Monday, October 14, 2019

DALAM BENING MATAMU 22

DALAM BENING MATAMU  22

(Tien Kumalasari)

"Anak setan kamu!! Bedebah! Aku akan membunuhmu !!" teriak Wdi seperti kesetanan. Mirna bangkit, dan beringsut menjauh dari ibunya, wajahnya terasa perih dan berdarah, rambutnya acak-acakan. Lalu Mirna berdiri perlahan..

"Ibu.. mengapa...."

"Setan alas!!" dan kembali Widi menyerang Mirna. Kali ini Widi berhasil menyambar sabuah sapu yang dipukulkannya kearah Mirna ber kali-kali, Mirna menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tak mampu mengelak. Satu-satunya jalan adalah lari keluar, jauh-jauh dari rumah itu. Widi terus memukulinya, Mirna mundur sambil mencari celah agar bisa kabur, lalu disambarnya sebuah kursi, dibantingkannya kedepan sehingga mengenai kaki ibunya. Widi menjerit keras, dan memegangi kakinya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Widi untuk bangkit dan berlari keluar. Berlari se kuat-kuatnya.

"Setan alas! !! Aku akan buat kamu mampus Mirna !! Mampus kamu nanti !!"

Mirna terus berlari kearah jalan.Teriakan dan umpatan ibunya terdengar semakin jauh, karena Mirna sudah sampai kejalan besar. Darah mengucur dari wajahnya dan kemudian diusapnya dengan ujung bajunya. Beberapa orang yang berpapasan melihat kearahnya, tapi tak seorangpun bertanya. Kebanyakan orang tak suka terlibat dengan persoalan orang lain, apalagi persoalan yang sampai membuat wajah ber darah-darah. 

Mirna mencari tempat teduh. Ia tak membawa apapun, tas dan semua isinya tertinggal dirumah. Kalau dia naik angkot, harus dibayar dengan apa. Lalu Widi terduduk disebuah akar pohon besar yang ada ditepi jalan itu. Wajahnya menunduk, karena tak ingin orang-orang melihat kearahnya. Perih terasa semakin menyengat ketika luka diwajah itu basah oleh air mata. Sebagian lengan bajunya memerah karena tak henti-hentinya dipakainya untuk mengusap darah dan air matanya.

Mirna bingung mau pergi kemana, ketika disadarinya tak sesenpun uang dibawanya. Ia juga tak punya siapa-siapa karena ibunya tak pernah mengajaknya bergaul dengan siapapun disekitarnya. Ada teman kuliahnya, tapi sungguh memalukan meminta tolong dengan keadaan seperti itu. Atau pak Adhit? Pak Adhit memang baik hati, tapi bu Ayud kurang ramah terhadapnya. Entah kenapa.

Panas yang terik, hati yang gundah, haus lapar yang mendera, membuat Mirna sangat lemas, tiba-tiba ia tak lagi kuat menahan tubuhnya lalu terguling dibawah pohon. Ada beberapa orang memperhatikan, banyak tak perduli, tapi seorang pengendara sepeda motor tiba-tiba berhenti didekatnya. Ia turun dan langsung mendekati tibuh yang terkulai itu.

"mBak, " laki-laki muda itu menyentuh tubuhnya, membalikkan wajahnya, dan terkejut melihat luka-luka yang terbalut darah kering. Mirna tidak pingsan, tapi ia merasa lemas sekali.

"Kenapa?"tanya si laki-laki muda. Diam-diam ia seperti pernah melihat wajah itu, tapi lupa dimana.

Mirna hanya menggeleng lemah. Kemudian laki-laki muda itu menyetop taksi yang kebetulan lewat, dan memintanya membawa kerumah sakit terdekat. Ia mengangkat tubuh lemas itu dan mendudukkannya didalam taksi. Ia mengikutinya dari belakang ketika taksi itu melaju.

***

"Mas Raka kemana sih, aku sudah dirumah simbah, katanya mas Raka sudah otewe.. bohong ya.." suara nyarng nyeloteh itu suara Dinda yang menelpon kakaknya.

"Sebentar, jangan marah-marah dulu, ini aku lagi menolong seseorang.."

"Menolong bagaimana ?"

"Ada orang terluka dipinggir jalan, aku membawanya kerumah sakit."

"Mas kenal sama orang itu?"

"Enggak, tapi kayaknya pernah melihat, cuma lupa dimana, lagi pula banyak bercak darah diwajahnya, jadi nggak begitu jelas."

"Kasihan... masih lama nggak pulangnya?"

"Nggak tau, kamu tiduran aja dulu disitu, jangan ke mana-mana sebelum aku pulang ya."

Laki-laki muda yang baik hati itu memang Raka. Ia baru pulang mengajar dan kebetulan menemui Mirna yang luka parah. Hanya saja Raka belum ingat, dimana pernah bertemu gadis itu. 

Raka masih menunggu Mirna diperiksa. Dilihatnya luka pada wajah sudah dibersihkan, dan selang infus sudah dipasang di tangannya.

Seorang perawat menghampirinya.

"Bapak suaminya?"

"Oh, bukan.. hanya teman, tapi saya akan menanggung biayanya." jawab Raka sambil tersenyum.  rupanya ia baru sadar bahwa sudah pantas punya isteri. Aduhai.. 

"Oh, ma'af, baiklah, dia belum bisa diajak bicara, dia hanya bilang namanya Mirna."

Raka membelalakkan matanya. Mirna... ya... mengapa jadi lupa? Dia kan sekretaris Adhitya. Raka meng angguk-angguk.

"Ya, terimakasih."

"Ini resep yang harus bapak ambil di apotik, tapi ibu Mirna harus opname mungkin sehari atau dua hari."

"Baiklah, ma'af.. nona Mirna, bukan ibu ya.." kata Raka membetulkan, sambil menerima resep lalu melangkah kearah instalasi farmasi.

Perawat itu mengangguk dan tersenyum. Mungkin juga terpesona oleh senyuman Raka, entahlah, bukankah Raka memang ganteng?

***

 "Kenapa tiba=tiba telepone terputus mas?" tanya Ayud yang masih berada dirumah makan  siang itu. Itu hari libur, dan Dinda berpamit untuk menjenguk neneknya, katanya mau ketemu Raka juga.

"Nggak tau, tiba-tiba saja ditutup, seperti ada yang memutuskannya."

"Lalu apa kata ibu tentang Mirna, mengapa juga dia datang ke rumah kita di Jakarta?"

"Ibu nggak mengatakannya dengan jelas, tapi Mirna menginap disana atas permintaan pak Haris, karena nggak bisa pulang sore itu, baru pagi tadi."

"Aneh ya?"

"Aku telepone balik, nggak ada suara, ponselnya mati."

"Aku jadi berfikir, berarti Mirna itu ada hubungannya dengan pak Haris ya."

"Pastinya begitu, tapi bapak sama ibu juga belum tau secara rinci. Kata ibu, bapak sama ibu sudah pernah mengenal ibunya Mirna."

O...begitu."

Ponsel Adhit tiba-tiba berdering, dari Raka.

"Raka? Lagi dimana? Ayo kemari, kami lagi makan siang nih," sapa Adhit.

"Mas, sekretaris mas Adhit namanya Mirna bukan?"

"Ya, kan kamu pernah ketemu dia waktu ke kantorku."

"Iya, tadinya aku lupa. Mas tau tidak, aku menemukannya dipinggir jalan dalam keadaan setengah pingsan, mukanya penuh luka."

"Apa?" 

"Kebetulan aku melihatnya pas dia terjatuh, lalu aku berhenti dan menolongnya. Sekarang aku bawa dia ke rumah sakit."

"Memangnya kenapa dia?"

"Belum bisa cerita. Tampaknya parah."

"Dirumah sakit mana ?"

"Dekat rumah simbah, aku masih disana."

"Oh, aku tau, baiklah, aku akan kesana."

Adhit menutup teleponenya.

"Ada apa mas?"

"Raka menemukan Mirna pingsan dipinggir jalan, wajahnya penuh luka."

"Kenapa?"

"Belum bisa cerita, sekarang dia ada dirumah sakit, Raka masih disana."

***

"Kamu itu kenapa ta nduk, keluar masuk kamar kayak orang bingung." tanya bu Marsih ketika melihat Dinda gelisah.

"Itu lho mbah, nungguin mas Raka, katanya sebentar kok lama banget," keluh Dinda.

"Tadi kamu cerita katanya lagi nolongin orang kecelakaan."

"Iya sih, tapi kok lama banget, katanya mau ngajak Dinda jalan-jalan."

"Ya ditunggu dulu, sabar, kalau belum bisa datang ya pastinya ada sesuatu."

Dina kembali memutar nomor Raka.

"Hallo... Dinda, kan mas Raka suruh kamu tidur dulu."

"Hiih, capek mas dari tadi udah tiduran, memangnya mas Raka masih dimana?"

"Kan mas Raka bilang dirumah sakit, deket dari rumah simbah kok.Sabar dulu .. nduk."

"O, disitu, kalau begitu Dinda mau nyusul aja."

"Lhaaah, ngapain, mas Raka juga sudah mau pulang, nungguin dia sadar dulu."

"Nggak papa, masih di UGD ya?"

Dan tanpa menunggu jawaban kakaknya Dinda langsung saja pamit pada neneknya untuk menyusul.

"Rumah sakit mana nduk?"

"Disitu, dekat mbah, Dinda mau jalan kaki saja."

Dinda berlari kekamar, hanya mengganti baju sebentar, kemudian berlari keluar.

***

Ketika memasuki rumah sakit dan menuju ruang UGD, tak dilihatnya kakaknya, malah dia melihat Ayud sedang duduk menunggu.

"Lho, kok ada disini?" tanya Dinda heran.

"Kamu juga, kenapa bisa datang kemari?" tanya Ayud sambil menjewer kuping Dinda pelan.

"Aku nungguin mas Raka kelamaan, katanya ada disini, ya udah aku jalan kaki saja kesini. Ada apa sebenarnya?"

Sebentar, itu mas Adhit sama mas Raka mu lagi bicara sama Mirna."

"Mirna ?"

"Iya, yang ditolong oleh Raka itu ternyata Mirna."

"Bagaimana kejadiannya? "

"Nggak tau aku, aku sama mas Adhit baru saja datang lalu mereka menemui Mirna yang katanya baru saja bisa diajak bicara.

"Ya ampuun."

"Duduk saja disini, nggak usak me longok-longok kedalam, " kata Ayud sambil menarik tangan Dinda.

Tak lama setelah itu dilihatnya Mirna sudah didorong dengan brankar, keluar dari ruang UGD. Tampaknya akan dipindahkan ke zal.

Adhit dan Raka menghampiri Ayud yang sudah duduk menunggu.

"Kok Dinda juga menyusul kesini?"

"Kesel menunggu dirumah, pengin tau apa yang terjadi."

"Ya sudah, lebih baik Dinda dan Ayud menunggu dirumah simbah saja, aku sama Raka mau ke rumah Mirna."

"Kenapa dia?" tanya Ayud.

"Disiksa oleh ibunya," jawab Adhit sambil menarik tangan Raka untuk diajaknya pergi.

"Mas mau kemana ? Bagaimana dengan dia?" tanya Ayud.

"Dia sudah dipindahkan ke kamar, biar lebih tenang, aku sama Raka mau kerumah Mirna untuk menemui ibunya."

""Oh, ya sudah, ayo kita ke rumah simbah saja." ajak Dinda sambil menarik tangan Ayud.

***

Ketika sampai dirumah Mirna, dilihatnya pintu rumah itu terbuka lebar. Adhit dan Raka turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu. Tak didengarnya suara apapun, lalu mereka melangkah masuk dengan hati-hati, siapa tau ibunya Mirna masih mengamuk. Tapi sampai berjalan kedalam, tak ada siapapun disana. Ada kursi berantakan, dan bercak-bercak darah yang sudah mengering dilantai.

"Permisi..." teriak Raka.

"Permisi...." Adhit juga berteriak teriak. Tapi tak ada jawaban. Raka melongok kebawah tempat tidur, dibalik pintu, barangkali yang empunya rumah sedang bersembunyi, tak tak tampak ada seorangpun disana.

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Melapor pada polisi." 

***

besok lagi ya

 


1 comment:

  1. Mb mana terusannya kok cm 27 penisirin dibustnya semoga sehst lanjutkan cerbungnya

    ReplyDelete