Adhit biar sama eyang."
Adhit merengek, lalu menangis keras. Tampaknya ia tau bahwa orang yang sangat mengasihinya akan pergi.
"O, sayang, bapak pergi hanya sebentar, jangan menangis le.." kata Galang yang merasa berat meninggalkan Adhitama.
Ia menyerahkan Adhit kepada isterinya, tapi Adhit terus saja menoleh kearah Galang sambil terus menangis. Putri sedih, ia segera mendekap Adhit, maksudnya mau disusuinya, tapi Adhit menolak. Ia menangis semakin keras.
"Ada apa ngger, cah bagus.."
Galang tak tega, kembali mendekati Putri dan mengangkat Adhitama, yang begitu Galang menggendongnya langsung menghentikan tangisnya.
"Anak pinter, sudah bisa *klayu* sama bapaknya," kata bu Broto yang mengikuti Galang membawa Adhit keluar kamar.
Putri menitikkan air mata yang kemudian cepat-cepat diusapnya. Kepergian Galang bukan hanya menyakiti hatinya, tapi juga hati Adhit. Walau bukan darah dagingnya, tapi kedekatannya sejak masih dalam kandungan, menciptakan benang kasih sayang yang melebihi apapun, seperti kepada orang tuanya sendiri.
"Sayang, bapak hanya ingin menenangkan diri, ma'afkan bapak ya, nanti bapak akan menjemput Adhit, sama ibu, bapak janji," bisik Galang ditelinga Adhit, yang seakan mengerti apa yang diucapkan ayahnya, Adhit menatap wajah laki-laki ganteng yang sedang menggendongnya.
"Kamu mengerti kan nak?" bisik Galang lagi sambil mencium kedua pipi Adhit, ber kali-kali. Setitik air mata Galang menetes dipipi Adhit, yang segera diusapnya.
"Mobil sudah siap pak," kata Sarno tiba-tiba.
"Oh ya, terimakasih pak Sarno," jawab Galang.
"Adhit, dengar kata bapak ya, jangan rewel, bapak janji akan menjemput kalian, secepatnya," bisik Galang lagi ditelinga Adhit. Adhit mengangkat tangannya, memegangi wajah Galang, membuat Galang kembali berurai air mata. Kembali diciumnya Adhit berkali=kali.
"Sudah Galang, mari, Adhit biar sama eyang, nggak boleh nangis ya?" Bu Broto mengulurkan tangannya untuk mengambil Adhit dari tangan Galang.
Bayi mungil itu mengangkat angkat kepalanya, agar bisa melihat kepergian ayahnya.
"Galang pamit pakde, bude," diciumnya tangan kedua mertuanya, tapi tak tahan Galang kembali berlari kearah kamar, dimana dilihatnya isterinya tengah mengusap air matanya.
"Putri.." Galang mendekap wajah Putri dan diciumnya sepuas puasnya.
"Pergilah mas," bisik Putri.
Galang melepaskan pelukannya, lalu keluar dari dalam kamar itu.
***
Teguh Raharjo sudah kembali dari rumah Retno, ibunya menunggu untuk pergi kerumah Naning bersama-sama. Naning yang sudah berhias cantik berjingkrak jingkrak melihat Raharjo ada didepannya. Naning langsung bangkit dari duduknya dan merangkul Teguh sampai anak muda itu gelagapan.
"Heeiii.... kamu itu calon pengantin.. nanti kalau calon suami kamu tau kamu memeluk-meluk orang ganteng bagaimana?" kata bu Marsih berseloroh.
Naning melepaskan pelukannya, wajahnya yang sudah dipoles make up tebal tampak lebih cantik, walau badannya sedikit gemuk.
Naning terkekeh.
"Orang ganteng ini kan mantan aku bu," kata Nanging tanpa malu-malu. Tapi ketika melihat wajah Teguh tampak lesu, Naning heran.
"Mas Teguh sakit?"
"Nggak, aku biasa-biasa saja," kata Teguh sambil duduk disebuah bangku yang ada dikamar pengantin itu.
"Tapi mas Teguh kelihatan lesu deh, apa mas Teguh sedih karena Naning mau menikah?" tanya Naning masih tetap tanpa malu.
"Mas, dari dulu kan Naning menunggu mas Teguh, tapi mas Teguh nggak perduli, sekarang giliran Naning mau menikah mas Teguh sedih, Naning jadi menyesal mau menikah besok pagi," kata Naning sambil merengut lucu.
Teguh tertawa.
"Apa kamu sudah gila? Mengapa aku harus sedih melihat kamu mau menikah? Aku senang, kamu cocog sama Pulung, pasangan yang pas, sama-sama gendut seperti bola," kata Teguh mencoba bercanda.
"Aaah.... mas Teguh..."
"Mas Teguhmu ini baru datang tadi, trus pergi kerumah temannya karena ada titipan, trus kesini, jadi kalau wajahnya kelihatan lesu itu ya karena capek Ning," kata Bu Marsih.
"Hm, kirain patah hati mendengar Naning mau menikah," kata Naning masih dengan mulut manyun..
"Kamu sukanya berpikiran aneh-aneh Ning. Oh ya, jam berapa besok ijab kabulnya?"
"Ijab kabul pagi jam 9, baru sorenya resepsi. Mas Teguh masih disini kan?"
"Nggak Ning, aku hanya akan menunggui kamu pas ijab saja, sorenya harus sudah kembali ke Jakarta."
"Mmm.., mas Teguh kok gitu, kenapa nggak nungguin resepsinya juga?"
"Mas Teguh kan kerja Ning, jadi nggak bisa ijin lama-lama, Senin nya sudah harus masuk." kata bu Marsih menimpali.
"Kamu sudah harus berterimakasih aku datang menyaksikan kamu menikah."
"Aku bilang sama bu Marsih, kalau mas Teguh nggak datang aku nggak mau menikah."
"Iya, aku datang karena ingin kamu menikah. Aku senang kamu mendapat jodoh yang baik. Besok kalau sudah menikah, sudah jadi isteri, kamu harus merubah sifat kamu yang kadang seperti anak kecil, tau!"
"Ya mas, aku tau. Aku juga mau berdo'a untuk mas Teguh, supaya segera menikah dengan gadis cantik, baik, seperti aku."
"Moooh..." teriak Teguh.
"Kok emoh?" Naning merengut lagi.
"Kalau seperti kamu, gendut kaya bola... aku nggak mau.. gerah !"
Dan Naning terkekeh senang. Sungguh bahagia akhirnya laki-laki yang dicintainya sejak awal mau menungguinya menikah seperti yang diinginkannya.
Ketika Teguh akan pulang, tiba-tiba Naning menarik tangannya.
"Ada apa?" tanya Teguh yang merasa khawatir Naning akan melakukan hal yang macam-macam.
"Mas, aku minta ma'af, dulu sekali, seorang wanita menelpon mas, aku mengatakan bahwa aku calon isterimu, itu aku sudah pernah mengatakan sama kamu kan mas? Sekarang aku sadar, aku salah, aku minta ma'af ya. Sekarang bagaimana dia, apa menganggap mas Teguh benar-benar menjadi suamiku? Mas Teguh tau siapa dia? Aku lupa menanyakan namanya," kata Naning panjang lebar. Teguh jadi teringat kembali, ketika ia marah-marah pada Naning gara-gara ditelepon mengaku calon isterinya. Ya Tuhan, apakah itu benar telepone dari Putri, yang kemudian mengnggap dirinya sudah punya calon isteri, dan itukah sebabnya maka dia menikah dengan Galang? Beribu pertanyaan berkecamuk dibenak Teguh, bahkan ketika ia sudah merebahkan dirinya ditempat tidur malam itu.
***
Ketika dokter datang memasuki kamar Putri, Putri sudah duduk memangku anaknya yang sudah tertidur. Putri baru saja menyusukan anaknya, setelah rewel karena kepergian ayahnya.
"Hallo Putri, " sapa dokter Frans, dokter pribadi keluarga Broto.
"Hallo dokter,"
"Kami masih cantik seperti dulu. Ini anakmu?"
"Ya dokter."
"Hm, cakep, dan sehat," kata dokter Frans sambil duduk dikursi yang disediakan. Simbok datang untuk mengambil Adhitama dari pangkuan Putri, karena bu Broto menyiapkan kamar tidur khusus untuk cucunya.
"Apa yang kamu rasakan, katanya tadi kamu pingsan.." dokter Frans mengambil stetoskop dari dalam tas dan dikenakannya.
"Berbaringlah, biar aku periksa."
Putri berbaring, dibelakang dokter Frans, pak Broto dan bu Broto menunggui dengan wajah khawatir.
"Dia itu sebenarnya lemah dok, sakit sedikit saja pingsan," kata bu Broto.
"Ya, aku tau, tapi nggak apa-apa, dia baik-baik saja." kata dokter Frans setelah memeriksa Putri.
"Apa kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat?" tanya dokter sambil memandangi Putri yang masih terbaring.
"Tekanan darahmu sangat rendah," sambung dokter Frans lagi.
"Oke, saya akan beri kamu resep. Dan periksa darah ke laborat ya,"
Dokter setengah tua itu menuliskan sesuatu di sebuah kertas, satu untuk membeli obatnya, dan satu lagi untuk periksa ke laborat.
"Apa ada yang sangat menghawatirkan?" tanya pak Broto.
"Nggak ada, baik kok, jangan khawatir ya pak. Oh ya, mana suami Putri?" dokter Frans melihat ke sekeliling.
"Baru tadi kembali ke Jakarta dok."
"O, itu sebabnya Putri sakit," kata dokter Frans sambil terkekeh.
Putri tertunduk, tersipu, benarkah? Tapi Putri merasa perasaannya tertekan. Ia yakin suaminya belum bisa menerima pertemuannya dengan Teguh, yang ternyata bekas kekasih Putri. Apapun yang dikatakannya belum membuatnya tenang, dan Putripun merasa gundah atas sikap suaminya itu. Itukah sebabnya dia limbung dan merasa sakit?
***
Galang sudah sampai di Jakarta, sudah berbaring dikamar tidurnya yang dingin dan senyap.
Ia menoleh kearah box bayi yang memenuhi kamar tidurnya yang kecil, melongok kesana dan kosong karena Adhitama berada jauh dikota Solo lalu ditinggalkannya.Lalu jiwanya juga merasa kosong, dan semuanya menjadi tanpa makna. Mengapa semua itu terjadi, mengapa bertemu Raharjo, bersahabat, dan kemudian ternyata dia adalah bekas kekasih isterinya, yang ternyata masih mencintainya, aduhai...
Terngiang kembali isak isterinya, mas, aku mencintai kamu, sangat mencintai kamu mas... Dan Galang kemudian menarik guling disampingnya, dipeluknya erat-erat.
Jo, apakah kamu masih mencintai bekas kekasihmu itu? tanyanya pada suatu hari, rasa itu ssudah digulung hari dan masa, cintaku tinggal sekeping mas. Tapi kan rasa itu masih ada? Lalu Retno juga mengatakan bahwa Raharjo masih mencintai kekasihnya yang hilang setahun lebih yang lalu. Ya Tuhan, ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan?
Malam telah larut, tapi Galang belum bisa memejamkan matanya. Ia nanap memandang kearah ponselnya ketika tiba-tiba telepone berdering. Siapa menelponnya ditengah malam buta seperti ini? Galang meraih ponselnya, dan membaca siapa penelpun dimalam larut itu.
***
besok lagi ya
Tuesday, March 10, 2020
SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 08
SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 08
(Tien Kumalasari)
Aryo masih termenung diteras, ketika Ratih keluar diikuti bu Nastiti.
"Pak Aryo, saya mau pulang dulu, Angga sudah tidur," kata Ratih
"Eit, tunggu, biar aku antar," kata Aryo sambil berdiri dan tanpa menunggu jawaban Ratih langsung mengambil kunci mobilnya.
"Tapi...."
"Nggak apa-apa nak Ratih, biar saja. Aryo merasa nggak enak karena selalu merepotkan nak Ratih, jadi biar dia melakukan sesuatu untuk nak Ratih. Tidak seberapa, tapi dia kan tidak kecewa."
Ratih terpaksa menerimanya.
"Ayu bu Ratih, biar saya antar."
Ratih mencium tangan bu Nastiti, kemudian berjalan mengikuti Aryo ke mobilnya. Aryo membukakan pintu, kemudian mempersilahkan Ratih naik.
Merinding Ratih ketika akan menutupkan pintu, tangannya bersentuhan dengan tangan yang sedikit berbulu. Hiih.. kenapa juga aku ini, batin Ratih yang kemudian menata duduknya. Ia terkejut ketika Aryo membuka lagi pintu mobilnya.
"Ma'af, gaunnya kejepit pintu," kata Aryo sambil menunjuk kearah gaunnya yang sebagian masih keluar.
"Eh, iya, ma'af.." kata Ratih sambil menarik gaunnya kedalam.
Lalu Aryo menutupkan lagi pintu itu dan duduk dibelakang kemudi.
Bu Nastiti melambaikan tangannya kearah Ratih, ketika mobil itu berlalu. Lalu masuk kedalam, menjenguk kearah kamar Angga. Dilihatnya Angga masih pulas, Tidur sambil memeluk gulingnya. Bu Nastiti mengusap setitik air matanya ketika menatap cucunya.
"Semoga ibumu segera kembali ..." lalu setitik lagi air matanya menetes dan segera dihapusnya.
***
Aryo berhenti disebuah gang ketika Ratih memintanya.
"Yang mana rumahnya?"
"Masuk kesitu pak, sudah, disini saja."
"Lhoh, kok disini, nggak boleh begitu, masa mengantar kok menurunkannya dijalan."
"Nggak apa-apa pak, terimakasih banyak," kata Ratih sambil membuka pintu mobil dan keluar, dan berjalan memasuki gang.
Aryo mengikutinya turun, lalu berjalan dibelakang Ratih.
Ratih menoleh dan terkejut melihat Aryo mengikutinya.
"Aduh pak Aryo, sudah sampai disini saja."
"Nggak bisa bu Ratih, nanti kalau ternyata bu Ratih nggak pulang kan saya yang dimarahin ayahnya," kata Aryo bercanda.
"Rumah saya jelek," katanya setelah berjalan berdampingan.
"Itu tidak penting, yang penting orangnya cantik," meluncur begitu saja kata-kata Aryo, membuat Ratih deg-degan. Pujian itu cukup membuat hatinya berbunga.
Ratih tak menjawab, menyimpan kebahagiaan itu dibalik senyum tipis yang disunggingkannya.
Disebuah halaman yang tak begitu luas, Ratih berhenti.
"Ini rumah saya, terimakasih banyak."
"Saya harus ketemu bapak."
"Tapi..."
"Saya harus menyerahkan puterinya dalam keadaan utuh kepada bapak."
Ratih tersenyum. Rupanya Aryo suka bercanda. Ia melangkah menuju rumah, Aryo mengikutinya.
Rumah sederhana yang tertata rapi itu tampak sedap dipandang. Ada pot-pot kecil tanaman hias berjajar disepanjang pagar teras yang tak begitu tinggi. Ada bunga-bunga mawar yang beberapa sedang mekar.
"Mengapa kesukaan akan bunga diantara mereka sama? Ratih dan Arum.. bagaimana Tuhan menciptakan kesamaan yang sangat mirip, baik wajah maupun perilakunya? Apakah Tuhan mengirimkan Ratih sebagai pengganti Arum? Tidaaak.. Aryo menampik perasaannya sendiri.
"Sudah pulang Tih?" suara berat seorang lelaki tua terdengar dan Aryo menoleh kearah rumah.
Dilihatnya Ratih sedang mencium tangan laki-laki itu. Laki-laki yang tampak masih tegap dan berpenampilan rapi dengan sarung batik melingkar ditubuhnya.
Aryo mendekat dan menyalami lalu mencium tangannya.
"Ini siapa?" tanya pak Pardi, ayah Ratih.
"Bapak, ini pak Aryo, ayahnya Angga, kata Ratih memperkenalkanAryo.
"Ya bapak, saya Aryo.Mohon ma'af kalau selalu merepotkan bu Ratih."
"O, tidak apa-apa nak, Ratih bilang bahwa dia senang melakukannya. Mari silahkan masuk."
"Ma'af pak, lain kali saya akan berkunjung lebih lama. Ma'af, saya belum mandi juga," kata Aryo tersipu.
"Baiklah, lain kali bapak tunggu nak Aryo main kemari. Tapi ya seperti inilah gubugnya Ratih, tidak seperti rumah nak Aryo yang pastinya sangat bagus dan mewah."
"Oh, tidak kok pak, bagi saya yang penting bukan rumahnya, tapi penghuninya. Sekarang saya mohon pamit, senang bisa berkenalan dengan bapak."
"Terimakasih telah mengantarkan Ratih nak."
"Sama-sama pak, dan saya sekalian mohon ijin untuk bu Ratih, barangkali Angga banyak merepotkan bu Ratih, sehingga harus pulang sampai sore."
"Tidak apa-apa nak, silahkan saja, kasihan anak sekecil itu kehilangan ibunya. Mudah-mudahan isteri nak Aryo segera pulang."
"Terimakasih banyak bapak." kata Aryo sambil mencium tangan pak Pardi.
"Bu Ratih, saya pulang dulu," kata Aryo sambil menatap Ratih, tatapan yang membuatnya gugup.
"Ter..terimakasih, pak Aryo.
***
Bu Nastiti sedang membuat teh panas untuk dirinya sendiri dan Aryo, ketika tiba-tiba didengarnya Angga menangis.
Bu Nastiti setengah berlari menuju kekamar Aryo.. Dalam setiap langkahnya, bu Nastiti berfikir, jawaban apa yang akan diberikannya apabila Angga menanyakan dimana ibunya.Dilihatnya Angga sudah duduk sambil menangis,
"Mana ibu? Mana ibu...?"
Tuh kan.
"O, cucu eyang yang ganteng, ibu tadi tidur bersama Angga, tapi tiba-tiba .. tiba-tiba.. ibu ingat kalau ada yang terlupa. Kunci sekolah terbawa, jadi.. besok kalau yang tukang bersih-bersih ruang sekolah mau bekerja, bingung deh. Karenanya... ibu sekarang mengantarkan kunci itu."
"Nanti ibu kemari ?"
"Mm.. kalau nanti bisa ketemu tukang bersih-bersih.. pastinya kemari. Kalau tidak ya harus menunggu. Ayuk, sekarang Angga mandi dulu."
"Sama ibu..."
"Lho, kalau ibu sampai malam perginya.. ?"
"Angga mau sama ibu.."
"Angga... kan Angga anak pintar. Bukankah kalau anak pintar itu harus menurut apa kata orang tua? Ayo mandi sama eyang, nanti eyang buatkan susu. Ya."
Angga diam, tapi tak beranjak dari tempatnya duduk. Wajahnya muram. Bibir tipisnya cemberut.
"Angga, nanti setelah minum susu, naik mobil lagi. Angga lupa ya kalau punya mobil baru ?"
Mendengar itu Angga bangkit dan turun dari atas pembaringan.
"Angga mau pipis dulu," katanya masih dengan wajah muram.
"Baiklah, pipis, sekalian mandi ya. Angga nanti boleh pilih sendiri baju yang Angga suka."
Ingatan akan mobil itu sedikit meredakan rasa kecewa Angga karena Ratih tak ada disisinya.
"Eyang jangan sampai menyiram lutut Angga ini, masih sakit."
"Baiklah tuan muda, eyang akan hati-hati," kata bu Nastiti sambil menggandeng Angga kekamar mandi.
Selesai mandi dan ganti baju, Angga berlari kedepan mendekati mobilnya.
Bu Nastiti membawakan segelas susu.Sejak tidak lagi minum ASI, Angga dibiasakan minum susu dari gelas. Ia tidak suka minum pakai botol, Karenanya gigi Angga tampak rapi dan tidak menonjol seperti anak kecil yang gemar minum dari botol.
"Diminum dulu susunya."
"Eyang tanya dulu sama ibu, ngasih kuncinya lama tidak."
Bu Nastiti bingung. Tapi ia kemudian mengambil ponselnya, lalu menelpon Ratih, barangkali Ratih bisa menenangkan Angga.
"Hallo bu," sapa Ratih dari seberang.
"Nak Ratih, Angga rewel. Ibu bingung harus menjawab apa ketika dia menenyakan nak Ratih. Tadi ibu jawab sekenanya. Ibu bilang nak Ratih sedang mengantarkan kunci sekolah yang terbawa pulang. Tapi dia tampaknya terus berharap nak Ratih datang. Apa sebaiknya yang ibu katakan?"
"Biarkan saya bicara sama Angga bu."
Bu Nastiti menyerahkan ponselnya kepada Angga.
"Angga, ini ibu mau bicara.."
Angga menerimanya dengan wajah berseri.
"Hallo ibu.."
"Hallo Angga, sudah mandikah anak ibu yang ganteng?"
"Sudah, ini baru mau minum susu."
"Bagus, habiskan dulu susunya sayang."
"Ibu sudah ketemu tukang bersih-bersih sekolah?"
"Oh, belum nak, dengar, Angga tidak usah menunggu ibu, karena ibu harus menyiapkan apa-apa yang besok bisa kita buat untuk bermain."
"Ibu tidak pulang?"
"Angga, besok pagi-pagi sekali ibu akan datang kemari, lalu kita berangkat bersama-sama kesekolah. Bagaimana?"
"Ibu kerumah besok pagi? Angga nggak mau mandi, besok nungguin ibu saja mandinya."
"Oh, baguslah, ibu akan datang pagi-pagi. Sekarang minum susunya, dan jangan rewel ya."
Angga mengangguk. Bu Nastiti tersenyum sambil menerima kembali ponselnya. Angga meneguk susunya sampai habis.
Bu Nastiti menghela nafas lega. Bersyukur karena Ratih ternyata bisa menjadi pengganti Arum.
***
Setelah mengantarkan Ratih, Aryo tidak segera pulang kerumah. Ia berputar-putar disekitar kota, barangkali dia bisa melihat Arum. Ia teringat kata Rini, dia bilang melihat Arum. Walau ragu akan kebenarannya, tapi Aryo akan mencoba mencarinya dikota ini. Tapi kalau benar, mengapa Arum tidak mau segera pulang? Kalau dia begitu marah pada suaminya, apa tidak rindu pada anak semata wayangnya?"
"Arum, ingat anakmu Arum..."
Tiba-tiba dia teringat lagi apa yang dikatakan Rini.Katanya ia melihat Arum dirumah sakit pusat. Bisakah menanyakan ke rumah sakit tentang seseorang yang pernah berobat? Dibagian apa? Penyakit dalam, umum, atau apa. Bisakah menanyakannya?
Aryo memacu mobilnya kearah rumah sakit. Barangkali ada yang bisa memberitahu tentang isterinya yang pernah berobat. Kalau apa yang dikatakan Rini benar. Tapi kalau hanya meng ada-ada?
Apapun yang terjadi Aryo harus menanyakannya.
"Bisa nggak ya?" gumamnya ketika sudah memasuki halaman rumah sakit.
Dengan perasaan ragu dia berjalan menuju kedalam. Aryo tidak tau kemana sebaiknya bertanya. Tapi melihat loket pendaftaran, dia menuju kesana.
"Selamat sore," sapanya.
"Selamat sore bapak, ada yang bisa saya bantu?"
"Bisakah saya menanyakan mmm.. seseorang yang pernah berobat kemari?"
"Maksud bapak?"
"Saya sedang mencari..mm.. salah seorang saudara saya, apakah benar dia berobat kemari pada kira-kira tiga atau empat hari yang lalu."
Penjaga itu saling pandang dengan teman kerjanya.
"Susah ya ? Namanya Arum. Arumsari," lanjut Aryo.
"Tapi... iya pak, memang susah. Coba bapak tanya ke bagian rekam medis, barangkali bisa membantu bapak."
"Bagian rekam medis? Dimana itu mbak?"
"Kalau sore begini tutup pak, coba besok pagi."
"Oh, gitu ya."
Aryo tampak termenung. Ada harapan untuk bertanya, artinya tidak tertutup kemungkinan dia bisa menemukan keterangan disini,sekali lagi kalau apa yang dikatakan Rini itu benar.
"Ya sudah mbak, terimakasih banyak, selamat sore."
"Selamat sore bapak."
Aryo melangkah keluar.
"Semoga besok ada keterangan yang jelas tentang Arum. Kata Rini wajahnya pucat, apa dia sakit? Ya Tuhan, ijinkan hamba bisa menemukan dia," bisiknya perlahan sambil masuk kedalam mobil.
***
Udara mulai remang, Aryo teringat akan anaknya. Apakah Angga rewel ketika tidak menemukan Ratih disampingnya? Begitu risaunya hati Arya memikirkan anak semata wayangnya.
"Arum, apa kamu tega melihat anakmu seperti ini? Dia masih membutuhkan kamu Arum," bisiknya sepanjang menjalankan mobilnya.
Karena khawatir akan anaknya, Aryo menelpon ibunya.
"Ya Aryo, kamu dimana, lama sekali?"tegur bu Nastiti.
"Aryo masih dijalan. Apa Angga rewel?"
"Ya, tadi rewel, tapi kemudian aku minta nak Ratih bicara sama dia, sekarang sudah tenang. Lagi main mobil-mobilan."
"Ah ya, syukurlah, Aryo segera pulang bu, cuma muter-muter saja."
Aryo menghela nafas lega. Berkali-kali Ratih bisa menenangkan anaknya. Bisa menghiburnya, menyenangkannya, menjadi ibunya. Ya Tuhan, menjadi ibunya? Hati Aryo berdebar kencang. Kalau Ratih menjadi ibunya... tidak... jauhkanlah pikiranku dari dia.. pikir Aryo.
Aryo menjalankan mobilnya sangat pelan, karena pikirannya benar-benar kacau. Tapi ada sebersit harapan, rumah sakit itu. Besok dia harus kesana, barangkali nama Arum ditemukan disana sehingga dia bisa melacak keberaadannya.
Tiba-tiba Aryo merasa kepalanya berdenyut-denyut.
"Aduh, kenapa pula kepalaku ini," keluhnya.
Aryo ingin segera sampai dirumah, tapi dia ingat, obat sakit kepala dirumah sepertinya habis. Dia harus membelinya. Lalu dicarinya apotik.
Aryo hampir saja memarkir mobilnya ditepi, ketika dua orang wanita melintas dihadapannya. Aryo menginjak rem dengan kaget. Dilihatnya salah seorang wanita itu terjatuh.
Aro membuka mobilnya, tapi wanita yang satunya sudah menolong yang tadi terjatuh, kemudian berjalan kearah depan. Aryo ingin mengikutinya untuk meminta ma'af, tapi keduanya keburu masuk kedalam mobil. Aryo menutup mobilnya, lalu berjalan kearah apotik.
Salah satu perempuan tadi, melihat kebelakang, kearah mobil Aryo.
"Ada apa?" tanya yang lebih tua.
"Saya seperti mengenali mobil itu."
" Oh, kalau pengemudinya, kenal tidak?"
"Entahlah, wajahnya nggak jelas."
Kemudian mobil itu berlalu. Kalau saja Aryo tau siapa perempuan yang nyaris ditabraknya.
***
besok lagi ya
Saturday, March 7, 2020
DALAM BENIBG MATAMU 73
DALAM BENING MATAMU 73
(Tien Kumalasari)
Adhit terkejut. Tak percaya apa yang didengarnya, kemudian ia meminggirkan mobilnya. Dipandanginya Anggi yang menatap lurus kedepan.
Wajah Mirna terbayang. Adhit kemudian sadar akan perasaannya. Tapi mana mungkin ia menuruti kemauan Anggi?
Adhit teringat dongeng bu Broto ketika ia masih remaja. Dongeng tentang wayang. Katanya, Arjuna dan dewi Banowati itu saling mencintai, tapi tak bisa saling memiliki karena Banowati kemudian menikah dengan Duryudono, raja Astinapura. Namun cinta itu tetap terpendam dalam hati masing-masing, selamanya. Apakah dia Arjuna itu.. dan Mirna adalah Banowati? Ah.. kebalik ya.. Adhit yang sudah menikah.. sedangkan Mirna.. Tapi apakah Mirna mencintai dirinya? Adhit berbicara sendiri dengan batinnya, sejenak lupa bahwa Anggi ada disampingnya.
"Anggi...."
Anggi menoleh kearah suaminya. Sesa'at mereka bertatapan. Lalu Anggi kembali menatap kearah depan.
"Aku serius mas," katanya tanpa menatap suaminya.
"Tidak, kamu bercanda. Kamu tau bahwa aku tak mungkin melakukannya," kata Adhit pelan. Mungkin tak yakin akan apa yang diucapkannya.
"Aku serius... " ulang Anggi..
"Ma'afkan aku.. aku janji.. bahwa... "
"Jangan berjanji apapun..." potong Mirna.
Adhit memegang lengan Anggi, tapi dengan satu tangannya ia melepaskannya.
"Aku sangat mencintai mas. Aku tak ingin melihat mas menderita."
"Tidak.. aku tidak menderita .. tolong Anggi... aku... "
"Mas menderita. Mas menginginkan sesuatu tapi tak bisa mencapainya. Mas mencintai seseorang tapi tak bisa memilikinya. Aku mas.. aku akan melakukan sesuatu agar mas bahagia."
"Apa maksudmu Anggi... "
"Penuhilah permintaanku. Aku rela berbagi asal mas bahagia."
"Anggi... "
"Antarkan aku pulang. Bukankah sa'atnya mas pergi kekantor?"
"Anggi... "
"Ups... salah mas..turunkan aku dipasar saja. Aku kan tadi pamitnya jalan-jalan kepasar ? Aku mau belanja untuk masak bersama eyang."
Adhit tak tau apa yang harus dilakukannya. Ia menjalankan mobilnya dan menurunkan Anggi dipasar seperti yang di inginkannya, lalu dia langsung pergi ke kantor.
***
Namun Adhit tak bisa melakukan apapun. Kata-kata Anggi terngiang ditelinganya. Bayangan Mirna juga me nari-nari dipelupuk matanya. Benarkah dia mencintai Mirna. Mengapa semalam terlontar bisikan itu.. nama itu.. dan sudah pastilah Anggi marah. Tapi mengapa kemudian Anggi menyuruhnya menikahi Mirna? Mirna nggak mungkin mau.. tapi kalau Mirna mau.... Aduh.. Adhit memijit kepalanya yang terasa pusing.
"Mas. Tumben tadi berangkat pagi-pagi.."
Adhit terkejut. Ayud sudah.ada didepannya.
"Mas sakit?Kok kepalanya di pijit-pijit?" tanya Ayud khawatir.
"Sedikit pusing.. nggak apa-apa kok. Ada apa kemari?"
"Cuma mau nanya. Tadi mas berangkat pagi-pagi.. Ananda men-cari-cari tadi."
Mendengar nama Ananda wajah Adhit langsung berseri. Benar, dia berangkat sebelum Ananda datang. Setiap pagi sebelum berangkat pasti Adhit bermain sebentar sama Ananda. Tapi tidak pagi tadi. Ada kemelut dirumah tangganya, gara-gara ulahnya.
"Iya. Tadi Anggi kepasar pagi-pagi. Aku menyusulnya langsung ke kantor," jawab Adhit menyembunyikan kejadian sebenarnya.
"Ooh.. rajin ya mas, isterimu?"
Adhit tersenyum. Tapi senyum itu sama sekali tak tampak manis. Ayud melihat ada mendung menggantung disana. Ayud juga ingat, bu Broto juga mengatakan bahwa pagi itu terasa lain.
"Mas nggak apa-apa kan?"
"Nggak.. aku baik-baik saja."
Tapi ketika Ayud pergi dari ruangannya, Adhit kembali termenung. Ada yang ingin dilakukannya, tapi ia tak tau apa. Adhit kemudian berdiri dan keluar dari ruangannya, menuju mobilnya. Tak nyaman rasanya melamun di kantor. Adhit membawa mobilnya keluar, tak tentu arah.
***
Tapi ditengah keramaian itu ia melihat Mirna. Tampaknya habis berbelanja. Ada bungkusan besar ditentengnya.
"Ya Tuhan... kenapa bertemu dia?"
Adhit menghentikan mobilnya didekat Mirna berdiri. Tiba-tiba debar jantung Adhit berdetak lebih kencang. Ada apa ini, tak biasanya aku merasa seperti ini. Keluh Adhit dalam hati. Ia tak segera turun dari mobilnya, sesa'at menata batinnya. Tapi ketika dilihatnya Mirna berjalan menjauh Adhit segera keluar dan mengejarnya.
"Mirna, tunggu Mirna.." katanya setengah berteriak.
Mirna menghentikan langkahnya. Suara itu sangat dikenalnya dan tak mungkin dilupakannya. Berdebar ketika terdengar langkah cepat menghampiri.
"Mirna.. lagi nyari taksi ya?"
"Pp.. pak Adhit.." gagap Mirna menyapanya.
"Ayo aku antar.."
"Tidak.. jangan pak.."
Tapi Adhit segera mengambil tas besar yang ditentengnya, lalu menarik tangan Mirna menuju mobilnya.
Mirna tertegun, ada rasa nyaman ketika tangannya digenggam bos gantengnya. Aduhai.. apa aku bermimpi? Bisik batinnya. Adhit membuka pintu mobil dan menyuruh Mirna masuk. Tak ada yang bisa dilakukan Mirna karena kemudian Adhit membawa belanjaannya lalu memasukkannya ke bagasi.
Mirna masih gemetaran ketika Adhit menjalankan mobilnya.
"Ke toko kan?"
"Ya, mbak Dewi.. menyuruh.. menyuruh saya.. belanja.."
" Sudah.kuduga.."
"Mengapa bapak antar ss.. saya?"
"Nggak apa-apa.. lagi nggak ada kerjaan," jawab Adhit sambil menoleh kearah Mirna. Entah mengapa hati Adhit merasa tenang. Kegelisahan sejak pagi sirna tiba-tiba.
"Apa aku sudah gila?"desisnya perlahan.
Mirna menoleh kearahnya, mengira Adhit mengajaknya bicara.
"Ya... pak," tanyanya ragu.
"Apa?" Adhit terkejut sendiri. Apa Mirna mendengarnya?
"Apa?" Adhit balik bertanya.
"Saya kk..kira bapak bicara sama saya."
"Mirna, bagaimana kalau manggilnya tidak bapak?"
"Ssa.. saya?"
"Iya, kamu.. aku ini bukan atasan kamu lagi, jadi kita boleh berteman kan? Panggil aku mas."
"Aapp.. pa?"
"Mas Adhit. Bukankah itu lebih manis?"
Mirna meremas tangannya sendiri yang basah oleh keringat dingin. Seandainya Adhit belum punya isteri.. alangkah membahagiakan kata-kata itu.
"Maukah ?"
"Nggak... jangan.. saya nggak berani.."
"Nggak berani kenapa?"
"Nanti bu Anggi marah," jawab Mirna pedih.
Tiba-tiba Adhit teringat peristiwa antara dirinya dan Anggi sejak semalam. Ketika dia membisikkan nama Mirna sa'at bercinta dengannya. Lalu Anggi menyuruhnya menikahi Mirna. Ya Tuhan, mengapa juga siang ini dia dipertemukan..
Adhit terdiam sampai mobil itu berhenti didepan toko Dewi. Adhit turun lebih dulu, membukakan pintu mobil untuk Mirna, kemudian mengambil belanjaan di bagasi.
Mirna meminta tas belanjaan itu tapi Adhit melarangnya.
"Biar aku saja Mirna.."
"Jangan pak.."
" Kok pak lagi.."
Sejenak mereka berpandangan. Mirna terpesona memandangi senyuman bos gantengnya. Itu senyuman yang sangat digandrunginya dan sekarang diarahkannya padanya? Mirna tak ingin melepaskan pandangan itu. Terbuai dan terbuai sehingga ia lupa melepaskan tangannya yang bersentuhan dengan tangan bos ganteng ketika berebut membawa tas itu.
Adhitpun terpesona. Ada rasa menyesal mengapa wajah cantik itu baru sekarang merasuki hatinya.
"Mirna... " itu bisikan yang nadanya mirip dengan bisikan semalam yang....
"Lho.. kok nak Adhit?"
Tiba-tiba keduanya terkejut mendengar suara itu. Mirna melepaskan pegangannya pada tas belanjaannya.
Bu Susan berjalan mendekati mereka.
***
besok lagi ya