Wednesday, September 4, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 49

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  49

(Tien Kumalasari)

Putri terus terisak. Tak tahan Galang mendengarkan tangisan itu. Perempuan yang dicintainya sepenuh hati, benarkah hanya dirinya yang dicintai? Bagaimana dengan laki-laki gagah dan ganteng dan baik hati.. bapaknya Adhitama? Benarkah Putri mengabaikannya?

Galang masih diamuk rasa cemburu. Kata-kata Retno masih terngiang ditelinganya, bahwa Raharjo masih mencintai Putri. 

"Mas, mengapa mas Galang tidak mau mendengarkan aku? Aku hanya cinta mas Galang, sangat mas, aku sangat mencintai kamu," rintih Putri sambil mempererat pelukannya.

Galang meletakkan bantal yang semula menutupi wajahnya. Rambut isterinya tergerai lepas didadanya, menebarkan harum yang menggelitik rasa. Perlahan Galang menyingkapkan rambut itu, lalu mengangkat kepala isterinya lembut.

Ditatapnya wajah cantik yang sembab oleh air mata dengan perasaan yang mengharu biru. Perlahan jemarinya mengusap pipi basah itu, lalu menariknya kedalam pelukannya.

"Mas Galang, jangan begitu, takdir mempertemukan kita, dan menciptakan cinta dihati kita. Jangan mengootori cinta itu dengan prasangka yang keliru."

 Galang mengangkat wajah isterinya, menatapnya haru, bibir tipis itu bergerak-gerak, ingin mengucapkan sesuatu tapi keburu Galang mengecupnya lembut. 

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar.

"Putri, ajak suamimu makan dulu, simbok sudah menyiapkan dari tadi," kata bu Broto dari luar pintu.

Putri duduk, menarik suaminya agar ikut duduk.

"Ibu menyuruh kita makan,"bisiknya kepada suaminya.

"Sebentar bu, mas Galang keburu tidur," teriak Putri. Tentu ia bohong. Ia hanya yak ingin memperlihatkan wajahnya yang sembab dihadapan kedua orang tuanya.

"Baiklah, nanti kalau sudah bangun, ajak dia makan ya."

Putri tak menjawab. Dipandanginya suaminya, masih tampak lesu. Barangkali tak mudah menghilangkan gundah kalau itu berhubungan dengan cinta.

"Makan ya mas?"

"Aku mau kembali ke Jakarta."

"Mass!!

"Sore nanti."

"Aku dan Adhitama?"

"Kamu tinggal saja disini dulu, eyangnya Adhit masih kangen."

"Mas, kamu tega mas? Kamu mau meninggalkan aku ?" Putri kembali terisak.

+Tidaaaak," kata Galang pelan, sambil memeluk isterinya.

"Tapi kenapa kamu pulang sendiri, meninggalkan aku dan Adhitama, apakah mas tidak mau lagi mengakui Adhitama sebagai anak mas Galang? Mas tidak lagi mencintai aku dan Adhit?"

"Aku mencintai kalian, tapi aku butuh menenangkan pikiran."

"Tapi mas.. sampai kapan?"

"Aku akan menjemput kamu nanti." Sekarang ayo kita makan, basuh wajahmu, aku mau pesan ticketnya dulu." kata Galang tandas, membiarkan Putri melangkah kekamar mandi, dan melanjutkan isaknya disana.

***

Bu Marsih gembira bukan alang kepalang, ketika melihat Teguh pulang. Segala masakan yang menjadi kesukaan anak lelakinya, ditata diatas meja. Tapi bu Marsih agak heran melihat wajah Teguh tampak sendu dan tak bersemangat.

"Ayo makanlah le, itu semua buat kamu," kata bu Marsih sambil menyendokkan nasi ke piring Teguh.

"Terimakasih bu," kata Teguh singkat sambil mengambil lauk sekenanya, yang penting ibunya tidak kecewa. Padahal sebenarnya ia sedang tak ingin makan.

"Le, ibu kalau melihat wajahmu itu kok seperti nggak bersemangat gitu ya, apa kamu sakit?" tanya bu Marsih sambil memperhatikan cara Teguh makan. Memang tidak lahap seperti biasanya. 

"Masa iya sih bu, cuma perasaan ibu saja barangkali."

"Tapi kamu nggak sakit kan?"

"Nggak bu, sehat banget. Jam berapa nanti kerumah Naning?" tanya Teguh mengalihkan perhatian ibunya.

"Nanti sore saja le, biar kamu istirahat dulu, omong-omong sama ibu, cerita tentang keadaanmu di Jakarta, gitu lho le."

"Ya bu. Oh ya, oleh-oleh buat ibu aku taruh dimeja kamar lho bu," kata Teguh. 

"Oalah le, pakai oleh-oleh segala, coba ibu liat ya le," kata bu Marsih sambil melangkah kedalam kamar.

Raharjo merasa lega. Sungguh ia sedang tak berselera makan, tapi dihadapan ibunya ia tak berani mengatakan apa-apa. Ia bahkan mencicipi semua lauk yang ditata diatas meja, walau sedikit-sedikit.

 Ia masih merasa bermimpi ketika ketemu Putri, dan herannya lagi ternyata Putri itu isteri sahabatnya, Galang, yang berbulan bulan berteman dan belum pernah berhasil mempertemukan dirinya dengan isterinya. Ya Tuhan, ternyata dia.. kekasihku, yang hilang setahun lebih. Sekarang sudah punya suami dan seorang anak laki-laki yang sangat disukainya entah karena apa. Tentu Teguh tak mengira bahwa itu darah dagingnya, karena Putri sudah mengatakan bahwa Adhitama adalah anak pertamanya. Aduhai, Putri tampak sangat mencintai suaminya, mengapa harus sakit hati ini? Jerit hati Teguh. Walau cinta tinggal sekeping, tapi itu adalah cinta, sesedikit apapun, masih tersisa rasa itu, dan terasa sakitnya ketika mengetahui dia sudah menjadi milik orng lain.

Teguh mengakhiri makan sebelum ibunya kembali menghampiri dengan wajah berseri.

"Teguh, baju ini bagus sekali, pasti mahal ya le? Beli di Jakarta?" tanya bu Marsih sambil menempelkan kebaya warna biru tua berkembang merah kuning itu didadanya. Tapi beli di Jakarta? Tidak, ketika naik taksi dari bandara dia mampir ke butik yang kebetulan dilewati, dan membeli kebaya terbagus buat ibunya. Ia juga membeli roti yang enak, semuanya dibelinya di Solo karena ketika di Jakarta dia tak sempat belanja oleh-oleh buat ibunya. Hanya ada titipan sekotak kecil dari Retno untuk ibunya dan bekal satu dua baju yang dibawanya. Lalu Teguh Raharjo baru teringat kalau dia juga harus pergi kerumah Retno untuk mengantarkan titipannya.

"Namanya Jakarta ya le, barang-barangnya pasti bagus," kata bu Marsih sambil terus menimag nimang baju barunya.

"Nanti dipakai untuk resepsinya Naning ya bu."kata Teguh. Ia tak perlu mengatakan dimana membeli baju dan roti buat ibunya. Biarlah bu Marsih tetap mengira bahwa itu semua dibeli di Jakarta. Barangkali bu Marsih akan lebih suka.

"Ya, kamu benar le, hm.. ibu senang sekali ini.. terimakasih ya le," kata bu Marsih sambil memeluk anaknya dari belakang. 

"Oh ya bu, Teguh mau kerumah ibunya Retno dulu setelah ini, takut kelupaan."

***

Tapi sebelum kerumah ibunya, dikamarnya Teguh menelpon Retno, rasanya ia ingin menumpahkan semua yang dirasakannya kepada Retno, hal yang dilakukannya sejak masih sama-sama kuliah dulu. 

"Hallo Jo... sudah kangen-kangenan sama ibu kamu?" tanya Retno dari seberang.

"Seandainya kamu ikut bersamaku Retn...," kata Teguh sambil berdesah.

"Ada apa, suaramu kok sedih begitu?"

"Aku ketemu Putri."

"Apa?" tanya Retno agak keras, karena terkejut.

"Ya, aku ketemu dengan tak di sangka-sangka."

"Oh, apa Putri ada dirumahnya dan kamu nekat datang kesana?"

"Tidak, kami ketemu di bandara."

"Wah, senangnya Jo, aku ikut bahagia untuk kamu Jo, tapi suaramu kok sedih begitu? Putri nggak cinta lagi sama kamu?"

"Retno, dia itu bu Galang.."

"Apa Jo? 

"Isterinya mas Galang itu Putri Ret, dia.. sudah punya anak satu, bayi yang sangat aku suka itu."

"Ya Tuhan... ya Tuhan.. berbulan-bulan baru kamu tau Jo?"

"Kami sama-sama mau ke Solo, aku dan mas Galang, tapi dia mengajak simbok dan isterinya dan juga anaknya. Begitu sampai di bandara, aku melihat dia, dan mas Galang bilang, itu isteriku Jo.. Aku hampir mati karena terkejut Ret, aku hancur."

"Jo, mengapa kamu berkata begitu? Kamu bilang sudah melupakannya, cintamu tinggal sekeping, tapi sekarang kamu menyebut-nyebut mati segala, hancur lagi," omel Retno, padahal sesungguhnya Retno sendiri juga gelisah. Apakah Retno cemburu? Tapi Retno sangat pintar menyembunyikan perasaannya. 

"Benar, cintaku tinggal sekeping, tapi sekeping itu kan rasa Ret... dan tetap aku merasa tersakiti."

"Kalau begitu kamu masih benar-benar cinta Jo, "

"Sekarang ini aku masih shock Ret, entah perasaan ini seperti apa. Pertemuan itu sungguh tak disangka. Bukan hanya pertemuannya, tapi kenyataan bahwa dia itu isterinya mas Galang, sungguh Ret... sampai sekarang aku masih merasa seperti mimpi."

"Lalu mas Galang bagaimana? Setelah mengetahui bahwa isterinyalah bekas kekasihmu?"

"Aku juga nggak tau Ret, dipesawat kami semua tak ada yang bicara, sampai turun dan masing-masing memesan taksi."

"Ya sudah Jo, kamu nggak usah galau, ini kenyataan yang harus kamu hadapi. Apa kamu mau menangisinya? Ayolah Jo, bangkit dan semangat, cinta tak harus memiliki bukan? Dan kamu harus bahagia melihat Putri sudah hidup bahagia bersama suaminya. Begitu bukan cinta sejati itu?"

Raharjo terdiam, tak seharusnya menangisi sesuatu yang tak mungkin diraihnya. Raharjo tak tau, bahwa setelah pembicaraan itu berakhir, Retno sempat mengusap air matanya yang mengalir membasahi pipinya.

***

"Lho, kamu itu baru datang tadi pagi, dan sore ini mau balik ke Jakarta?" kata pak Broto ketika melihat Galang bersiap mau pulang sore itu juga.

"Iya pakde, Galang sudah memesan ticketnya."

"Bukankah besok itu hari Minggu? Dikantor kamu hari Minggu itu harus masuk, begitu?"

"Bukan pakde, kami akan pindah rumah, besok Galang akan mempersiapkan barang-barang yang harus dibawa."

"Pindah kemana lagi? Kontrakan sudah habis?"

 "Saya mendapat rumah dinas, mungkin agak besar."

"Hm, dulu kamu menolak rumah pemberianku, sekarang dikasih orang lain kamu mau," omel pak Broto tampak tak senang.

"Pak, Galang itu mendapat rumah karena kadudukannya. Bapak kan tau kalau Galang nggak suka dikasih cuma-cuma. Ia itu pekerja yang disukai atasannya pak, dia mendapat kedudukan penting disana," terang bu Broto yang sudah mendengar perihal rumah itu dari Putri.

"Dulu dikantorku dia juga aku beri dia kedudukan," masih mengomel pak Broto.

"Itu beda pak, sudahlah, lihat, ini Adhit minta digendong eyangnya tuh," kata bu Broto sambil mengulurkan Adhit yang semula digendongnya kearah suaminya. Pak Broto tersenyum dan menghentikan omelannya setelah menggendong cucunya.

Bu Broto mengedipkan matanya kearah Galang, seakan minta agar apa yang dikatakan mertuanya tak usah dimasukkan ke hati.

Galangpun terdiam, ia lebih merasakan ketidak nyamanan hatinya sendiri jadi tak perlu merasakan apa yang dikatakan mertuanya.

"Putri, panggil Sarno saja , biar dia mengantarkan suamimu ke bandara," kata bu Broto kepada Putri.

Putri tak menjawab, wajahnya pucat pasi, dengan gemetar ia melangkah kesamping rumah untuk mencari Sarno. Pandangannya sayu, bagaimanapun kepulangan suaminya sangat menyakiti perasaannya. 

"Biar aku panggil sendiri Putri," kata Galang. Ia terkejut melihat wajah isterinya pucat pasi.

 Putri tak menjawab, ia terus melangkah, tapi ketika turun dari tangga, badannya tiba-tiba limbung. Putri tak lagi kuat berdiri, dan pasti terjatuh kalau Galang tidak menangkapnya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

1 comment: