Tuesday, January 7, 2020

DALAM BENING MATAMU 80

DALAM BENING MATAMU  80

(Tien Kumalasari)

Tapi sore hari itu Adhit yang sedianya pulang lebih malam, terkejut mendapat telephone dari neneknya.

"Adhit, isterimu pergi sejak siang tadi, dan belum kembali sampai sekarang."

"Kemana eyang? Mengapa eyang biarkan dia pergi?"

"Dia bilang hanya ingin jalan-jalan saja. Biasanya juga begitu, tapi paling satu dua jam sudah kembali. Tapi ini sudah sore.Coba kamu menelphone mertuamu, barangkali Anggi pulang kesana."

"Baik eyang," jawab Adhit yeng kemudian memutar nomor tilpun bu Susan. Tapi keinginan itu terhenti karena tiba=tiba Dewi menelponnya.

"Ya Wi, ada apa?"

"Isterimu ada dirumahku."

"Ya a

 mpun, eyang kebingungan menunggunya. NGapain juga dia kerumah kamu Wi?"

"Dia ngomong banyak, tapi intinya ingin bisa menemukan Mirna."

"Ya Tuhan..."

"Tadi dia datang seperti kelihatan sakit. Pucat dan lemas. Tapi aku sudah memberinya susu, dan membuatkan bubur untuk dia makan."

"Wi, itu merepotkan kamu kan?"

"Nggek Dhit, yang terpenting dia sehat. Sekarang sudah bisa duduk, dan tidak lagi pucat. Tapi masih kelihatan lemas gitu."

"Baiklah Wi, aku mau kesana, tapi aku ngabarin eyang dulu, supaya nggak bingung menunggu."

"Baiklah Dhit."

Setelah mengabari bu Broto bahwa Anggi ada dirumah Dewi, maka Adhit segera meninghgalkan kantor untuk menjemput Anggi.

***

"Anggi, aku kira apa yang aku katakan sudah jelas. Sejak kemarin-kemarin, jangan lagi memikirkan Mirna, ayo kita bangun hidup kita, berdua," kata Adhit pada suatu malam, ketika menunggui Anggi tertidur.

"Mas, sudahlah, jangan menghalangi aku. Yang aku lakukan ini kan untuk mas, untuk kebahagiaan mas."

"Aku tak ingin kamu menderita. Aku sudah cukup menyakiti hati kamu, dan aku sudah minta ma'af. Jangan gunakan peristiwa itu untuk memaksa aku agar mengambil isteri Mirna."

"Tidak mas, jangan hidup dalam ke pura-puraan. Jangan membangun rumah tangga dengan rasa cinta yang palsu."

"Anggi, kamu berbicara dengan menurutkan kata hatimu. Itu keliru."

"Itu benar..."

Adhit menghela nafas.

"Kamu sakit karena menurutkan emosi kamu. Itu tidak benar Anggi, sehatlah, dan berbahagia dengan kehidupan kita ini."

"Mas tidak mengerti.."

"Apa yang aku tidak mengerti?"

"Tidak mengerti apa yang aku rasakan. Mas, dengar ya, aku sangat mencintai mas..."

"Itu aku mengerti.."

"Dan cinta yang tulus itu hanya menginginkan kebahagiaan bagi orang yang dicintai. Percayalah mas..."

"Iya, aku percaya,dan aku bahagia."

"Kebahagiaan yang pincang.."

"Apa tuh >"

"Separuh hati mas ada disini, tapi separuhnya lagi ada entah dimana. Mungkin juga yang disini nggak ada separonya... bisa seperempatnya.. atau kurang..."

"Kamu pintar mengarang ya.." kata Adhit sambil memencet hidung mancung Anggi. Ada keinginan untuk mencumbunya, tapi Anggi menepiskan tangannya."

"Kalau mas tidak mengakui apa yang Anggi katakan tadi, jangan lakukan."

"Menolak keinginan suami itu dosa."

"Mencumbui isteri hanya karena nafsu itu juga dosa."

"Anggi, sudahlah, kalau begitu ayo kita tidur saja," kata Adhit yang kemudian kehilangan seleranya, seperti air yang sudah hampir mendidih tapi kemudian kompor dimatikan. Ia kemudian membalikkan tubuhnya, membelakangi Anggi.

Tiba-tiba Anggi merasa berdosa. Berbulan-bulan tak pernah Adhit menyentuhnya, karena sikapnya yang dingin. Malam ini, keinginan itu ada, tapi tadi Anggi menolaknya. Lalu Anggi menggeser tubuhnya, merangkul erat tubuh suaminya. Mengelus dada bidangnya dengan lembut, lalu menarik tubuh suaminya hingga tertelentang. Adhit memandangi isterinya, yang kini mengangkat kepalanya, lalu mencium lembut pipinya. Bagaimanapun Anggi juga menginginkannya, tak perduli ada rasa cinta atau tidak. Ia tau Adhit adalah suaminya dan dia maupun Adhit berhak melakukannya. Baiklah, kebekuan kemudian mencair, lalu menghangat, lalu memanas, dan malam itu ada bunga api memercik menghiasi bilik bilik hati mereka, terburai dalam hempasan desah yang membuncah.

Lagi-lagi Adhit menjadi seperti gila, karena yang terbayang adalah wajah Mirna, tapi desah yang keluar mampu ditahannya, jangan sampai ada lagi air mata karena bibirnya membisikkan nama perempuan lain.

Terhempas dalam lelah, Adhit merasa sedih mengingat dirinya. Hampir gila karena hanya wajah itu yang terbayang.

"Terimakasih mas, karena mas tidak membayangkan perempuan lain malam ini," kata Anggi sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Adhit menatapnya. Penuh sesal dan permintaan ma'af, tapi tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Ia hanya memejamkan mata, dan membiarkan Anggi memeluknya. Tapi Anggi bukan perempuan bodoh, Dari hatinya yang paling dalam ia bisa meraba isi benak Adhit yang tampak resah. Ibaratnya orang lapar lalu makan sepuasnya, tapi tak tampak kekenyangan.  Anggi menghela nafas, bagaimanapun ia sudah bisa merasakannya. Cinta Adhit tak pernah bisa terbagi, hanya kepada perempuan lain. Tidak kepada dirinya.

***

Berbulan berlalu, tapi selalu begitu. Sementara Anggi tak pernah berhenti mencari Mirna. Kalau dia ada dikota ini, aku harus bisa menemukannya. Ia benci ke pura-puraan yang selalu bergayut disetiap Adhit mendekatinya. Ia yakin Adhit bukan sedang mencumbui dirinya. Anggi merasa bahwa dirinya seperti hanya sebuah alat untuk memuaskan kerinduannya pada Mirna.

Siang itu Anggi berpamit pada bu Broto karena sudah lama tak bertemu ibunya.

"Anggi, apa tidak sebaiknya kamu menunggu suamimu saja, pasti Adhit mau mengantar kamu," kata bu Broto yang berusaha mencegah kepergian Anggi.

"Jangan eyang, mas Adhit kalau pulang pasti sudah capek, kasihan kalau harus mengantar Anggi juga. Lagian rumah mama kan tidak jauh dari sini. "

"Itu benar, tapi kalau sampai kejadian seperti beberapa bulan lalu, trus kamu hampir pingsan dirumah Dewi, eyang lho yang disalahkan suami kamu."

"Eyang, waktu itu memang Anggi lagi kurang enak badan, tapi sekarang Anggi sehat-sehat saja kok."

"Apa kamu nggak menunggu barangkali suami kamu pulang untuk makan siang ?"

"Sudah lama mas Adhit tidak pulang makan siang dirumah kan? Di kantor katanya banyak pekerjaan, jadi mana sempat pulang makan.Biarkan saja eyang, jangan sampai kita mengganggu pekerjaan mas Adhit hanya karena minta untuk makan dirumah."

"Anggi, kamu memang seorang isteri yang penuh pengertian,"kata bu Broto sambil memeluk menantu cucunya.

"Ya sudah pergilah, tapi jangan lama-lama ya, kalau kesorean atau kemalaman, kabari suami kamu."

"Baiklah eyang."

***

Ketika sampai dirumah mamanya, Anggi mendapatkan mamanya sedang membongkar-bongkar sesuatu digudang.

"Mama... ," sapanya sambil memeluk mamanya dari belakang."

"Bu Susan menoleh kebelakang dan balas memeluk anaknya.

"Rupanya kamu masih ingat mama ya Nggi?'

"Ya ingat lah ma, ini sebabnya kemudian Anggi datang kemari."

"Bagaimana suami kamu?"

"Baik ma, sudahlah, mama jangan bicara yang tidak-tidk lagi ya? Sini Anggi bantuin, apa yang harus diberesin." 

"Ini, lagi milih-milih barang yang nggak berguna, ati-ati, pakai masker dimeja mama itu, debunya nggak karuan, nanti kamu ter batuk-batuk."

"Ya ma.." jawab Anggi yang kemudian mengambil masker dan mengenakannya., lalu kembali menemui mamanya.

"Ini dibawa kemana ma?"

"Itu album-album lama, bawa keluar sana, pilih dan pisahkan dengan buku-buku yang bukan album foto ya."

"Baik ma.."

"Tapi kalau kamu ingin minum-minum dulu, buat sendiri sana, itu bisa nanti."

"Ya ma, nanti Anggi ambil sendiri," kata Anggi yang kemudian mengangkat tumpukan buku-buku yang tercampur album-album lama. Setelah meletakkannya dimeja diluar gudang, Anggi mengambil lap untuk membersihkan debu yang menempel pada sampul-sampul album dan buku.

"Wau.. album lama.. kok Anggi belum pernah melihatnya ya," gumam Anggi.

Ia kemudian mem buka-buka album dan terkadang mengomentarinya sambil terkekeh. 

"Hahaa... ini mama waktu masih muda, cantiknya.. dan papa juga ganteng sekali.."pekiknya riang. Bu Susan tak menimpali karena asyik me milih-milih barang dan menyingkirkan yang tak berguna.

Tiba-tiba Anggi melihat sebuah foto, ibuna dan seorang gadis cantik. Anggi heran karena seperti pernah melihat wajah yang mirip seperti gadis itu. 

"Ma... mama... ini siapa ma?" tanya Anggi sambil mendekati ibunya.

"Yang mana?"

"Ini, yang foto sama mama.. ini mama waktu muda bukan?

"Iya, itu namanya Daniar, keponakan mama."

"Keponakan yang mana?"

"Itu anaknya bude kamu yang sudah meninggal ketika Daniar lahir. Kemudian sampai dia lulus SMA, mama yang merawatnya dirumah eyang kamu. Tapi setelah itu eyang mengusirnya, karena dia jatuh cinta dengan seorang lelaki miskin. Semua orang mengingatkan dia tapi tak digubris. Kemudian dia malah menikah dengan laki-laki itu, tapi tak berani pulang kerumah. Bahkan ketika eyangmu meninggal dia tak juga pulang."

"Oh, berarti dia itu kakak sepupu sama aku?"

"Benar, tapi umurmu terpaut jauh. Kamu lahir ketika dia sudah pergi. Itu sebabnya kamu tak pernah tau tentang dia.

"Anehnya dia mirip sama seseorang yang Anggi kenal."

"Ya, namanya manusia ya seringkali ada yang mirip-mirip begitu. Mana, sudah kamu pisahin buku-bukunya?"

"Sudah sebagian ma, tadi karena Anggi tertarik dengan foto ini jadi berhenti sejenak. Tapi foto ini boleh Anggi minta kan ma?"

"Untuk apa ?"

"Nggak apa-apa ma, cuma pengin nyimpen aja," kata Anggi sambil melepaskan foto yang dimaksud, kemudian memasukkan kedalam dompetnya.

***

"Mas, kok akhir-akhir ini mas nggak pernah pulang makan siang dirumah? Anggi nggak pernah masak lagi buat mas?" tanya Ayud dikantornya setelah pulang untuk menyusui Ananda.

"Sebenarnya hanya beberapa kali mas pulang untuk makan siang, hanya untuk menyenangkan Anggi dan eyang saja. Tapi pekerjaan lagi banyak, lebih baik makan di dekat-dekat sini aja."

"Eyang bilang sesuatu pada Ayud."

"Tentang apa?"

"Mas sebenarnya suka sama Mirna."

Adhit tak menjawab. Ia menghela nafas panjang.

"Mengapa baru sekarang mas menyukai dia? Ber bulan-bulan dia menjadi sekretaris mas, dan mas nggak pernah perduli. Sekarang begitu..."

Aku juga tidak mengerti, mengapa ada perasaan itu ketika aku sudah punya isteri. Bahkan belum lama aku menjadi suami Anggi, perasaan itu tiba-tiba saja muncul."

"Tapi mas menyakiti Anggi .."

"Ya, pastinya. Karena Anggi sudah tau."

"Darimana dia tau?"

"Mm.. ya dari sikap aku. Gilanya Anggi malah menyuruh aku mencari Mirna dan menikahinya."

"Wauw... mas pasti suka kan?"

"Aku hampir gila memikirkannya, tapi apakah aku sejahat itu?"

"Lalu apa yang akan mas lakukan?"

"Pernikahan ini harus aku pertahankan. Aku ingin lama kelamaan bisa melupakan Mirna."

"Bukankah Mirna bekerja di tokonya mbak Dewi?"

"Dia sudah tidak lagi disana. Bahkan rumah kontrakannya juga pindah, sudah ber bulan-bulan yang lalu."

"Oh ya?"

"Mungkin M irna sendiri juga ketakutan karena Anggi pernah menemuinya dan mengatakan keinginannya."

"Ini benar-benar gila."

"Aku memang gila."

"Tapi mas harus berusaha, jangan sampai hanyut oleh perasaan yang membuat kekacauan ini ber larut-larut.

"Akan aku coba."

Tiba-tiba ponsel Adhit berdering. Dari bu Broto.

"Ya eyang.." sapa Adhit.

"Isterimu ada dirumah ibunya, sudah sejak siang tadi, sebaiknya kamu segera menjemputnya." kata bu Broto dari seberang sana.

"Baik eyang."

Sepulang dari kantor Adhit memacu mobilnya untuk menjemput Anggi.  Tapi ditengah jalan tiba-tiba dilihatnya seseorang. Adhit menghentikan mobilnya, kemudian meneriaki orang itu yang sudah berlalu agak jauh.

"Pak Kadir !!

*** 

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


17 comments:

  1. Maturnuwun mba Tien cerbung part 80 nya πŸ’πŸ˜˜πŸ€—

    ReplyDelete
  2. Makasih Bu Tien cerbung nya part 80

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah. Semoga lanjutanx segerah muncul mba tien hehe

    ReplyDelete
  4. Makasih mb tien...semakin oenasarannnn...pingin segera baca kelanjutqnnya

    ReplyDelete
  5. Daniar..! Muncul lagi tokoh baru. Pasti ceritanya menjadi "ngayayay" (sunda). Mudah2an bobot ceritanya tetap terjaga dengan baik,, walaupun agak "ngayayay".

    ReplyDelete
  6. Jangan2 Mirna anaknya Daniar? makin seru mb Tien... 81 makin ditunggu...

    ReplyDelete
  7. Tak tunggu lanjutannya ya bu tien ..... Pokoknya istri adhit hanya anggi lah ....

    ReplyDelete
  8. biarkan. istrinya dua aja. Anggi dan. Mirna. kasihanilah. mas adit. saat meniduri anggi. yg terbayang wajah mirna

    ReplyDelete
  9. Terima kasih mbak. Bagus ceritanya meski agak alay

    ReplyDelete
  10. Kalo saya lebih suka ke mirna malah

    ReplyDelete
  11. Waah.... sepertinya anggi sepupunya mirna ... Duuuhh smakin penasaran.. thanks for the 80th part..

    ReplyDelete
  12. Wah adhit bisa" ketemu sm p kadir dan menanyakan keberadaan mirna ketemu g yah sm pa kadir, bu tien d tungg kelanjutannya jgn lama" yah.

    ReplyDelete
  13. Mba Tien ditunggu lho part 82 nya syukron πŸ˜—πŸ˜—πŸ€—πŸ€—

    ReplyDelete
  14. Komennya cerdas2 semua. Malah menginspirasi penulisnya mengulur cerita jafi tambah panjang…

    ReplyDelete
  15. Numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
    ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    ReplyDelete